25: Gue masih punya kesempatan, kan, Vi?

Pandu Satria (Papa Yudhis):

Vio, kamu nggak apa-apa pulang sendiri, kan?

Saya ada meeting untuk acara KMA

Kayaknya bisa sampai tengah malam

Meski kecewa, Vio justru bersyukur Pandu tidak bisa menjemputnya. Dia pikir memang lebih baik sore itu pulang sendiri. Identitasnya dalam foto yang beredar di internet memang belum terungkap, tetapi tetap saja hal itu membuatnya khawatir. Bagaimana jika ada orang yang memergokinya pulang bersama Pandu lalu menyebarkan foto mereka yang lebih jelas?

Vio masih dapat mengingat kata demi kata dalam komentar-komentar pedas yang dia baca, beberapa di antaranya bahkan bernada ancaman. Semua itu membuatnya tidak tenang. Bagaimana jika citra Pandu menjadi buruk karena berhubungan dengan gadis sepertinya?

"Lo lagi kurang enak badan, Vi?"

Vio mengangkat wajah. Dilihatnya Tasya sedang berdiri di depan mejanya dengan tangan menumpu ke meja. Wanita itu memandangi Vio dengan sorot khawatir.

"Nggak, kok. Mungkin cuma kecapekan." Vio mematikan komputernya, lalu mengambil tas yang dia letakkan di bawah meja. "Yuk, pulang. Aku pingin cepat sampai rumah," ajaknya sembari memaksakan diri tersenyum.

Mereka kemudian berpamitan kepada beberapa pegawai yang masih lembur di kantor. Vio berjalan dengan mode autopilot, membiarkan memori ototnya yang memandu, sementara pikirannya terus melayang-layang entah ke mana. Tasya yang cemas terus memperhatikan Vio yang terlihat tidak fokus saat berjalan.

"Tadi pagi, muka lo cerah banget, gue senang lihatnya. Tapi kenapa sekarang balik ditekuk gini, sih? Lo lagi ada masalah? Butuh uang? Mau gue pinjemin?"

Ocehan Tasya yang begitu random berhasil memancing tawa Vio. "Nggak, kok, Tasy. Tapi, aku nggak nolak kalau kamu mau traktir aku."

"Yah, gue sudah kadung janji sama anak-anak buat nemenin mereka ngerjain tugas. Kalau nggak ditemenin,tugas-tugas mereka nggak bakal kelar. Mereka kebanyakan main selama liburan ini." Tasya memasang ekspresi menyesal di wajahnya. "Nanti, kalau anak-anak gue sudah pada sekolah, gue janji bakal traktir lo karaokean."

"Oke. Awas kalau ingkar janji." Vio memasang ekspresi mengancam. Bibirnya kembali menyunggingkan senyum, meski sinar matanya tampak muram.

Ketika lift sampai di lantai mereka, kotak besi itu sudah hampir terisi penuh. Untung saja, badan Tasya dan Vio kecil. Mereka dapat menyelip di antara para penumpang lain.

Vio memandangi pantulan dirinya di pintu lift. Rambutnya mencuat ke sana kemari. Wajahnya yang tirus membuatnya selalu terlihat seperti orang yang kurang gizi. Tidak ada yang spesial dengan dirinya. Gadis seperti dia tidak akan pernah bisa menyaingi Maharani. Mungkin benar kata orang-orang itu, dia tidak pantas bermimpi terlalu tinggi. Perhatian yang diberikan Pandu memang membuatnya senang, tetapi sampai kapan semua itu dapat bertahan? Mungkin Pandu akan sadar telah membuat kesalahan jika membaca sindiran-sindiran yang ditujukan kepada mereka berdua di internet.

Ketika mereka akhirnya sampai di lantai dasar, ponsel Vio berbunyi. Gadis itu buru-buru menepi untuk menerima panggilan yang masuk.

"Lo hari ini pulang cepet, nggak?" Suara riang Ale langsung menyapanya.

"Aku baru mau ke stasiun."

"Oke. Nanti malam, gue mampir, ya. Gue baru balik dari Lombok, nih, ada oleh-oleh buat lo. Dan lagu yang waktu gue buat pas jogging bare lo sudah gue rekam, nih. Gue pingin lihat reaksi lo pas dengerinnya."

