7. Emosi Loli
"Cie ... hengpon baru." Tigor menggoda Hestama yang baru saja datang, dengan logat melambai. Mendengar suaranya yang aneh, seketika ketiga temannya melirik si Debt Collector ini jijik.
"Passwordnya ganti?" Hestama bertanya saat ia ingin menyambungkan internet ke gawainya.
Mendengar pertanyaan Hestama, ketiga pasang mata milik teman si wasit kejurda yang bekerja sebagai staff akunting ini, melihat pria itu prihatin.
"Kenapa? Lolita ganti password wifinya lagi, kan?" tanya Hestama dengan wajah heran atas rupa teman-temannya.
"Lo yakin mau tau passwordnya?" Wayan bertanya sungkan.
Hestama mengangguk. "Iya. Apa?"
"antiHestamaHestamaclub," jawab Andra datar. "Tanpa spasi dan huruf H-nya besar semua."
"Club-nya pake C. Charlie ... Charlie..." Tigor menambahkan.
Hestama mengerjap pelan. Agaknya ia sedikit terkejut mendapati namanya menjadi password buatan Lolita. Biasanya, gadis itu mencantumkan nama-nama artis Korea. Tapi kali ini, menggunakan nama dirinya. Meski ... dengan kalimat yang tak enak di dengar.
Tersadar, pria itu lantas menuliskan password sesuai informasi yang ia dapat dari temannya barusan. Saat ponsel barunya sudah tersambung, Hestama menoleh pada Wayan yang memanggilnya.
"Lo ada masalah apa sama Loli? Sampe dia begitu."
Hestama mengendikkan bahu tak acuh. Meski sepertinya ia tahu penyebab gadis itu menjadi anti padanya. "Mungkin gara-gara gue minta dibikinin indomie kali," jawabnya asal tebak.
Ya, sesampainya di Bekasi, Hestama menurunkan Lolita di rumahnya. Ia berdalih bertemu Lolita di depan gang dan memberikan gadis itu tumpangan. Karena lapar, Hestama akhirnya meminta Loli membuatkan dirinya mie instan dengan tiga telur ayam.
Lolita marah dan menolak. Namun sahutan Bunda, membuat gadis itu bungkam.
"Kamu alasan capek. Apa capeknya sih ke rumah Tiana? Emang kamu cabutin rumput rumah Tiana?"
Saat mendengar ucapan Bunda, Lolita hanya melirik Hestama tajam. Hesta bergeming. Ia menunggu Loli ganti baju dan menaruh tas di kamarnya. Saat keluar kamar, Lolita menghampiri Hesta lalu berbisik, "Loli capek! Abang kurang ajar banget suruh-suruh Loli!"
Hestama mengangguk maklum. Lalu membalas, "Yasudah. Abang bilang Bunda kalo kamu habis ke Bandung, pacaran."
"Dasar busuk!" umpat gadis itu sebelum beranjak sambil menghentakkan kaki kesal.
Mendengar umpatan manis si Adik Andra ini, Hestama hanya mendengus lelah sambil geleng kepala. Namun, satu gagasan bagus terlintas di kepalanya. Ia menyuruh Wayan menghampiri Loli di dapur dan meminta gadis itu membuat lima porsi mie instan untuk satu rumah.
Sontak Loli naik pitam. Namun tatapan Hestama dari belakang tubuh Wayan, sarat ancaman. Hestama punya rahasia besar Lolita malam itu. Jadi, Loli harus mau takluk pada aturan dan perintahnya.
"Handphone lama lu kemana?" Andra bertanya. Membuat Hestama tersadar dari ingatannya tentang Lolita kemarin malam.
"Rusak, jatoh pas gue ke Bandung kemarin."
Wayan berdecak prihatin. "Makanya, handphone jangan lu tendang, Hes."
Hestama hanya tersenyum. Lolita membanting ponselnya saat mereka bertengkar sebelum pulang. Lolita yang emosi mungkin saja impulsif melakukan itu. Namun gadis impulsif itu lupa, bahwa barang seperti ponsel, mudah retak jika dihantam.
