11: Jangan menghindari saya lagi, ya, Vio.
Tiga hari terakhir, Pandu merasa Vio sengaja menghindarinya. Tidak hanya menghindar berangkat bersamanya, gadis itu juga tidak terlalu antusias menanggapi pesan-pesan yang Pandu kirimkan sepanjang hari Sabtu kemarin. Butuh waktu yang cukup lama sampai balasan pesan dari Vio masuk ke ponsel Pandu, dan isinya begitu singkat, tidak membuka ruang untuk obrolan selanjutnya.
Pandu tahu, bisa saja Vio memang sibuk. Lagi pula, beberapa minggu lalu Vio memang sempat menyinggung masalah rekrutmen pegawai yang sedang diselenggarakan kantornya. Namun tetap saja, Pandu merasa ada yang salah.
Mungkinkah dia telah melakukan suatu kesalahan yang membuat Vio marah?
Pertanyaan itu terus saja memantul di kepala Pandu dan membuatnya gelisah.
Awalnya, Pandu turun ke lobi hanya untuk mengambil paket yang ditujukan kepadanya. Bisa saja dia meminta salah satu satpam untuk mengantarkan paket itu ke lantai sebelas, tetapi dia tidak suka merepotkan mereka. Dan kini, Pandu bersyukur dia memilih turun sendiri. Dengan begitu, dia akhirnya bisa bertemu Vio.
Begitu Pandu melihat Vio keluar dari lift, dia tidak ingin kehilangan kesempatan. Segera dihampirinya Vio hingga gadis itu tidak bisa mengelak lagi darinya.
"Mau ke mana, Vio?" tanya Pandu sambil menyunggingkan senyum yang telah menjadi ciri khasnya. Hari itu Vio terlihat manis dengan kaos putih polos dan rok jin selutut. Pandu tidak bisa mengalihkan pandangan dari sepasang mata yang mengerjap kikuk ke arahnya itu.
Vio menyampirkan anak rambutnya ke belakang telinga dan berusaha mengatur ekspresi agar tidak terlihat kaget saat melihat Pandu. Bagaimanapun juga, mereka tinggal di gedung yang sama, sudah sewajarnya kalau tidak sengaja bertemu seperti itu.
"Aku mau ke supermarket. Belanja bulanan." Vio menahan diri untuk tidak bertanya tentang Yudhis supaya percakapan mereka tidak makin panjang. Diperhatikannya kardus seukuran kotak sepatu yang tengah Pandu pegang, dan dia langsung mengerti alasan Pandu turun ke lobi tanpa dibuntuti Yudhis.
Senyum yang menghias bibir Pandu makin lebar, mengingatkan Vio pada poster-poster iklan pasta gigi yang dibintangi pria itu.
"Kebetulan saya juga perlu belanja bulanan. Tunggu sebentar, ya. Saya panggil Yudhis dulu," pinta Pandu dengan mata berbinar penuh harap, seperti yang dilakukan Yudhis tiap kali sedang membujuk.
Vio mencari alasan untuk menolak, tetapi tidak menemukan alasan yang cukup sopan agar Pandu tidak tersinggung. Setengah terpaksa, gadis itu menganggukkan kepala, lagi pula dia memang sedikit rindu dengan celotehan Yudhis. Menjauhi Pandu juga membuatnya jauh dari bocah itu. Beberapa hari terakhir terasa sedikit sepi baginya.
"Kalau gitu, aku tunggu di sana, ya, Mas." Telunjuk Vio terarah ke deretan sofa di sudut lobi, tempat dia biasa menunggu Pandu setiap pagi.
Pandu kemudian menghilang ke dalam lift untuk kembali ke apartemennya, memanggil Yudhis, juga mengambil dompet dan kunci mobil. Sebenarnya, dia sedikit berbohong tadi. Pandu jarang pergi berbelanja sendiri, biasanya dia menggunakan jasa personal shopper atau meminta tolong petugas kebersihan yang mengurus rumahnya.
Selain menjemput Yudhis, Pandu juga menyempatkan diri berganti pakaian. Dipilihnya jaket jin untuk melapisi kaos hitam yang telah dikenakannya. Dia juga menyambar kacamata bergagang bulat dan topi baseball dari rak untuk menutupi wajahnya. Tidak lupa dia mengantongi sehelai masker kain untuk nanti dia kenakan ketika sudah sampai di supermarket. Berbeda dengan lingkungan apartemen maupun sekolah Yudhis yang eksklusif, tidak ada yang tahu dia akan bertemu siapa di supermarket, bisa penggemar yang merepotkan ataupun wartawan gosip yang suka mencuri foto diam-diam.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Pandu telah keluar dari lift sambil menggandeng Yudhis. Bocah itu langsung berlari memeluk Vio.
"Tante ke mana saja? I miss you so ... much."
Keceriaan Yudhis langsung menular kepada Vio. Gadis itu mengembangkan senyum di wajahnya dan balas memeluk Yudhis dengan erat. Hatinya terasa begitu hangat, membuatnya lupa atas segala gundah yang menggelayutinya.
