14: Lo yakin nggak lagi naksir Violet, kan, Bro?

Pandu tidak menyangka akan bertemu Vio selarut itu. Selama ini, Vio sering berkata bahwa dia tidak terlalu suka menghabiskan waktu di luar. Namun, yang lebih mengagetkan Pandu adalah saat melihat sosok Ale yang masuk bersama dengan Vio.

Ale tidak mengabari akan mampir ke apartemennya, jadi Pandu menyimpulkan lelaki itu bukan datang untuk menemuinya. Selain itu, gerak-gerik Ale dan Vio terlihat akrab. Mau tidak mau, Pandu pun bertanya-tanya sejak kapan Ale dan Vio sedekat itu?

"Baru pulang, Vio?" tanya Pandu. Sengaja diabaikannya Ale yang datang bersama gadis itu. Pandu teringat pada pesan-pesan yang dikirimkan Ale kepadanya, dan hal itu membuatnya kesal.

"Nggak sih, Mas. Sudah sekitar satu jam lalu. Tadi, kami ngobrol dulu di taman depan," jawab Vio sambil tersenyum ramah. Satu tangannya menunjuk ke arah taman. Dia sama sekali tak menyadari bahwa Pandu sedang berusaha meredam emosi yang tiba-tiba menguasai.

"Eh, Bro. Lo baru mau makan?" Ale melirik kotak pizza di tangan Pandu.

"Iya." Pandu menjawab singkat. Dia sedang malas berbasa-basi dengan temannya itu.

Sekali lagi, Pandu menyesali keputusannya memperkenalkan Vio kepada Ale. Sepertinya Ale tidak sedang bercanda ketika bilang tertarik pada Vio. Meski waktu itu Pandu berkata dia tidak berhak melarang, tetap saja dia tidak rela jika Vio dekat dengan Ale.

Suasana canggung menyelimuti mereka. Selama menunggu lift datang, mereka bertiga hanya terdiam. Ale membenamkan kedua tangannya ke saku celana. Kakinya terus mengetuk-ngetuk lantai, sementara Pandu terus menatap layar penanda posisi lift.

Vio yang merasakan ketegangan yang terbentuk di antara kedua pria yang mengapitnya menjadi bertanya-tanya apakah Ale dan Pandu pernah bertengkar sebelumnya. Rasa-rasanya, kedua pria itu terlihat akrab saat mereka bertemu di kafe beberapa bulan lalu.

Lift yang mereka tunggu telah tiba. Ketiganya langsung masuk tanpa banyak bicara. Ketika sampai di lantai lima, Vio dan Ale turun dari lift. Pandu melongok ke luar lift. Sebelah kakinya menahan agar pintu lift tidak menutup.

"Lo mau ke mana, Le?" Suara keras Pandu membuat langkah Vio dan Ale terhenti.

"Tempat Vio. Mau numpang ke toilet." jawab Ale santai.

Pikiran Pandu langsung dipenuhi kecurigaan. Ale sudah sering main ke apartemennya. Mustahil jika Ale tidak tahu bahwa ada toilet di dekat lobi yang bisa digunakan pengunjung. Jika hanya hendak buang air kecil, Ale bisa menggunakan toilet itu, tidak perlu sampai menumpang di tempat Vio.

Tata letak apartemen Vio kembali terbayang di kepala Pandu. Unit apartemen yang dihuni adalah adalah tipe studio. Ruang tamu dan kamar tidur tergabung menjadi satu, hanya ada rak buku yang menjadi penyekat. Terlebih lagi, gadis itu tinggal sendiri. Otak Pandu langsung panas saat membayangkan apa yang dapat dilakukan Vio dan Ale berduaan di kamar seperti itu. Pandu mengenal Ale cukup lama untuk tahu sahabatnya itu punya banyak cara memikat hati wanita.

"Ke tempat gue aja, Le!" tegas Pandu. Dari nada bicaranya, Pandu tak sedang menawari, tetapi memerintah.

Ale mengangkat bahu dengan malas. Dia melempar senyum kepada Vio yang tampak bingung.

