2. Ketika Satu Kepercayaan Bertepuk

Aku tahu, berpisahnya dua hati yang pernah bertaut, tidak menutup kemungkinan untuk seseorang menyelip di antara keduanya.

Ayumi mengendap-endap, memastikan keadaan sekitar aman. Kaiya baru saja pamit. Katanya akan ada turis dari Perancis yang harus ia pandu. Kaiya juga mengatakan kemungkinan ia akan pulang terlambat hari ini. Ayumi mengangguk, mendoakan semoga Kaiya lancar dalam menjalani pekerjaan. Aisha sendiri sudah beberapa hari ini pergi ke Kanazawa untuk satu urusan. Menyisakan Ayumi yang sendirian di rumah sekarang ini. Gadis itu mengusap wajah yang tiba-tiba berkeringat dingin saat mengambil langkah menuju kamarnya.

Di sinilah Ayumi sekarang. Di atas tatami kamar, dengan amplop yang ia letakkan di pangkuan. Gadis dengan rambut tergerai sepunggung itu mengigit ujung kuku, maju-mundur menyentuh benda tersebut. Ayumi bisa merasakan jantungnya jumpalitan tak menentu, seolah ada yang memompanya kuat-kuat di sana. Menimbulkan keraguan saat matanya kembali mendapati amplop tersebut masih rapi, belum diutik sedikit pun sejak Yudai menyerahkannya. Kesibukan benar-benar membuat Ayumi melupakannya seminggu terakhir ini.

Ragu, Ayumi membolak-balik amplop tersebut, sekadar memastikan. Meyakinkan, bukan hanya diri, tapi juga hati. Tatapannya beralih ke nama pengirim yang tertera di ujung kanan atas amplop.

Fujiwara Fumio. 

Nama itu ... Ayumi tidak ingin mengambil spekulasi terlalu jauh. Kejadian itu sudah lama sekali dan ia bahkan—mungkin—tidak akan pernah tahu bagaimana kabar darinya. Laki-laki itu. Ayumi berusaha merenungi lagi kilatan memori yang sempat berkelebat di kepalanya ketika membaca nama Fujiwara Fumio sebelum akhirnya gadis itu menepis praduga tersebut. Mustahil rasanya. Ayumi geleng-geleng seraya memegangi dada, persis saat rasa sesak itu kembali hinggap. 

Sesak lain yang tak pernah Ayumi ceritakan kepada siapa pun, bahkan Yudai atau Kaiya sekalipun. Rasa sesak yang bisa muncul begitu saja setiap kali Ayumi mengingatnya. Kejadian berpuluh-puluh tahun lalu ketika dunia baginya hanya hitam belaka. Rasa sesak yang disebabkan selain teringat Arata dalam setiap mimpi Ayumi.

Ya, Ayumi kerap rindu padanya. Kepada orang itu. Rindu membuncah, bahkan lebih hebat ketimbang mengingat kenangan bersama Arata. Rasa yang tidak menyenangkan. Mengusik sisi lain hati dan ingatan. Hal pertama yang mengajarkan kepada Ayumi apa itu kesepian sebelum akhirnya gadis itu bertemu Arata, dunia yang baru, meski pada akhirnya memiliki ujung yang sama: pergi dan melepaskan.

Tidak, itu tidak mungkin dia, pikir Ayumi. 

Kalau begitu siapa? 

Ayumi menggaruk tengkuk, mengingat-ingat nama yang pernah memiliki hubungan dekat dengannya. Pass! Ayumi sangat hafal siapa saja orang-orang itu, dan hanya ada satu nama yang bermuara pada kemustahilan, jadi coret saja kemungkinan itu. Ayumi kembali mengingat-ingat siapa saja nama-nama teman sekelasnya ketika bersekolah di sekolah menengah atas. Pass juga! Ayumi ingat betul nama teman-teman sekelasnya dan tidak ada Fujiwara Fumio dari list itu.

Kesimpulannya: Ayumi tidak pernah terlibat dengan seseorang bernama Fujiwara Fumio. Jangankan terlibat, kenal saja tidak. Seperti yang Yudai katakan, ingatannya terlalu kuat dalam menyimpan memori atau suatu kejadian.

Termasuk tentang mereka berdua ....

“Sebentar, kuingat-ingat dulu.” Kaiya meletakkan telunjuk di dagu, berpikir keras ketika Ayumi bertanya apakah Kaiya pernah mengenal atau memiliki teman—entah teman satu kelas, sekolah, ataupun kuliah—bernama Fujiwara Fumio. Kaiya yang waktu itu tengah bersiap-siap pergi bekerja langsung terhenti, menampilkan raut heran. Ada jeda sesaat sebelum gadis itu menggeleng. “Tidak ada.”

Ayumi tanpa ragu melayangkan satu jitakan di kepala Kaiya.

Tak pelak, Kaiya yang sudah mengenakan mantel bulu berwarna krem mengaduh kesakitan seraya memelotot kesal pada Ayumi. “Kak, itu sakit! Apa-apaan kau ini? Aku tidak sayang Kakak lagi! Dasar tega!” Kaiya menggembungkan pipi, pura-pura merajuk dengan bibir manyun lima mili, bermaksud mencairkan suasana yang sedari tadi tegang. 

