13: Jadi menurut lo, gue ganteng?
"Seriusan Yudhis bilang begitu?" tanya Ale di sela tawanya ketika Vio bercerita tentang awal mula perkenalannya dengan Pandu dan Yudhis.
Sejak tadi, Vio terus saja tertawa. Ale sangat pintar melontarkan candaan yang memancing tawa, membuat dinginnya angin malam tidak terasa sama sekali. Vio merasakan sepercik kehangatan mengaliri dadanya, membuatnya lupa pada segala rasa gelisah yang mengusiknya seharian itu.
"Iya. Gimana aku nggak kaget coba? Pas lagi bengong, tiba-tiba ada anak kecil tanya aku mau gantiin mamanya apa nggak."
"Terus lo mau begitu saja?" Ale telah menghabiskan porsi kwe tiaunya dan kini fokus menatap Vio.
Gadis itu mengangkat bahu. "Mana tega aku nolak anak sepolos Yudhis. Lagipula aku tahu rasanya dikecewakan orang tua seperti itu. Aku pernah berada di posisi Yudhis."
Ale merapikan ikatan rambutnya. Kedua matanya menatap tajam ke arah Vio"Maksud lo ... sebagai anak broken home?"
Vio terkesiap. Tidak menyangka Ale dapat menebak langsung tepat sasaran. Tanpa sadar, Vio telah berbagi rahasianya dengan Ale. Bahkan, Pandu yang lebih dulu dikenalnya belum tahu tentang latar belakang keluarganya. Setiap kali Pandu bertanya tentang masa lalu Vio, gadis itu selalu menghindar.
"Kalau begitu sama dong. Gue juga produk hasil broken home," terang Ale sambil tersenyum lebar, seakan apa yang dia bicarakan bukanlah hal yang menyakitkan. Dia mengulurkan tangan ke arah Vio untuk mengajak bersalaman.
Ragu-ragu, Vio menyambut tangan Ale. Tentu saja, kali ini bukan pertama kalinya Vio bertemu sesama anak broken home seusianya. Hanya saja, dia terkesima dengan sikap Ale terkesan tidak ambil pusing berbagi hal-hal yang bersifat pribadi.
Ale melanjutkan ceritanya dengan santai. "Tetapi gue nggak seberuntung Yudhis yang orang tuanya masih sama-sama perhatian. Sejak nyokap gue pergi, gue nggak pernah ketemu dia lagi. Kalau Lo? Apa cerita Lo?"
Perasaan ragu masih menyelimuti Vio. Dia tidak pernah menunjukkan bagian dirinya yang masih terluka oleh perceraian kedua orang tuanya. Selama ini, Vio menyimpan semuanya sendiri. Belajar menerima dan melanjutkan hidup, walau sebenarnya jiwanya tidak pernah benar-benar sembuh.
"Aku masih sering ketemu kedua orang tuaku. Secara material, mereka selalu memenuhi kebutuhanku. Tapi ... mereka sama-sama sudah punya keluarga baru dan aku nggak pernah merasa benar-benar menjadi bagian di dalamnya. Aku seperti orang asing yang dipaksa datang ke acara-acara keluarga mereka. Cuma formalitas saja, bukan karena mereka pingin aku benar-benar ada di sana." Suara Vio bergetar ketika dia mengungkapkan kisahnya kepada Ale. Tanpa alasan yang jelas, Vio tidak keberatan berbagi rahasia dengan Ale.
"Well. Semua itu masa lalu. Sekarang yang penting itu gimana lo membentuk keluarga lo sendiri di masa depan. Gimana lo berusaha nggak melakukan hal yang sama ke anak-anak lo nanti!"
Tatapan Ale seolah membius Vio. Lelaki itu terlihat begitu optimis, sungguh berkebalikan dengan Vio yang selalu dihantui rasa cemas.
"Justru itu. Aku nggak berani membangun keluarga sendiri, bahkan untuk sekadar memikirkannya pun aku nggak berani. Gimana kalau aku gagal kayak kedua orang tuaku? Gimana kalau ujungnya aku justru nyakitin orang yang harusnya aku cintai? Memangnya kamu nggak pernah kepikiran kayak gitu, Le?" Tawa Vio mengambang di udara. Sejauh ini, dia hanya berpikir tidak ingin terluka seperti kedua orang tuanya. Tidak pernah terpikirkan olehnya untuk melihat dari sisi yang berbeda, dari sisi harusnya perceraian kedua orang tuanya dapat menjadi pembelajaran untuknya agar tidak mengulangi kesalahan yang serupa.
