5. Ketika Dua Takdir Bersatu

Bersama denganmu, aku seperti teringat masa lalu, dan tragisnya, aku kemudian meyakini bahwa kau bukan masa laluku setelah satu kalimat terlontar darimu.

Tak sadarkah kau kalau itu benar-benar menyakitiku, meski aku tak pernah mengatakannya kepadamu?

“Maaf merepotkanmu, Nyonya Hana.” Tersirat nada tidak enak dalam suara Fumio. Pemuda itu menarik pergelangan tangan Ayumi untuk mengikuti derap langkah Nyonya Hana. “Maaf juga kalau perempuan ini merepotkan, Nyonya.” Sekonyong-konyong, tidak ada hujan, tidak ada badai, Fumio mengedikkan dagu ke arah Ayumi saat mereka bertiga berhenti di depan salah pintu sembari menunggu Nyonya Hana memilah kunci dan membuka gembok.

Ayumi sontak memelotot garang, melayangkan satu injakan keras ke kaki Fumio yang mana langsung membuat sang empu kaki ketar-ketir.

“Ah, iya.” Ayumi—pura-pura—tersenyum manis bak kembang gula. “Maaf kalau kami merepotkan Anda, Nyonya.” Ayumi mengangguk seraya menekan kuat-kuat kata kami. Bentuk sindiran tajam pada Fumio yang masih menunjukkan sedikit ekspresi kesakitan, yang mana membuat laki-laki itu menjadi sedikit lebih manusiawi. 

Ayumi lantas sedikit membungkuk di hadapan Nyonya Hana yang mana langsung disambut kekehan oleh wanita tua itu. Nyonya Hana mengangguk, berkata kalau dia mafhum dengan kelakuan anak muda zaman sekarang yang energik dan penuh gairah semangat. 

Nyonya Hana membukakan pintu, memberi isyarat kepada Fumio dan Ayumi untuk mengikuti.

Sesaat, Ayumi tertegun sekaligus terhenyak saat memasuki ruangan itu. Benar-benar di luar ekspektasi saat Nyonya Hana mengatakan kalau ia akan mengajak Ayumi dan Fumio menuju basemen. Tempat di mana Nyonya Hana menyimpan arsip dan juga berkas tentang siapa saja yang pernah menjadi anggota dari keluarga besar Apartemen Origin. Untuk jaga-jaga, jelas Nyonya Hana seraya tertawa kecil. 

Wanita tua itu menambahkan kalau ia sering merindukan mereka yang pernah menyewa apato. Nyonya Hana juga mengatakan kalau tidak banyak orang yang menyewa apato di sini. Selain tampilan luarnya jauh dari kata menarik, apartemen ini juga jauh dari keramaian. Karena itulah, Nyonya Hana menganggap mereka yang pernah menyewa apato di sini adalah keluarga yang sangat ia sayangi, termasuk Arata. 

Ayumi tidak terlalu terkejut. Meski sudah empat tahun sejak Nyonya Hana mengirimkan surat untuknya serta beberapa kali berkirim pesan pendek, Ayumi masih ingat dengan fakta itu. Bahwa Nyonya Hana senang menyimpan berkas dan arsip penghuni Apartemen Origin. Begitu yang Nyonya Hana katakan kepadanya.

Ayumi ingat hari itu.

Seminggu setelah ia menerima surat Nyonya Hana, gadis itu diam-diam—tanpa sepengetahuan Aisha, bahkan juga Kaiya—mengirimkan balasan balik. Bertanya apakah Nyonya Hana memiliki informasi lain tentang Arata selain fakta kalau pemuda itu ternyata sudah hampir setahun pulang ke kampung halaman.

Sisi tragisnya bagi Ayumi, Arata bahkan tidak memberitahunya. Hanya menuliskan dalam surat terakhirnya kalau ia akan pulang ke kampung halaman dengan segera. Tanpa memberi penjelasan ke mana dan kapan tepatnya. Membuat Ayumi berharap Arata masih di Nagoya dan akan memberitahunya. Berharap Arata akan membalas suratnya. Setelah sekian surat yang kembali, ditambah sepotong jawaban dari Nyonya Hana, Ayumi sadar, ia berharap pada angan-angan semu selama ini.