“Bisakah kau lebih serius, Kaiya?” Ayumi memelotot tak kalah garang. Tangannya terangkat, siap meluncurkan satu jitakan lagi sebelum Kaiya menjerit tertahan dengan kedua telapak tangan melindungi kepala. Kaiya mengangkat dua jari, membentuk tanda damai diiringi ekspresi wajah yang, alih-alih merasa bersalah, justru menampilkan ekspresi minta ditabok. Hal yang membuat Ayumi mendengkus sebal.

“Aku serius, Kak!” Kaiya bersungguh-sungguh. Sebelah tangannya masih teracung membentuk tanda damai, sementara tangan lainnya siap sedia di kepala kalau-kalau Ayumi kumat soal jitak-menjitak. “Aku ingat jelas siapa saja teman-temanku dulu. Entah di sekolah, kelas, kuliah, apalagi satu pekerjaan. Tidak ada yang namanya Fujiwara Fumio. Jangankan teman, mendengar namanya saja tidak pernah,” jelas Kaiya seraya mengangkat bahu.

Ayumi mengernyit.

Jika memang itu bukan kasus salah kirim atau salah orang, berarti kiriman itu memang untuknya. Gadis itu berbalik, menyandarkan kepala tepat ke ambang pintu dapur, berpikir keras. Siapa sebenarnya Fujiwara Fumio? Ia memejamkan mata, mencoba menggali memori yang tersimpan di kepala sekali lagi. Nihil. Ayumi tidak menemukan apa pun. Ia telah menahan diri dari rasa penasaran beberapa hari. Hanya saja, Ayumi tidak ingin bertingkah impulsif dengan buru-buru membuka kiriman amplop itu.

Ia takut dan ragu, tanpa alasan yang jelas.

“Kak.” Kaiya menyentuh bahu Ayumi, membuat perempuan dengan kulit seputih salju itu tersentak. Buru-buru Ayumi mengusap wajahnya, berbalik dengan senyum tipis terpatri. Namun, Kaiya tidak mudah percaya begitu saja dengan ekspresi tenang Ayumi. “Siapa Fujiwara Fumio? Kenapa Kakak tiba-tiba menanyakannya?” tanya Kaiya dengan nada sedikit menginterogasi.

Ayumi tergagap, lekas menguasai diri sebelum Kaiya bisa membaca keterkejutannya lebih jauh. “Ah, bukan apa-apa.” Ayumi terkekeh, pura-pura menjerit seolah kaget ketika melihat jam menunjukkan jam kerja Kaiya semakin dekat. “Apa kau masih ingin berdiri di sini sepanjang hari? Ayo, pergi bekerja! Jangan kecewakan turis dari Perancis itu. Oke?” Ayumi mendorong punggung Kaiya menuju pintu utama, memberi isyarat agar adiknya itu segera pergi bekerja.

“Ta-tapi ....” Kaiya tergelagap sebelum Ayumi meletakkan telunjuk di bibir adiknya itu, menyuruh diam dan cepat bergegas.

“Ayo! Jangan sampai terlambat pergi bekerja.” Ayumi mengambil sepasang sepatu bot, menyerahkannya kepada Kaiya yang seperti ingin mengatakan sesuatu. Ayumi mengibaskan tangan, seolah itu bukan hal penting. Alih-alih mendengarkan, Ayumi memberi isyarat agar Kaiya segera memasang sepatu yang ia sodorkan. “Ya ampun! Lambat sekali. Cepat sedikit, Kaiya. Apa perlu kubantu memasangnya sekalian? Cepat, cepat!” Ayumi mencak-mencak, berdecak gemas.

Kaiya memutar bola mata jemu. “Iya, iya.” Kaiya menunduk, bercangkung dan menaikkan risleting di samping kiri-kanan sepatu botnya. Perempuan itu membuka pintu, pamit untuk pergi bekerja, lantas melangkah cepat menerobos angin semilir yang masih terasa dingin. 

Maaf, Kaiya. Ayumi menghela napas, menutup pintu dengan perasaan sedikit bersalah. Pertama-tama, ia harus mencari tahu terlebih dahulu siapa Fujiwara Fumio dan apa tujuannya mengirim surat itu kemari.

Ayumi menenggak ludah. Jemari kurusnya meraba amplop di tangan sebentar. Perlahan, dibukanya amplop tersebut. Bukan hanya surat. Terlihat sebuah kartu nama ikut terselip. Ada keraguan saat dikeluarkannya sepotong kertas tersebut dan mendapati selarik nama berikut nomor yang bisa dihubungi. Gadis itu menggigit bibir bawah pelan, beralih ke lembar kertas yang terlipat rapi dalam amplop. Ditariknya perlahan sebelum menekuri kalimat demi kalimat yang tertera.

Akikawa-san, aku harus memberitahumu soal ini. Aku adalah teman baik Arata saat kami berdua kuliah di universitas yang sama di Nagoya. Sekarang, aku menempati apato yang dulu Arata tempati, Apartemen Origin nomor 29.

