21: Tapi rasanya seperti sudah lama banget

Kedua sudut bibir Ale refleks tertarik ke atas saat Vio keluar dari lift. Lelaki itu bangkit dari kursi dan menyambut Vio dengan tangan melambai di atas kepala untuk menarik perhatian.

Vio mengembuskan napas dengan kasar. Gegas dia menghampiri Ale agar lelaki itu berhenti bertingkah norak. Padahal tadi dia sudah meminta Ale untuk langsung bertemu di restoran yang telah mereka sepakati, tetapi Ale tetap memaksa untuk menjemputnya ke kantor

Vio bersyukur Tasya sudah pulang dulu sore tadi. Kalau wanita itu melihat Ale, pasti dia akan langsung heboh dengan asumsi-asumsinya sendiri. Suasana hati Vio akhir-akhir itu sudah cukup baru tanpa perlu direcoki oleh pertanyaan-pertanyaan Tasya.

"Lo lagi pingin makan apa, Violet Telolet?" tanya Ale dengan senyum jahilnya saat mereka berjalan menuju area parkir motor.

"Terserah," ketus Vio. Kakinya berderap cepat, ingin lekas kabur sebelum ada yang melihatnya jalan berdua dengan Ale. Tasya boleh saja sudah pulang lebih awal, tetapi wanita itu punya banyak mata-mata di sana.

Ale tergelak mendengar jawaban Vio. "Katanya lo bukan seperti cewek kebanyakan. Kok, balik lagi bilang terserah?" godanya.

"Kan, kamu yang ngajak. Ya, kamu yang putusin lah!"

Tawa Ale kembali merebak. Dia menawarkan makan bakmi di salah satu kedai yang sempat viral beberapa waktu lalu. Vio mengiakan saja karena tidak menemukan pilihan yang lebih baik dari yang ditawarkan Ale.

Area parkir motor terletak cukup jauh dari gedung kantor Vio. Belum lagi mereka harus memutar karena beberapa akses jalan pintas telah ditutup begitu lewat jam operasional. Sebenarnya, itu salah satu alasan Vio melarang Ale menjemputnya ke kantor. Lebih praktis bertemu di pinggir jalan atau di lokasi lain sekalian.

Untuk mengisi kekosongan yang menyelimuti mereka, Ale bercerita tentang proses pembuatan video klip salah satu lagunya. Vio berusaha menyimak dengan serius, tetapi konsentrasinya langsung buyar ketika balasan pesan dari Pandu masuk ke ponselnya.

Pandu Satria (Papa Yudhis):

Vio. Masih lembur?

Malam ini saya berencana pulang.

Saya jemput ya?

Vio tidak bisa lagi fokus mendengarkan cerita Ale. Pikirannya sibuk mempertimbangkan tawaran Pandu. Kalau saja tidak telanjur menerima ajakan Ale, rasanya dia ingin langsung mengiakan tawaran Pandu. Seberapa pun rasa kesalnya terhadap Pandu, hati kecilnya tetap merindukan pria itu.

"Pakai helm dulu, Violet."

Gadis itu tersentak ketika Ale memasangkan helm ke kepalanya. Saking asyiknya melamun, Vio sampai tidak sadar bahwa mereka telah sampai di parkiran motor. Sejak tadi dia hanya asal melangkah membuntuti Ale tanpa memperhatikan sekeliling.

Ale memberi kode agar Vio sedikit mengangkat dagu, supaya dia bisa mengaitkan tali helm yang dikenakan Vio.

Vio sedikit mendongakkan kepala. Mata mereka tak sengaja bertemu. Saat menyadari bahwa jarak mereka terlampau dekat, pipi Vio refleks memerah layaknya tomat.

"Ngelamunin apa sih, Vi?" Ale iseng bertanya

Vio pura-pura tidak mendengar pertanyaan itu. Tidak mungkin, kan, dia berkata jujur bahwa dirinya sedang melamunkan Pandu?

* * *

Hampir tiap hari Pandu harus menghadapi wartawan acara infotaiment. Dia juga baru saja didaulat untuk menjadi MC di sebuah acara penghargaan musik yang akan diselenggarakan dua bulan ke depan. Rapat pertama dengan penyelenggara acara sungguh melelahkan. Konsep acara yang belum jelas membuat topik yang dibahas hanya berputar-putar tanpa kejelasan.

Keadaan Yudhis telah membaik. Lengannya hanya memar, tidak ada cedera serius. Luka di kepalanya mendapat delapan jahitan, tetapi Pandu bersyukur putranya tidak sampai mengalami gegar otak. Tiga hari terakhir Maharani juga sedang sibuk–ada beberapa kontrak yang tidak bisa dibatalkan–sehingga mereka harus bergantian menemani Yudhis.

