12. Kenangan Terpanjang di Antara Kita

Aku selalu bermimpi, berharap bisa bersamamu lagi ....

“Bagaimana keadaanmu?”

Ayumi merapikan rambut yang menutupi sebagian mata, menyelipkannya ke belakang telinga. Setidaknya, rambut pendek sebahu seperti ini tidak memberatkan kedua belah pundak Ayumi. Gadis itu lantas membuka mulut ketika Fumio menyuapkan satu sendok bubur hangat yang baru saja dibelinyasesaat sebelum Ayumi bangun. 

“Apa lidahmu masih terasa pahit?” tanya Fumio lagi

“Hm? Tidak.” Ayumi mengusap bibir dengan jempol, membersihkan bubur yang sedikit belepotan di sana. Ayumi sesaat mengernyit, berusaha mengenali rasa bubur yang ia telan saat ini. “Indra pengecapku sudah baik-baik saja. Hanya saja ... entah kenapa bubur ini terasa hambar,” sahut Ayumi lagi. 

Ayumi yakin bahwa lidahnya sudah normal seperti semula. Buktinya, ia bisa merasakan manis-kecut apel dan pir yang disodorkan Fumio tadi malam, sesaat sebelum pemuda itu pamit membelikan beberapa baju ganti untuk Ayumi. Ia juga bisa mengecap manis dango dan kue bola anko berlapis sirup. Entah kenapa hanya bubur ini yang rasanya tawar. Ayumi menepis bubur yang disodorkan. Gadis itu menaikkan alis, meminta penjelasan.

Fumio memutar bola mata jemu, tampak acuh tak acuh saat menjawab, “Itu memang bubur tawar. Aku yang minta,” sahut Fumio.

Refleks, Ayumi tersedak.

Fumio hanya mengangkat bahu saat mendapati Ayumi memelotot garang setelah ia membantu Ayumi minum. Pemuda itu justru menatap Ayumi dengan raut datar tanpa ekspresi bersalah sedikit pun. “Apa?” tanya Fumio tak acuh sebelum meringis saat Ayumi melayangkan satu cubitan ke pergelangan tangan Fumio. 

Enteng sekali pemuda itu mengatakannya. Tak pelak, Ayumi langsung mendelik kesal, tak peduli meski pemuda itu balas menatapnya dengan tatapan paling datar sedunia. “Apa kau sudah tidak waras, Fujiwara Fumio? Bisa-bisanya kau melakukan itu padaku!” Ayumi merutuk kesal, menepis bubur yang disodorkan Fumio ke bibirnya. “Tidak mau!”

Sebelah alis Fumio terangkat, bingung sendiri. “Kupikir lidahmu masih bermasalah. Jadi, kubelikan saja bubur ini. Lagi pula, memangnya saat sakit kau bisa merasakan cita rasa makanan?” Fumio memutar bola mata jemu untuk kesekian kali. Sebagai gantinya, Fumio mengambil sebutir apel dan mengupasnya dengan gerak luwes. “Makan ini saja kalau tidak mau bubur itu. Akan kumakan nanti.”

Tanpa memedulikan Ayumi yang cengo, Fumio memotong apel tersebut menjadi bagian kecil, menyodorkannya ke bibir Ayumi. 

Ayumi menggaruk tengkuk, bingung sendiri. “Kenapa?”

Ayumi terus mengunyah apel yang disodorkan Fumio, menunggu.

Tepat saat raut wajah Fumio berubah menjadi seperti agak kesal, Ayumi langsung tergagap meralat. “Maksudku, kenapa kau tidak makan yang lain saja?” tanya Ayumi lagi, yang langsung disambut kibasan tangan Fumio.

Fumio tersenyum tipis. “Aku tidak suka membuang makanan, dan kau tidak menyukainya. Ini salahku, jadi aku yang harus bertanggung jawab menghabiskannya.” Fumio mulai menyuap satu sendok bubur, tak peduli meskipun Ayumi tampak tidak enak sekaligus bersalah saat Fumio terus memakan bubur tersebut dengan lahap. Fumio menyeringai dengan sudut bibir terangkat. “Sudahlah. Jangan beri aku wajah seperti itu. Aku tidak apa-apa, dan lagi pula, bubur ini tidak terlalu buruk.” 

Ayumi tersenyum tipis, dengan gerak pelan mengulurkan tangan, membersihkan bubur yang sempat belepotan di bibir Fumio.

Fumio mengangkat wajah, menyaksikan dengan jelas bagaimana Ayumi tersipu saat ia menatap gadis itu lamat-lamat.