Sekadar informasi, jika kau ingin bertanya, aku mendapatkan alamat dan kontakmu dari Nyonya Hana. Maaf jika terkesan tiba-tiba. Aku bisa saja menghubungimu langsung, tapi ini adalah cara terbaik yang bisa kupikirkan.

Nyonya Hana sudah menceritakan semuanya. Tentangmu, juga soal Arata. Aku rasa, kita memiliki masalah serupa.  

Sudah lama aku tak mendengar kabar tentang Arata semenjak aku pergi ke Inggris untuk melanjutkan kuliah. Kami kehilangan kontak dan saat aku mencobanya kembali, nomornya sudah tidak aktif. Entah di mana Arata sekarang.

Sekarang, aku terus mencoba untuk mencari tahu keberadaannya dengan berbagai cara. Akikawa-san, aku tahu kau adalah satu-satunya orang yang memiliki hubungan istimewa dengan Arata. Arata sering bercerita tentangmu. Aku harap kau mau membantuku. Semoga kau mengerti maksudku.”

Ayumi tertegun. Cukup lama sebelum matanya beralih pada ujung kiri atas surat. Sebuah steples bertengger di sana, merekatkan surat yang baru saja Ayumi baca dengan sebuah kertas lain. Gadis itu menarik napas, berusaha menenangkan hati yang terus berdegup tak karuan. Disingkapnya perlahan lembar pertama, menampilkan lembar kedua. Ditatapnya berlama-lama kertas kedua dengan perasaan tak menentu. Matanya basah.

“Arata-kun, apa kabar?

Apa di sana baik-baik saja? Kau makan dengan teratur, kan? Beristirahatlah yang cukup. Jangan terlalu memforsir diri. Pikirkan juga kesehatanmu. Aku yakin kau akan segera mendapatkan pekerjaan. Semangat, ya!

Aku merindukanmu. Sungguh ....

Aku ... aku sedikit khawatir. Ah, sejujurnya aku sangat khawatir. Kau masih di sana, kan? Kau tidak melupakanku, kan? Ah, tidak mungkin kau melupakanku.”

Ini benar-benar nyata.

Surat terakhir yang ia kirimkan untuk Arata ....

Perlahan, Ayumi mengusap bulir bening yang jatuh tanpa bisa dicegah dengan punggung tangan, mencoba menenangkan hati. Lima tahun penantian tanpa kabar. Satu tahun pertama, Ayumi bersikeras mencoba, tetap rutin mengirimkan surat kepada Arata. Menerobos salju, sakura, terik, dan daun maple Shirakawago yang berguguran. Menuju Nagoya, di mana Arata tinggal selama menempuh kuliah.

Sia-sia. Surat itu selalu kembali kepadanya. Tak pernah disentuh, dibuka, apalagi dibaca sang penerima: Furihara Arata. Satu tahun tanpa arti, Ayumi hampir menyerah sebelum secercah harapan datang bersama sepotong jawaban. Jawaban yang membuat Ayumi merelakan setengah hatinya memilih jalan yang sulit: merelakan.

Apa kau sudah melupakanku sepenuhnya, Arata-kun? Apa ini akhir dari semuanya?

Ayumi menggeleng pelan seraya menghela napas. Ia perlu menjernihkan kepala. Ayumi benci saat ia tak bisa berpikir jernih. Pelan-pelan, gadis itu mencoba menata hati. Diletakkannya surat dari Fujiwara Fumio ke pangkuan. Sebelah tangannya meraih sumpit kayu di meja kecil di samping tatami. Ayumi mengundai rambut dengan cepat. Sebisa mungkin dirinya meruntutkan kejadian demi kejadian.

Arata dan Fumio adalah sahabat. Fumio berangkat ke Inggris untuk melanjutkan kuliah dan ketika kembali ke Jepang, Arata sudah tidak ada di apato yang dulu pria itu tempati. Fumio lantas menemukan fakta kalau ia dan Ayumi memiliki masalah yang sama terkait Arata. Pemuda itu akhirnya mengirimkan surat sebagai penjelasan tentang ia yang mengetahui status Ayumi sebagai kekasih Arata, dengan maksud tertentu di akhir kalimat surat tersebut. 

Ayumi berusaha agar tidak bersikap impulsif saat ini. Dengan membaca surat dari Fujiwara Fumio, Ayumi tidak bisa memungkiri perasaannya bergejolak, menuntut diselesaikan. Setengah dari dirinya mendukung untuk membantu Fujiwara Fumio, sekaligus mencoba peruntungan menemukan Arata demi kemaslahatan hati selama ini. Sisanya memperingatkan bahwa Ayumi tidak mengenal siapa Fujiwara Fumio dan Arata juga tak pernah sekalipun membahas siapa Fujiwara Fumio dalam surat-surat mereka. Bisa saja ada hal lain yang laki-laki itu rencanakan.

Terdengar jahat memang, tapi bukan mustahil hal itu terjadi.

Ayumi menggeleng, berusaha menepis prasangka negatif yang menghinggapi kepala.

Tenang, Ayumi!

