7. Kepergian tanpa Kepala

Bagiku, kenyataan dan harapan itu hampir tak pernah berbanding lurus selama berpuluh tahun kumenjajaki kisah cinta yang terlalu melelahkan ini.

“Bagaimana?” Yudai dan Kaiya langsung menghampiri Ayumi yang baru saja keluar dari ruang keluarga. 

Yudai dan Kaiya saling pandang saat mendapati bagaimana ekspresi Ayumi sekarang ini. Bisa dibilang agak muram ditambah manyun yang berkepanjangan. Bukan pertanda bagus! Keduanya makin cemas saat Ayumi sesekali menyeka sudut mata yang siap merembeskan bulir bening hangat ketika mereka menuntun Ayumi keluar rumah.

“Ayo, Kak!” Kaiya menuntun pergelangan tangan Ayumi yang terasa lunglai menuju halaman samping, di mana terdapat banyak batang pohon dengan ranting bersimbah gumpalan salju. Gadis itu memberi isyarat kepada Yudai untuk memegangi pergelangan tangan Ayumi selagi ia membersihkan kursi panjang yang berhadapan langsung dengan jalanan, bertolak dengan dinding samping kanan rumah mereka. 

Yudai mengangguk, membantu menopang pergelangan Ayumi, yang mana gadis itu tidak memberikan respons berarti sama sekali ketika diajak bicara sejak keluar dari ruang keluarga kediaman Akikawa. Tempat di mana Ayumi dan Aisha—ibu Ayumi dan Kaiya, melakukan pembicaraan empat mata setelah Aisha menyambut kehadiran mereka berempat dengan dengkus kasar dan kilat mata yang penuh kemarahan.

Ayumi sudah mencoba menyapa Aisha selembut mungkin, tetapi Aisha seperti enggan mendengar apa pun yang siap Ayumi lontarkan. 

Aisha hanya mengangkat tangan kanan sebatas dada, memberi isyarat kalau saat ini ia tidak ingin mendengar alasan apa pun dan menyuruh Ayumi untuk masuk ke ruang keluarga. Hanya berdua.

Aisha bahkan dengan tegas menyuruh Kaiya yang sempat mengintil untuk berhenti membela kakaknya itu. Satu ucapan yang langsung membuat Kaiya mengangkat rok dan langsung kocar-kacir berlindung di balik punggung Yudai dan Fumio saat Aisha dengan gahar melemparkan sebuah bantal ke arah anak bungsunya itu.

“Ayo, duduk dulu.” Yudai dengan lembut menepuk-nepuk punggung Ayumi. 

Ayumi mengembuskan napas, sedikit oleng saat memosisikan diri tepat di tengah-tengah bangku. Dengan Yudai di sisi kanan dan Kaiya duduk di sebelah kiri. Kaiya menarik telapak tangan Ayumi dan menggenggamnya dengan lembut, mencoba menenangkan Ayumi yang saat ini menunduk dengan sebelah tangan lain menutup sebagian wajah.

“Tenanglah, Kak. Kau bisa ceritakan semuanya pelan-pelan.” Kaiya dengan perlahan menyentuh pundak Ayumi, yang mana gadis itu tersenyum menenangkan saat dilihatnya Ayumi mengangkat wajah. 

Ayumi memijat pangkal hidung, merasakan sebagian kepala berdenyut tak karuan. Bukan hanya itu. Gadis dengan anting di telinga kiri itu pun merasa perasaannya sekarang ini seperti dipenuhi sesak yang teramat besar setelah berbicara bersama Aisha.

Mungkin lebih tepatnya: membiarkan diri dihakimi sepihak.

Ayumi hanya diam sepanjang pembicaraan. Mendengarkan. Urung berbicara saat Aisha memberi isyarat tegas dengarkan saja dan jangan membantah. Rasanya, benar-benar seperti diintimidasi sampai sudut relung hati paling dalam.

Saat Kaiya memberitahu Aisha yang telah selesai menyelesaikan urusan entah apa tiba dari Kanazawa, Ayumi dengan langkah cepat langsung berbalik, menghampiri Fumio tanpa mengindahkan raut bingung yang tercetak jelas di wajah pemuda itu. Ayumi hanya mengatakan ada hal mendesak yang harus diselesaikan saat ini. Gadis itu dengan halus meminta Fumio menunggu di penginapan keluarga Akikawa selagi ia menyelesaikan urusan penting tersebut. 