Keduanya saling bersitatap, seolah menyelami lautan manik masing-masing. Sedetik kemudian, Ayumi langsung tersadar seraya menarik jemari yang masih berada tepat di atas bibir Fumio.

Ya ampun! Ayumi mengusap wajah. Bagaimana bisa ia kelepasan seperti itu? Gadis itu hampir menjerit malu, dengan kedua belah telapak tangan menutup wajah yang ia rasa sudah begitu merona.

Hening sesaat. Terasa canggung.

“Ayumi,” panggil Fumio kemudian, yang mana langsung membuat gadis di hadapannya itu menurunkan telapak tangan dari wajah, menatap Fumio yang seperti maju mundur ingin memberitahu satu hal penting. “Apa tidak sebaiknya kita hentikan saja pencarian ini?”

Satu kalimat pendek yang membuat Ayumi runtuh di tempat saat itu juga.

Bahkan, saat ini Fumio tidak sanggup menatap sepasang iris yang bening itu. Pemuda itu menunduk dalam. Tanpa disangka, Fumio merasakan sentuhan lembut di dagu, memberikan tekanan ke atas hingga Fumio mengangkat wajah dan melihat ekspresi tak percaya dari Ayumi. Mata itu ... memancarkan binar pertanyaan yang begitu besar.

Kenapa? Itu yang bisa Fumio baca dari ekspresi Ayumi yang terlihat terluka. 

Mengalirlah semua cerita itu. Tentang pasangan suami-istri yang membantu membawa Ayumi menuju ke rumah sakit saat gadis itu tak sadarkan diri. Tentang bagaimana sang suami dari pasangan itu mengingatkan Fumio terhadap Arata. Mulai dari wajah, postur tubuh, suara, dan mata yang senantiasa memancarkan kilau keraguan yang familier dengan Arata. Tentang sang istri dari pasangan itu yang memberikan dua buah kartu nama dengan selarik nama yang membuat Fumio tersentak saat membaca dan mencocokkannya satu sama lain. 

Fumio bukan tipe orang yang hanya akan percaya dengan satu kali kebetulan.

Maka, saat Ayumi beristirahat dan masih berada dalam masa pemulihan, Fumio diam-diam mengunjungi alamat rumah Furihara Sakura dan Furihara Arata. Bukan mengunjungi, sebenarnya. Mungkin kata mengintai lebih tepat. Dari hasil pengamatannya, Fumio sangat yakin bahwa Furihara Arata yang merupakan suami Furihara Sakura adalah Arata yang selama ini mereka cari. Pemuda itu lantas merogoh saku celana, memberikan dua buah kartu nama yang dimaksud Fumio. 

“Apa kau yakin masih ingin mencarinya?” tanya Fumio setelah keheningan menyergap saat ia membiarkan Ayumi menekuri selarik nama dan alamat di kartu nama tersebut. Fumio bisa melihat bagaimana raut wajah dan binar mata itu seketika berubah.

Ada rasa khawatir, gelisah, dan bimbang yang bisa Fumio tangkap dari tatapan Ayumi yang sempat berkaca-kaca. 

Satu bulir bening jatuh tanpa bisa dicegah saat Ayumi menunduk, tergugu tanpa suara, membasahi masa lalu yang hampir padam dalam relung hati terdalam. 

“Ayumi.” Fumio menyentuh lembut bahu gadis itu, membuat Ayumi tersentak kecil dan dengan cepat menghapus air mata yang sempat jatuh dengan punggung tangan.

Tanpa sadar, tangan Ayumi gemetar ketika terus mencoba memegang dua buah kartu nama di tangan. “Apa kau yakin kalau itu adalah Arata yang kita cari?” Suaranya tercekat, menyimpan serak getar memilukan yang tak tersampaikan. Gadis itu dengan cepat menyeka sudut mata, menunggu Fumio yang tengah menatap dengan tatapan yang tak bisa didefinisikan. Ayumi tak memungkiri bahwa seperti ada yang mengiris-iris hati saat Fumio mengangguk samar.

Fumio menghela napas panjang, mencoba menguatkan Ayumi dengan memegang kedua belah bahu perempuan itu.

Fumio kembali mengangguk pelan, tak pelak hampir tidak bisa menahan hasrat untuk memeluk Ayumi dan menghapus air mata gadis itu. “Dari nama marga, ciri fisik, wajah, gestur, sorot mata, perilaku, dan suaranya, aku bisa memastikan bahwa itu Arata yang kita cari selama ini. Dia sudah kembali, dengan masa depan yang pasti bersama dengan Furihara Sakura. Itu benar-benar dia,” jawab Fumio lirih, membiarkan desau angin di luar sana membawa setiap kalimat menuju telinga Ayumi. 

