"Lemes banget, sih, lo beberapa hari ini? Gue juga nggak lihat lo dianterin atau dijemput cowok lo lagi. Putus?" Entah untuk ke berapa kalinya, Tasya kembali memprotes wajah Vio yang tampak lesu.
Sudah seminggu Vio tidak berkomunikasi dengan Pandu. Berbeda dengan Ale yang beberapa kali mengirimi pesan untuk menanyakan kabar, Pandu sama sekali tidak menghubunginya. Pria itu benar-benar menjaga jarak, sesuai yang Vio minta tempo hari.
Hidup Vio menjadi lebih tenang, apalagi memang dia butuh berkonsentrasi pada pekerjaannya. Namun, tetap saja pikiran-pikiran negatif itu menyesaki kepala Vio saat kesibukannya terjeda. Konseling yang dia ikuti memang cukup membantunya memilah hal-hal mana yang harus dia perhatikan dan mana yang hanya suara-sura bising yang dapat dia abaikan. Namun, teori yang diucapkan konselornya terasa lebih mudah dibicarakan daripada dilaksanakan. Sampai sekarang, Vio belum juga berhasil mengambil keputusan jalan mana yang ingin dia tempuh.
"Makan siang, yuk. Gue takut lo tipes kalau telat makan terus." Tasya menarik tangan Vio dan memaksa gadis itu berdiri.
Vio menatap nanar, terlihat malas beranjak dari tempatnya. "Delivery aja, deh, Tasy. Aku malas keluar."
"Lo harus ganti kali suasana juga, Vi. Biar nggak stres. Muka lo itu sudah kayak jemuran yang belum di setrika, kusut."
Setelah menghela napas panjang, Vio meraih dompet dan ponselnya. Hanya itu satu-satunya cara untuk membuat Tasya berhenti mengcerewetinya. Mungkin Tasya ada benarnya, dia perlu ganti suasana untuk dapat melupakan rasa kosong yang ditinggalkan Pandu di hatinya.
Vio pikir hanya perlu kembali ke rutinitasnya semula untuk membiasakan diri tanpa kehadiran Pandu. Ternyata dia salah besar. Selama beberapa bulan terakhir, Pandu telah menjadi rutinitasnya. Serasa ada yang hilang ketika pria itu menghilang dari hidupnya, meski itu karena Vio sendiri yang meminta.
"Sebenarnya lo ada masalah apa, sih, Vi? Gue tahu lo ini anaknya memang mageran, tapi nggak pernah sesuram ini. Aura di sekeliling lo itu suram banget, tau! Kayak kuburan," kata Tasya sambil menggerak-gerakkan tangannya di sekitar Vio.
"Nggak ada masalah apa-apa. Aku cuma capek, Tasy. Itu berkas anak baru nggak habis-habis dari kemarin," jawab Vio mengambinghitamkan pekerjaan.
"Oke. Tapi, itu nggak menjawab pertanyaan gue tadi. Cowok lo kemane? Nggak pernah anter-jemput lagi." Tasya terus mencecar saat mereka tengah menunggu lift untuk turun.
"Harus berapa kali aku bilang, sih, Tasya. Dia bukan cowokku. Dia punya kesibukan sendiri, jadi, ya, wajar kalau kami nggak selalu berangkat dan pulang bareng," Vio berusaha menyangkal.
"Tapi, jujur nih ya, Vi. Kalau gue perhatikan. Setiap lo berangkat bareng dia, lo pasti kelihatan cerah seharian. Mau kena omel bos lo kayak apa juga, bibir lo itu tetap senyum-senyum sendiri. Sebaliknya, kalau lo pas nggak berangkat bareng dia, pasti lo kelihatan lemas seharian. Seminggu ini lo pulang-pergi naik kereta terus, dan muka lo makin hari makin kusut. Ini pasti ada apa-apanya sama cowok itu." Tasya memaparkan analisisnya.
"Perhatian banget sih kamu sama aku, Tasya. Sampai hafal begitu." Vio mencoba bercanda untuk menutupi perasaan yang sebenarnya.
Mereka masuk lift berbarengan. Sembari lift membawa mereka turun ke lantai dasar, Tasya berbisik kepada Vio, "Jelas gue perhatian, Vio. Lo udah berapa kali nolak gue comblangin dengan alasan yang sama. Takut menjalin komitmen serius. Nggak pernah gue lihat lo dekat sama cowok mana pun juga. Nah, ini sekalinya ada yang dekat, jelas banget perbedaan sikap lo. Sejak gue lihat lo dianterin cowok itu, gue perhatikan lo jadi lebih ceria."