Ayumi menarik napas, mengembuskannya pelan-pelan. Ia tak boleh berpikir dalam keadaan kalut seperti ini. Ayumi mengusap wajah untuk kesekian kali. Sudut matanya mendapati kartu nama Fujiwara Fumio yang turut ia letakkan di pangkuan. Ditatapnya lama nomor yang tertera. Haruskah ia menghubungi Fujiwara Fumio untuk memastikan? Ayumi berpikir sesaat.

Memastikan apa? Kalau ternyata Arata memang sudah melupakanmu?

Ayumi refleks menggeleng kecil, tidak ingin terhanyut lebih jauh. Sebelah tangannya memijat kening yang berdenyut tak nyaman. Dibacanya sekali lagi surat tersebut. Sejenak, prasangka buruk yang sempat hinggap perlahan memudar—meski hanya sedikit. Tepat ketika Ayumi mendapati selarik nama selain Arata yang disebut Fujiwara Fumio di sana.

Nyonya Hana.

Ayumi mengenalnya. Pemilik Apartemen Origin—tempat di mana Arata tinggal selama berkuliah di Nagoya. Begitulah Nyonya Hana memperkenalkan diri dalam surat yang wanita itu kirimkan kepada Ayumi empat tahun lalu.

Ayumi ingat hari itu. 

Di suatu sore mendung, Yudai bertandang dan menyerahkan sebuah amplop. Ayumi terbelalak, dengan cepat merampas amplop tersebut tanpa aba maupun kata. Hampir terlonjak. Senang bercampur haru dan rindu membuncah sebelum lonjakan itu urung terjadi tepat saat dilihatnya nama sang pengirim. Bukan Furihara Arata—seperti yang Ayumi harapkan.

Hana. Hanya itu. Tidak ada embel-embel lain. Dengan Apartemen Origin yang bertempat di Nagoya tercantum sebagai alamat si pengirim.

“Sejujurnya, aku sedikit terkejut.” Yudai bercelatuk seraya menyerahkan pena berikut slip untuk ditandatangani kepada Ayumi. “Karena, apa ya, selama ini aku hanya menemukan nama Arata di setiap surat untukmu. Juga ....” Ucapan Yudai terputus ketika menyambut kembali pena dan slip yang disodorkan Ayumi. Ada sedikit keraguan saat ia melanjutkan. “... surat-suratmu sendiri selama hampir setahun ini.”

Kau tidak sendiri, Yudai. Ayumi membatin.

“Aku heran. Kenapa selalu saja kau yang mengantarkan suratku kemari? Tempat kerjamu kekurangan tenaga kerja atau apa?” Ayumi menceletuk, geleng-geleng. Tampak tidak tertarik membahas kata-kata Yudai, terutama kalimat terakhir yang pemuda itu lontarkan.

Yudai mengangkat bahu. “Takdir, mungkin? Ditambah sedikit usaha melobi agar surat-surat untuk sahabatku sampai dengan selamat.”

Ayumi tertawa. Tawa pendek yang pelan. Terasa hambar. Benar. Ia pun tidak yakin surat Arata akan selamat atau tidak jika orang lain yang mengantarnya ke kediaman Akikawa. Selama mereka saling berkirim surat, semua dilakukan Ayumi diam-diam karena satu alasan: Aisha.

Ayumi sendiri baru sadar bahwa ibunya itu tidak menyukai Arata terhitung enam bulan setelah Ayumi mulai berkirim surat dengan Arata. Ketidaksukaan yang berimbas pada hubungan Ayumi dan Arata tidak direstui sang ibu.

Ayumi tidak tahu alasan pastinya. Terkadang, tidak perlu alasan spesifik bagi seseorang untuk membenci orang lain. Itu yang Kaiya katakan saat Ayumi mencurahkan isi hati. Tentang kebingungan apa yang membuat Aisha getol meminta Ayumi berhenti berhubungan dengan Arata.

Ayumi tersenyum kecil. “Terima kasih, Yudai. Aku berutang banyak padamu.”

“Kau sahabatku. Arata temanku. Sudah seharusnya aku membantu kalian sebisa mungkin.” Yudai balas tersenyum. Hangat dan begitu lebar. “Aku permisi dulu. Sampaikan salamku untuk Kaiya, ya?”

Setelahnya, Yudai bergegas pergi. Masih ada paket yang harus diantar. Yudai menolak halus ketika Ayumi membukakan pintu lebih lebar, mengajak masuk, dan duduk sebentar. Pemuda itu berbalik, melambaikan tangan. Hal yang dibalas serupa oleh Ayumi sebelum gadis itu masuk dan menutup pintu.

Mungkin akan lebih baik ia memeriksa amplop di tangan sekarang. Rumah sedang lengang. Hanya ada dirinya. Aisha pasti sedang sibuk mengurus banyak hal di penginapan. Sementara, jam kerja Kaiya masih satu jam lagi sebelum adiknya itu bisa pulang. Terlebih, Ayumi merasa seperti ada sesuatu yang mendorongnya kuat. Seakan menuntut Ayumi menuntaskan penasaran dalam dada.

Sekarang atau tidak sama sekali.

