7. Teman-teman Andra

Lolita membuka mata. Samar ia mendengar suara air dari kamar mandi.Gadis itu melirik pada jam dinding kamarnya dan mendapati angka tiga disana. Menguap, ia beranjak turun dari kasur meski matanya masih merasa ngantuk.

"Itu yang mandi, Abang?" Lolita bertanya pada Bunda yang tengah merebus air di dapur.

"Siapa lagi?"

Tak lama, pintu kamar mandi terbuka. Andra keluar dengan boxer dan handuk di pundak. Pria itu menggosok rambutnya dengan handuk sambil berjalan menuju kamarnya.

"Abang jam segini udah mandi keramas aja. Curiga Loli." Andra berhenti di depan Lolita yang duduk di meja makan, lalu melirik gadis itu sebelum melanjutkan langkahnya. Tanpa menjawab ataupun menanggapi ucapan adik pria itu.

Bunda berjalan menuju meja makan dan meletakkan satu gelas kopi hitam diatasnya. "Curiga apa? Abangmu belum punya istri."

"Emang harus punya istri dulu buat mandi besar?"

"Dasar ngaco! Abang pagi ini terbang ke Jawa Tengah. Dinas sama atasannya lihat peternakan ayam punya kantornya dia."

Bibir Lolita membentuk huruf O sambil mengangguk. "Ngapelin ayam to," gumam gadis itu. Merasa mendapat jawaban, Lolita beranjak dari kursinya lalu melangkah menuju kamarnya lagi.

"Kamu mau kemana?" tanya Bunda saat langkah Lolita baru terhitung tiga.

Lolita menoleh, "Kamar. Tidur lagi."

"Enak aja!" sergah Bunda. "Urus Andra dulu sampai taksinya dia datang. Habis itu bantu Bunda dan Mbak Lastri masak."

"Lolita nanti tuh bimbingan, Bun ... ke kampus. Kalau sepagi ini udah harus bangun dan bantu-bantu, bisa ngantuk siang nanti."

"Makanya belajar bangun pagi! Jangan tidur lagi. Sekarang kamu urus keperluan Andra. Bunda lihat kamu tidur, siap-siap bunda guyur!"

Berdecak kesal, Lolita akhirnya melangkah lunglai menuju kamar Andra. "Ayah ... dengarkanlah, Loli ingin berjumpa. Walau hanya dalam mimpi."

Mendengar nyanyian pagi hari Lolita yang sarat sindiran, Bunda hanya menghela napas dengan kepala menggeleng pelan. Lolita, sepertinya salah asuhan. Bunda ingin menyalahkan suaminya, namun wanita itu tahu bahwa apa yang dulu ayah lakukan pada Lolita, semata salah satu bentuk cinta.

*******

"Jadi lo lagi perang dingin sama anak tongkrongan Abang lo?"

Lolita mengangguk sambil menyedot bubble drink yang ia pesan dari go food. Andra mengirimi saldo gopay sebesar 200 ribu sebelum pria itu berangkat dinas. Tentu saja, ini upah atas bantuan yang Lolita lakukan pagi tadi. Bagi Lolita, tidak ada servis gratis di dunia ini. "Gue capek, Ti, dijadiin babu di rumah sendiri. Apalagi sama yang namanya Hestama." Lolita mengaduk sedotan. Membidik satu bola hitam dalam gelas, untuk disedot dan dikunyah.

Tiana meringis prihatin sambil menggeleng pelan. "Iya sih, gue juga gak bakal kuat dipaksa jadi upik abu di istana sendiri."

"Makanya itu," jawab Lolita sambil mengangguk. "Gue diemin aja mereka biar pada tau diri. Gini-gini, gue princess-nya ayah. Gak seharusnya gue diperbudak sama mereka."

"Bahasa lo, njir. Diperbudak. Budak tuh gak dikasih vocer, gak diisiin pulsa, gak diisiin saldo gopay, gak dijajanin martabak juga."

Lolita menggeleng tak sependapat. "Apa yang gue dapet, menurut gue, belum sesuai dengan apa yang gue lakuin untuk mereka. Jadi, gue tetep berhak marah." Lolita mengunyah bola hitam manis kesukannya. "Apalagi Bang Hesta. Dia paksa gue pulang, padahal gue udah janji mau jalan-jalan ke Dago sama Damar. Kan suwek banget!"

"Elo yang suwe! Ijin Bunda ke rumah gue tapi nyatanya ke Bandung sama Damar."

