16: Belum tentu dia mau sama lo!

Beberapa menit sebelum pukul sembilan, bel pintu apartemen Pandu menjerit berkali-kali. Pandu langsung tahu siapa yang dengan iseng memencet bel bertubi-tubi seperti itu. Hanya ada satu orang tak sabaran dan kurang kerjaan yang berani melakukan hal itu. Arumi Kinanti, adiknya sendiri.

Benar saja, wajah Arumi langsung menyapanya begitu pintu terbuka. Sambil melepas kacamata hitam keluaran brand terkenal, gadis itu langsung nyelonong masuk ke unit apartemen kakaknya tanpa permisi. Arumi bahkan tidak mau repot-repot meletakkan sepatu hak tingginya di rak. Dibiarkannya sepatu berwarna merah menyala itu tergeletak begitu saja di area vestibula.

"Kata Rani sejak semalam Yudhis menginap di tempatnya. Aku ke sini untuk memastikan Mas Pandu baik-baik saja," terang gadis itu tanpa basa-basi. Langkahnya terhenti begitu melihat sebuah jumper abu-abu tersampir di sofa ruang tamu. Tubuh semampainya mendadak membeku.

"Semalam Ale menginap di sini." Pandu menjelaskan tanpa ditanya. Menurutnya, percuma juga berbohong kepada Arumi. Gadis itu punya radar yang kuat jika menyangkut Ale.

Arumi menoleh kepada kakaknya. Matanya membulat tak percaya. "Dia masih di sini?" tanya gadis itu setengah berisik. Telapaknya menempel ke pipi seolah dengan begitu suaranya tidak dapat didengar orang lain.

Setelah melihat gelengan kepala Pandu, gadis itu mengembuskan napas lega.

"Lagi lari pagi ke CFD," jelas Pandu.

"Tumben si Ale main ke CFD pagi-pagi begini. Biasanya dia paling malas bangun pagi di weekend, kecuali lagi ada job," cebik Arumi. Meski bertahun-tahun tidak bertemu Ale, dia yakin lelaki itu tidak akan banyak berubah. Sulit mengubah kebiasaan yang telah mendarah-daging bertahun-tahun. Jauh sebelum berpacaran dengan Ale, mereka berdua telah saling mengenal. Arumi telah hafal segala keburukan dan kebaikan Ale.

Arumi menghempaskan tubuh ke sofa. Dia menjauhkan jumper Ale ke lantai dengan ujung jari sambil memasang ekspresi jijik.

Pandu ikut duduk di samping Arumi. "Biasa. Lagi coba modusin cewek," ujarnya.

"Cewek? Siapa? Tinggal dekat sini?" cecar Arumi penasaran. Diam-diam dia masih mengikuti sepak terjang Ale. Bukan karena cemburu atau semacamnya, Arumi hanya murni penasaran dengan siapa Ale sedang dekat.

"Yap. Penghuni lantai lima. Cewek yang kapan hari nemenin Yudhis ikut lomba bakiak pas acara family gathering. Violet." Wajah Pandu berubah muram. Tadi, Ale sudah mengajaknya ikut serta, tetapi rasa gengsi membuatnya menolak ajakan itu. Tidak butuh waktu lama untuk membuatnya menyesal. Begitu Ale menutup pintu, Pandu harus menahan diri untuk tidak bergegas menyusul.

"Loh? Bukannya cewek itu lagi dekat sama Mas Pandu? Yang kemarin Yudhis ceritain itu, kan? Ah, sembarangan si Ale itu. Teman sendiri dia tikung juga. Kayaknya memang perlu dikasih pelajaran tuh anak. Kirain sudah tobat." Arumi merepet. Dia semakin merasa jengkel kepada lelaki itu.

"Aku dan Vio cuma temenan, Rum. Semalam juga sudah kujelaskan hal itu ke Ale. Jadi nggak ada yang menikung dan ditikung. Ale bebas kalau memang ingin ngedeketin Vio. Toh mereka sama-sama single."