“Apa kau ingin berhenti begitu saja?” Suara Ayumi semakin tercekat di tenggorokan, menimbulkan kepiluan yang tak tersampaikan pada pemuda yang duduk di sampingnya itu.

Fumio mengangguk lemah. “Setidaknya, aku sudah mendapatkan apa yang kuinginkan, Ayumi,” sahut Fumio pelan, “aku sudah tenang karena melihatnya bahagia bersama seseorang yang ia panggil istri. Ia sudah memiliki ‘mata lain’ yang mendampinginya, dan itu sudah membuatku cukup tenang sebagai saudara.” Fumio menerawang, mengingat bagaimana reaksi Arata yang tampak enggan menatapnya.

Seperti Arata yang dulu ia kenal saat pertama kali bertemu.

Setidaknya, itu menjadi bukti bagi Fumio, bahwa itu adalah Arata yang mereka berdua cari. Pemuda itu justru tertegun melihat Ayumi yang tak mampu lagi membendung isak tangis.

Fumio menggenggam tangan Ayumi lembut. “Apa kau masih ingin bertemu dengannya?”

Ayumi menggeleng, menghapus air mata yang terus meleleh dengan punggung tangan. “Aku tidak tahu.”

Bagaimana Ayumi bisa tahu jawaban saat seluruh kepalanya dipenuhi oleh pertanyaan besar yang membuat Ayumi bimbang?

Mendengarkan seluruh kisah dari Fumio saja sudah cukup membuat pertahanan yang Ayumi bangun kembali selama perjalanan ini langsung hancur berkeping-keping, menguarkan debu yang menyentuh masa lalu Ayumi.

Bagaimana bisa ia bertemu kembali dengan Arata, dengan fakta bahwa pemuda itu sudah memiliki seorang istri?

Fumio menghela napas, menatap gadis itu lamat-lamat sebelum ia mengucapkan satu kalimat yang membuat Ayumi tersentak seketika. “Kalau begitu, temui dia!” Fumio dengan tegas menatap manik hitam Ayumi, membiarkan seluruh keyakinannya tertancap pada gadis tersebut.

Bersama dengan desau angin musim dingin Osaka yang terus bersemilir di luar sana.

Ayumi mendongak, menatap rumah yang berdiri kokoh di hadapannya. Rumah yang minimalis untuk sebuah keluarga tinggal. Gadis itu mengepalkan tangan kuat-kuat, mencoba menata dan menguatkan hati yang mulai bertumbukan satu sama lain.

Langit sore yang sempat tergurat oleh sirat matahari senja Osaka, menghilang secara pelan tapi pasti, berganti malam dengan beberapa bintang yang mengerling. Seolah memberikan keyakinan pada Ayumi saat ini. Salju masih turun, setia menemani perjalanan Ayumi dari rumah sakit langsung menuju alamat yang terdapat di kartu nama yang sekarang ia simpan dalam saku mantel. 

Ayumi menoleh saat satu sentuhan mendarat di pundak, mendapati Fumio yang berdiri di belakangnya mengangguk penuh arti. Ayumi tersenyum tipis, menggenggam pelan tangan pemuda itu yang mendarat di bahunya, mendapatkan keyakinan yang terus bertambah sekaligus menipis di saat bersamaan.

Ini dia! Ayumi menghela napas, membuka pelan kedua belah kelopak mata. 

Fumio mengusap pergelangan tangan Ayumi yang melingkar di pergelangan tangannya saat gadis itu seperti ragu melangkah, mundur beberapa langkah hingga mereka berdua berdiri bersisian satu sama lain. 

“Apa kau takut?” tanya Fumio pelan. 

Dengan kondisi Ayumi saat ini, Fumio terus siaga seandainya terjadi sesuatu. Pemuda itu bahkan sempat beberapa kali mendapati Ayumi terhuyung, dan gadis itu hanya melambaikan tangan saat Fumio akan membantu Ayumi, mengatakan bahwa ia baik-baik saja.

Ia tidak baik-baik saja. Ayumi tahu itu dengan jelas. Di saat seperti ini, ia khawatir, bahwa ada sesuatu yang mungkin akan membuatnya kehilangan. Lebih menyakitkan dari apa yang sudah ia alami.  

Ayumi menggeleng lemah. “Aku tidak tahu.” Gadis itu merasakan sesak menyelinap dalam dada, membuat perasaannya tiba-tiba saja seperti diterpa badai. Tak lagi beraturan. 

