19: Perkenalkan, saya Rani. Mamanya Yudhis.
Pandu tidak berbicara sepatah kata pun selama menyetir. Bibirnya terus terkatup rapat, tidak ada senyum yang biasa menghiasi wajahnya. Setiap kali arus lalu lintas tersendat, dia akan mengetuk-ngetukkan jarinya ke setir dengan tidak sabaran. Terlihat jelas bahwa pria itu tengah gusar.
Di kursi penumpang, Vio juga bungkam. Dia memutuskan diam, tidak ingin mengusik Pandu dengan pertanyaan-pertanyaan tidak penting. Dia rasa Pandu juga tidak membutuhkan kalimat-kalimat penghiburan yang klise diucapkan.
Akhirnya, kemacetan di depan mereka sedikit terurai. Pandu menginjak gas dan terus melajukan mobilnya membelah jalanan ibu kota. Sekarang, Vio tidak hanya mencemaskan Yudhis, tetapi juga Pandu. Pria itu tampak tidak fokus, seakan ada kabut yang membayangi kepalanya.
Setelah berhasil mengumpulkan keberanian, Vio menyentuh tangan kiri Pandu yang berada di atas tuas pengatur kecepatan. Telapak tangan Pandu terasa sangat dingin. Vio menyelipkan jari-jarinya ke sela-sela jemari Pandu, berharap dengan begitu dia dapat membagi sedikit kehangatan kepada pria yang tengah gelisah itu.
Pandu menoleh sekilas. Bibirnya melafalkan terima kasih tanpa suara, lalu dia kembali mengarahkan pandangan pada jalanan di depan. Rasa hangat yang dia rasakan dari genggaman Vio berhasil mengusir sedikit rasa cemasnya. Sayang sekali, Pandu terpaksa melepaskan tangan Vio karena perlu menggunakan kedua tangannya di kemudi, agar tidak kehilangan kendali atas mobilnya yang tengah melaju dengan kecepatan tinggi.
Ketika mereka sampai di rumah sakit swasta yang mereka tuju, sudah terdapat kerumunan orang di lobi rumah sakit. Sebagian di antara orang-orang itu terlihat membawa kamera. Pandu mengusap wajahnya dengan kasar saat melihat beberapa mobil stasiun televisi yang parkir di ujung jalan.
"Mereka wartawan, Mas?" tanya Vio memastikan.
"Iya. Tadi Rani sudah ngingetin, sih. Yudhis jatuh saat lagi nemenin Rani gladi resik acara beauty pageant yang akan dihadiri Rani besok. Beberapa wartawan yang datang untuk meliput persiapan acara besok sempat mengabadikan insiden tersebut. Beritanya langsung nyebar ke mana-mana, tapi saya nggak ngira di sini bakal seramai ini," terang Mas Pandu sambil mengarahkan mobil melewati lobi untuk langsung menuju tempat parkir.
Tidak bisa membendung rasa penasarannya, Vio mengeluarkan ponsel dan mengetikkan nama mantan istri Pandu di kolom pencarian. Benar kata Pandu. Beberapa video Yudhis ditayangkan di beberapa kanal berita. Media sosial pun ramai membicarakan insiden itu.
"Manajer Rani lagi coba take down foto-foto dan video yang menyebar. Sebagian komentar negatif sudah masuk ke akun medsos Rani. Banyak yang ngata-ngatain dia nggak becus jaga anak. She was quite depressed when we talked."
"Ya, Tuhan. Mereka, kan, nggak tahu kejadian yang sebenarnya. Apa nggak punya empati sampai harus ngatai-ngatain begitu? Mana ada ibu yang dengan sengaja membiarkan anaknya terluka. Bukannya ngasih support, orang-orang itu malah nambah-nambahin beban moral." Walau Vio tidak mengenal Maharani secara langsung, tetap saja dia merasakan simpati terhadap wanita itu. Sudah jatuh lalu tertimpa tangga pula. Vio rasa peribahasa itu dapat menggambarkan kondisi Maharani sekarang.
Pandu memarkir mobilnya di area yang memang disediakan khusus untuk tamu VVIP. Mereka dapat turun tanpa khawatir ditodong para wartawan yang memang telah siaga di rumah sakit. Area itu dijaga ketat. Lift yang tersedia di sana juga langsung menuju ke lantai tujuh, tempat dirawatnya para pasien yang mampu membayar lebih. Tidak sembarang orang bisa mengaksesnya. Para pemburu berita itu tidak dapat asal menyelinap ke lantai limat tanpa ketahuan petugas keamanan.