Benar. Perlahan, Ayumi merobek salah satu sisi amplop. Dikeluarkannya selembar kertas yang terlipat rapi dari sana. Apartemen Origin. Alamat si pengirim tanpa sadar memberikan celah bagi Ayumi untuk berharap. Sesuai dugaan Ayumi. Sebuah surat.

“Halo, Ayumi.

Perkenalkan, aku Hana, pemilik Apartemen Origin. Kau bisa memanggilku Nyonya Hana. Mereka yang menyewa apato di sini memanggilku begitu.

Sebelumnya, maafkan aku karena telah lancang menerima dan membaca suratmu untuk Arata. Apa Arata tidak memberitahumu kalau dia sudah tidak tinggal di apartemen ini? Dia sudah pindah. Kembali ke kampung halaman, begitu yang ia katakan kepadaku. Sudah hampir setahun sejak kepindahannya.

....”

Sebenarnya, masih ada beberapa paragraf. Namun, membaca tiga paragraf awal saja sudah cukup bagi Ayumi. Cukup untuk memantik api harapan yang hampir padam dalam relung hati.

Harapan yang akhirnya bersambut setelah sekian surat dan kesabaran ....

“Kak Ayumi!”

Ayumi tersentak, tersadar dari lamunan. Dari luar, terdengar pintu diketuk keras dengan irama tak beraturan, diiringi panggilan berulang-ulang. Tidak sabaran. Buru-buru Ayumi berdiri, setengah berlari menghampiri sumber suara. Pintu dibuka, menampilkan sosok remaja tanggung yang sangat Ayumi kenal: Ayame.

Ayame baru saja bekerja pada Ayumi satu minggu yang lalu, saat statistik pengunjung kedai meningkat dua ratus persen, entah kenapa dan bagaimana bisa. Simbiosis mutualisme. Ayame mendapatkan pengalaman kerja sekaligus uang saku tambahan, dan Ayumi sangat terbantu ketika pengunjung membludak seperti satu minggu ini. Terlebih, di saat Ayumi sibuk bolak-balik penginapan-rumah-kedai, keberadaan Ayame jelas sangat membantu.

“Kak Ayumi, apa kau bisa ke kedai sekarang? Pengunjung membludak. Lebih banyak dari kemarin-kemarin. Aku kewalahan menghadapi mereka. Kalau Kak Ayumi mau membantuku, aku akan sangat berterima kasih. Setidaknya ini pertanda bagus, kan? Kedai Kak Ayumi semakin terkenal. Bukan hanya di kalangan masyarakat, tapi juga para turis asing.” Ayame dengan semangat memaparkan panjang lebar meski napasnya sedikit tersengal-sengal. 

Kasihan, pikir Ayumi. Pasti Ayame berlari secepat mungkin ke sini agar pelanggan tidak hengkang ke tempat lain.

Ayumi mengangguk, memberi isyarat agar Ayame menunggu sebentar. “Masuklah. Aku perlu mengambil sesuatu.” Dibukanya pintu lebih lebar sebelum mendapati yang ditawari menggeleng, berkata ia akan menunggu Ayumi di kedai saja. “Aku akan segera ke sana.”

Setelahnya, Ayumi berbalik. Kembali ke kamar dan membuka lemari pakaian dengan gesit. Diambilnya tas cangklong di rak paling bawah. Tangan Ayumi bergerak cepat, menyisir benda yang perlu dibawa. Ponsel, alat tulis, note, dan juga ... surat Fujiwara Fumio. Benar. Terlalu riskan meninggalkan surat itu meski diselipkan di tempat yang Ayumi anggap aman sekalipun. Ditambah, kebiasaan Aisha yang terkadang suka menggeratak tiba-tiba. Ayumi harus ekstra hati-hati. Membawanya turut serta ke kedai adalah opsi terbaik sekarang ini.

“Jadi, kau sudah memeriksanya?” Yudai menerima gelas berisi teh hijau yang disodorkan Ayumi. Pemuda itu berterima kasih sebelum menyeruput teh di tangan pelan-pelan setelah meniupnya beberapa kali. “Apa ada sesuatu yang mencurigakan?” tanya Yudai lagi. Kali ini ekspresinya lebih serius. Pemuda itu meletakkan gelasnya ke meja, menunggu. 

Sejenak, Ayumi ragu. “Tidak ada kurasa. Ah, tidak juga. Bagaimana menjelaskannya, ya?” Ayumi menggaruk tengkuk dengan telunjuk, berusaha memilih kata yang tepat untuk memulai. Ia memang tidak sepandai Kaiya dalam menyusun kata-kata yang efisien. Pelan-pelan, Ayumi menjelaskan semuanya secara singkat dan runtut. Tentang Arata, dan juga soal surat dari Fujiwara Fumio.

“Biar kuluruskan.” Yudai angkat suara setelah Ayumi selesai menjelaskan. Pemuda itu memberi isyarat agar Ayumi menunggu sebentar selagi ia mengunyah satu tusuk dango. Lapar. Yudai menyengir.

Ayumi mengangkat bahu.

Yudai sudah cukup membantu dengan mengunjunginya ke kedai hari ini. Sedang ingin melepas penat setelah seharian penuh mondar-mandir untuk mengantarkan surat dan paket beraneka rupa, katanya. 

