20: Maaf sudah bikin Mas Pandu khawatir
Vio terbangun dengan perasaan tidak menentu. Setelah berhasil mengumpulkan kesadaran, ingatan tentang peristiwa semalam menghantam dadanya dan membuat sesak. Malam kemarin dia seperti sedang naik rollercoaster. Setelah dibuat melambung tinggi oleh kata-kata Pandu, hatinya seakan dihempaskan ke bumi oleh kenyataan.
Sebelum turun dari tempat tidur, Vio memeriksa ponselnya terlebih dahulu. Ternyata ponselnya masih mati. Semalam, ponsel Vio kehabisan daya saat gadis itu sedang berada di dalam taksi. Ketika sampai di apartemen, dia mengisi daya ponselnya tanpa sempat menyalakannya lebih dulu.
Begitu ponselnya menyala, rentetan pesan dari Pandu berduyun-duyun masuk.
Pandu Satria (Papa Yudhis):
Maaf ya, Vio.
Tadi saya terlalu serius diskusi dengan Rani
sampai nggak sadar kamu pulang duluan
–
Vio, kamu sudah sampai apartemen, kan?
–
Vio, sudah tidur ya?
Saya malam ini menginap di tempat Arumi,
lebih dekat dari rumah sakit
–
Vio. Sudah bangun?
Hari ini saya ambil cuti,
ingin menemani Yudhis rontgen.
Maaf nggak bisa berangkat bareng kamu.
Vio duduk terpekur membaca isi pesan Pandu berulang-ulang kali. Suara Pandu seolah memantul-mantul di telinganya. Selama ini, Vio tidak pernah ambil pikir dengan gaya Pandu saat berbicara dengannya. Hanya butuh beberapa hari bagi Vio untuk meninggalkan segala formalitas dan berbicara santai kepada pria itu. Sebaliknya, Pandu masih menggunakan 'saya' untuk menyebut dirinya saat berbicara dengan Vio, padahal saat berbicara dengan orang lain dia dapat bersikap lebih santai.
Perlu usaha keras bagi Vio untuk menyingkirkan aura negatif yang memenuhi pikirannya. Dia tidak bisa benar-benar mengabaikan Pandu. Bukan saatnya untuk merajuk. Masih ada hal yang lebih penting untuk dipikirkan, yaitu keadaan Yudhis.
Maaf, Mas.
Semalam aku langsung tidur.
Gimana keadaan Yudhis?
Tanda centang biru langsung muncul beberapa detik kemudian, menandakan bahwa Pandu telah membaca pesan yang dikirimkan Vio. Tidak lama berselang, ponsel Vio melantunkan lagu Ale yang memang kupasang sebagai ringtone. Nama Pandu berkedip-kedip di layar..
"Syukurlah kamu baik-baik saja. Saya semalaman khawatir karena kamu nggak balas pesan. Saya takut terjadi hal buruk ke kamu. Saya sampai menghubungi satpam untuk memastikan kamu sudah sampai di apartemen," kata Pandu begitu teleponnya tersambung.
"Maaf sudah bikin Mas Pandu khawatir." Hanya itu yang dapat Vio ucapkan. Dia tidak tahu harus memberi respons apa. Ada sedikit perasaan senang yang terselip di hatinya ketika tahu Pandu memikirkannya, tetapi tetap saja Vio tidak dapat melupakan kejadian semalam.
"Kamu nggak salah. Saya yang salah. Seharusnya saya nggak biarin kamu pulang sendiri," kata Pandu. "Saya hari ini mau langsung ke rumah sakit. Kamu nggak apa-apa, kan, berangkat sendiri hari ini?"
"Nggak apa-apa Mas. Aku sudah biasa naik kereta. Keadaan Yudhis bagaimana?"
"Semalam dia sempat bangun sebelum saya pulang ke tempat Arumi. Dia menangis, mungkin karena efek biusnya mulai hilang. Tapi, tadi kami sempat video call-an, Yudhis sudah terlihat ceria seperti biasa."