"Ya, sudah, deh. Gue ke tempat Pandu saja, ya, Vio? Jangan lupa simpan nomor gue!" pinta Ale sebelum pergi.

Pandu dan Ale tak saling bicara selama lift mengantarkan mereka ke lantai sebelas. Begitu Pandu membuka pintu, dia langsung mempersilakan tamunya untuk menggunakan kamar mandi.

Ale justru melemparkan diri ke sofa ruang tamu. "Gue nggak beneran kebelet, kok. Tadi gue cuma cari alasan buat mampir tempat Vio. Ngerusak rencana gue aja sih Lo, Ndu!" gerutunya.

"Maksud lo apa, sih? Sengaja cari kesempatan? Sudah gue bilang kan kalau Vio itu bukan seperti cewek-cewek yang biasa lo pacarin? Jangan mainin perasaannya!" Suara Pandu meninggi. Ucapan Ale tadi membuatnya makin berang.

"Nggak usah ngegas, Bro! Gue nggak sebrengsek yang lo pikirin. Gue cuma mau lihat doang daleman apartemennya. Kan, kata lo, kita bisa menilai orang dari bagaimana dia mengurus rumahnya." Ale justru terkekeh mendengar pertanyaan Pandu.

Pandu membuang muka. Dia sendiri heran kenapa segala yang berhubungan dengan Vio selalu ia sikapi secara berlebihan.

Ale mengamati wajah sahabatnya lekat-lekat. "Lo yakin nggak lagi naksir Violet, kan, Bro?"

Pandu terdiam. Apa pantas dia menyukai Vio? Dia seorang duda beranak satu, sedangkan Vio masih begitu muda. Gadis itu berhak mendapatkan pasangan yang lebih baik.

"It's okay kalau lo suka dia, Ndu. Gue akan mundur sebelum melangkah terlalu jauh. Mumpung gue belum serius pedekatein dia."

Pandu tak merespon pertanyaan Ale. Dia beranjak ke dapur untuk mengambil minum. Kerongkongannya tiba-tiba terasa kering.

"Gue cuma nggak pingin dia patah hati ketika lo tinggalin. Kami berteman baik. Jangan sampai hubungan gue, Yudhis, dan Vio ikut-ikutan rusak cuma gara-gara kalian putus," ujar Pandu dari dapur.

"Gue putus dengan Arumi, buktinya lo dan Arumi baik-baik saja," bantah Ale.

"Beda lah, Le! Gue dan Arumi saudaraan, nggak mungkin ikut putus hubungan. Itu saja sudah ngeribetin gue buat atur biar kalian nggak ketemu. Tapi, gue dan Vio itu cuma teman. Sebagai orang yang sudah ngenalin dia ke Lo, gue pasti merasa bersalah kalau suatu saat dia patah hati gara-gara lo. Dan nggak ada yang ngikat kami. Gue nggak bisa cegah dia kalau dia mau ngejauhin gue."

Ale menyusul Pandu ke dapur. Raut wajahnya terlihat serius ketika menatap Pandu. "Gue nggak bisa janji nggak bakal ninggalin dia karena bagaimanapun jodoh itu tergantung takdir Tuhan. Tapi, kalau gue bilang akan berusaha sebaik mungkin untuk ga nyakitin dia, apa lo bakal izinin gue ngedekatin Vio? "

Tidak ada jawaban. Pandu tengah sibuk memikirkan segala kemungkinan yang terjadi.

"Atau gini, deh. Kalau ternyata hubungan gue dan Vio nggak berhasil. Gue nggak akan sakit hati kalau lo ikut ngejauhin gue. Jadi, lo bisa terus berada di sisi Vio. Lo bisa hibur dia dan tetap jadi teman dia."

Pandu meletakkan gelasnya dengan kasar. Dia memalingkan muka, tak berani menatap Ale. "Gue nggak berhak ngelarang. Toh, gue bukan siapa-siapanya Vio. Tapi, gue harap barusan lo nggak cuma asal ngomong. Sekali lagi gue tekanin. Vio itu gadis baik-baik. Perlakukan dia dengan baik!"