Pandu merasa sangat penat. Pada saat-saat seperti inilah dia sangat merindukan Vio. Gadis itu selalu punya cara untuk membuatnya tersenyum dan tertawa.

Akhirnya malam ini Pandu dapat pulang karena Maharani bisa menginap di rumah sakit. Yang terpikirkan pertama kali olehnya adalah menemui Vio. Rasanya tidak cukup hanya mengobrol lewat chatting dan telepon. Pandu ingin menatap kedua mata Vio dan melihat gadis itu tersenyum lembut kepadanya.

Vio 503:

Nggak perlu, Mas.

Ini aku sudah pulang.

Jawaban Vio membuat Pandu kecewa. Padahal dia sudah membayangkan akan bertemu gadis itu untuk meminta maaf secara langsung atas sikap abainya tempo hari. Pandu masih belum bisa memaafkan dirinya yang membiarkan Vio pulang sendiri dari rumah sakit. Waktu itu pikirannya terlalu kalut karena kondisi Yudhis dan laporan asisten Maharani tentang gosip yang beredar di internet.

Tadi siang, Pandu sempat berniat mengajak Vio makan siang bersama sekaligus menjenguk Yudhis, ternyata gadis itu sedang sibuk dengan pekerjaan. Jadwal Pandu hari itu juga cukup padat, sampai-sampai dia lupa membalas pesan Vio. Baru terpikirkan oleh Pandu untuk mengajak Vio pulang bersama selepas magrib.

Sudah di kereta?

Kalau masih di stasiun, saya jemput aja ya?

Pria itu masih melancarkan usaha. Pandu tidak tenang saat menyetir. Matanya terus melirik ponsel, menantikan jawaban Vio. Jika memang Vio belum di kereta, dia akan segera putar balik untuk menjemput gadis itu di stasiun.

Vio 503:

Belum.

Mau makan dulu bareng Ale, Mas.

Pop-up pesan dari Vio akhirnya terbaca oleh Pandu. Dia meninju bagian atas setir dengan sebal. Lagi-lagi pria itu memaki diri sendiri karena telah memberi jalan untuk Ale mendekati Vio. Kini dia kembali kalah langkah. Jika tidak berusaha mengejar ketinggalan, bukan tidak mungkin dia harus bersiap diri merelakan Vio untuk Ale.

Mobil yang dikendarai Pandu berhenti di lampu merah. Sebuah ide gila tiba-tiba menyeruak. Sedikit curang, tetapi menurut Pandu masih sah-sah saja dilaksanakan.

Pandu memeriksa dashboard mobilnya. Untung saja dia tidak lupa membawa kacamata yang biasa digunakannya untuk menyamar. Memang bukan penyamaran yang sempurna, tetapi dengan sedikit mengacak rambutnya, Pandu bisa kelihatan berbeda dengan sosok yang biasa dia tampilkan di televisi.

Orang-orang mungkin masih akan mengenalinya. Mungkin beberapa akan mencuri-curi memperhatikannya. Namun, kebanyakan orang akan ragu. Asal tidak bertemu dengan penggemar fanatiknya, tidak akan ada yang curiga.

Tanpa pikir panjang lagi, Pandu segera meraih ponsel dan menelepon Vio.

Pandu tersenyum sumringah saat Vio akhirnya menerima panggilannya. "Hai Vio. Kalian makan di mana? Kebetulan saya juga belum makan. Saya susul boleh?"

* * *

Raut wajah Ale jelas menggambarkan rasa tidak suka ketika melihat Pandu menyusulnya dan Vio ke kedai bakmi. Apalagi ketika dia melihat senyum dan sorot mata pria itu saat menyapa Vio. Ada yang berbeda. Pandu tidak lagi menyembunyikan rasa sukanya kepada Vio.

"Gimana Yudhis, Bro? Sori ya, gue belum sempat jenguk." Ale berusaha meredam rasa sebalnya. Diulurkannya tangan untuk menjabat tangan Pandu.

"It's okay, Le. Kondisi Yudhis baik, malah harusnya kemarin sudah boleh pulang dari rumah sakit, tapi mamanya ngotot minta Yudhis tetap dirawat sampai semua jahitan di kepalanya dilepas." Pandu beralih menatap Vio dan menyapa, "Hai, Vio. Lama nggak ketemu."

"Baru juga tiga hari, Mas," timpal Vio sambil tersenyum lebar.

"Tapi rasanya seperti sudah lama banget." Pandu melontarkan senyumnya yang selalu terlihat memikat. Senyum khas bintang iklan pasta gigi.

Ale mendengkus kesal, harusnya tadi dia tidak menyetujui saran Vio untuk mengajak Pandu makan bersama mereka. Dia menangkap binar yang berbeda dari wajah Pandu. Tidak ada keraguan yang tempo hari membayangi tiap kali dia bertanya tentang Vio pada duda satu anak itu. Pasti ada sesuatu yang telah terjadi di antara Pandu dan Vio. Sesuatu yang belum dia ketahui dan harus segera cari tahu.