"Syukurlah. Salam buat Yudhis ya, Mas. Aku mau siap-siap ke kantor dulu." Vio tidak ingin memperpanjang obrolan mereka. Rasanya dia masih masih merasa canggung berbicara dengan Pandu setelah peristiwa semalam. Terlalu banyak perasaan yang tumpang tindih di hatinya saat inu.
"Nanti akan saya sampaikan. Hati-hati di jalan ya, Vio."
"Terima kasih, Mas."
"Oh ya, tunggu Vio!" Pandu berusaha mencegah Vio menutup telepon. "Mungkin beberapa hari ke depan saya akan sibuk ngurus Yudhis. Kita sepertinya akan jarang ketemu untuk sementara waktu, tapi kalau semua urusan sudah beres. Boleh saya melanjutkan apa yang telah saya mulai semalam?"
"Maksud, Mas Pandu?"
"Saya serius ingin mencoba meyakinkan kamu untuk menerima saya, Vio. Izinin saya mengenal kamu lebih dekat. Bantu saya mengejar ketinggalan dari Ale. Saya ingin mendengar semua cerita tentang kamu."
* * *
"Eh, Vi! Kemarin lihat insta-nya Lambe-lambean ga?" Wajah bulat Tasya menyembul dari balik tumpukan berkas di meja Vio. Sambil bicara, bibirnya menjepit sedotan yang tertancap di gelas kopinya.
"Aku, kan, nggak follow akun-akun begituan, Tasy. Memangnya kamu!" timpal Vio dengan wajah datar. Dia hanya melirik sekilas kepada Tasya, lalu kembali memusatkan perhatian kepada tabel-tabel yang terlihat di layar komputernya.
Meski Vio tidak terlihat berminat mendengarkan informasi yang dibawanya, Tasya terus mengoceh, "Ada video anak Maharani yang dievakuasi ke rumah sakit. Katanya sih, anaknya naik-naik tangga di stage gitu pas Maharani lagi GR buat acara kontes kecantikan kemarin. Netizen langsung ngehujat dia, dibilang nggak becus ngurus anak. Kasihan, deh."
Gerakan jari Vio yang tengah mengetik sempat terhenti. Gadis itu langsung teringat Yudhis. Sudah tiga hari bocah itu dirawat di rumah sakit. Walaupun Pandu bekata Yudhis baik-baik saja, tetap saja Vio merasa cemas.
"Terus ya ampun, Vi. Itu mantannya si Maharani perasaan tambah ganteng saja, deh. Bener-bener hot daddy. Pas ngasih konferensi pers kemarin, dia belain Maharani. Padahal kalau habis cerai biasanya, kan, pada nggak mau saling ngomong tuh, malah biasanya saling sindir gitu. Ini mereka masih kelihatan akur, kayaknya benar, deh, mereka itu masih ada rasa.
"Jangan-jangan gara-gara kejadian ini mereka jadi CLBK. Apalagi kabarnya kontrak Maharani yang sama agensi di luar negeri itu sudah mau habis. Bisa saja ntar dia memilih stay di Indonesia terus rujuk sama mantannya itu." Tasya terus berceloteh meski Vio sama sekali tidak menanggapi.
Tiba-tiba, Vio merasa ada yang janggal di dada. Seperti sesak, tetapi napasnya tetap normal. Entahlah, Vio tidak bisa mendeskripsikan apa yang dia rasakan sekarang. Tiga malam lalu, dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Pandu begitu akrab dengan mantan istrinya. Walaupun Pandu berkata masih berniat mendekati Vio, gadis itu masih saja tidak percaya diri. Vio merasa tidak mungkin gadis seperti dirinya sepertiku menggantikan perempuan yang punya segalanya seperti Maharani.
"Lo serius banget, sih, kerjanya. Santai dikit, Vi. Bos lo, kan, lagi meeting di luar," ledek Tasya sembari meletakkan segelas kopi dingin di atas meja Vio. Tadi, dia memang membeli satu lagi untuk Vio.
"Lagi meeting di luar bukan berarti dia berhenti neror aku, Tasy. Perasaan, tiap tiga puluh menit tanya progress. Padahal ngerekap data applicants segini banyak, kan, buuh waktu lama," keluh Vio. Tangannya meraih gelas kopi dan mulai mengaduk isinya dengan sedotan.