Vio mengerjap. Ingin dia menolak dan mengajak Ale bertemu lain kali saja, tetapi akhirnya dia menyerah juga. Kalimat terakhir Ale berhasil membuatnya penasaran.

"Oke. Nanti, kabari saja. Aku tutup dulu ya, teleponnya."

Begitu Vio mengakhiri pembicaraan dengan Ale, Tasya bertanya, "Kenapa? Lo jadinya dijemput?"

Vio menggeleng. "Nggak, kok. Yuk, pulang." Dia melingkarkan tangannya ke lengan Tasya, lalu menyeret wanita itu meninggalkan kantor.

Hari itu, banyak sekali yang Vio pikirkan. Hubungannya dengan Pandu. Hubungannya dengan Ale. Masa lalunya. Masa depannya. Semua itu berputar-putar di kepala Vio seperti angin puting beliung yang mengacaukan konsentrasinya seharian. Untuk sejenak, Vio ingin tidak memikirkan apa pun selain jalanan Jakarta yang selalu macet dan gerbong kereta yang selalu penuh saat rush hour. Dia ingin berpura-pura hidupnya masih sama membosankannya dengan dulu, tidak rumit seperti sekarang.

* * *

Akhirnya rapat yang membosankan itu selesai juga. Pandu tidak mengerti dari mana orang-orang itu mendapat energi. Bahkan ketika jarum pendek jam telah lewat dari angka sepuluh, mereka masih saja bersemangat menyampaikan ide-ide baru.

Karunia Music Awards memang ajang penghargaan yang cukup besar. Banyak pihak yang terlibat. Tidak hanya musisi dan selebritis, acara itu juga akan dihadiri beberapa pejabat publik. Acara itu mendapat sorotan dari banyak orang, sehingga Direktur Kreatif tahun ini bertekad untuk menampilkan pertunjukkan yang megah akan selalu dikenang.

Saat peserta rapat yang lain mulai meninggalkan ruangan, Pandu masih tidak beranjak di kursinya. Di tengah rapat tadi, Kevin yang menjadi salah satu subkontraktor dalam acara tersebut memberi kode agar mereka mengobrol sebentar usai rapat.

"Gimana Yudhis?" tanya Kevin begitu akhirnya berhasil kabur dari rapat tidak resmi yang sempat diinisiasi salah seorang penyedia jasa.

"Baik. Besok harusnya dia sudah bisa pulang," kata Pandu sambil mengiringi Kevin keluar ruangan.

"Sorry, gue nggak bisa jenguk. Kemarin cuma Ajeng sama Keenan saja yang ke sana. Gue sibuk sama proyek ini, nih. Gila, ya, itu Creative Director yang sekarang ambis banget. Gue sampai nggak bisa ngitung lagi sudah berapa kali ganti konsep." Kevin mulai menggerutu. Kantung matanya memang terlihat lebih tebal, menandakan akhir-akhir ini jatah tidur pria itu banyak berkurang.

"Tapi, cuannya oke, kan?" tanya Pandu sembari menggesek-gesekkan ibu jari dengan telunjuknya.

"Untungnya iya. Makanya, walau ribet gue tetap kerjain." Kevin tergelak, lalu menepuk bahu Pandu dengan cukup keras. "Anyway, gue belum ngucapin selamat, nih, sama lo."

Pandu menatap tajam ke arah Kevin dengan kening yang berkerut. "Selamat buat?"

"Akhirnya, move on juga, kan, lo? Gue sempat lihat foto lo di Twitter. Itu ... cewek yang tempo hari, kan? Yang nemenin lo dan Yudhis ke family gathering?"

Langkah Pandu berhenti tiba-tiba. Kini, senyumannya tidak tampak lagi. "Foto apa, Kev?"

"Foto candid lo lagi nonton bareng cewek. Kalau lo sudah berani going out ke tempat publik kayak gini, berarti sudah resmi, kan?"

Pandu meminta Kevin menunjukkan foto yang dimaksud. Dia memang tidak terlalu aktif mengikuti gosip-gosip yang bereadar di media sosial. Selama ini dia hanya mengikuti akun teman-temannya atau tokoh terkenal yang menginspirasinya. Lebih dari itu, Pandu mempercayakan urusan media handling kepada agensinya. Jika ada isu tertentu yang perlu dia tanggapi, salah satu staf dari agensi akan menghubunginya.