Fumio justru menggeleng, tahu ke mana arah pembicaraan Ayumi. Masalah keluarga. Fumio sempat mencuri dengar obrolan singkat Ayumi bersama gadis muda yang menghampiri mereka. Fumio dengan tegas berkata kalau ia akan ikut bersama Ayumi, yang mana langsung disetujui oleh si bersangkutan dengan satu anggukan cepat karena sedang tidak ingin berdebat. Dengan cepat, Ayumi menggenggam telapak tangan Kaiya, mempercepat langkah untuk menuju ke rumah. Di belakangnya, Yudai dan Fumio tak saling berbicara atau bersapa berjalan dengan derap langkah tak kalah gesit.

“Apa yang kau lakukan?” Aisha yang mengambil posisi duduk lebih dulu menatap tajam putrinya itu dengan sorot mata sinis. Suaranya sedingin es dan setajam pisau ketika bertanya. Ayumi hanya menunduk, segan menatap sepasang mata Aisha yang tak kalah tajam dari kilat yang dimiliki Fumio. Aisha memicingkan mata, seolah tidak senang dengan respons diam anaknya itu. “Jawab dengan jujur! Apa ini tentang Arata?”

Ayumi diam. Kelu mengucapkan barang sepatah kata pun. Perlu beberapa saat sebelum akhirnya ia mengangguk, memilih untuk jujur. Satu kebohongan akan berujung pada dusta lain. Dan Ayumi tahu benar, Aisha membenci hal itu. “Ya.” Pendek saja ia merespons.

Aisha mungkin bukan tipe yang meledak-ledak. Pengendalian emosinya sangat bagus. Seperti sekarang ini. Hanya dengan beberapa kalimat yang terdengar dingin, perkataan Aisha sanggup membuat Ayumi seperti diempas bolak-balik hingga dasar bumi. “Dia sudah pergi. Meninggalkanmu. Tanpa kabar. Dan kau masih peduli padanya?”

“Ibu ....”

“Sadarlah, Ayumi!” Aisha memotong cepat. Gertakan yang membuat lawan bicaranya langsung bungkam. “Jika Arata memang serius menjalin hubungan denganmu, dia tidak akan pergi begitu saja. Tidak ada jejak. Tanpa kabar. Seharusnya itu cukup untuk menyadarkanmu kalau dia memang tidak pernah serius.”

Suara itu terdengar hampir seperti petir yang menggelegar di telinga Ayumi, membuat gadis itu menjadi serba salah. Tak karuan. Ia tahu Aisha tidak pernah merestui hubungannya bersama Arata. Mau dibawa ke mana masa depan keluarga dan harga diri kalau hanya terus-menerus memikirkan soal pria yang bahkan masa depannya sendiri tidak jelas?

Jangankan masa depan, Aisha tidak ingin melihat bagaimana Ayumi menderita andai putrinya itu serius berhubungan dengan Arata. Masa depan tidak jelas, keluarga dengan latar perpecahan rumah tangga, dan juga, belum tentu pemuda itu mampu setia pada Ayumi yang—Aisha tahu—sudah lama menyimpan luka akibat masa lalu. Ia hanya tidak ingin kesalahan yang sama terulang lagi pada Ayumi.

“Awalnya, aku menaruh respect ketika Arata berjanji berhenti mengirimkan surat-surat bodoh itu kepadamu. Berkata kalau dia akan menghadap sebagai tanda keseriusan. Nyatanya, lima tahun berlalu. Di mana dia sekarang?” Aisha bersedekap, mengatakan rentetan kalimat itu tanpa beban. Tidak tahu kalau putri sulungnya sudah terpaku saking syoknya.

Ibu, apa?

Ayumi terbelalak. “Apa yang Ibu lakukan?”

“Aku tidak melakukan apa pun.”

“Apa yang Ibu katakan kepadanya!?” Entah mendapat keberanian dari mana, Ayumi tanpa sadar meninggikan suara. Sedetik kemudian, baru ia sadar. Tepat ketika mendapati Aisha balas menatapnya dengan sorot sinis. “Maafkan aku.”

“Aku hanya bilang, jika dia serius denganmu, harusnya menghadap langsung. Bukannya mengirimimu surat seperti remaja kasmaran. Dia lantas berjanji, akan berhenti mengirimimu surat dan segera datang kemari. Aku tidak memintanya berhenti mengirimimu surat. Dia sendiri yang memutuskan.” Aisha menatap lawan bicaranya lekat-lekat. “Aku sudah memberikannya kesempatan. Namun, dia justru menghilang. Menurutmu, apa dia patut untuk kau perjuangkan?”