Tiga hari setelah surat dikirim, di satu sore yang mendung, terdapat panggilan dari nomor tak dikenal. Ayumi yang selesai menutup kedai dan berencana segera pulang langsung mengurungkan niat tersebut. Bergegas, gadis itu kembali ke dalam kedai. Menerima panggilan tersebut. “Selamat sore. Dengan Akikawa Ayumi. Ada yang bisa dibantu?”

Hening. Ada jeda sebelum si penelepon menyahut, “Ayumi, ini Nyonya Hana.” Suara itu terdengar ramah dan keibuan.

Ayumi mengerjap. “Pemilik Apartemen Origin?” tanyanya, memastikan.

Satu kekehan pelan mengalun dari ujung sana. “Benar. Ah, harusnya aku mengirimkan pesan pendek terlebih dahulu. Kau pasti terkejut. Maafkan aku, Nak.”

“Tidak apa-apa, Nyonya. Tidak masalah.” Ayumi buru-buru menenangkan. Ditariknya salah satu kursi, memosisikan diri dengan nyaman. “Apa surat yang kukirimkan sudah sampai, Nyonya?”

Basa-basi yang basi. Jelas Nyonya Hana sudah menerima surat tersebut. Bukan hanya surat. Ayumi juga menyelipkan kartu nama berisi nomor yang bisa dihubungi.

“Ya, baru saja sampai. Aku sudah membacanya. Mewakili Arata, aku minta maaf. Kau pasti sempat kebingungan. Ternyata bukan hanya aku yang kehilangan-nya.” Terdengar nada sesal dari ujung sana.

Sangat. Ayumi menarik napas dalam, berusaha menguatkan diri. “Tidak apa, Nyonya. Arata mungkin memiliki alasan yang tidak kita ketahui.”

Sengaja Ayumi menggunakan kata kita, sekadar menghibur sekaligus memberikan sinyal halus. Bahwa Nyonya Hana tidak perlu meminta maaf.

Berat mengakui, tapi jika ada yang harus meminta maaf, orang itu bukan lain adalah Arata sendiri.

Nyonya Hana mengiakan sebelum berbicara panjang lebar. Ada getar yang bisa Ayumi dengar. “Arata memang bercerita kalau dia ingin segera pulang ke kampung halamannya. Namun, sependek yang bisa kuingat, entah dia pernah mengatakan di mana, tapi aku terlalu tua untuk bisa mengingatnya, atau bagaimana, Arata tidak pernah menyebutkan dengan jelas di mana kampung halamannya itu. Sampai hari di mana ia pergi, dia hanya berpamitan dan berkata akan rutin mengirimkan kabar. Satu tahun berlalu. Nyatanya, dia tidak pernah menghubungiku sejak kepergiannya.”

Dari cara Nyonya Hana bertutur, Ayumi menebak kalau wanita tersebut cukup dekat dengan Arata. Tebakan yang dibenarkan Nyonya Hana. Bahwa ia mengenal baik Arata sejak pemuda itu pertama kali menyewa apato di apartemennya.

Pemuda yang baik, periang, ceria, lincah, dan energik, kata Nyonya Hana lagi. Deskripsi yang sejenak membuat Ayumi tersenyum kecil. Benar-benar seperti Arata yang ia kenal.

“Aku mengerti.” Sebelah tangan Ayumi terangkat, menarik sumpit yang menahan kundai rambut. Sementara tangan lainnya tanpa sadar mencengkeram erat ponsel yang ia dekatkan ke telinga. “Terima kasih, Nyonya.” Baru Ayumi akan memutus panggilan, bisa ia dengar Nyonya Hana memanggil. Membuat Ayumi mengurungkan niat. “Ya, Nyonya?”

“Apa kau keberatan menunggu sebentar, Nak? Aku sedang menuju basemen. Mungkin ada sesuatu yang Arata tulis sebelum dia meninggalkan apartemen ini.”

Mendengarnya, Ayumi mengernyit. Tidak mengerti. “Sesuatu yang Arata tulis?”

Nyonya Hana membenarkan. “Ah, ini sebenarnya kebiasaanku sejak muda. Aku senang mengumpulkan arsip, menulis dokumentasi peristiwa yang kuanggap penting, dan sebagainya. Kebiasaan yang terus terbawa hingga usiaku sekarang. Setiap kali ada penghuni apato yang pindah, aku selalu meminta mereka mengisi beberapa data yang bisa kujadikan sebagai kenang-kenangan. Aku ingat pernah meminta Arata mengisi dokumen sebagai arsip.”