"Kenapa, sih, orang iseng ada di mana-mana?" keluh Pandu, disusul dengan embusan napas yang keras. Dia sedikit lega. Foto tersebut tidak terlihat jelas, wajah Vio tidak terlihat. Selain itu, konten yang ditunjukkan Kevin juga tidak cukup ramai. Mungkin karena itu belum ada seorang pun dari agensi yang menghubunginya untuk klarifikasi.

"Sayangnya, gue juga nggak tahu jawabannya, Ndu." Kevin mengangguk-anggukkan kepala sembari memasang ekspresi prihatin. "Makanya, gue heran juga, sih. Tumben, lo bisa kecolongan. Sejak cerai sama Rani, lo kan jadi hati-hati masalah ginian."

Pandu mengedikkan bahunya. "Ya, mana gue tahu ada yang iseng moto di dalam bioskop yang gelap, bukannya perhatiin layar, malah kepoin penonton lain."

"Well, untungnya respon netizen lumayan oke, tuh. Mereka penasaran siapa gebetan baru Bapak Pandu Satria ini," ucap Kevin sebelum mereka berpisah di parkiran.

Di mobil, Pandu kembali memeriksa utasan yang tadi ditunjukkan Kevin di ponselnya sendiri. Perkataan Kevin memang benar, sejauh ini banyak respons positif. Namun, Pandu juga menemukan beberapa komentar sinis yang Pandu curigai berasal dari penggemar Maharani. Pandu memang pernah beberapa kali mendengar bahwa beberapa penggemar fanatik masih mengharapkan dia rujuk dengan Maharani. Sebuah kenyataan yang sampai sekarang susah Pandu pahami, untuk apa seseorang mengurusi hidup orang lain yang tidak dikenalnya sampai sebegitunya.

* * *

Vio telah berganti pakaian ketika Ale meneleponnya, jadi dia hanya melapisi piyamanya dengan kardigan tipis sebelum turun ke lobi untuk menemui lelaki itu.

Seperti biasa, Ale menyambutnya dengan seringai lebar dan mata berbinar-binar. Lelaki itu menyodorkan sebuah tas kain berwarna ungu ketika Vio duduk di sebelahnya. Berhubung malam sudah lumayan larut, mereka memutuskan mengobrol di salah satu sofa di lobi apartemen Vio.

"Wah. Thanks, Le," ucap Vio sambil mengintip isi tas. Dia menemukan sekotak dodol rumput laut, sehelai selendang tenun khas Lombok, dan sebuah gantungan kunci yang terbuat dari kerang laut. "Kapan kamu ke Lombok-nya, sih? Kok, nggak bilang-bilang?"

"Dua hari lalu. Habis kita makan bareng itu. Cuma sebentar doang, kok, di sana." Senyuman Ale sedikit memudar. "Lo juga nggak nyariin gue," katanya dengan nada merajuk.

Vio dihinggapi perasaan bersalah. "Maaf, akhir-akhir ini aku lumayan sibuk."

"Sibuk kerja atau ... sibuk jalan sama Pandu?"

Ale berbicara dengan intonasi dan ekspresi normal. Tidak ada tanda bahwa lelaki itu tengah marah kepada Vio, tetapi tetap saja rasa bersalah Vio tumbuh kian besar.

Melihat Vio yang salah tingkah, Ale melembutkan tatapannya. Dia juga berbicara dengan nada lebih lunak. "Nggak apa-apa, kok, Vi. Hak lo untuk jalan sama siapa, toh lo juga kenal Pandu duluan daripada gue. Lo juga belum jadi pacar gue, jadi lo juga nggak wajib cerita jalan sama siapa ke gue. Even, kita sudah jadian, pun, gue juga nggak bakal ngebatasin lo main sama siapa. Tapi ... gue mau mastiin satu hal, Vi."

Kalimat Ale menggantung di udara. Napas lelaki itu terdengar lebih berat, seakan hal yang akan dia ucapkan sangatlah penting baginya.

"Gue masih punya kesempatan, kan, Vi?"

Vio menelan ludah. Dia terdiam cukup lama.

"Aku ... nggak tahu, Le. Seperti yang pernah aku bilang, aku bahkan nggak tahu apakah aku bisa benar-benar jatuh cinta dan percaya sama orang lain."

"Tapi, lo sama Pandu juga belum jadian, kan?"

Vio menggeleng pelan. Hal itu sudah cukup bagi Ale. Artinya, dia masih memiliki kesempatan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top