Ayumi mengepalkan telapak tangan di pangkuan, ingin sekali menjerit. Melepaskan sesak. Namun, hanya diam yang ia suguhkan. Pantas saja Arata tidak pernah mengiriminya surat lagi. Seakan lepas dari peradaban. Aisha, wanita yang Ayumi jadikan sandaran hidup, ternyata alasan di balik semua itu.

Ayumi masih bisa mengerti dengan perbuatan Aisha. Namun, Arata? Ayumi memejamkan mata. Kenapa kau tidak jujur kepadaku, Arata-kun? Bahwa surat lima tahun yang lalu adalah surat terakhir pemuda tersebut untuk Ayumi.

Terdengar Aisha menghela napas, mendominasi pembicaraan hingga setengah jam berikutnya.

Tentang harga diri wanita, keputusannya menentang Ayumi dan Arata yang sama sekali tidak memiliki kejelasan, dan bagaimana Ayumi seharusnya memikirkan tentang membentuk masa depan yang lebih baik nanti. Bahkan, Aisha semakin murka saat Ayumi di luar kendalinya sendiri keceplosan soal keputusannya untuk mencari Arata di Kanazawa bersama seseorang yang siap membantu: Fumio. Ucapan yang meluncur begitu saja akibat lelah karena merasa terus-terusan terintimidasi dan berontak untuk melakukan pembelaan. 

Satu pembicaraan yang berujung pada keputusan mutlak: tidak ada lagi Arata dalam hidup Ayumi.

Ayumi harus berpikir logis menyikapi impulsif yang sudah keterlaluan. Begitulah kata Aisha. Bahkan saat Ayumi ingin kembali angkat suara, melakukan pembelaan sekaligus menjelaskan tentang pentingnya masa-masa ini bagi Ayumi, Aisha sama sekali tidak peduli. Wanita itu justru mengibaskan tangan, menyuruh Ayumi untuk berpikir lebih jernih dengan keluar dari ruang keluarga.

Ayumi memijat kening yang berdenyut tak nyaman, benar-benar merasakan sesuatu seperti memompa dada kuat-kuat, yang saking kerasnya, hampir meluluhlantakkan pertahanan yang Ayumi coba bangun.

Kesia-siaan ....

Apakah selama ini Ayumi memang terus bergantung pada sesuatu yang tidak pasti? Gadis itu menghela napas, mendapati Kaiya dan Yudai yang saat ini menatapnya dengan binar ingin tahu. Cerita-cerita itu mengalir juga akhirnya.

Tentang pertemuannya dengan Fumio.

Kenyataan bahwa Arata telah pergi ke Kanazawa sejak lima tahun lalu.

Dan juga, keputusan Ayumi mencoba mencari Arata bersama Fumio ke tempat di mana semua kenangan itu berasal.

Mati-matian Ayumi menahan bulir hangat yang mulai menggenang di sudut mata agar tidak jatuh saat cerita-cerita itu terus mengalir.

Tentang Aisha yang menentang keputusannya pergi ke Kanazawa bersama Fumio, sampai berujung pada kenyataan kalau Aisha tidak ingin hubungan bersama Arata yang coba Ayumi jaga berlanjut. Kenyataan pahit yang membuat Ayumi tidak sanggup menahan rasa sesak yang mulai menyelinap ke dalam dada.

Angin semilir musim dingin mulai menyapa dalam keheningan. Ayumi mendesah pelan, menutup wajah dengan kedua telapak tangan, mencoba menenangkan hati dan pikiran yang mulai berkecamuk.

Kaiya yang menyaksikan bagaimana keadaan Ayumi yang saat ini hanya bisa menyentuh pergelangan tangan Ayumi, mengusapnya dengan penuh kasih sayang, membantu menenangkan kakaknya itu.

Kaiya celangak-celinguk, menyadari kalau pemuda yang kakaknya boyong dari Nagoya itu tiba-tiba saja raib entah ke mana. “Di mana Fumio-san? Bukannya tadi bersama kita?”

Laki-laki yang bisa dibilang agak menakutkan bagi Kaiya. Akan tetapi, dari sorot mata Fumio setiap kali menatap Ayumi, bisa ia rasakan kalau pemuda itu sebenarnya cukup baik dan bertanggung jawab menjaga Ayumi selama kakaknya itu berada di Nagoya. Namun, tetap saja. Dengan wajah cenderung judes dan sorot mata setajam pisau yang diasah tujuh kali sehari, Kaiya agak segan untuk sekadar menyapa ataupun mengajak Fumio bicara.