Ingin sekali Ayumi mengiakan. Namun, sudah terlalu petang. Masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Belum lagi Aisha yang kerap menunjukkan raut tidak suka, bahkan sinyal-sinyal perang dingin jika mendapati Ayumi pulang terlambat.

Pelan-pelan, Ayumi menjelaskan, “Sebenarnya aku tidak keberatan, Nyonya. Namun, ada beberapa hal yang harus kukerjakan.” Gadis itu menggaruk tengkuk dengan ujung telunjuk, tidak enak hati. Semoga Nyonya Hana mengerti, harapnya.

Untunglah, harapan itu bersambut. “Akan kukabari jika aku menemukan sesuatu.”

Ayumi sebenarnya ragu untuk mengatakan ini. Namun, demi kemaslahatan bersama, ia rasa perlu untuk menyebutkan permintaan kecil itu. “Apa Nyonya keberatan mengabarinya lewat pesan pendek saja? Bukan berarti aku keberatan kita berbicara langsung, tapi ada hal yang ... ah, bagaimana mengatakannya, ya?” Jika sampai Aisha memergoki, itu akan menjadi masalah. Sederhananya begitu.

“Aku mengerti.”

Ayumi mengangguk, memutus panggilan setelahnya.

Benar saja. Ketika Ayumi tiba di rumah, terlihat Aisha menunggu dengan raut wajah kaku. Ayumi mengembuskan napas panjang, mengerti. Buru-buru ia menyiapkan makan malam. Entah nasib baik sedang mendukungnya atau apa, usai makan malam bersama, Aisha langsung masuk ke kamar tanpa berkata apa-apa. Meninggalkan Ayumi dan Kaiya yang saling pandang. Sama-sama bingung.

“Mungkin Ibu kelelahan,” tebak Kaiya saat Ayumi bertanya apa ada sesuatu yang salah. “Kakak istirahat saja. Biar aku yang membereskan ini.” Gadis itu memberi isyarat dagu pada peralatan makan yang perlu dicuci.

Ayumi mengangguk, berterima kasih sebelum berlalu. Masuk ke kamar dan mengunci pintu rapat-rapat. Disambarnya ponsel, mengecek kotak pesan. Benar saja dugaannya. Nyonya Hana mengirimkan pesan pendek. Buru-buru Ayumi membuka pesan tersebut, berharap ada kabar baik. Sayangnya, yang tertera jauh dari harapan.

“Maaf, Nak. Aku tidak menemukannya. Beri aku waktu. Mungkin terselip di suatu tempat. Akan kukabari kalau ada perkembangan terbaru.”

Jujur, awalnya Ayumi menaruh harapan besar. Hari demi hari, minggu berganti, bulan berlalu, Nyonya Hana yang terus mengabarkan update terbaru memberi Ayumi jawaban yang sama: ia tidak menemukannya. Membuat Ayumi yang berharap perlahan mulai belajar untuk ikhlas. Merelakan. Karena memang sudah tidak ada pilihan lain.

Gadis itu mencoba berpikir positif, menghibur hati dan diri. Ada dua kemungkinan. Pertama, mungkin Arata memang menuliskan sesuatu sebagai arsip Nyonya Hana sebelum pergi dari Nagoya, dan catatan itu hilang entah ke mana. Atau, kemungkinan kedua, Nyonya Hana salah ingat. Arata tidak pernah menuliskan apa pun. Pergi begitu saja.

Dua kemungkinan yang hanya Ayumi simpan dalam hati untuk waktu yang lama. Hingga sekarang, di mana dia berada kini.

Nagoya.

Bertemu dengan Nyonya Hana, juga Fujiwara Fumio.

Fujiwara Fumio. Ayumi melirik laki-laki yang berdiri di sebelahnya itu. Pemuda itu benar-benar seperti salju. Terlihat dingin. Ekspresi wajah yang kaku. Juga, dengan sorot mata setajam elang, serta tutur kata yang sanggup mengguncang Ayumi. Memorakporandakan hati dan pikirannya. Tepat ketika Fumio melontarkan pertanyaan yang langsung mengiris perasaan Ayumi saat itu juga.

“Bagaimana kalau Arata ternyata sudah tidak ada?”

PLAK!