Ketika Yudai memasuki kedai dan menyapa, Ayumi tersenyum seraya menyuguhkan hidangan gratis untuk pemuda dengan kulit seputih salju itu. Anggap saja pelunasan janji karena sudah mau jujur tentang perasaannya kepada Kaiya. Ayumi tergelak geli ketika Yudai—lagi-lagi—bersemu merah saat Ayumi menyebutkan nama Kaiya. Gelak tawa itu baru berhenti ketika Yudai melayangkan satu jitakan, seperti biasa.

“Jadi, Fujiwara Fumio mengetahui tentang hubunganmu dengan Arata. Fujiwara Fumio juga menyadari kalau kalian memiliki masalah yang sama terkait Arata. Laki-laki itu kemudian mengirimkan sebuah surat yang isinya informasi terbaru soal Arata sekaligus meminta agar kau membantunya. Begitu?” simpul Yudai seraya menaikkan sebelah alis.

“Kira-kira begitu.” Ayumi mengetuk-ngetukkan telunjuk di permukaan meja, memainkan irama yang teratur. Berbanding terbalik dengan pikiran yang saat ini benar-benar kacau. Lagi-lagi, Ayumi menghela napas panjang. Gadis itu menarik sumpit kundai yang terpasang di rambut, membiarkan rambut sepunggungnya tergerai bebas. “Aku hanya berusaha untuk tidak impulsif sekarang ini, tapi ya, begitulah.” Ayumi mengusap wajah, frustrasi.

“Hei, tenang.” Yudai menyentuh pergelangan tangan Ayumi, tersenyum menenangkan. “Pasti ada jawaban di balik semua ini. Sebelum itu, tenangkan dulu dirimu. Tarik napas panjang. Iya, bagus, seperti itu—jangan seperti itu juga. Itu terlalu panjang, Ayumi. Baik, embuskan pelan-pelan—ya ampun, pelan-pelan, kubilang. Jangan mendengkus seperti itu.” Yudai tahu benar bahwa mood jelek bisa membuat hari Ayumi menjadi buruk. Cara seperti tadi biasanya cukup efektif, meskipun sepertinya kali ini tidak terlalu berhasil.

“Lebih baik?” tanya Yudai, memastikan.

Ayumi mengangguk. “Sedikit.”

Yudai mengusap punggung Ayumi lembut. “Kau keberatan kalau aku membaca surat dari Fujiwara Fumio? Setidaknya, kau tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk menceritakan keseluruhan isinya. Tenangkan saja pikiranmu dulu, Ayumi.” Yudai menawarkan diri. 

Rasanya, Ayumi tidak sanggup menanggung rasa penasaran ini seorang diri. Gadis itu dengan cepat berdiri dan mengambil tas cangklong dari balik meja kasir. Diserahkannya tas cangklong tersebut kepada Yudai. 

Ayumi kembali duduk dengan perasaan menggeliat tak nyaman, seolah-olah ada yang mengusiknya. “Kau keberatan mencarinya sendiri, Yudai?”

Yudai mengangguk paham, membuka tas cangklong Ayumi yang sekarang berada di tangannya lebar-lebar. Kedai sudah tutup beberapa menit lalu. Menyisakan mereka berdua yang tengah duduk di salah satu kursi pelanggan. Yudai meletakkan tas tersebut di meja setelah terlebih dahulu mengesampingkan teh dan piring berisi dango ke sisi kanan meja. Pemuda itu mulai mengabsen setiap barang. Ponsel, note, beberapa alat tulis, satu-dua produk make up, dan ... sudah. Hanya itu saja.

Mungkin aku melewatkannya, pikir Yudai. Laki-laki itu meminta izin mengeluarkan setiap barang yang ada. Begitu dilihatnya Ayumi mengangguk, Yudai merogoh dan meletakkan semua benda yang ia temukan ke meja. Tidak ada surat dari Fujiwara Fumio seperti yang Ayumi bilang.

“Aku sangat ingat, Yudai. Aku memasukkannya ke situ.” Ayumi mengambil alih tas cangklongnya dari tangan Yudai, memeriksa setiap sudut dan inci. “Pasti ada di sini.”

Eh? Mata Ayumi sedikit terbelalak. Tidak, pasti Ayumi melewatkannya. Cari lagi. Ayumi kembali memeriksa bagian dalam tas. Juga, beralih ke barang-barang di meja. Diambilnya note, membuka-buka lembar demi lembar. Mungkin terselip, pikir Ayumi.

Tidak ada.

Benar. Tidak ada surat dari Fujiwara Fumio. 

Ayumi mulai berkeringat dingin, terutama saat mendapati Yudai menatapnya dengan alis terangkat. “Apa?” Perempuan dengan rambut hitam legam itu menyalak garang, menjadi lebih sensitif dengan tidak adanya surat Fujiwara Fumio. Membuat pihak yang disalahkan melongo seraya mengangkat kedua tangan.

“Apa salahku?” Yudai bertanya dengan ekspresi yang, alih-alih terlihat berdosa, justru membuat Ayumi ingin menggaplok kepala laki-laki itu. “Aku belum bicara apa pun dari tadi, lho,” katanya lagi, membela diri. “Mungkin tercecer di sekitar kedai. Ayo, kita cari saja dulu!”