Rumah sakit tempat Yudhis dirawat memang sering menjadi rujukan orang-orang kalangan atas karena menawarkan keamanan dan privasi bagi para pasien VVIP-nya. Tentu harus merogoh kocek cukup dalam untuk dapat memperoleh pelayanan dari rumah sakit itu. Beruntungnya Yudhis memiliki orang tua seperti Maharani dan Pandu yang tidak akan kesulitan membayar tagihan.
Vio mengekor di belakang Pandu sambil memperhatikan sekeliling. Tampilan lorong rumah sakit itu malah mengingatkannya pada hotel bintang lima, bukan sebuah rumah sakit. Kamar tempat Yudhis dirawat rupanya jauh lebih mencengangkan. Kamar itu memiliki sebuah ruang tamu dan ruang makan sendiri. Terdapat tirai yang memisahkan kedua area itu dengan ranjang pasien. Furniturnya pun lebih lengkap dari apartemen studio yang Vio huni.
Melihat kehadiran mantan suaminya, Maharani langsung berdiri dan menghambur ke pelukan Pandu. Wanita itu mengulang cerita, membagikan segala kekhawatiran yang dia rasakan. Dari ceritanya, Vio akhirnya tahu bahwa Yudhis terpeleset saat iseng memanjat tangga yang digunakan kru perlengkapan untuk memasang ornamen di langit-langit.
"I am so sorry, Mas. Maaf aku sudah lalai jagain Yudhis. Aku memang bukan ibu yang baik." Suara Maharani mendayu manis di sela isak tangis.
"Gimana keadaan Yudhis?" tanya Pandu sambil mengusap rambut Maharani yang digelung rapi.
Vio refleks memalingkan muka. Tidak sanggup menyaksikan adegan itu. Tubuhnya tiba-tiba terasa kaku seperti seonggok pajangan yang menghiasi ruangan. Ada perih yang hinggap di hatinya saat menyadari kehadirannya di ruangan itu tidak berarti. Dia merasa berada di tempat dan waktu yang salah.
"Kepalanya luka dan tangannya memar. Luka di kepalanya sudah dijahit. Besok pagi-pagi sekali tangannya harus di-rontgen untuk memastikan nggak ada tulang yang retak atau sendi yang bergeser." Wanita yang pernah dinobatkan sebagai wanita tercantik se-Asia itu terus tersedu.
"Sudah. Jangan terus menyalahkan diri sendiri, Ran. Semua ini memang sudah takdir. Mungkin ini akan jadi pelajaran buat Yudhis agar dia lebih hati-hati."
Vio bingung harus melakukan apa. Harusnya dia langsung pulang saja tadi, tidak perlu ikut ke rumah sakit. Dia merasa kehadirannya malam itu justru hanya seperti nyamuk yang mengganggu Pandu dan mantan istrinya.
Kemesraan yang Maharani dan Pandu tunjukkan membuat Vio mempertanyakan ketulusan Pandu beberapa saat lalu. Bukankah belum selang sejam sejak pria itu mengungkapkan perasaannya? Lalu, kenapa sekarang pria itu tidak memedulikannya sama sekali? Seakan dia hanyalah sebutir debu di ruangan itu.
Tadi, Vio merasa hatinya penuh bunga-bunga kebahagiaan, tetapi kini dia tidak yakin lagi apakah perasaan Pandu terhadapnya itu nyata. Tiba-tiba saja tebersit di pikirannya bahwa Pandu sekadar bingung menerjemahkan perasaan. Mungkin saja Pandu tidak benar-benar menyukainya. Mungkin Pandu hanya sekadar merasa nyaman mereka kebetulan sering menghabiskan waktu bersama beberapa bulan terakhir.
Vio sendiri masih belum yakin dengan perasaannya. Mungkin karena terlalu terbiasa menghabiskan waktu dengan Pandu, dia merasa terlalu nyaman dan salah menafsirkan hal itu sebagai perasaan cinta.
"Oh ya. Perkenalkan, Ran! Ini Vio, yang sering diceritakan Yudhis. Kebetulan kami sedang bersama saat kamu telepon tadi." Pandu akhirnya menyadari kehadiran Vio. Rasa bersalah terselip di hatinya, tetapi dia pikir saat itu bukan waktu yang tepat untuk meminta maaf. Pandu rasa Vio akan mengerti.
Maharani mengulurkan tangannya. "Perkenalkan, saya Rani. Mamanya Yudhis."
Mata Maharani terlihat bengkak karena habis menangis. Dia menyimpul senyum untuk menyapa Vio. Walaupun wajahnya polos tanpa riasan tetap saja kecantikannya terpancar. Meski enggan, Vio mengakui bahwa wanita di hadapannya itu benar-benar sempurna seperti seorang dewi. Vio sama sekali tidak bisa menemukan cela di sosok Maharani.
