18: Terus, aku mesti ngapain, Mas?
"Please say something, Vio! Sekarang saya jadi ngerasa awkward sendiri. Jujur, rasanya saya ingin kabur saking malunya," tutur Pandu disusul dengan derai tawa yang terdengar begitu canggung. Raut wajahnya memancarkan rasa gugup. Pandu tidak menyangka, di usianya sekarang jantungnya masih bisa berdebar-debar layaknya anak muda yang sedang dimabuk cinta.
Vio masih belum bersuara. Ditatapnya Pandu setengah tidak percaya. Gadis itu menggigit bibir bagian bawah, sementara tangannya sibuk memilin-milin ujung taplak meja yang menjuntai jatuh menutupi kakinya.
Bahkan sampai lima menit kemudian, Pandu dan Vio hanya saling tatap tanpa bicara. Tidak seperti biasanya, malam itu, mereka kesulitan merangkai obrolan karena hanyut dalam kegelisahan masing-masing.
Pandu menghela napas dengan cukup keras, lalu memaksakan diri untuk tersenyum. Kedua matanya yang cemerlang seolah kehilangan sumber cahaya, tampak redup berselimut rasa kecewa.
"Maaf kalau sudah buat kamu tersinggung. Anggap saja saya nggak pernah ngomong apa-apa," kata Pandu lirih.
"Aku nggak tersinggung, kok," ucap Vio. Kepalanya bergerak turun demi menghindari tatapan Pandu. "Aku hanya nggak tahu harus ngomong apa. Karena aku nggak bisa menjanjikan apa-apa ke Mas Pandu."
Sorot mata Pandu terlihat begitu lembut ketika dia mengamati Vio. "Kamu nggak perlu janji apa-apa, cukup kasih saya kesempatan yang sama dengan Ale." Pandu melanjutkan dengan nada memohon. "Kamu dan Ale belum resmi jadian, kan? Saya masih punya kesempatan, kan?"
"Aku juga nggak menjanjikan apa-apa ke Ale. Kemarin, aku cuma ngasih Ale kesempatan. Itu saja. Karena jujur, Mas, sampai sekarang aku masih belum bisa bayangin menjalin komitmen serius dengan orang lain. Aku belum siap kalau suatu saat nanti ternyata hubungan itu gagal. Aku ...," suara Vio tersekat. Gadis itu menumpukan lengan ke atas meja sembari berusaha mengatur napas. Jari-jemarinya saling meremas untuk meredam gumpalan tangis yang tiba-tiba muncul.
"Aku takut suatu saat bakal berakhir kayak kedua orang tuaku, Mas," lanjut Vio. "Aku nggak pingin anak-anakku nanti mengalami trauma yang sama kayak aku, karena aku tahu gimana sulitnya tumbuh di keluarga broken home. Sudah lebih sepuluh tahun sejak orang tuaku cerai, tetap saja aku kesulitan kalau harus membicarakan hal itu dengan orang lain."
Pandu memberanikan diri menyentuh punggung tangan Vio. "Saya juga takut, Vio. Sampai sekarang, saya masih khawatir harus melewati lagi fase perpisahan yang menyakitkan seperti yang terjadi antara saya dan Rani. Makanya, saat kemarin Ale cerita kalau dia mau ngedeketin kamu, saya nggak bisa ngomong apa-apa. Saya merasa nggak pantas bersaing dengan Ale. Tapi ternyata, saya juga nggak sanggup ngelepas kamu begitu saja."
Sudah lama Pandu tidak mengutarakan perasaannya dengan sejujur itu. Setiap kata diucapkannya dengan sarat emosi.
"Yang jelas, saya nggak seperti Ale yang masih bebas. Saya punya Yudhis yang akan selalu berada di daftar teratas prioritas hidup saya. Belum lagi, saya juga akan terus komunikasi dengan Rani demi Yudhis." Pandu menelan ludah, seperti ada duri yang mengganjal di tenggorokannya.
"Saya bisa paham kalau suatu saat kamu lebih memilih Ale. Tapi, sebelum saat itu datang, let me take my chance, Vio. Seenggaknya, izinkan saya mencoba untuk membuktikan bahwa saya dapat mengatasi segala ketakutan saya demi kamu," pinta Pandu sepenuh hati.