"Kepikiran, tapi bukan berarti kita harus nyerah. Justru dari bokap dan nyokap gue belajar buat jujur sama diri sendiri. Kalau gue suka sama orang, gue akan bilang suka. Kalau gue sudah nggak ada rasa lagi sama dia, gue akan bilang juga. Karena gue belajar, berpura-pura kalau segala sesuatunya masih baik-baik saja sementara kenyataannya nggak itu cuma bikin masalah makin besar."
Vio tidak menyahut. Dicobanya untuk memahami penjelasan Ale.
"Kalau lo ketemu orang yang tepat, lo bakal nemu keberanian itu, Vi. Keberanian buat jatuh cinta dan jujur sama perasaan lo." Ale mengangkat bahu dan tersenyum kikuk. "Tapi siapalah gue berani nasihatin lo. Gue sendiri belum bertemu orang yang tepat. Sampai sekarang nggak pernah lama kalau pacaran sama cewek. Paling lama, ya, sama Arumi, itupun cuma setahun doang."
Kening Vio berkerut. Tidak dapat dia sembunyikan rasa penasaran dari wajahnya. "Arumi ... adiknya Mas Pandu?" tanya Vio hati-hati, tidak ingin dianggap terlalu mencampuri orang yang baru dikenalnya.
Ale mengangguk. "Yap. Nggak nyangka, ya, cewek seperti Arumi mau sama gue? Waktu itu dia baru merintis karir jadi desainer sih, belum seterkenal sekarang. Gue juga masih baru manggung di kafe-kafe, belum ngeluarin album. Jadi, ya, berita tentang kami sama sekali nggak menarik buat media."
Vio tidak tahu harus merespons apa. Nada bicara Ale terdengar getir, mirip ketika Vio bercerita tentang kedua orang tuanya.
"She is out of my league, right? Arumi Kinanti yang cantik dan cerdas, kok, bisa mau-maunya pacaran sama gue yang buruk rupa," sambung Ale sembari mendongakkan kepala menatap langit Jakarta yang pekat.
Sejak pertama kali bertemu Ale, Vio merasakan betapa kuat kepercayaan diri lelaki itu. Namun malam itu, Vio melihat Ale kehilangan segala rasa percaya diri itu ketika membicarakan Arumi.
"Nggak kok. Menurutku kalian serasi. Lagian kamu itu buruk rupa dari mananya? Kalau orang ganteng seperti kamu ngerasa buruk rupa, apa kabar dengan orang yang tidak seberuntung kamu? Jangan berlebihan, ah!"
"Jadi menurut lo, gue ganteng?" Ale menaik-turunkan alis, sengaja menggoda Vio. Wajah sendu yang tadi sempat menghiasi wajahnya sirna begitu saja, berganti seringai jail yang membuat Vio salah tingkah.
"Nyesel deh aku bilang begitu!" Vio mencebik. Dia mengembalikan piring yang telah kosong kepada pedagang kwe tiau. "Berapa, Bang?" tanyanya sambil mengeluarkan dompet dari dalam tas.
"Sudah dibayarin sama masnya, Mbak."
Vio menoleh kepada Ale yang hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban. Dia sama sekali tidak menyadari kapan Ale membayar makanan mereka.
"Sudah mau pulang?" Ale menyodorkan helm kepada Vio.
"Aku bisa pulang sendiri."
"Cowok macam apa yang biarin si cewek pulang sendiri habis kencan."
Dengan berat hati, Vio akhirnya mengambil helm berwarna cokelat itu. "Anterin sampai stasiun saja. Rumah kamu, kan, beda arah sama apartemenku."
Ale tidak menyahut. Ketika Vio sudah naik ke boncengan, Ale mengarahkan motornya ke lokasi apartemen Vio. Diabaikannya protes yang dilayangkan Vio sampai akhirnya gadis itu menyerah dan pasrah.
* * *
Sesampainya di apartemen Vio, Ale melarang gadis itu masuk. Dia justru mengajak Vio ke taman di depan apartemen. "Mau dengerin lagu yang baru gue rekam, nggak? Baru demo doang sih, jadi kualitas rekamannya belum terlalu bagus."
Sebagai penggemar lagu-lagu Ale, tawaran itu tentu saja tidak bisa Vio tolak.
"Memangnya boleh?" Vio memastikan.
"Ya boleh lah! Kalau nggak boleh, mana mungkin gue tawarin. Lo ini kadang-kadang lemot juga, ya."
Vio tidak menanggapi ledekan Ale. Dia berjalan ke salah satu bangku taman, sementara Ale mengikuti di belakangnya.