"Habis kapan lagi, Ti, gue bisa berduaan sama Damar tanpa merasa resah? Gue udah nyaman banget sama dia. Gak keberatan ngurusin dia pas pertandingan. Eh, ujug-ujug jin iprit dateng seret gue balik ke Bekasi. Kan najis!" Lolita membuang gelas plastik ke dalam tong sampah yang berjarak lima meter dari tempatnya duduk. "Udah gitu, sampe rumah, nyuruh gue bikin mi rebus. Kan kampret. Dia pikir dia siapa?"

Tiana tertawa senang mendengar penderitaan temannya. "Nyebelin yah, yang namanya Hestama itu. Jadi penasaran gue."

"Lolita." Seseorang berjalan mendekati Lolita dan Tiana. "Ada cowok jelek cariin lu," ucap gadis itu setelah sampai di hadapan Lolita. "Lu punya utang sama pinjaman onlen ya? Muka tu cowok item serem kayak tukang pukul."

Tiana menyernyit, "Tukang pukul gak ada hubungannya sama utang sih."

"Lagian gue gak punya utang tau! Apalagi sama aplikasi utang onlen. Enak aja lo," tambah Lolita menyanggah.

Gadis itu mengendikkan bahu. "Dia cari elu. Tuh, masih nunggu di depan pintu parkiran motor."

Penasaran, Lolita beranjak dari kursi yang sejak tadi ia singgahi bersama Tiana. Berjalan pelan menuju tempat yang diinformasikan temannya sesaat lalu, Lolita akhirnya tau siapa pria yang sedang menunggu.

"Abang ngapain ke sini?" tanya Lolita sinis.

Tigor tersenyum lima jari hingga memperlihatkan giginya yang kontras dengan warna kulit. "Abang habis keliling nagih. Laper. Makan yuk!"

Lolita menggeleng angkuh. "Sorry. Loli gak punya duit. Masih mahasiswa, belum berpenghasilan."

"Yang bilang minta Loli bayarin siapa? Gini-gini abang mampu lah kasih makan Loli."

Satu alis Lolita naik. "Mampunya kasih makan apa?" tanyanya dengan nada menantang.

"Maunya apa?"

Memutar bola mata, Lolita menjawab. "Bebek pedes Madura di Grand Wisata, boleh."

"Jangan itu dong," tolak Tigor. "Gimana kalau bakso?"

"Gak modal. Mampunya cuma bakso," komen Lolita sambil menggeleng dan kibas tangan.

"Bukan gitu, Abang gak kuat pedas. Bukan gak kuat bayar, Loliii," bela Tigor. "Gimana kalau ke Mekdi aja, pake vocer yang Hesta kasih ke kamu." Tigor tersenyum lima jari lagi.

Lolita kini berdecak prihatin dengan wajah yang seakan meremehkan lawan bicaranya. "Bener-bener gak modal. Abang Missqueen. Kalau gini terus, Loli yakin, sampe ompong, Abang selalu missed the queen kalau mentalnya missqueen gini."

"Loli ngomong apa sih? Abang tak paham pula," jawab Tigor yang keningnya masih berkerut mendengar penuturan Lolita sesaat lalu. "Sudahlah, jadi makan apa kita?"

"Bebek Kaleyo aja, deh. Gak boleh ada alasan lagi, atau Loli beli makan sendiri aja."

"Vocernya gak jadi?"

Lolita mengudarakan satu tangannya di hadapan Tigor. "Gak akan ada satupun vocer yang akan keluar dari tas Loli buat Abang. Kalau mau makan, traktir Loli. Kalau gak ada duit, mending Abang pulang sekarang."

"Oke." Tigor mengangguk lantas menyalakan sepeda motornya. "Kuin-kuin apalah kau sebut tadi itu, silakan naik. Abang antar sampe Kaleyo."

"Dianter doang?" tanya Lolita yang sedikit nge-gas.

"Sekalian Abang nafkahi lah, Loliii ... makan lah kau disana, sepuas kau mampu tampung itu unggas." Tigor diam-diam menghela napas. Berurusan dengan Lolita, kadang lebih berat dari pada menyambangi para penunggak.

Kurang dari satu jam, Lolita sudah duduk bersama Tigor dengan dua porsi bebek, nasi, sambal mangga, dan es teh manis. Tanpa sungkan dan tetap dengan wajah jutek, Lolita mulai menikmati menu makan siangnya.