Hening kembali mencipta jarak di antara dua orang yang sedang duduk berhadapan itu. Keduanya sedang menyelami isi hati masing-masing, mencoba membuka segala tabir dan jujur kepada diri sendiri.
Meskipun Pandu merasa begitu gugup, dia berusaha untuk tetap duduk tegak dan menatap Vio tanpa gentar. Baginya, itulah ujian pertama. Dia telah memutuskan mengutarakan isi hati dan kepalanya, kini dia harus menerima konsekuensinya. Apa pun keputusan Vio, Pandu akan berusaha menerimanya dengan lapang dada. Setidaknya, dia telah mencoba, tidak menyerah begitu saja.
Pandu sadar, hatinya dipenuhi retakan dan bekas luka. Dia tidak bisa menawarkan cinta yang utuh kepada Vio. Bekas-bekas luka dari masa lalunya itu mungkin juga tidak akan pernah hilang. Akan tetapi, setidaknya ketika bersama Vio, Pandu berhasil melupakan nyeri yang selalu menderu-deru di dadanya setiap kali teringat betapa banyak kegagalan yang dia lalui. Pandu ingin menjadi sebab yang sama untuk Vio. Dia ingin menjadi orang yang meringankan sakit yang Vio alami karena luka masa kecilnya.
"Terus, aku mesti ngapain, Mas?"
"Tetap bersikap seperti biasa, Vio. Tapi, tolong jangan cuma lihat saya sebagai papanya Yudhis. Lihat saya sebagai Pandu. Seorang pria dewasa yang sedang berusaha dekat dengan kamu dan memahami segala hal tentang kamu. Pria yang masa lalunya nggak sempurna, tetapi berusaha menjadi versi terbaik dirinya buat kamu."
Pandu tidak sedang meminta Vio menjadi kekasihnya atau meminang gadis itu menjadi istrinya. Dia hanya meminta sebuah kesempatan untuk Vio pertimbangkan. Namun setelah mengucap kalimat terakhir itu, dia seakan kehilangan tenaga. Debaran jantungnya menjadi makin tidak terkendali. Menyadari dia tidak mungkin menarik pengakuannya, Pandu kini diselimuti rasa cemas jika kenekatannya itu justru membuat Vio menjauh.
Pandu belum siap jika gadis itu tiba-tiba memilih pergi. Kehadiran Vio seperti candu baginya. Dia tidak dapat membayangkan seberapa berat sakau yang akan dideritanya jika harus kehilangan Vio sekarang.
Detik-detik yang dilewati selama menunggu jawaban Vio seakan berjalan lambat. Jantungnya terus memompa darah dengan kecepatan tinggi, menyebar gelisah ke sekujur tubuhnya. Pandu terus merutuk dirinya sendiri dalam hati. Harusnya dia tak tergesa memperkenalkan Vio kepada Ale. Mungkin dengan begitu, dia tidak perlu terburu-buru mengungkapkan perasaan seperti sekarang.
Di seberang Pandu, Vio masih saja menundukkan kepala. Kali ini, serbet makan di meja menjadi media penyaluran rasa gelisahnya. Gadis itu meremas serbet erat-erat hingga buku-buku jarinya memucat.
"Awalnya, aku memang melihat Mas Pandu itu sepaket dengan Yudhis. Kayak paket bundling buy one get one free. Aku nggak tahu pasti mulai kapan, yang jelas sebelum Mas Pandu minta seperti sekarang pun, aku sudah melihat Mas Pandu sebagai entitas yang terpisah dari Yudhis, bukan cuma sebagai papanya Yudhis. Aku merasa nyaman ngobrol dengan Mas Pandu ya karena pribadi Mas Pandu, nggak ada hubungannya sama Yudhis."
Ada jeda panjang yang ditinggalkan Vio sementara dia berusaha menemukan kalimat yang tepat untuk diucapkan.
"Sebenarnya, aku bukan ngasih kesempatan kepada Mas Pandu atau Ale. Tapi, aku sedang ngasih diriku sendiri kesempatan untuk berani melawan segala rasa takut dan cemas yang selama ini mencegahku buat jatuh cinta sama orang lain."
Pandu mengembuskan napas lega. Udara di sekitarnya seakan terasa lebih manis. Pundaknya terasa begitu ringan, seperti ada beban berat yang baru saja diangkat dari sana. Kini, Pandu dapat merasa tenang karena Vio telah memberikan lampu hijau untuknya.