"Kalian tunggu di sini, ya. Biar saya ambil mobil dulu."
Vio mengangkat kepalanya dan menatap Pandu heran. "Kita bareng saja ke parkiran, Mas. Biasanya juga gitu, kan?"
"Nggak usah. Tolong temani Yudhis saja di sini. Nanti, saya kabari kalau sudah sampai depan."
"Mobil Papa berantakan banget, Tante. Mau dibersihin dulu." Yudhis membocorkan rahasia yang dibisikkan Pandu kepadanya di lift tadi.
Wajah Pandu sontak memerah. Semalam, Pandu dan Yudhis pergi jalan-jalan bersama Arumi. Sudah menjadi kebiasaan adiknya itu untuk membelikan banyak panganan dan mainan untuk Yudhis. Barang-barang itu masih berserakan di mobil Pandu, belum sempat dia angkut ke apartemennya karena semalam harus menggendong Yudhis naik. Makanya, dia meminta Vio menunggu di lobi bersama Yudhis. Dia perlu waktu untuk membereskan kekacauan di mobilnya.
"Aku tinggal dulu, ya," katanya sebelum buru-buru menuruni tangga. Kedua lift yang tersedia masih ada di lantai atas, terlalu lama jika harus menunggu.
Vio menggandeng Yudhis menuju sofa. Wajahnya terus berseri. Kehadiran Yudhis telah mencerahkan harinya, padahal beberapa menit lalu dia masih dihantui perasaan ragu saat menerima tawaran Pandu.
"Tante Vio, kenapa nggak pernah berangkat bareng Yudhis lagi, sih?" todong Yudhis begitu mereka duduk. Bibirnya membentuk kerucut dan kedua alisnya bertaut di tengah sebagai bentuk protes.
"Kebetulan, tante harus berangkat lebih pagi karena ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan." Vio berusaha tidak tergelak saat melihat ekspresi Yudhis yang bukannya terlihat seram, malah terlihat menggemaskan.
"Yudhis bisa, kok, bangun lebih pagi."
"Nanti, Yudhis nyampe di sekolah kepagian, belum ada teman."
"Nggak apa-apa. Miss Selena biasanya juga datang pagi. Yudhis bisa bantuin Miss Selena." Yudhis bersikukuh dengan sarannya. "Yang penting, Yudhis bisa ketemu Tante Vio. Yudhis suka berangkat sekolah bareng Tante Vio."
Vio menyisir rambut Yudhis dengan lembut. Rasa sayangnya kepada bocah itu seakan mengalir melalui ujung-ujung jemarinya. Vio seperti dapat melihat pantulan dirinya pada wajah Yudhis. Dia pernah berada di fase itu, menuntut perhatian dari orang-orang yang dia sayangi. Namun, tidak ada yang memedulikannya. Lama-kelamaan, Vio memilih menyerah dan mengunci rapat pintu hatinya untuk semua orang, sampai kemudian Yudhis datang dan menerobos pintu itu.
"Memangnya kenapa Yudhis suka berangkat bareng Tante?" tanya Vio.
"Soalnya, aku bisa ngobrol sama Tante, jadi nggak bosan. Sampai di sekolah, aku nggak ngantuk lagi."
"Kan, Yudhis juga bisa ngobrol sama Papa?"
"Papa mah cuma 'hem-hem' gitu aja jawabannya kalau lagi nyetir. Nggak asyik, nggak kayak Tante Vio!" adu Yudhis.
Derai tawa Vio lepas begitu saja. Pandu memang pernah bercerita bahwa kadang-kadang dia tidak tahu bagaimana harus menanggapi Yudhis. Selayaknya anak kecil kebanyakan, Yudhis kerap mengubah-ubah topik obrolan dengan cepat. Sebentar berbicara tentang kartun kesukaan, sebentar kemudian bisa bercerita tentang salah satu temannya.
"Kalau gitu, besok, kita berangkat bareng," janji Vio.
Mobil Pandu telah tiba di depan lobi. Vio mengulurkan tangannya kepada Yudhis. Bocah itu langsung menyelipkan jemari mungilnya ke dalam genggaman Vio.
Pandu turun dari mobil, lalu membukakan pintu untuk Vio dan Yudhis.
"Terima kasih, Mas," ucap Vio. Saat tatapan mereka bertemu di udara, Vio merasakan jantungnya seperti akan meledak. Tanpa bisa dia cegah, pipinya membentuk rona yang begitu kentara.
* * *
Mulanya, Vio pikir acara berbelanja bersama hari itu akan melibatkan dirinya, Pandu, dan Yudhis. Ternyata begitu mereka tiba di supermarket, anak itu langsung merengek agar diizinkan bermain di arena playground. Akhirnya, Vio terjebak bersama Pandu, berbagi troli belanja yang sama layaknya sepasang suami istri yang sedang berbelanja kebutuhan rumah tangga.