Tanpa sadar, satu tamparan keras mendarat tepat di pipi kanan Fumio, diiringi deru napas Ayumi yang menguarkan amarah tak kentara. Matanya menyalak garang, menyiratkan kilat tajam yang tak pernah gadis itu tunjukkan kecuali pada Fujiwara Fumio yang sekarang ini benar-benar melampaui batas dan menguji kesabaran Ayumi.

Tak sadarkah Fumio pertanyaan itu terasa menyakitkan bagi Ayumi, meski diucapkan dengan nada sedatar apa pun yang pemuda itu bisa lakukan? 

Ayumi mengerti kalau Fumio hanya mencoba mengutarakan kemungkinan yang dirasa logis, tapi lagi-lagi pikiran dan perasaan Ayumi memberontak.

Seharusnya Fumio tahu kalau bukan itu yang dibutuhkan Ayumi saat ini.

Ayumi menunduk, menahan bulir air mata yang hampir menetes. Tangannya terkepal erat, menahan amarah yang bergejolak dalam dada. Rentetan umpatan yang siap Ayumi semburkan tepat di wajah dan—kalau bisa—perasaan Fumio tiba-tiba saja lenyap. Lidahnya terasa kelu untuk mengatakan sepatah kata pun. 

Hanya ada hati dan pikiran yang memainkan emosi saat ini, dan Ayumi benci hal itu. Perempuan dengan anting di telinga kiri itu memijat pelipis yang mulai berdenyut tak karuan. Ayumi mendesah, berbalik dan mengambil langkah sebelum sebuah tangan menahan pergelangan Ayumi.

Ayumi mendelik sebal, mengentak tangan dengan maksud agar cengkeraman Fumio terlepas. Minimal pria itu sadar kalau Ayumi tidak ingin bicara atau mendengarkan apa pun itu untuk sekarang ini. Ayumi hanya ingin menenangkan pikirannya. Itu saja. Tak kurang-tak lebih. Namun, tetap saja. Fumio bergeming sampai Ayumi sendiri yang harus berbalik dan menghujamkan pelototan garang kepada Fumio yang menatap dengan sorot mata melembut.

Satu entakan lagi dari Ayumi, dan barulah Fumio melepaskan pergelangan tangan yang ia cengkeram kuat-kuat itu. Ayumi mengembuskan napas panjang. “Aku sedang tidak ingin bicara saat ini. Tolong, mengertilah.”

Ini mengerikan! Tatapan Fumio yang saat ini terkesan sedikit mengiba malah membuat Ayumi rela menjatuhkan harga diri untuk memohon.

“Dengarkan aku dulu, Ayumi.” Fumio mengembuskan napas, membentuk kepulan uap samar kala pemuda itu berbicara. Dingin. Sama seperti pribadi pemuda itu yang benar-benar tak bisa Ayumi tebak bagaimana caranya agar mereka berdua bisa saling koheren.

Ragu, Ayumi dengan setengah hati menatap sepasang mata yang kembali menguarkan kilat tajam itu. Perempuan itu tersentak saat Fumio memegang kedua bahunya, memberitahu kalau mungkin Nyonya Hana bisa membantu mereka berdua untuk memecahkan masalah soal Arata. 

Tidak ada permintaan maaf sedikit pun dari Fumio. Hal yang membuat perasaan Ayumi tanpa sadar teriris. Gadis itu dengan cepat mengusap kedua pipi, berusaha fokus terhadap Arata. Bukannya tentang bagaimana perasaannya terhadap Fujiwara Fumio saat ini. Ayumi—mencoba—tersenyum mafhum seraya mengangguk, kembali mengikuti derap langkah Fumio kembali ke Apartemen Origin dan menemui Nyonya Hana.

“Satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah berharap catatan Arata terselip di suatu tempat di bawah sana,” kata Nyonya Hana begitu Fumio selesai menjelaskan keadaan dan meminta bantuan. Wanita tua itu menatap Ayumi sejenak. “Ayumi jelas sudah mengetahui itu. Bukan sekali-dua aku mencarinya. Aku bahkan sempat menggeledah apato-nya. Aku mungkin memang sudah terlalu tua untuk bisa mengingat beberapa hal. Namun, aku tidak bisa melupakan kepergian Arata hari itu.”

Kepergian Arata jelas sekali menimbulkan kekosongan di hati mereka bertiga. Hampa yang saling terkoneksi karena satu orang: Arata itu sendiri.