Malam itu, mereka memang tidak banyak berkata-kata ketika menikmati makanan yang terhidang di hadapan mereka. Cukup kedua mata mereka saja yang saling bicara.
Cahaya lampu yang menimpa wajah Vio membuat kulitnya tampak berpendar keemasan. Berkali-kali Pandu mencuri pandang pada gadis berambut ikal yang duduk di seberangnya itu.
Dahulu, Pandu kira Maharani adalah wanita tercantik yang pernah dia temui. Mungkin banyak orang juga begitu, kecantikan Maharani telah diakui dunia. Mantan istrinya itu bahkan pernah dinobatkan sebagai wanita tercantik seantero Asia. Namun menurut Pandu kini, tidak ada yang lebih cantik dari Violet Andriana. Pandu menyukai setiap garis dan lekuk wajah gadis itu.
Ketika akhirnya mereka berhasil menghabiskan makanan masing-masing, seorang pelayan dengan sigap mengangkat piring-piring kosong dari meja mereka. Tidak lama kemudian, seorang pelayan yang lain datang mengantarkan sepotong lava cake sebagai pencuci mulut untuk mereka berdua.
Pandu mengambil garpu dan menyodorkannya kepada Vio. "Would you take the honor?" tawarnya.
Bagian paling menarik dari memakan sepotong lava cake adalah ketika kue dipotong dan lelehan cokelat mengalir keluar. Tentu saja Vio tidak menolak tawaran Pandu. Dia mengambil garpu dan menggunakannya untuk membelah kue cokelat itu. Seiring dengan cokelat kental yang meleleh keluar, aroma cokelat memenuhi udara. Vio kembali memotong kue dengan garpu menjadi bagian yang lebih kecil, lalu mencelupkannya ke dalam pasta cokelat sebelum menyantapnya.
"Mas Pandu nggak makan?"
Pandu mengambil garpu yang tersisa dan bersiap mengambil jatahnya. Akan tetapi, ponselnya keburu berbunyi, melantunkan lagu Ale sebagai nada dering. Pandu mengumpat di dalam hati dan berjanji akan mengganti nada dering dengan lagu lain sehabis ini.
Nama Maharani tertera di layar, membuat Pandu mengerutkan kening. Tidak biasanya Maharani menelepon malam-malam begini jika Yudhis tidak sedang bersama Pandu. Bukankah tadi wanita itu bilang akan mengikuti gladi resik sebuah acara yang besok akan diikutinya?
Pandu meletakkan kembali garpu yang dia pegang. Vio yang sedang memotong kue untuk kedua kalinya menyadari perubahan ekspresi Pandu. Diperhatikannya pria itu dengan penasaran. Tidak dia pedulikan lelehan cokelat yang meluber keluar dari bagian yang ia potong. Konsentrasinya sedang terpusat pada Pandu.
"Ya? Ada apa? Nggak, kok, aku lagi makan di luar." Kerutan di kening Pandu tampak makin dalam. Bibirnya pun tidak lagi mengulas senyum.
"Kok bisa? Kapan?" tanya Pandu dengan nada yang cukup tinggi. Setelah itu, dia terdiam dan menyimak penjelasan Maharani dengan serius, "Sekarang kalian di mana? Oke. Aku segera ke sana."
Rentetan pertanyaan yang diajukan Pandu kepada orang di seberang telepon makin membuat Vio penasaran. Tampaknya ada kabar penting yang membuat lelaki itu terlihat panik. Ketika Pandu menatapnya, Vio langsung dapat menebak bahwa sesuatu yang buruk baru saja terjadi.
"Maaf, Vio. Barusan itu Rani. Dia ngasih tahu kalau Yudhis habis jatuh. Kepalanya bocor dan tangannya cedera. Kalau kita langsung ke rumah sakit sekarang, apa kamu keberatan?"
Vio seperti merasakan jantungnya baru saja merosot dari rongga dadanya. Rasa cemas langsung menggerogotinya. Tanpa pikir panjang, Vio langsung mendorong kursinya ke belakang dan bangkit berdiri.
"Mana mungkin aku keberatan, Mas. Tentu saja kita harus ke rumah sakit sekarang. Kita harus memastikan kalau Yudhis baik-baik saja," ujar gadis itu. Rasa cemasnya tergambar jelas dari getaran suaranya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top