Begitu mereka duduk, Ale segera mengeluarkan ponsel dan sepasang earphone bluetooth. Diserahkannya salah satu earphone kepada Vio, sedangkan yang sebelah lagi dia pakai sendiri.
"Siap?" Ale tersenyum dan sedikit menelengkan kepalanya.
Vio mengangguk. Dengan satu kali usapan di ponsel, suara merdu Ale mengalir di telinga Vio. Seperti sebelum-sebelumnya, Vio terkesima saat mendengar nyanyian Ale, apalagi malam itu dia mendengarkan lagu baru yang belum banyak orang tahu.
♪♫
Kau serupa makna di setiap bait yang kutuliskan
Kau serupa nada di setiap lirik yang kunyanyikan
Tanpamu aku hanya seorang manusia tanpa arti
Tanpa permisi telah kau tanamkan cinta di hati
Katakan saja aku termakan omongan sendiri
Dulu aku tak percaya pada cinta pandangan pertama
Kini justru suka rela menyerahkan hatiku 'tuk kau curi
Sejak pertemuan kita, inginku hanyalah terus bersama
Kau seperti rumpun bunga di padang luas
Sulurmu membelitku erat, tak mengizinkanku lepas
Aku memang telah termakan omongan sendiri
Bersamamu kulepas segala persona yang membentengi diri
Bersamamu aku kembali menjadi diri sendiri
♪♫
"Gimana menurut lo?" tanya Ale begitu lagu yang diputarnya selesai.
Vio menatap Ale dengan raut serius. "Aku menyesal sudah mendengarnya."
Ale tampak kaget mendengar jawaban Vio. Bukan seperti itu jawaban yang Ale harapkan.
Ekspresi bingung Ale membuat Vio tidak tahan lagi untuk tertawa, "Aku nyesal karena sekarang aku jadi pingin masukin lagu itu ke playlist biar bisa didengerin berulang-ulang. Padahal lagunya kan belum dirilis. Nyesal, deh, aku sudah dengerin. Sekarang, aku jadi nggak sabar nunggu lagunya launching."
Ale merasa lega saat mendengar komentar Vio. "Kalau gitu, gue kirim ke lo, ya? Boleh minta nomor lo?"
"Eh? Seriusan boleh? Aku cuma bercanda, kok." Kini giliran Vio yang kaget mendengar respons Ale.
"Tuh, kan. Lucu banget sih lo. Kalau nggak boleh mana mungkin gue nawarin, Violet yang agak lelet!" ledek Ale sambil menyentil dahi Vio.
"Maksudku, kamu nggak takut lagu ini aku sebarin ke orang lain gitu? Kan, biasanya penyanyi perlu hati-hati supaya lagunya nggak dibajak, apalagi belum dirilis resmi begini," terang Vio sambil mengusap dahi.
Raut muka Ale mendadak berubah serius. "Memangnya lo ada niat nyebarin lagu ini? Bajak lagu ini?"
Vio menelan ludah. Entah kenapa pertanyaan Ale barusan justru membuatnya teringat kepada Pandu. Pertanyaan yang serupa juga sempat Pandu ajukan ketika Vio bertanya apakah pria itu tidak khawatir nomor teleponnya disebarluaskan.
"Gue percaya lo bukan orang kayak gitu," tutur Ale. "Jadi boleh minta nomor lo, nggak, nih? Gue sekalian modus ini biar bisa dapat nomor lo, soalnya gue minta Pandu, dia nggak mau ngasih. Masak lo nggak paham juga, sih?"
Lagi-lagi, pikiran Vio melayang ke tempat lain. Dia justru bertanya-tanya, kenapa Pandu tidak memberikan nomornya kepada Ale.
"Jadi? Boleh ngga, Violet Telolet?" Ale kembali bertanya.
"Iya-iya. Boleh, kok, Ale-Ale!" sahut Vio. Disebutkannya nomor telepon agar Ale berhenti meledek.
Setelah menyimpan nomor Vio ke ponselnya, Ale tiba-tiba berceletuk, "Gue boleh numpang ke toilet, nggak? Tiba-tiba kebelet, nih."
Vio mengangguk. Mereka kemudian jalan bersisian menuju lobi apartemen. Tepat ketika mereka melintasi pintu lobi, Pandu yang tengah berbicara dengan satpam menoleh ke arah mereka.
========
Ceritamela:
Ya, ampun. Ale ini bener-bener, ya.
Vio yang digombalin, saya yang blushing.. aaak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top