"Sekalian ganti. Udah lama juga yang kemarin. Duit dari wasit lumayan, jadi sekalian buat beli," jelas Hestama. "Oya, Lolita mana? Mau gue kasih vocer makan di Summarecon. Kali gak ngambek lagi."
"Loli bantu Bunda di warung," jawab Tigor yang tak melepaskan tatapan matanya dari gawai dan game.
Hestama mengangguk. Ia lantas mengambil joy stick dan mulai memaikan playstation bersama Andra. "Gue laper. Mau minta Loli bikinin nasi goreng," gumam pria itu sambil memulai permainannya.
"Eh ... Loli dateng." Tigor menegur Lolita yang baru saja memasuki pagar. Gadis itu tampak berjalan sambil membawa rantang. "Apa tuh, Loli? Bang Tigor boleh icip?" goda Tigor bermaksud memancing suara si pembuat password wifi.
Lolita menoleh pada Tigor dengan wajah datar. "Lauk makan siang. Bang Tigor kalau mau makan, ambil aja di meja makan. Loli siapin." Tanpa menunggu balasan Tigor, Lolita beranjak masuk ke dalam rumah.
Wayan dan Tigor saling berpandangan. Ini bukan Lolita yang mereka kenal. Lolita akan cerewet dan mengeluarkan sumpah serapah sebelum berbuat kebaikan. Berbeda dengan Lolita yang baru saja masuk ke dalam rumah. Lolita yang dengan nada datar, menawarkan mereka makan siang.
"Huaaaa ... sop iga, tempe mendoan, sambel terasi sama perkedel. Bunda Andra memang terbaik!" Wayan antusias memandangi aneka lauk yang Lolita siapkan dari rantang. Gadis itu tampak mengambil piring dari rak lalu meletakkan di meja makan. "Boleh makan sekarang?"
"Terserah," jawab Lolita datar dan tak acuh.
Hestama datang. Pria itu menatap Lolita dari perbatasan ruang tivi dan dapur yang menyatu dengan meja makan. Mengamati gerak-gerik Lolita, Hestama mencoba memancing reaksi Lolita. "Abang mau nasi goreng pake bakso ayam yang Andra bawa dari kantornya. Pake telur dadar yang dicampur potongan cabai."
Mendengar ucapan Hestama, Tigor mengirim teguran melalui tatapan mata dan raut wajah. Sedang Wayan, geleng-geleng kepala sambil mempersiapkan diri melihat perang dunia. Namun alih-alih telinga sakit, mata mereka yang justru perih akibat lama terbelalak.
Bagaimana tidak, Lolita si nyinyir yang ketus menoleh pada Hestama dan menjawab. "Tunggu sebentar. Loli butuh waktu untuk buat pesanan Abang." Lalu gadis itu beranjak mengambil batu giling dan mulai menghaluskan bumbu.
Tigor dan Wayan menelan ludah cekat. Ini benar-benar bukan Lolita. Mereka bahkan mendadak diserang rasa takut. Bulu kuduk berdiri dan hawa dingin terasa menerpa tengkuk mereka. Apa ... gadis ini benar-benar Lolita?
Sedang Hestama, tampak pias melihat respon Lolita yang tanpa emosi di wajahnya. Hati pria itu mencelus mendapati gadisnya, oh bukan, gadis yang menarik hatinya, tampak tak memiliki ketertarikan untuk berinteraksi dengannya. Wajahnya datar, responnya datar, pergerakannya pun statis. Sekali diperintah, langsung bergerak. Tak ada penolakan, caci maki, atau negosiasi. Baru satu hari, Hestama sudah rindu ketus gadis itu.
Andra datang dan hanya melirik Hestama yang berdiri terpaku. Enggan memancing Lolita, pria itu langsung duduk di kursi makan dan mengambil makan siangnya. Bersama Wayan dan Tigor, Andra mengisi perut tanpa menyapa adiknya.