Lima belas menit berlalu sia-sia. Nihil. Meski Ayumi sudah mencari dengan teliti di dalam kedai dan Yudai membantu di sekitar luar kedai, mereka tidak menemukannya. Bahkan, setelah Ayumi meminta mereka bertukar posisi untuk mencari, tetap tidak ada. 

Ayumi mengusap wajah, kesal sendiri. Ia sangat ingat kalau ia sudah memasukkan surat Fujiwara Fumio ke dalam tas cangklong hijau tua itu. Bentuk antisipasi kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Apa jangan-jangan terjatuh di perjalanan menuju kedai? Ayumi mengacak rambut, gusar.

“Kau menemukannya?” Ayumi menghampiri Yudai yang tengah memeriksa sudut kiri ruangan. 

Yudai berbalik, menggeleng. “Kau?”

“Tidak.” Ayumi menggaruk tengkuk seraya mengundai rambut sepunggung yang terasa sangat menganggu dengan sumpit kayu. “Aku akan memeriksa sepanjang jalan menuju kedai. Mungkin terjatuh di sana. Kau tunggu di sini sebentar.” Ayumi berbalik dengan langkah tergesa-gesa meninggalkan Yudai.

“Ayumi, tunggu!” Yudai berseru, menyusul Ayumi. Langkah pemuda dengan kulit seputih kapas itu tiba-tiba terhenti saat dilihatnya Ayumi menghentikan langkah. Yudai tertegun, mengikuti arah tatapan Ayumi yang tiba-tiba saja seolah membeku. 

Di sana, seseorang yang sangat mereka kenal seolah ikut mematung. Tak bergerak sedikit pun. Kaiya berdiri kaku dengan ekspresi yang tidak bisa didefinisikan, balas menatap Ayumi dan Yudai yang tengah saling pandang sekarang ini.

Gawat! Ayumi tiba-tiba merasakan jantungnya jumpalitan. Gadis itu refleks menyentuh pergelangan tangan Yudai, memberi isyarat agar Yudai tidak mengungkit soal surat-surat itu dengan mata yang memancarkan binar memohon. Yudai mengangguk, menggenggam tangan Ayumi sebelum keduanya terkejut bukan kepalang. Benar-benar kaget setengah mati tepat saat Kaiya mengeluarkan sesuatu dari saku mantelnya dan menyodorkannya pada Ayumi. Ujung kertas itu melambai-lambai saat terkena terpaan semilir angin. Hal yang membekukan seluruh persendian Ayumi. Kaku. 

Surat Fujiwara Fumio .... Kaiya menemukannya, bahkan mungkin sudah membacanya jika dilihat dari ekspresi adiknya yang sekarang tampak sedikit bersalah. Kaiya menunduk dalam saat menyodorkan surat itu, mengembalikannya pada Ayumi tanpa sepatah kata pun.

Dan ini bukan pertanda yang baik bagi mereka bertiga. 

Kaiya yakin ada yang salah dengan kakaknya. Ayumi bukan tipe orang yang tidak ada angin, tidak ada badai, tiba-tiba menanyakan identitas seseorang yang bahkan Kaiya sendiri tidak tahu siapa. Aneh, pikir Kaiya waktu itu. Saat Ayumi bertanya apakah Kaiya mengenal seseorang bernama Fujiwara Fumio, Kaiya menggeleng. Tentu saja. Mendengar namanya saja tidak pernah.

Sepanjang perjalanan menuju tempat kerja, tanpa bisa dicegah, kepala Kaiya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan kenapa Ayumi bisa sampai menanyakan seseorang dengan nama Fujiwara Fumio. Bukan hanya sepanjang perjalanan untuk segera bersiap memandu para turis dari Perancis, tapi juga saat memandu wisata, menjelaskan beberapa situs kebanggaan Shirakawago, bahkan sampai Kaiya bersiap pulang setelah seharian memandu para turis itu.

Siapa sebenarnya seseorang yang ditanyakan kakaknya itu?

Selama yang Kaiya tahu, Ayumi tak pernah mengungkit nama laki-laki selain Arata dan Yudai sebelum ini. Fujiwara Fumio jelas nama baru bagi mereka.

Dan Kaiya baru mengetahui jawabannya setelah membuka pintu, meneriakkan tadaima sebelum sadar tidak ada yang merespons. Kaiya dengan cepat melepas mantel, syal, dan sarung tangan. Mengaitkannya pada gantungan yang ada di dekat pintu.

Baru beberapa langkah, tiba-tiba Kaiya merasa seperti menginjak sesuatu. Gadis itu menunduk, mendapati secarik kertas berwarna biru teronggok setelah Kaiya mengangkat kaki.

Apa ini? Kaiya celangak-celinguk, memungut kertas tersebut seraya membolak-baliknya. Apa jangan-jangan .... Kaiya tanpa sadar terus membaca kalimat demi kalimat yang tertera. 

Kaiya membeliak perlahan. Pantas kakaknya menanyakan soal Fujiwara Fumio.