Nyonya Hana lantas mengajak Ayumi dan Fumio ke basemen. Mencoba peruntungan memeriksa arsip riwayat siapa saja yang pernah menyewa apato di Apartemen Origin yang Nyonya Hana simpan di sana. Peruntungan yang berujung pada satu harapan: semoga saja arsip Arata bisa ditemukan kali ini.

Di sinilah Ayumi sekarang.

Mereka tengah berada di sebuah kamar yang terlalu bagus untuk bisa disebut basemen. Sebuah kamar dengan fasilitas beristirahat umumnya. Satu buah ranjang terletak di sisi kanan ruangan, lemari kayu, dan sebuah meja dengan beberapa foto bertengger manis—mungkin Nyonya Hana sewaktu masih muda bersama keluarga. Ayumi sendiri baru sadar, berstatus sebagai pemilik apartemen tidak menghalangi Nyonya Hana untuk menempati salah satu apato. Lebih menyenangkan ketimbang tinggal sendirian di rumah besar yang terasa hampa. Begitu kata Nyonya Hana.

Nyonya Hana menghela napas, tak berkata apa pun lagi selain mengajak Ayumi dan Fumio mengikuti derap langkah menuju sudut ruangan, di mana terdapat sesuatu yang, baik Ayumi ataupun Fumio, tidak menyadarinya. Satu hal yang membuat Ayumi makin terhenyak ketika Nyonya Hana membungkuk, mengambil posisi bercangkung seraya membuka gembok di sana.

Sebuah pintu yang menempel di lantai kamar—wanita tua itu baru saja mengatakan kalau akses menuju basemen hanya bisa dilalui melalui ‘pintu rahasia’.

Untuk jaga-jaga, kata Nyonya Hana. Arsip dan berkas terlalu berharga untuk ditukar dengan kecerobohan yang tidak disangka-sangka.

Nyonya Hana menegakkan badan, menyeringai geli saat mendapati Ayumi melongo, kagum dengan pemikiran Nyonya Hana. Fumio mengangkat sebelah alis, sedikit terpana dengan perhatian terpusat pada anak tangga menuju basemen yang tampak gelap. 

Sesaat, Fumio merinding tanpa bisa dicegah, dengan bulu kuduk yang spontan berdiri saat menyadari betapa gelap keadaan di bawah sana. Bahkan saat Nyonya Hana memberikan isyarat dengan tangan agar mereka semua turun menuju basemen, kernyit takut dan keringat dingin sempat menghiasi wajah Fumio. Pemuda itu menggeleng, beralasan bahwa ia akan berjaga saja di atas sini.

Alasan yang membuat Ayumi mengangkat alis saking absurdnya.

“Hei, ayo!” Ayumi berkacak pinggang, memelotot kesal saat Fumio tetap bersikukuh menolak turun dengan alibi menjaga keamanan Nyonya Hana dan Ayumi. Ayumi menepuk dahi, mengusap wajah dengan perasaan dongkol. “Alasan macam apa itu? Kau sebenarnya berniat membantu atau tidak?”

“Jadi, kau pikir apa yang sudah kulakukan sampai sekarang ini tidak cukup membantu?” Fumio membalas sengit. Pemuda yang masih setia berdiri di ujung anak tangga paling atas itu bersedekap, melemparkan tatapan meremehkan. “Jangan manja! Cepat pergi dan bantu Nyonya Hana mencari berkas yang kita perlukan!”

Sabar. Ayumi mendengkus, berusaha keras agar jangan sampai bablas melayangkan satu jitakan ke kepala atau tendangan telak pada kaki jenjang Fumio.

Ayumi mengusap wajah, setengah bingung dan setengahnya lagi merasa frustrasi berat karena Fumio terus menolak untuk turun ke basemen. “Fumio, jangan bilang kalau kau—”

Ucapan Ayumi terputus saat menyadari satu kemungkinan yang amat-sangat-bisa-saja terjadi. Sesaat, gadis itu terkekeh. Hal yang membuat Fumio langsung melemparkan tatapan setajam parang.

“Apa?” Fumio spontan menyalak.

Ayumi justru semakin geli, menaikturunkan alis, menggoda pemuda dengan rambut sepekat langit malam tanpa awan itu. “Aku mengerti. Baiklah, baiklah.”