Arumi mengamati kakaknya lamat-lamat, berusaha membaca ekspresi Pandu yang sebenarnya. Gadis berpenampilan modis itu menatap Pandu khawatir. Dia sudah kenal kakaknya sejak lahir. Arumi sudah hafal di luar kepala bahwa Pandu memang lebih suka mengalah dan menghindari konflik berkepanjangan, meski harus mengorbankan diri sendiri.

Beberapa media sempat berspekulasi bahwa Pandu bercerai karena terlalu posesif dan merasa insecure dengan karier Maharani yang lebih gemilang. Berbagai tuduhan buruk dilayangkan kepada pria itu oleh para penggemar Maharani, tetapi Pandu sama sekali tidak peduli. Bisa saja dia membeberkan aib Maharani untuk membersihkan namanya. Namun, Pandu tidak ingin image Maharani jatuh jika masyarakat tahu bahwa istrinya berselingkuh dengan rekan sesama model. Pandu tidak ingin ibu dari putranya dihujat banyak orang.

Arumi tahu pasti bahwa Pandu adalah tipe pria yang lebih meprioritaskan orang lain daripada kepentingannya sendiri. Jika Ale sempat bercerita bahwa menyukai gadis itu, Arumi curiga Pandu dengan sengaja memilih mundur.

"Are you sure, Mas? Mas Pandu yakin nggak keberatan kalau Ale deketin cewek itu?" Arumi memastikan. Dia tidak ingin Pandu menyabotase kebahagiaannya sendiri. Pandu berhak untuk jatuh cinta dan dicintai lagi. Bukankah Maharani juga telah move on dan berencana menikah dalam waktu dekat? Kalau tidak salah ingat, Arumi pernah mendengar gosip itu dari salah satu kenalannya.

Pandu berusaha menghindari tatapan Arumi. Dia khawatir Arumi dapat membaca isi hatinya jika mereka saling tatap. Hubungan mereka sebagai kakak-adik memang sangat dekat, terutama sejak ibu mereka meninggal. Ketika akhirnya mereka memutuskan mengadu nasib ke Jakarta, mereka hanya memiliki satu sama lain.

"Aku nggak berhak melarang, Rum. Aku cuma tetangga Vio yang kebetulan sering menghabiskan waktu bersamanya karena kebetulan anakku akrab dengan dia."

Arumi memandangi wajah Pandu dengan sorot iba. Dia tahu Pandu berbohong. Tidak hanya membohonginya, tetapi juga membohongi diri sendiri. Ingin sekali dia membantah alasan Pandu, tetapi Arumi sadar dia tidak berhak terlalu ikut campur. Bagaimanapun juga mereka adalah dua orang dewasa yang punya batas privasi masing-masing.

Pada akhirnya, Arumi mengangkat bahu dan berkata, "Ya, sudah. Terserah Mas Pandu. Aku harap Mas Pandu nggak akan menyesali keputusan ini. Saat masih ada kesempatan, Mas nggak berbuat apa-apa. Jangan menyesal kalau kesempatan itu direbut orang lain. Apalagi Mas Pandu sudah lama kenal Ale. Sekali tetapin target, dia pasti kejar sampai dapat."

* * *

Ale masuk ke apartemen Pandu dengan hidung mengendus-endus sekitar. Aroma parfum yang dia kenal masih tertinggal di udara. Matanya menatap tajam pada Pandu, meminta penjelasan.

"Arumi datang ke sini," terang Pandu membenarkan kecurigaan Ale. Dia memang masih kesal pada Ale, tetapi ekspresi panik lelaki itu berhasil membuatnya geli.

"Dia masih di sini?" tanya pemuda itu sambil melangkah mundur, seperti bersiap kabur.

Pandu mengusap wajahnya sambil tertawa. Rasanya seperti deja vu dengan kejadian pagi tadi saat Arumi baru datang. Sejak Ale dan Arumi putus beberapa tahun lalu, mereka berdua terus saling menghindar.

"Sudah buru-buru pulang tadi. Malas ketemu kamu."