Meski pekerjaan tambahannya benar-benar menguras waktu, energi, dan emosi, Vio mensyukurinya. Dia jadi mempunyai pengalihan agar tidak terus-terusan memikirkan Pandu dan segala hal yang membuat hubungan mereka berdua penuh ketidakpastian.
"Eh, ngomong-ngomong. Lo beberapa hari terakhir ini nggak dianterin temen lo itu lagi? Nggak lagi marahan, kan?" celetuk Tasya.
Sayangnya, Vio memiliki teman seperti Tasya yang memiliki kadar rasa ingin tahu jauh melebihi orang lain. Tanpa bisa Vio cegah, bayang-bayang Pandu kembali memenuhi kepalanya. Meski Vio telah berusaha mengabaikan Tasya, wanita itu terus saja menanyainya macam-macam. Untung saja, Tasya segera beranjak pergi karena harus menghadiri suatu rapat.
Vio pikir, kepergian Tasya akan memberikan ketenangan baginya. Akan tetapi, ternyata kesunyian yang membekapnya terasa begitu menyesakkan. Tidak bisa fokus bekerja, Vio akhirnya menyibukkan diri dengan ponselnya. Tanpa Vio sadari, jemarinya kembali membawa ke sebuah aplikasi penyedia jasa konseling. Semalam dia sempat iseng membuat akun di aplikasi tersebut. Dia juga sempat melihat paket-paket konseling yang ditawarkan.
Sejenak Vio merasa ragu. Otaknya sibuk mempertimbangkan banyak hal. Vio memejamkan mata sembari mengatur napas. Setelah merasa cukup mantap, Vio akhirnya mengklik tombol yang tertera di layar ponselnya untuk memilih paket konseling. Mungkin, memang sudah saatnya dia berbagi kegelisahan dengan orang lain, orang luar yang tidak mengenalnya di dunia nyata. Dengan begitu, dia dapat melepaskan sedikit beban pikirannya sambil tetap berpura-pura bahwa rahasianya masih tersembunyi dengan rapi.
* * *
Pandu Satria (Papa Yudhis):
Vio. Hari ini pulang jam berapa?
Yudhis nanyain kamu.
Sempat ke RS nggak?
Saya jemput, ya?
Pesan dari Pandu masuk ke ponsel Vio dua jam yang lalu. Namun, gadis itu masih belum sempat membalasnya karena masih mengikuti rapat dengan kepala divisi.
Sudah tiga hari mereka tidak bertemu. Pandu belum pulang ke apartemennya. Dia memiluh menginap di tempat Arumi atau di rumah sakit. Saat Pandu menelepon Vio semalam, pria itu sedang menunggui Yudhis karena Maharani harus menghadiri suatu acara.
Usai rapat, Vio termenung cukup lama dikursinya, memikirkan jawaban apa yang harus dia berikan untuk Pandu. Setelah cukup lama menimbang-nimbang, dia akhirnya mengetik pesan balasan.
Malam ini aku harus lembur Mas.
Salam saja buat Yudhis ya.
Baru saja Vio meletakkan ponselnya, benda itu kembali berkedip sebagai tanda adanya pesan yang baru masuk. Kali ini dari pengirim yang berbeda. Ale.
Lembah Jiwa (Ale):
Violet. Ntar malam jalan yuk.
Kali ini, Vio langsung mengetik jawaban, tidak perlu banyak berpikir untuk menjawab tawaran Ale.
Aku harus lembur, Le.
Beberapa detik kemudian ponsel Vio berdenting lagi. Balasan dari Ale langsung dia terima hanya dalam hitungan detik.
Lembah Jiwa (Ale):
Nggak papa. Gue rela nunggu.
Seselesainya lo aja.
Ntar gue bisa ngemil dulu.
Gue jemput ya?
Vio memandangi layar ponselnya. Pesan yang dia kirimkan kepada Pandu telah bertanda centang biru, tetapi belum ada tanggapan dari pria itu. Yang masuk justru pesan susulan dari Ale.
Lembah Jiwa (Ale):
Shareloc kantor lo dong,
nanti gue jemput ke kantor.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top