"Eh, yang dulu nunggu Mbak Vio di lobi itu pacarnya?" celetuk petugas kebersihan kantor mereka yang kebetulan berdiri di dekat Tasya.
"Hah? Jemput di lobi? Kapan, Mbak Sri? Kok, gue nggak tahu, sih. Ganteng nggak, Mbak?" Tasya langsung memburu wanita itu dengan pertanyaan.
Vio mencubit lengan temannya itu, meminta Tasya tidak meneruskan interogasinya. Walau pengguna lift yang lain bersikap tak acuh, mereka tetap bisa mendengar percakapan Tasya dan Sri. Vio khawatir dirinya tidak hanya menjadi bahan gosip satu kantor, tetapi juga satu gedung.
"Cakep banget, Mbak. Serasi lah sama Mbak Vio. Masnya artis bukan sih, Mbak? Kok mirip yang jadi temannya Ben di Film CdSR itu, lho."
Vio mengusap kepalanya yang tiba-tiba terasa pening. Sepertinya Tasya menemukan teman bergosip yang seimbang. Harusnya dia tidak keburu lega Tasya sudah pulang lebih dulu saat Ale menjemputnya ke kantor tempo hari. Sifat Tasya yang supel membuatnya mudah akrab dengan siapa saja. Wanita bernama Sri itu hanya sesekali saja mampir ke ruangan mereka, karena memang ditugaskan di divisi yang berbeda dengan Tasya dan Vio. Sehari-hari kedua wanita itu jarang berinteraksi, tetapi kini menggosipkannya seperti dua orang yang bersahabat lama.
"CdSR itu apa, Mbak?" tanya Tasya begitu mereka keluar dari lift.
Sri terus mengiringi langkah mereka ke luar gedung. "Waduh, Mbak Tasya nggak tahu film yang lagi spiral itu? Cinta di Seberang Rumah itu, lho, Mbak. Ceritanya Ben dan Ayra. Saya aja sampai nonton bolak-balik di hape. Makanya sampai hapal sama pemainnya. Yang jemput Mbak Vio ini mirip artis yang jadi temannya Ben itu Mbak. Yakin saya."
Sri memang benar. Selain mengisi soundtrack, Ale juga sempat jadi cameo di film tersebut. Fitur wajah Ale memang unik. Wajar saja kalau Sri mengingatnya meskipun Ale hanya muncul selama beberapa menit saja di film itu. Vio langsung menyesali keputusannya tempo hari. Jika tahu akan begini, dia tidak akan membiarkan Ale menunggu di lobi.
"Eh, mau makan siang kan, Mbak? Bareng kita saja yuk, gue traktir biar bisa lebih lama ngobrolnya."
Sekali lagi, Vio mencubit lengan Tasya. "Ngegosipin aku maksud kamu?" desisnya ke telinga Tasya.
Tasya hanya mengaduh dan terkikik geli. Matanya mengerling penuh arti kepada Vio.
"Duh. Pingin Mbak. Tapi ini banyak titipan makan siang dari timnya Mas Tyo. Mana titipannya pada beda-beda lagi, mesti mampir-mampir. Saya juga harus nyiapin ruang rapat jam satu nanti. Kapan-kapan ae yo, Mbak?" tanya Sri dengan penuh harap.
"Ya, sudah. Kapan-kapan, ya, Mbak. Kalau gitu kami lanjut ke warung soto depan ya," pamit Tasya sambil menunjuk ke seberang.
"Ya, Mbak Tasya." Wanita itu lalu menoleh kepada Vio dan berkata, "Mbak Vio. Mbok saya kapan-kapan dikenalin sama pacarnya. Mau minta foto bareng sama tanda tangan, biar bisa tak pamerin ke teman-temanku di kampung."
"Hadeh, Mbak. Gue aja belum Vio kenalin kok. Apalagi Mbak Sri," seloroh Tasya sambil menepuk bahu wanita bertubuh gempal itu pelan.
Setelah berpisah dengan Sri, Vio dan Tasya melanjutkan perjalanan menuju warung soto di seberang jalan. Vio pikir Tasya akan langsung mencecarnya dengan pertanyaan, ternyata wanita itu justru sibuk dengan ponselnya. Vio menarik napas lega, sayangnya dia terlalu cepat menarik kesimpulan.