"Kalau mau tambah, Loli bilang Abang aja ... mau sop buah, pesen aja. Nanti Abang bayar semua. Suka-suka Loli." Tigor mulai menggigit timun, sebelum nasi dan bebek goreng pesanannya. "Buat Abang, Loli itu sudah seperti adik sendiri. Bunda dan Andra, keluarga Abang di sini," lanjutnya seraya mulai menyuap nasi.

Kening Lolita berkerut samar. Ia menatap Tigor yang konsentrasi pada makan siangnya, dengan tatapan menerawang. "Maksud Abang bilang gitu, apa?"

"Gak ada maksud apa-apa. Abang lagi ada rejeki, lewat kampus Loli, jemput Loli dan ajak makan di sini. Kau tau kan, Abang tak punya sanak saudara? Kau dan Abang kau, buat Abang yang sebatang kara ini, adalah saudara. Jadi, tak usah banyak tanya. Makan saja apapun yang ingin kau makan di sini." Tigor melanjutkan makannya tanpa menatap Loli yang masih membeku dengan mata tak pindah dari sosok debt collector itu.

Lolita tahu. Siapa Tigor. Dua tahun lalu, Hestama datang membawa mantan narapidana itu pada Wayan. Meminta Wayan memberikan pria hitam ini pekerjaan. Entah sebagai supir, atau kenek yang mengangkat galon air dan tabung gas. Hestama mengenal Tigor saat pria Sumatra ini berniat membegal Hestama. Namun bagaimana ceritanya, Lolita tak paham. Yang jelas, Tigor menjadi orang yang akhirnya Hestama tolong. Selang satu bulan menjadi karyawan agen milik Wayan, Tigor diangkat menjadi debt collector oleh saudara Wayan yang bekerja di kantor pendanaan.

Lolita tahu. Tigor sangat loyal pada Hestama, Wayan, dan Abangnya. Oh ..., pada bunda apalagi. Meski wajahnya menyeramkan, ia selalu takluk pada apapun perintah bunda.

"Tigor, tolong panjat pohon dan ambilkan nangka yang siap petik." Kala itu Bunda memintanya dan Tigor langsung bergerak.

"Tigor ..., tolong angkatkan galon ke dispenser. Sekalian pasang gas baru yang ada di dapur." Bunda pun tak sungkan menyuruh tigor di warung nasi dan pria itu tanpa gengsi melakukan semua instruksi.

Mengingat hal-hal kecil yang sering Tigor lakukan untuk bunda, Lolita tersenyum samar. Samar sekali hingga nyaris tak terlihat. Tigor benar, bagi pria itu, keluarga Lolita adalah keluarganya. Meski hampir setiap hari pria hitam gendut ini main kerumah, namun Tigor tak pernah alpa membawakan martabak atau camilan apapun yang sedang bunda idamkan. Tak jarang, Lolita mendengar percakapan bunda dengan Tigor di ponsel dan bunda selalu menjawab pertanyaan pria itu dengan satu menu yang akan menjadi buah tangan pria itu.

Melihat Tigor yang makan dengan lahap seperti orang kelaparan, Lolita terenyuh. Apapun masa lalu pria itu, Lolita tak peduli. Satu hal yang gadis itu sadari adalah, Tigor sangat baik pada keluarganya. Terutama Bunda.

"Bang," panggil Lolita saat Tigor tengah menyeruput es teh miliknya. Tigor mendongak dan menatap Lolita dengan binar tanya. "Antar Loli pulang," pinta gadis itu.

Tigor mengangguk. "Oke. Habiskan makan kau. Sekalian bungkus untuk Bunda. Bunda suka sop buah. Abang mau belikan sop buah yoghurt untuk Bunda. Kali saja Bunda suka."

Lolita mengangguk dengan senyum tipis. Dalam hati ia mengucap terima kasih pada pria yang mentraktirnya makan siang.

*****

Sepi. Mungkin karena Andra sedang dinas ke luar kota. Hestama yang biasa datang untuk main playstation, meski Andra sedang tidak dirumah, entah mengapa tak terlihat batang hidungnya. Begitupun Tigor. Usai mengantar Lolita sampai rumah sore tadi, pria itu pamit pulang ke kontrakannya. Lolita pikir, mereka akan datang lagi seperti biasanya. Namun hingga pukul delapan malam, pusat penderitaan Lolita tak hadir juga.

"Bunda." Suara Wayan. Lolita mendongak dan mengintip pria Bali itu dari jendela kamarnya.

Terdengar suara langkah bunda berikut balasan wanita paruh baya itu.