“Apa yang kau mengerti?” Fumio berdesis gahar.

“Kau takut dengan gelap, ya?”

Ayumi mengerling jail, menahan tawa yang hampir meledak saat menyaksikan Fumio terbelalak diiringi rona merah yang hinggap di kedua belah pipi pemuda itu. Tampak sangat kontras dengan kulit mulus seputih salju Fumio.

Ayumi semakin tak bisa menahan semburan tawa saat dilihatnya Fumio memalingkan wajah dengan kedua pipi merona hebat. “Iya, kan? Mengaku saja.”

“Ti-tidak mungkin!” Fumio mengelak, tak bisa menampik rona merah yang tiba-tiba saja hinggap di kedua belah pipi. “Apa-apaan itu? Konyol sekali!” kilah Fumio lagi, tetap tak terima dengan ledekan Ayumi.

Ayumi melipat tangan di depan dada, menantang seberapa besar ‘keberanian’ Fumio sekarang ini. “Begitu? Kalau begitu, ayo! Kita tentu harus membantu Nyonya Hana memilah-milah berkas dan dokumen di bawah sana, bukan? Ayolah!”

Ayumi yang sudah berada di anak tangga ke empat lantas dengan cepat kembali ke atas, menyeringai ke arah Fumio yang sudah menenggak ludah sedari tadi. Dengan kedua belah telapak tangan, Ayumi mendorong Fumio untuk ikut turun ke basemen. 

Ayumi kembali tergelak saat Fumio dengan mimik panik yang benar-benar natural tanpa bercampur ekspresi dingin berniat mengambil langkah mundur. Mencoba memberontak saat menyaksikan basemen yang benar-benar terlihat ... gelap, pengap, dan mengerikan. 

“He-hei! Jangan mendorongku seperti itu, Ayumi! Itu terlihat licin dan agak gelap.” Fumio meringis tertahan saat sebelah kaki mulai menapak anak tangga yang pertama. “Ayumi, berhenti! Berhenti, kubilang!”

“Ayo, ayo!” Ayumi terkekeh, sadar kalau Fumio terlonjak kaget saat ia menutup pintu yang menghubungkan kamar Nyonya Hana dengan basemen. “Kau tidak takut dengan gelap, kan?” Ayumi tidak tahan untuk tidak menggoda Fujiwara Fumio yang sekarang ini sudah memejamkan mata. 

Drama soal gelap ini baru berhenti saat Nyonya Hana yang sudah tiba terlebih dahulu di bawah sana menghidupkan sakelar lampu. Nyonya Hana mengernyit saat mendapati Ayumi dan Fumio masih berada di anak tangga. Dengan Fumio yang memejamkan mata seolah takut dengan sesuatu, dan Ayumi yang sesaat terlonjak ketika lampu dinyalakan.

Nyonya Hana berdeham, menarik perhatian dua muda-mudi itu dari bawah sini. “Ayumi, Fumio, apa yang kalian lakukan di sana?”

Nyonya Hana mengangkat alis sebelum terkekeh saat melihat Ayumi tersentak. Gadis muda itu dengan cepat menarik kedua belah telapak tangan yang semula mendorong punggung Fumio. Belum lagi Fumio yang perlahan membuka mata, mencoba mengedarkan pandangan ke seluruh area basemen yang telah bermandikan cahaya dan bernapas lega sesudahnya. Sontak Nyonya Hana makin menyeringai geli.

Fumio berdeham sebelum menjawab pertanyaan Nyonya Hana dengan nada datar. Khas pemuda itu. “Ayumi takut gelap, Nyonya. Aku sudah bilang semuanya akan baik-baik saja, dan dia masih saja merengek sambil memelukku,” ucap Fumio dengan santai, yang langsung membuat Ayumi terbelalak. 

Tak pelak, wajah Ayumi merah padam. Apalagi Nyonya Hana ikut terkekeh bersama Fumio yang tersenyum tipis, menyeringai puas.

Enak saja! Ayumi langsung kesal. Dasar triplek pembolak-balik fakta menyebalkan! Ayumi mengerang dalam hati, tidak terima. Belum sempat Ayumi mengeluarkan pembelaan, Fumio buru-buru meletakkan telunjuk tepat di depan bibirnya, menyuruh agar gadis itu tidak banyak bicara lagi dan segera turun. 