Jangankan padanya. Pada Yudai yang jelas-jelas satu gender saja, laki-laki itu hanya merespons seperlunya—bahkan cenderung dingin. Hal yang membuat Yudai langsung angkat tangan, menyerah. Mengajak Fumio berkomunikasi dua arah hampir sama sulit dengan mengajak orang gagu bicara secara normal. 

“Yudai, apa kau melihatnya?” Kaiya mengarahkan pandangan pada Yudai. Pertanyaan yang hanya direspons gelengan oleh si bersangkutan.

“Fumio ada di dalam. Bicara empat mata dengan Ibu.”

Baik Kaiya maupun Yudai sama-sama terlonjak saat Ayumi mengangkat wajah seraya bertopang dagu ketika menjawab pertanyaan yang Kaiya lontarkan. Gadis itu memejamkan mata, ingat bagaimana Fumio menyentuh bahunya lembut saat ia keluar dari ruang keluarga dengan perasaan yang tak karuan.

Fumio mengangguk pelan, meskipun ekspresi datar itu seolah tak pernah hengkang satu senti pun dari wajah laki-laki dengan anting di telinga kanan itu. Ayumi mendesah, hampir khilaf menjatuhkan dahi ke bahu bidang Fumio sebelum sadar kalau pemuda di hadapannya ini bukan sebangsa Yudai yang bisa dijadikan sandaran kapan saja.

Tanpa sadar, wajah Ayumi lagi-lagi terasa panas seperti akan meledak. Benar-benar memerah seperti tomat segar siap petik dan panen. Sial! Ayumi merutuk dalam hati seraya berbalik, membelakangi Fumio yang mengangkat sebelah alis, bingung dengan sikap Ayumi. 

Fumio tersenyum tipis, mendekat seraya memegang bahu Ayumi sebelum masuk ke ruang keluarga Akikawa untuk melakukan pembicaraan dengan Aisha.

Pembelaan terhadap korban tertuduh. Fumio sempat-sempatnya mengejek, yang mana membuat Ayumi tanpa pikir panjang langsung menginjak kaki pemuda itu saat Fumio mengucapkan kalimat itu ke telinga Ayumi sesaat sebelum melangkah menuju ruang keluarga.

Makan pembelaanmu itu. Ayumi mendengkus kesal.

“APA!?”

Ayumi meringis, meletakkan telunjuk di depan bibir, memberi isyarat agar Kaiya dan Yudai tidak membuat keributan. Bukan tidak mungkin Aisha menyiram mereka dengan segelas teh panas jika mendengar ada keributan saat melakukan pembicaraan penting dengan seseorang. 

Kaiya mengibaskan tangan, mengabaikan isyarat Ayumi. Kakaknya itu pasti sudah kehilangan akal setelah pulang dari Nagoya. Membiarkan laki-laki bicara serius terkait putri-putri Aisha adalah hal yang paling Kaiya hindari, bahkan meski itu Yudai sekalipun. Kakaknya itu seharusnya tahu kalau membiarkan Fumio berbicara empat mata dengan ibu mereka hanya akan memperkeruh suasana.

“Apa yang Kakak lakukan? Percayalah, dia tidak akan lolos hidup-hidup.”

Ayumi sendiri bukannya tidak memperhitungkan risiko seperti ini. Gadis itu tahu betul kapan jadwal Aisha akan pulang dari Kanazawa. Dua hari lagi seharusnya. Ayumi tidak akan salah ingat karena ia sendiri yang mengurus reservasi penginapan Aisha selama berada di Kanazawa.

Seharusnya semua baik-baik saja. Tepat sebelum Kaiya memberitahu Ayumi kalau jadwal pulang Aisha dipercepat karena urusan yang wanita itu ampu sudah selesai. Sekarang, ibu mereka itu benar-benar kehabisan stok kesabaran setelah Kaiya sempat berbohong dengan mengatakan kalau Ayumi sedang sibuk di penginapan.

Itu terjadi sehari sebelum Ayumi kembali yang secara kebetulan berpapasan dengan Kaiya dan Yudai yang ingin menyusul ke Nagoya. Tepat setelah Aisha murka ketika Kaiya mengaku kalau sebenarnya Ayumi tidak sedang berada di penginapan, bahkan Shirakawago saat ini. Melainkan pergi ke Nagoya untuk mencari tahu soal Arata. 

Aisha tanpa ampun langsung menjewer Kaiya, mengancam kalau Ayumi tidak segera kembali, baik Kaiya ataupun kakak tersayangnya itu tidak akan diterima lagi di kediaman Akikawa. Segala upaya sudah Kaiya lakukan untuk mengingatkan Ayumi nun jauh di Nagoya sana. Mulai dari mengirimkan pesan beruntun yang tidak berbalas, sampai panggilan berpuluh kali yang tidak bersambut jua.