Tanpa memedulikan bahwa ia baru saja pulang bekerja dan sekujur tubuh seperti remuk setelah diajak berkeliling seharian ini, Kaiya menyambar sepatu bot dan melangkah keluar. Dikenakannya mantel sembarang. Fujiwara Fumio dan Arata. Kaiya mulai paham. Dengan napas memburu, gadis itu terus berjalan menuju ke arah kedai, berharap kalau Ayumi memang tengah berada di sana sekarang ini. 

Langkah Kaiya terhenti. Dua ratus meter dari kedai. Tepat saat menyaksikan Ayumi yang tergesa-gesa berjalan dari arah berlawanan turut terpaku. Keduanya saling berhadapan. Bukan hanya Ayumi. Terlihat Yudai keluar dari kedai, berdiri di sisi Ayumi. Laki-laki itu menatapnya sebelum bertukar pandang dengan Ayumi, seakan saling mengirim pesan melalui sorot mata.

Kaiya mendekat, mengeluarkan surat itu dari saku mantel dan menyerahkannya pada Ayumi. Canggung. Kaiya tidak memungkiri ia merasa bersalah, terlebih saat Ayumi menerima surat tersebut dengan tangan gemetar. Hal yang tidak berselang lama. Yudai yang tanggap lantas menarik pergelangan tangan Ayumi dan Kaiya, menuntun keduanya menuju kedai. Bicarakan baik-baik di kedai. Yudai memberi isyarat agar Kaiya dan Ayumi duduk dan menenangkan diri terlebih dahulu.

“Kakak.” Kaiya menyentuh pergelangan tangan Ayumi yang tengah menatap surat di tangan. Surat dari Fujiwara Fumio. Ya, Kaiya sudah membaca semuanya. Tanpa seizin dari Ayumi. Hal yang membuat perasaannya campur aduk sekarang ini.

“Ini bukan salahmu.” Ayumi menatap Kaiya lekat-lekat. “Semua ini salahku karena terlalu ceroboh. Soal kau yang tidak sengaja membacanya, itu juga bukan salahmu. Jangan merasa bersalah. Oke? Aku memang akan menceritakannya, tapi bukan sekarang. Karena kau sudah membacanya, jadi ya, kau pasti sudah tahu permasalahannya, kan?” Ayumi berucap panjang lebar sebelum menyerahkan surat itu kepada Yudai di sebelahnya.

Kaiya mengangguk. “Jadi, Kakak akan mencari Kak Arata? Dengan Fujiwara Fumio itu?” 

“Entahlah.” Ayumi menunduk, menatap ujung sepatu yang ia kenakan dengan perasaan penuh keragu-raguan. Gadis itu menghela napas. “Aku tidak yakin bisa membantunya.”

Ayumi memejamkan mata, bisa merasakan kedua sisi kening berdenyut tak nyaman. Kenangan bersama Arata terlalu mengiris perasaan jika diingat kembali. Terlalu sesak untuk dikenang.

Kenapa? Pertanyaan itu terus berputar di kepala. Kenapa saat Ayumi hampir berhasil untuk mencoba melepaskan, harus ada perantara yang hadir? Perantara yang meluluhlantakkan semua pertahanannya selama ini.

“Entah bagaimana denganmu, Kak. Kurasa, Fujiwara Fumio benar-benar ingin mencari Kak Arata. Dan dia memerlukan bantuan Kakak untuk melakukannya. Kalian pasti bisa menemukan Kak Arata.” Kaiya memegang kedua belah pundak Ayumi. “Kakak masih punya alamat Kak Arata, kan? Apato yang sama dengan yang ditempati oleh Fujiwara Fumio itu?” tanya Kaiya memastikan.

Ayumi mengangguk. “Aku selalu mengirim surat-surat untuk Arata ke sana. Apartemen Origin. Nomor 29. Furihara Arata.” Sesaat, Ayumi tertegun sebelum melanjutkan, “dan itu sudah lama sekali. Terlalu lama sampai aku sendiri ingin melupakannya.” Sama seperti ketika aku ingin melupakan masa lalu. Setiap kali memori tentang anak berusia sepuluh tahun itu kembali melintas.

“Kalau kau mau, aku bisa membantumu, Ayumi.” Yudai meyakinkan. Tangan pemuda itu terulur, menggenggam telapak tangan Ayumi yang dingin. Benar-benar dingin. Sedingin salju yang mulai turun menghiasi langit senja Shirakawago. “Percaya padaku. Kau akan menemukan jawabannya. Kau harus percaya padaku, Kaiya, Fujiwara Fumio, dan juga, pada Arata.”

“Kami selalu ada untukmu, Kak. Sekarang dan selamanya.” Kaiya mengusap punggung Ayumi, memberikan kehangatan yang diam-diam memberikan rasa aman yang nyaman. Ketulusan terpancar dari iris hitam pekat adiknya itu. Kasih sayang sebagai sahabat, teman, dan juga saudara. “Kami akan membantumu, Kak. Kapan pun kau membutuhkan.”

Yudai mengangguk, menyetujui apa yang diucapkan Kaiya. “Cepat atau lambat, kau harus mengetahui semua jawabannya, Ayumi.”






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top