Diam-diam Lolita mencuri dengar dari kamarnya. Ia menghentikan ketikan skripsinya di laptop dan menajamkan telinga.

"Wayan mau antar pesanan Andra. Dia bilang, regulator di warung Bunda rusak. Padahal belum satu tahun."

"Iya. Gak tau kenapa. Apa karena setiap hari Bunda nyalain kompor di warung ya?"

"Setiap hari ibu-ibu nyalakan kompor, Bunda." Wayan tertawa. "Masalahnya bukan karena bunda tiap hari masak. Tapi memang kualits regulator Bunda yang kurang bagus."

"Masa iya?"

"Iya. Makanya jangan tergiur diskon. Kadang, barang potong harga karena tidak laku dan kualitas kurang yahud. Ini Wayan bawakan regulator yang terbukti bagus. Andra titip beli dua hari lalu."

"Walah ... jadi ngerepotin. Terima kasih ya, Wayan."

"Bunda kayak sama siapa saja. Sudah anggap Wayan anak Bunda, kan?"

"Ya pasti lah! Wayan sudah seperti keluarga Bunda." Bunda tertawa manis. "Oya, Bunda mau minta tolong. Lampu dapur satu jam lalu mati. Bunda sama Loli gak bisa ganti bohlam."

"Bohlamnya ada?"

"Eggak."

"Yasudah, Wayan belikan dulu. Jangan gembok pagar ya, Bunda. Wayan sebentar lagi kembali ke sini untuk ganti lampu dapur Bunda."

Lolita mendengar bunda lagi-lagi mengucap terimakasih. Tak lama, deru sepeda motor Wayan terdengar dan semakin lama menghilang. Lolita menghela napas. Sebenarnya, teman-teman Bang Andra baik. Mereka memperlakukan Bunda dengan sangat lembut dan sopan. Bunda diperlakukan bak ratu dan ibu. Dihormati dan disayangi. Meski mereka bukan manusia yang terlahir dari rahim Bunda.

Selang sepuluh menit, suara motor Wayan terdengar lagi. Pria itu datang dan bicara pada bunda tentang bohlam yang akan ia pasang. Lolita sengaja tidak keluar kamar. Ia ingin sendiri saja dengan pikirannya tentang skripsi dan emosi pada teman-teman Andra.

"Aduh Wayan, terimakasih banyak. Dapur Bunda terang lagi." Suara bunda sangat riang. Wayan membalas ucapan bunda lalu pamit pulang. "Lah kok gak main? Hestama sama Tigor mana?"

"Kami sedang kumpul di rumah Hestama. Dia kenalkan kami pada Khairul. Teman satu kantor yang kini tinggal di rumah dia."

"Oh ... kapan-kapan itu anak yang tinggal sama Hesta, ajak main ke sini ya."

"Siap Bunda. Wayan pamit dulu, ya."

Senyum samar Lolita terbit. Namun senyum itu entah kenapa terasa beda. Senyum ini ... senyum miris. Mendengar suara riang Bunda pada Bli Wayan yang mengganti bohlam dapur, mengingat makan siangnya dengan Tigor, membuat hati Lolita mendadak diterpa rasa sungkan dan bersalah.

Ia berhenti membaca dan kini mendongak untuk berpikir. Apa ia terlalu keras pada teman-teman abangnya? Apa ia kurang ikhlas menolong dan melayani teman-teman abangnya yang selalu ringan tangan dalam menolong Bunda? Andra tak selalu ada di rumah. Ia kerap pergi ke peternakan yang berada di beberapa kota untuk melakukan tugas. Jika sang kepala keluarga tidak ada, mereka selalu datang untuk memastikan Bunda baik-baik saja. Mereka tetap datang untuk memastikan bunda dan dirinya aman ditinggal Andra.

Tapi ... kadang mereka kelewatan jika menyuruh Lolita menyiapkan makan dan minum. Tak kenal waktu. Seakan Lolita selalu memiliki tenaga dan mood dua puluh empat jam full.

Lagi, Lolita menghela napas. Dia harus bersikap seperti apa sih pada teman-teman Andra?

*****

Aku lagi rempong to the max! Rasanya kayak mau marah campur nangis. Capeknya lahir dan batin. Jadi mood nulis sama ide kayak mampet gitu. Sebel sih, gak bisa update tiap hari. Tapi ya gimana lagi wkwkwkwkwk


Ramein vote dan komen yess biar aku semangats wkwkwkwk


LopLop

Hapsari




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top