"Oke. Gue memang suka gonta-ganti pacar, tapi gue bukan orang yang suka ingkar janji." Sorot mata Ale tajam menusuk saat menegaskan lagi niatnya. "Gue sudah ngasih lo kesempatan, jangan menyesal dengan keputusan lo. Mulai sekarang gue akan serius ngedekatin Vio. Kalau suatu saat lo ingin bersaing ngedapetin Vio, gue akan dengan senang hati meladeni. Meski lo sahabat gue, jangan harap gue akan mengalah."

Sekuat tenaga Pandu berusaha menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Jika saja bisa, dia sangat ingin mencegah Ale mendekati Vio. Sayangnya malam itu logika berperan lebih kuat dari hatinya. Menurut perhitungan Pandu, dirinya sama sekali tak pantas bersanding dengan Vio. Tak ada haknya untuk menghalangi lelaki lain mendekati gadis itu.

* * *

Ale hanya meninggalkan jejak berupa tempat tidur yang berantakan di kamar tamu. Sosoknya tak terlihat lagi di apartemen Pandu. Semalam pemuda itu memang memutuskan menginap. Alasan yang dikemukakan Ale adalah karena sudah kemalaman dan ingin menemani Pandu yang sedang ditinggal Yudhis sendirian. Tentu saja itu bukan alasan utama. Jelas sekali bahwa Ale sudah merencanakan langkah yang lebih agresif untuk mengambil hati Vio. Hal itu terbukti dari pesan yang baru saja dikirimkannya ke ponsel Pandu.

Ale - LJ:

Bro, gue lagi jalan ke CFD bareng Vio.

Lo nitip sesuatu ga?

Pandu sama sekali tak berminat membalas pesan itu. Hatinya sungguh jengkel. Entah apakah dia akan terbiasa jika kelak tidak bebas lagi menemui Vio ketika gadis itu sudah menjadi milik orang lain. Pandu sepenuhnya sadar bahwa hubungannya dengan Vio juga baru seumur jagung. Hanya saja sejak pertemuan pertama, dia sudah merasa cocok dengan Vio. Hubungan mereka mengalir begitu saja, seolah telah saling kenal sejak lama.

Untuk meredakan emosi, Pandu berselancar di dunia maya. Ternyata Rani sedang menayangkan aktivitasnya bersama Yudhis secara siaran langsung melalui media sosial. Hal ini membangkitkan rasa rindu Pandu kepada putra semata wayangnya. Dia bergeser ke unggahan yang lain agar tak terbawa perasaan. Jemarinya membawa pada unggahan yang baru dibagikan Ale. Terlihat foto Vio tampak belakang saat gadis itu sedang memilih-milih aksesoris di salah satu lapak kaki lima. Ale melengkapi foto itu dengan tulisan 'The muse for my latest song'.

Ada yang berderak patah di dada Pandu. Ale memang sering sekali berganti pasangan, tetapi dia selalu menyimpannya rapat-rapat. Pemuda itu lebih suka menonjolkan diri lewat prestasi, bukan sensasi. Tak pernah sekalipun Ale membagikan foto wanitanya di media sosial. Jika dia sampai mengunggah foto Vio, artinya ucapannya semalam tak main-main.

Dengan sejarah kisah percintaannya, Ale mungkin bukan sosok yang ideal bagi Vio. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan dirinya, Pandu merasa Ale jauh lebih pantas. Jarak usia Ale dan Vio pun hanya lima tahun, sedangkan Pandu lebih tua sepuluh tahun dari gadis itu.

Merasa tidak tahan lagi sendirian di rumah, Pandu menyambar kunci mobil dan bergegas turun ke parkiran. Dia perlu mengusir perasaan-perasaan negatif yang tengah memenuhi hatinya.

=======

Ceritamela:

Mas Panduuu. Jujur aja kenapa, sih?

Ntar nyesel lo... 


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top