"Jadi yang mana cowok lo, Vi?" tanya Tasya sambil menunjukkan layar ponselnya kepada Vio. Tampak foto para pemain film Cinta di Seberang Rumah berjajar di halaman situs sinopsis film. Foto Ale ada di deretan bagian bawah karena dia hanya pemeran pendukung, tetapi yang menyita perhatian Vio justru banner iklan acara Karunia Music Award yang berkedip di bagian atas. Ada foto Pandu sedang tersenyum di sana.
Beberapa detik kemudian, foto seorang pria paruh baya berkumis lebat muncul di layar ponsel Tasya. Wanita itu berdecak kesal, tetapi tetap juga dia terima telepon dari atasannya itu. Gaya dan nada bicaranya menjadi teramat sopan saat menimpali instruksi sang atasan.
"Sial. Si bos minta gue ikut rapat. Kayaknya nggak bakal sempat kalau makan di luar," keluh Tasya begitu atasannya mengakhiri panggilan. "Kayaknya gue mesti balik ke kantor, deh, Vi. Lo ikut balik kantor apa mau lanjut cari makan di luar?"
Seperti orang linglung, Vio menoleh ke arah Tasya. Kedua matanya memang terarah pada Tasya, tetapi pandangannya terlihat menerawang jauh. "Aku lanjut aja, Tasy. Benar kata kamu, sepertinya aku perlu ganti suasana dulu."
Mereka berpisah di depan gedung. Vio lanjut melangkah, bukan ke warung soto yang semula dituju, melainkan berputar-putar tanpa tujuan. Konselornya bilang, berjalan kaki dapat mengurai benang-benang kusut di kepalanya.
* * *
Langkah Tasya berhenti mendadak saat mendengar penjelasan Vio. Sebagai ganti makan siang bersama yang batal, mereka berdua sepakat untuk mampir ke mal dekat kantor mereka setelah jam kerja berakhir. Saat sedang berkeliling mal untuk mencari tempat makan yang sesuai selera mereka, Vio memutuskan untuk menceritakan tentang hubungan dengan Pandu, meski dia tidak menyebutkan nama pria itu secara terang-terangan.
"Wait! Jadi cowok yang dilihat Mbak Sri kapan hari bukan cowok yang biasa antar jemput lo tiap hari? Dia justru teman dari tetangga lo itu?" Tasya berusaha mengonfirmasi ulang cerita Vio.
"Vi! Lo dengerin gue ga sih?" Tasya menyenggol lengan Vio yang alih-alih menanggapinya justru terlihat melamun.
"Eh, iya. Tadi, kamu tanya apa?" Vio balik bertanya sambil berusaha menyeimbangi langkah Tasya mengajaknya menuju restoran masakan sunda di sayap timur mal.
"Jadi, cowok yang dilihat Mbak Sri itu beda sama yang biasa berangkat bareng lo tiap hari?" Tasya mengulang pertanyaannya.
Vio mengangguk. "Iya. Yang kapan hari dilihat Mbak Sri itu Ale, dia memang sempat jadi cameo di film itu. Sedangkan tetangga yang biasa berangkat bareng aku itu beda orang. Dia yang kenalin aku ke Ale."
Langkah Vio tiba-tiba terhenti. Badannya seolah membeku, membuatnya kesulitan untuk bergerak. Di hadapannya kini, dia melihat Pandu tersenyum lebar ke arahnya. Geligi pria itu berkilau rapi, membuat silau pandangan Vio.
Vio terpaku selama beberapa saat. Kedua matanya tidak sanggup beralih dari LED Display iklan pasta gigi yang dipajang drugstore di sebelah restoran yang mereka tuju.
Tasya memegang kedua bahu Vio dan memaksa gadis itu untuk menatap wajahnya. Matanya membulat tak percaya. Dengan setengah berbisik dia bertanya, "Kalau Ale itu penyanyi artinya dia artis, kan? Apa cowok yang lo ceritain itu itu juga berasal dari kalangan selebritis?"
Bibir Vio bergetar. Gadis itu melirik ke LED Display yang menampilkan foto Pandu yang tengah memegang sikat gigi. "Kalau aku bilang iya, kamu bisa jaga rahasia kan, Tasy?"
Tasya mengikuti arah mata Vio. Dia menutup mulut dengan tangan dan untuk pertama kalinya Vio melihat temannya itu kehabisan kata-kata.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top