Nasi goreng matang. Lolita menyajikan masakan sederhana itu di piring lalu bergerak ke meja makan. Pergerakan sendok dan garpu seketika berhenti, pun kunyahan di mulut tiga pria yang sejak tadi menikmati iga. Tanpa bicara, Lolita meletakkan piring itu lantas kembali ke dapur untuk membereskan perlengkapan masak. Tanpa menyapa Hestama atau mempersilakan pria itu untuk makan.
Hestama menghela napas pilu. Lolita benar-benar di puncak amarahnya. Apa ia salah memaksa Lolita pulang agar tak menghabiskan malam bersama pemuda idamannya? Apa perasaannya salah ketika ada panas saat matanya melihat jelas Lolita mengusap kepala Damar? Ia tahu Damar. Ia bahkan pernah melatih pemuda itu saat diklat enggota baru. Ia hanya ingin memastikan Lolita tak melakukan hal gila yang bisa gadis itu sesali nantinya. Jika malam itu Lolita tidak pulang, gadis itu bisa saja dalam masalah. Andra bukan pria bodoh. Temannya itu bisa melacak Lolita dan Hestama yakin Andra akan marah jika tau adiknya berdusta demi seorang pemuda.
"Makan, Hes. Berdiri aja kayak pelayan hotel." Wayan memecah lamunan Hestama. Saat mengedarkan pandangan, ia tersadar tidak ada lagi Lolita di sekitarnya.
Membuang napas, Hestama berjalan pelan menuju meja makan dan menikmati nasi goreng Lolita yang selalu terasa enak di lidahnya.
"Gue sebenernya heran juga sama Loli." Andra membuka obrolan di meja makan itu. "Perkara rebus indomi aja, ngambeknya sampe begini," lanjutnya seraya menuang es teh yang Lolita siapkan tadi. "Lu yang sabar ya, ngadepin adek gue," lanjut Andra seraya menoleh pada Hestama yang tengah mengunyah. "Ayah manjain dia banget. Gak pernah suruh-suruh dia dan melarang gue perintah dia juga. Justru gue yang disuruh Ayah bantuin dia."
"Santai aja," jawab Hestama ringan meski hatinya terasa berat. "Nanti gue samperin. Ada vocer buat dia," lanjutnya sambil tetap menikmati setiap sendok makanan favoritnya.
*******
"Loli tuh sebel sama temen-temennya Abang. Terutama Bang Hesta." Lolita menjelasakan perihal sikapnya yang aneh pada Bunda. "Mereka itu siapa sih, Bun? Cuma para jomlo yang main ke rumah karena gak punya kesibukan, tapi bikin repot Loli."
"Kamu kok bilang gitu, sih? Pamali tamu dijadiin beban."
Lolita menghentikan adukan kopi hitam. "Emang kenyataannya Loli terbebani. Lagi asik-asik nonton So Ji Sub, mereka suruh Loli rebus mi. Lagi asik-asik main handphone, mereka suruh Loli goreng tempe tahu buat ngemil. Loli sebel, Bun." Lolita memberikan gelas kopi pada salah satu pelanggan, lalu menggunting minuman serbuk rasa sirsak untuk diseduh lagi. "Bukannya apa, kalau mereka laper, bisa kali pesen makan online. Atau, cari gerobak mie tek-tek. Kalau haus, bisa kali beli minuman botol sendiri." Lolita memukul es batu sekuat tenaga. Menyalurkan segala emosi pada bongkahan es itu.
"Tapi mereka baik semua, Li. Bunda ngerasa aman karena Andra berteman dengan orang-orang yang benar. Gak salah pergaulan. Jangankan mabok, ngerokok aja mereka enggak."
"Bang Tigor ngerokok," sela Lolita sambil mengaduk es rasa sirsak.
"Tapi gak pernah berani ngudud di rumah kita," sanggah Bunda yang masih menata lauk di etalase.