Mungkin spekulasi yang beredar di internet tentang hubungan Pandu dan Maharani benar adanya. Dari adegan yang Vio saksikan, terlihat jelas bahwa mereka masih saling peduli. Tentu akan menjadi akhir yang lebih bahagia bagi semua orang, terutama Yudhis, jika mereka berdua kembali rujuk.
"Violet." Vio menyebutkan namanya dengan sisa-sisa kepercayaan diri yang terserak. "Saya turut prihatin dengan kejadian yang menimpa Yudhis."
"Senang sekali akhirnya bisa ketemu kamu. Yudhis sering sekali cerita tentang kamu. Ah, dia pasti senang sekali jika tahu Tante Vio-nya ada di sini. Sayang dia sedang tidur karena efek obat bius."
"Boleh aku melihat Yudhis," Pandu menyela.
"Tentu saja boleh. Kamu, kan, ayahnya." Rani menyibak tirai dengan gerakan yang begitu anggun. Pandu mengikutinya di belakang.
Vio melihat Yudhis tengah terlelap di atas ranjang. Rasanya pecuma saja mengikuti Pandu dan Maharani. Yudhis tidak akan menyadari kehadirannya. Vio merasa lebih baik dia menunggu di ruang tamu. Mengetahui bahwa kondisi Yudhis telah stabil sudah cukup membuatnya lega.
Pandu akhirnya menyadari posisi Vio yang masih bertahan di ruang tamu. Dia berhenti melangkah dan menoleh kepada gadis itu. "Kamu nggak ikut? Dari tadi kamu, kan, juga mengkhawatirkan Yudhis?"
Pertanyaan Pandu justru makin membuat Vio kebingungan. Tentu saja dia ingin memastikan keadaan Yudhis. Namun, berdiri di sebelah Pandu dan Maharani hanya akan mempertegas statusnya sebagai 'orang luar'. Membayangkannya saja sudah membuat nyali Vio ciut Dia bahkan masih belum bisa berbaur dengan keluarga baru orang tuanya. Selamanya dia akan tetap menjadi 'orang luar' bahkan dalam keluarganya sendiri. Tersisih, terasing, terlupakan. Dia tidak ingin merasakan hal yang sama malam itu.
Kepala Vio menggeleng lemah. "Sebaiknya aku tunggu di sini saja, Mas. Takutnya malah ganggu. Yudhis pasti butuh istirahat."
"Nggak masalah, kok, Violet. Yudhis mungkin malah nggak sadar kalau kita di sini. Mungkin besok dia baru bangun." Kini Maharani yang bersuara.
Vio kembali menolak. Baik Pandu maupun Maharani akhirnya menyerah. Sambil menunggu, Vio membaca majalah rumah sakit yang lebih banyak berisi iklan daripada artikel yang bermanfaat.
Sesekali Vio mengintip ke dalam. Melalui tirai yang sedikit tersibak, dapat dia lihat Pandu menyentuh pucuk kepala Yudhis yang sedang tertidur di atas ranjang.
Tidak lama kemudian, seorang dokter masuk ke kamar. Dia menyempatkan diri untuk tersenyum menyapa Vio, lalu bergegas menghampiri ranjang tempat Yudhis berbaring. Dokter itu hanya memeriksa Yudhis sebentar, lalu keluar lagi dengan langkah tergesa.
Setelah itu, seorang wanita bertubuh mungil masuk dengan tergesa-gesa. Di tangannya terdapat laptop dan lembaran-lembaran kertas yang tampak berantakan. Hak sepatunya berderap di lantai. Vio mengenali wanita itu sebagai asisten Maharani yang kerap muncul di televisi menjadi juru bicara.
Tidak memiliki kegiatan lain untuk dilakukan, Vio diam-diam mengintip apa yang tengah terjadi di dalam kamar. Asisten Maharani membiarkan tirai setengah terbuka, sehingga Vio leluasa memperhatikan. Sayang dia tidak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan karena wanita itu berbicara dengan pelan. Vio hanya dapat melihat wanita itu menunjukkan layar laptop kepada Pandu dan Maharani.
Pandu menarik Maharani dan asistennya agak menjauh dari ranjang tempat Yudhis tertidur. Mereka menuju area di dekat kamar mandi dan berbincang cukup lama, kali ini dengan suara yang lebih pelan dari sebelumnya. Vio mulai merasa tidak nyaman dengan kondisinya sekarang. Terasing dan terlupakan.
Pesan yang dia kirimkan ke ponsel Pandu belum juga dibaca pria itu. Lima belas menit berlalu tanpa kepastian, akhirnya Vio memutuskan pulang sendiri dengan memesan taksi. Pandu bahkan tidak menyadari saat Vio membuka pintu dan meninggalkan kamar itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top