"Tadi sudah sekalian kupesanin, Mas," ujar Vio memberitahu. Ternyata saat bertemu langsung dengan Pandu, rasa ragu yang menghantuinya tiga hari terakhir langsung sirna begitu saja. Senyumnya terkembang sempurna. Kekesalannya akan kejadian tempo hari pun luntur seketika.

Pandu mengucap terima kasih sembari menarik kursi di sebelah Ale untuk duduk. Sebenarnya dia ingin mengambil tempat di sebelah Vio, tetapi masih ada pengunjung lain yang duduk di sana. "Thanks, Vio. Proses rekrutmen pegawainya belum kelar?" Pandu membuka pembicaraan.

"Iya, Mas. Jumat ini aku harus sudah selesai ngerekap semua CV yang masuk karena minggu depan sudah mulai proses interview. Kalau nggak dilemburin, nggak bakal kelar." Vio mengeluarkan scrunchie dari tas, lalu mengucir rambutnya tinggi-tinggi.

Ale yang duduk di antara mereka merasa menjadi obat nyamuk. Dia menatap Pandu sebal dan menyindir, "Mau tukeran tempat duduk, Ndu? Biar lebih enak ngobrolnya?"

"Boleh. Kalau lo nggak keberatan," jawab Pandu santai sembari bersiap menggeser posisi.

Tatapan tajam Ale mengarah kepada Pandu. Kini, Ale benar-benar yakin bahwa ada sesuatu yang terjadi antara Pandu dan Vio. Sikap Pandu sungguh berbeda dengan beberapa hari lalu. Ada kepercayaan diri yang kentara terlihat pada mantan suami Maharani itu.

Ale terpaksa bergeser karena termakan omongan sendiri. Kini dia semakin terpinggir. Pandu dan Vio asyik membicarakan perkembangan Yudhis. Berulang kali Pandu menyampaikan bahwa Yudhis sangat kangen dengan Tante Vionya, sekaligus mengisyaratkan bahwa dia sendiri pun rindu pada gadis itu. Semua itu membuat Ale semakin merasa kesal.

"Gue dengar lo ditunjuk jadi host Karunia Musik Award ya, Ndu?" Ale memutuskan ikut dalam pembicaraan. Berusaha mengalihkan topik agar dua orang di hadapannya tidak sibuk berbincang sendiri dan mengabaikannya.

"Iya. Baru kemarin kontraknya deal. Udah nyebar, ya, beritanya?" Pandu menoleh pada Ale yang sejak tadi dia punggungi.

"Yup. Gue dikasih tahu Mbak Raras. Maharani kabarnya juga jadi salah satu pembaca nominasi. Gue baru dapat undangan dari panitia."

"Kamu dapat undangan juga, Le? Masuk salah satu nominasi?" tanya Vio dengan antusias. Dia menelengkan kepala agar dapat menatap Ale yang terhalang tubuh Pandu.

Melihat binar di mata Vio, Ale merasa senang. Akhirnya topik utama bergeser kepada dirinya, bukan hal-hal yang hanya diketahui Pandu dan Vio.

"Sebenarnya belum ada pengumuman resmi, sih, tapi Mbak Raras dapat bocoran kalau lagu gue yang jadi soundtrack film Cinta di Seberang Rumah masuk nominasi original soundrack terbaik," terang Ale dengan bangga.

"Wow, congratz, Le. That's really awesome!" Vio memberi selamat kepada Ale. Sebagai penggemar lagu-lagu Ale sejak, dia turut merasa bahagia. "Tapi aku belum sempat nonton Cinta di Seberang Rumah," sambung gadis itu sem.

"Kata Mbak Raras, versi director's cut-nya lagi mau tayang ulang di bioskop. Ntar nonton yuk, Vio," ajak Ale begitu melihat kesempatan. Mengingat keterlibatannya sebagai cameo dalam film tersebut, tentu tak sulit untuk mendapatkan dua tiket gala premiere.

"Gue juga belum nonton, Le. Boleh sekalian ikut, kan?" celetuk Pandu sembari menggeser tubuhnya untuk memutus kontak mata Ale dengan Vio.

Ale tidak tahu apakah yang menggelegak di dadanya sekarang adalah rasa cemburu atau sekadar ego yang terluka karena tidak menjadi bintang utama di hadapan Vio. Yang jelas, kehadiran Pandu berhasil menyulut emosinya.


========

Ceritamela:

Halohalo. 

Menurut kalian part ini gimana?

Jujur, part ini salah satu part kesukaanku karena ...

lucu aja lihat 2 pria dewasa bertingkah kek anak kecil rebutan sesuatu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top