Pilihan teraman saat itu tentunya berkemas dan segera bergegas pergi ke Terminal Nohi Bus Shirakawago sesegera mungkin. Untungnya, Yudai bersedia menemani. Nasib baik, karena tanpa perlu disusul, Ayumi kembali bersama pemuda bernama Fujiwara Fumio.

“Apa yang harus kukatakan?” Ayumi mendesah. “Dia sama keras kepalanya seperti Ibu. Lagi pula, aku tidak akan bisa mencegahnya. Cepat atau lambat, Ibu pasti akan tahu alasanku kenapa harus sampai pergi ke Nagoya hanya demi Arata. Memberikan kesempatan bagi Fumio dan Ibu bicara kurasa pilihan tepat saat ini.” Ayumi mengembuskan napas panjang, mengusap dahi yang mulai mengeluarkan satu-dua keringat dingin.

Entah kenapa Ayumi benar-benar mencemaskan Fumio saat ini. Meski ia tahu ego Fumio dan Aisha hampir sama kuat, Ayumi tetap cemas memikirkan konsekuensi buruk apa yang mungkin terjadi pada Fumio setelah ini.

Ayumi memang belum menjelaskan siapa Fumio kepada Aisha, bahkan setelah mereka tiba di hadapan Aisha yang saat itu akan pergi keluar. Mereka bertiga sama terkejutnya. Saling terpana sebelum Ayumi berdeham dan menyapa ibunya itu dengan lembut untuk mengurangi suasana atmosfer yang tiba-tiba saja terasa begitu berat dan mengintimidasi.

Meski Aisha tidak mengucapkan sepatah kata pun tentang Fumio atau siapa pemuda itu, jelas sekali, saat mereka berdua bertemu untuk pertama kalinya, Ayumi bisa merasakan baik Fumio maupun Aisha seperti membangun benteng pertahanan pada detik pertama. Dengan Aisha mencoba menerobos benteng itu dengan memberi isyarat kalau ia ingin bicara empat mata bersama Fumio setelah wanita itu berbincang dengan Ayumi nanti.

“Bagaimana Kakak bisa mengorbankan Fumio—” Ucapan Kaiya langsung terpotong saat yang dibicarakan tiba-tiba saja keluar dari dalam rumah seraya menatap ke arah mereka bertiga dengan tatapan tajam.

Mau tidak mau Kaiya langsung menenggak ludah, terutama ketika Fumio berjalan mendekat dengan kedua telapak tangan dimasukkan ke saku celana plus tatapan tajamnya saat menatap Kaiya.

Kaiya langsung panas-dingin. Terlebih Fumio sudah berdiri di hadapan mereka bertiga saat ini. Fumio menatap satu per satu orang yang sekarang duduk di depannya sebelum tatapan itu terhenti pada Kaiya yang tidak bisa menahan diri untuk tidak meringis, ngeri sendiri dengan tatapan setajam belati itu.

Fumio mengangkat sebelah alis, tetap tenang meski ia sadar benar kalau pemuda yang tengah duduk di samping kanan Ayumi memicingkan mata saat Fumio menatap lekat-lekat Kaiya, mengenali lebih jelas wajah adik Ayumi itu.

Fumio menyeringai, berdeham dua kali sebelum angkat suara. “Kaiya-san?” tanya Fumio yang langsung disambut anggukan gadis muda yang duduk di samping kiri Ayumi itu. Fumio manggut-manggut, mengerti. Pantas saja wajah mereka terlihat begitu mirip, pikir Fumio sesaat. “Aisha-san memanggilmu,” katanya lagi.

Kaiya cengo seketika. “Sekarang? Untuk apa?”

Aduh! Mati aku, Kaiya menepuk jidat dengan frustrasi.

Lagi-lagi Kaiya mendesah khawatir. Setengah ragu, gadis itu berdiri saat Fumio mengangguk dan mengedikkan bahu tanda kalau ia sendiri tidak tahu kenapa Kaiya dipanggil.

Baru saja Kaiya ingin melangkah, seruan membahana Aisha terdengar dari dalam rumah, menyerukan nama Kaiya kuat-kuat.

Tak ayal, Kaiya langsung berlari masuk seraya berdoa agar selamat setelah ini.

Melihat hal tersebut, tak ayal Fumio tersenyum tipis.

Berbeda dengan Ayumi dan Yudai yang saling pandang.

Ada apa ini?







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top