Ale bersiul lega mendengar jawaban Pandu. Dia belum siap jika harus bertemu Arumi. Entah apakah dia akan pernah siap. Perpisahan mereka adalah kesepakatan bersama, tetapi tetap saja rasanya sebal jika ingat alasan Arumi meninggalkannya.

"Nih, bubur! Vio tadi nitip buat Lo." Ale menyodorkan sebuah bungkusan plastik kepada Pandu.

Hati Pandu tiba-tiba terasa hangat. Bibirnya menyimpul senyum ketika menerima bungkusan itu dari tangan Ale. Sekadar mengetahui Vio masih mengingatnya ketika sedang pergi bersama pria lain sudah cukup membuat harinya lebih cerah.

"Jadi gimana jalan-jalannya?" Pandu tak bisa menyembunyikan rasa penasaran.

"Seru. She is so adorable. Cuma lari pagi bareng dia aja sudah bikin gue terinspirasi nyiptain satu lagu. Gimana kalau dia beneran pacaran sama gue coba?" Tingkah Ale benar-benar seperti orang kasmaran.

Senyum di wajah Pandu hilang dengan cepat, berganti kerutan di dahi dan mulut yang memberengut. "Jangan kegeeran dulu. Belum tentu dia mau sama lo!" sergahnya sebal. Sekarang dia menyesal telah bertanya.

"Well, at least dia sudah ngasih gue lampu hijau."

"Maksud lo?"

"Ya tadi gue bilang terang-terangan kalau gue suka sama dia dan pingin kenal lebih dekat. Gue bilang kalau track record gue memang buruk, tetapi kali ini gue ingin coba serius sama dia. Gue pingin pertemanan kami jelas arahnya, bahwa gua menyimpan harapan untuk dapat naik level jadi pacar dan mungkin pendamping hidupnya."

Wajah Pandu makin terlihat muram, seperti baru saja mendengar kabar kematian orang yang dia kenal. Belum selang sejam sejak Arumi menasihatinya agar tidak menyesal jika kesempatan yang dimilikinya direbut orang lain, kini dia sudah merasakan penyesalan itu. Sifatnya yang terlalu berhati-hati dan penuh ragu jusru membukakan jalan bagi Ale untuk melangkah lebih maju. Pandu bingung dengan perasaannya sendiri. Semalam dia dapat berkata mantap mengizinkan Ale mendekati Vio. Pagi ini dia ingin menarik kembali ucapannya dan meminta sahabatnya menjauhi gadis itu.

"Gue tadi juga memastikan ke Vio, sih, tentang hubungan kalian. Sama kayak yang gue bilang semalam ke lo, gue nggak mau jadi orang ketiga di hubungan kalian berdua."

"Terus ... Vio bilang apa?" Pandu menatap wajah sahabatnya dengan serius. Rasa penasaran jelas terbayang di sorot matanya.

"Dia bilang, kalian dekat karena Yudhis. Sebagai anak broken home, Vio ngerasa kagum dengan cara lo membesarkan Yudhis. Makanya dia senang menghabiskan waktu bareng lo dan Yudhis."

Kini Pandu benar-benar menyesal. Dia telah ketinggalan begitu jauh. Meski sudah menebak-nebak tenang latar belakang Vio, Pandu tidak pernah mendengar langsung Vio bercerita tentang keluarganya. Gadis itu selalu menghindar saat dia bertanya.

Semalam, Pandu memang berkata bahwa dia tidak masalah jika Ale mendekati Vio. Namun, dia pikir tidak akan secepat ini Ale menyatakan perasaannya kepada Vio. Pandu pikir, dia masih memiliki banyak kesempatan untuk menikmati kebersamaannya dengan Vio. Sekarang, dia tidak tahu harus bersikap bagaimana jika harus bertemu gadis itu. Seharusnya, Ale tidak perlu bercerita sedetail itu. Atau mungkin, harusnya Pandu tidak perlu memancing-mancing bertanya.


========

Ceritamela:

Halo-halo.

Kalau schedule gini jadi agak bingung ya mau cuap-cuap apa.

jadi saya mau bilang aja, semoga kalian sehat selalu.

Terima kasih banyak ya sudah mampir.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top