Ayumi mendengkus. Kalau saja tidak ada Nyonya Hana yang mulai memilah-milah berkas di bawah sana, sudah ia dorong saja pemuda di depannya ini saking jengkelnya.

Ayumi menghela napas. Bersama dengan Fumio, mereka berdua memeriksa berkas-berkas di rak sebelah kanan basemen. Sementara itu, Nyonya Hana memilah-milah berkas yang berada di rak sebelah kiri.

Ah, bukan. Ayumi menggeleng, mengembalikan beberapa berkas kembali ke tempatnya.

Basemen ini cukup luas dengan memiliki dua rak besar yang masing-masing menempel di kanan-kiri dinding ruangan. Hal yang cukup membuat Ayumi menggaruk kepala saking rumitnya. Ada banyak sekali arsip di ruangan ini.

Terlebih, Nyonya Hana mengatakan kalau berkas dan arsip ini sudah ada sejak ia masih sangat muda sebagai dokumentasi kenangan kegiatan dan kehidupan Nyonya Hana. Apalagi Ayumi pun tidak tahu dengan pola apa Nyonya Hana menyusun semua berkas ini.

Satu-satunya yang bisa dilakukan saat ini adalah terus berusaha seraya berdoa kalau satu di antara tumpukan kertas ini berisi informasi tentang Arata.

Semoga saja arsip itu memang pernah ada, pikir Ayumi.

Bukan hanya Ayumi. Fumio pun merasakan hal yang sama. Terlihat jelas dari gestur pemuda itu menggaruk tengkuk diiringi ekspresi serius yang lebih kaku dari biasanya saat menekuri dokumen di tangan. Sesaat, pemuda itu menyemburkan napas, menggeleng, dan mengembalikan berkas ke tempat semula.

Sepuluh menit berlalu, dan Ayumi masih berkutat dengan berkas-berkas itu sebelum tersentak. Bentuk refleks ketika mendengar Fumio tiba-tiba saja bersuara. Kalimat yang juga membuat Ayumi menghentikan pencarian.

“Kanazawa?”

Bukan hanya Ayumi. Nyonya Hana yang turut menoleh ikut mengerjap. “Ada apa?”

Fumio memandang Ayumi dan Nyonya Hana bergantian seraya melambaikan map di tangan. “Sepertinya aku menemukannya. Terselip di antara berkas di rak paling atas. Hampir aku melewatkannya kalau tidak melihat warna map yang mencolok. Lain dari yang lain.”

Nyonya Hana mendongak, menatap rak yang ditunjuk Fumio. “Aku tidak ingat pernah menaruhnya di sana.” Wanita tua itu tampak berpikir sejenak. “Kecuali—” Ucapannya terputus ketika mendapati Fumio yang mengangguk pelan.

“Arata sendiri yang meletakkan di sana sebelum pergi.”

“Ah.” Nyonya Hana menggeleng-geleng. Ekspresi wajahnya kental dengan raut sesal saat menoleh pada Ayumi dan berkata, “aku berutang maaf kepadamu, Ayumi.”

Ayumi tersenyum sendu, mengangguk sebagai jawaban. Tidak ada yang perlu disalahkan ataupun sesali. Nyonya Hana sudah membantu semaksimal mungkin jauh sebelum kedatangan Fumio. Ayumi pun mengerti, di usia Nyonya Hana yang terbilang uzur, tentu ada beberapa hal yang luput dari memori wanita tersebut.

Ayumi mengangkat wajah, mendapati Fumio menyodorkan map tersebut kepadanya. Sejenak, seberkas ragu terasa seperti melingkupi hati. Tangannya gemetar tanpa bisa dicegah. Ayumi menelan ludah, menerima map tersebut dan membukanya perlahan. Untuk beberapa detik, Ayumi terhenyak saat menyaksikan selarik nama dan sebuah foto yang ada. Tanpa sadar, Ayumi menyebutkan selarik nama tersebut lirih.

Senyum itu, pikir Ayumi, masih sama seperti dulu

Ayumi tanpa sadar ikut tersenyum, meski tiba-tiba saja dadanya ikut merasa sesak saat menekuri kalimat demi kalimat yang ada di sana. Kalimat yang membuatnya tergugu dalam diam, bahkan setelah Nyonya Hana menyentuh bahunya diiringi dengan secercah harapan yang tiba-tiba saja kembali menyala.

Kanazawa ....










Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top