Usai memberikan es pada pelanggan yang pesan, Lolita menatap Bunda dengan binar mata nyaris tanpa emosi. "Apapun alasan Bunda yang gak pernah keberatan dengan teman-teman Abang dan aktifitas mereka di rumah kita, Loli gak peduli. Masalahnya disini, Loli yang merasa terbebani karena mereka seenaknya menyuruh Loli ini dan itu."
"Neng, waet kopi satu. Pake es." Lolita menoleh pada satu pria tambun yang memesan minuman lalu mengangguk.
Beranjak menuju meja penyajian minuman, Lolita melanjutkan lagi curahan hatinya pada bunda. "Terutama Bang Hesta. Dia siapanya kita sih, Bun?" Lolita menggunting saset white coffee. "Enak banget gitu kalo perintah Loli."
"Hesta baik sama Bunda. Kamu harus tau itu."
"Tau," jawab Loli sambil menyeduh. "Bang Hesta belanjain Bunda produk pabriknya dia dengan harga karyawan di koperasi kantornya. Loli gak tuli kok, tiap denger Bunda ucapin terimakasih untuk totalan belanja yang super murah." Lolita mengaduk minuman itu. "Tapi Loli benci banget sama Bang Hesta yang seakan punya hak yang sama dengan Bang Andra. Dia itu siapa?"
"Hesta teman Andra," jawab Bunda ringan. Seakan curahan hati Lolita hanyalah keluhan tentang air yang sedang susah keluar di musim kemarau. "Hesta baik. Kamu hanya perlu sedikit rasa ikhlas untuk merasa ringan melakukan apa yang mereka minta saat di rumah kita."
"Susah, Bun." Lolita memberikan minuman pada pelanggan itu. "Bang Tigor sama Bli Wayan juga gitu. Duduk-duduk santai sambil streaming ola atau balap mobil. Haus, tinggal teriakin nama Loli terus minta seduhin ini itu."
"Kasih minum ke tamu itu kewajiban tuan rumah."
"Tamu kok hampir tiap hari dateng," gerutu Lolita yang duduk di depan termos air panas. "Loli rubah password internet rumah jadi anti hestama-hestama club. Biar pada tau kalo Loli lagi sebel sama Bang Hesta." Lolita mengambil ponsel yang bergetar di kantung celananya.
Membaca pesan yang dikirimkan Damar, Lolita tersenyum miris. Sejak kemarin sore, saat ia pulang bersama Hesta, tak satupun pesan Damar ia balas. Lolita malu pada Damar. Malu karena ia yang sudah dewasa ini, masih saja memiliki orang yang mengaturnya. Sejak peristiwa kemarin, bagaimana Damar akan melihatnya? Lolita malu dan semua itu karena Hestama.
Bunda menoleh pada Lolita yang menatap ponselnya sendu. Menghela napas, bunda yang baru saja mengangkat ayam goreng bicara. "Berbuat baik itu, butuh ikhlas dan kerelaan supaya terasa ringan saat dikerjakan." Meletakkan ayam goreng ke dalam etalase, bunda melanjutkan. "Gak ada salahnya berbuat baik kepada orang-orang yang selalu berusaha baik sama kita."
Mendengar penuturan bunda, Lolita justru berdecih sinis. "Baik? Apanya yang baik? Buat Loli, Bang Hesta itu rajanya jahat! Loli bahkan enek banget liat mukanya dia," ucap Loli lantang.
Dan tanpa Lolita tahu, obrolannya dengan Bunda sore ini didengar oleh yang bersangkutan. Hestama berdiri di samping pintu masuk dengan wajah yang datar namun sarat akan kecewa. Entah pada Lolita atau dirinya sendiri. Tigor dan Wayan yang hendak pamit pulang dan mengucap terimakasih atas makan siang mereka, hanya mematung menatap Hestama yang menjadi topik obrolan Lolita dan bunda.
Ibarat pertandingan, Hestama melakukan blunder dengan memaksa Lolita pulang dan melarang gadis itu pergi dengan pria idamannya. Padahal maksud Hestama ..., hanya ingin menghabiskan setiap waktu dengan gadis pujaannya. Meski dengan bertengkar dan mendengar caci maki.
******
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top