"Daripada ribet dan berat bawa-bawa keranjang, mending belanjaan kamu taruh sini saja, Vio. Nanti bisa kita pisahkan di kasir," kata Pandu tadi saat Vio hendak mengambil keranjang belanja dari tumpukan.
Vio tahu, tidak ada yang istimewa dari dua orang yang berbelanja bersama. Namun, hati Vio memiliki pendapat sendiri. Berbelanja ke supermarket adalah salah satu kenangan indah yang tersisa dari masa kecilnya. Banyak sekali ingatan masa kecil yang dia lupakan, tetapi dia masih bisa membayangkan genggaman tangan kedua orang tuanya saat mengajaknya ke supermarket bertahun-tahun lalu, saat mereka masih menjadi sebuah keluarga yang utuh dan bahagia.
"Untuk segera dimakan atau disimpan agak lama?" tanya Pandu sambil meraih alpukat yang Vio pegang.
Gadis itu terperanjat, tidak sadar bahwa dia melamun cukup lama di depan rak buah-buahan. Vio tersipu saat tangan mereka tak sengaja bersentuhan, sementara ekspresi Pandu sama sekali tidak berubah. Pria itu dengan santai mengguncang-guncangkan alpukat di tangannya. Sepertinya dia tak menyadari bahwa sentuhan yang hanya beberapa detik tadi memancing kejutan listrik pada Vio.
"Buat stok minggu ini sih, Mas," jawab Vio lirih. Terlalu banyak emosi yang bergumul di dadanya. Jiwanya seolah berperang. Di satu sisi dia ingin cepat pulang dan bersembunyi dalam kamarnya, di sisi lain dia tidak ingin kebersamaannya dengan Pandu cepat berakhir.
"Cari yang bijinya sudah agak longgar! Kalau digoncang terasa bergerak di dalam. Yang ini masih mentah banget," saran Pandu. Dia mengembalikan alpukat ke tempat semula, lalu sibuk memilihkan alpukat yang hampir matang.
Vio hanya bisa menggumam pelan, membentuk bulatan dengan bibirnya dan pura-pura memperhatikan penjelasan Pandu, padahal pikirannya tengah terbang ke mana-mana.
"Segini cukup?" tanya Pandu sambil menunjukkan empat buah alpukat ukuran sedang yang telah ia pindahkan ke troli.
Vio mengangguk. Setelah itu, dia membuntuti Pandu menimbang buah-buahan yang mereka beli.
Gadis itu kembali teringat kepada kedua orang tuanya. Dulu ayah dan ibunya sempat harmonis seperti keluarga-keluarga lain. Mereka akan berpegangan tangan menyusuri lorong-lorong supermarket, berdebat kecil tentang produk apa yang harus dibeli, dan memilih bahan segar terbaik utuk dibawa pulang. Memang hanya sebuah kenangan sederhana, tetapi sangat berarti bagi Vio. Hanya dengan mengingatnya, Vio merasa pernah menjadi bagian dari sebuah keluarga bahagia, meski hanya sebentar saja.
Sayangnya kenangan indah itu juga sering membangkitkan rasa cemas di hati Vio, menyadarkannya betapa tidak ada yang abadi di dunia ini, termasuk cinta. Pengalaman itu mengajarkan Vio untuk tidak terlalu percaya kepada orang lain, membuatnya tidak berani terlalu terikat kepada orang lain. Dia takut suatu saat orang itu memutuskan pergi dengan meninggalkan luka. Dia takut perasaan nyaman yang sekarang memenuhi ruang hatinya hanyalah semu dan akan hilang begitu saja seiring waktu.
"Jangan menghindari saya lagi, ya, Vio," ujar Pandu saat mereka berjalan bersisian di lorong supermarket. "Saya harap kamu nggak keberatan berangkat bareng saya setiap pagi, juga belanja bareng setiap bulan dengan saya seperti sekarang."
Vio menghentikan langkahnya. Kedua matanya menatap Pandu dengan sorot sendu. Tidak dia sangka, pria itu dapat menebak bahwa tiga hari terakhir dirinya memang sengaja menjauh. Vio merasa seperti berada di persimpangan. Permintaan Pandu menyiratkan hal yang lebih besar dari sekadar berangkat ke kantor dan berbelanja bersama. Jawaban yang akan dia berikan kepada Pandu akan menentukan jalan hidupnya.
Otak Vio berteriak untuk membentang jarak. Dia harus membuat keputusan dan menegaskan bahwa hubungan mereka tidak lebih dari sekadar teman, sebelum semua terlambat dan berada di luar kendalinya. Menerima tawaran Pandu hanya akan membuatnya makin sulit menghadapi perpisahan yang akan terjadi suatu saat nanti.
=======
Ceritamela:
Part ini tuh salah satu part favorit saya karenaaaa, love language saya kan quality time yak, jadi belanja ke supermarket bareng ayang (apalagi kalau beliau yang bayarin) itu punya nilai spesial buat sayaa.
Kalau kamu, love languagenya apa?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top