Tatapan Fumio melembut, dengan mata terus menatap Ayumi lamat-lamat. “Aku akan menemanimu kalau begitu. Dua orang lebih baik daripada satu orang untuk bisa menghadapi satu masalah,” ucap Fumio tegas, sebelum pemuda itu terhenyak saat Ayumi menggeleng tak kalah tegas.

Ayumi tersenyum, meletakkan telapak tangan tepat di depan dada pemuda yang berdiri di hadapannya itu sekarang ini. “Tidak perlu. Kau tunggulah di sini. Aku akan segera kembali.”

Dengan langkah pelan, Ayumi berjalan memasuki kawasan rumah tanpa pagar tersebut. Ayumi menghela napas saat langkah membawanya tepat di depan pintu rumah itu. Ragu, ia mengetuk pintu tiga kali ketukan. Tidak ada respons. Ayumi kembali mengetuk pintu dengan irama sama, sebelum ia membeku ketika mendengar satu suara dari dalam untuk menunggu sebentar. 

Suara seorang wanita.

Ayumi mengepalkan tangan tanpa sadar, mencoba untuk menguatkan hati. 

Sesaat kemudian, pintu terbuka. Menampilkan sesosok wanita asing tepat di hadapan Ayumi. Keduanya saling berhadapan. Saling menatap. Dua wanita yang memiliki hubungan dengan Arata untuk pertama kalinya bertemu. Masa lalu dan sekarang perlahan melebur, saat tatapan keduanya sama-sama melembut terhadap satu sama lain.

Sakura terpana, menyaksikan wanita yang sekarang ini berdiri di depannya. Wanita yang terlihat familier. Ia mencoba mengingat-ingat lagi. Beberapa saat berlalu, dan Sakura terlonjak senang. Ia ingat, bahwa wanita ini adalah wanita yang sempat ia tolong karena tidak sadarkan diri di dekat kawasan kuil. Langsung saja, Sakura dengan riang mengulurkan tangan pada wanita yang sekarang berdiri di hadapannya itu, berjabat singkat. 

“Ah, hai! Bagaimana kabarmu? Terakhir aku dan suamiku bertemu dengan Fujiwara-san, aku dengar kalau kau terkena gejala mag akut. Semoga lekas sehat kembali.” Sakura berucap tulus, terutama saat ia melihat perempuan dengan anting di telinga kiri itu tersenyum lemah dengan wajah pucat pasi. Jabat tangannya pun tak sekuat Sakura. Cenderung gemetar, malahan.

“Ah, kabarku baik-baik saja saat ini.” Wanita itu tetap tersenyum sampai mereka saling melepaskan jabat tangan satu sama lain. Perempuan dengan rambut hitam pendek sebahu itu membungkuk, membuat Sakura sedikit kaget. “Terima kasih karena sudah membantuku waktu itu, Sakura-san.”

Rasa keterkejutan itu semakin bertambah saat wanita itu ternyata mengetahui nama Sakura. Hal yang tidak berlangsung lama, karena Sakura dengan ramah mempersilakan wanita itu untuk masuk karena cuaca sedang dingin-dinginnya. 

“Tidak masalah.” Sakura tersenyum hangat seraya menutup pintu rumah. Sakura sempat ingin bertanya apa Fujiwara Fumio tidak turut bertandang sebelum ia urung menanyakannya. Sebagai gantinya, Sakura mempersilakan wanita itu mengikuti langkah menuju sofa. “Silakan duduk ... em—” Sakura menggaruk tengkuk, bingung sendiri harus memanggil apa. 

Seakan bisa membaca pikiran Sakura, wanita itu duduk dan tersenyum simpul. “Ayumi. Akikawa Ayumi.”

Saat itulah, Sakura merasa, dunianya seketika runtuh.

“Ayumi-san, apa itu kau?” Sakura menyebut nama itu lirih setelah keheningan melanda beberapa saat. 

Tenggorokan Ayumi tercekat, terasa kelu saat ingin mengucapkan sepatah kata setelah ia memberitahu Sakura nama lengkapnya. Keduanya seperti bertarung dengan pikiran masing-masing, saling diam untuk waktu lama. Hanya ada desau angin musim dingin serta detak jam dinding yang ada di ruang tamu sebagai pengisi keheningan. Ayumi menoleh saat didengarnya Sakura berdeham pelan. 

“Tunggu sebentar,” ucap Sakura lagi. Wanita itu dengan cepat berlalu, masuk ke sebuah ruangan tak jauh dari ruang tamu, meninggalkan Ayumi yang terus berkutat dengan perasaan sebelum Sakura kembali lagi dengan map berwarna biru di tangan. Wanita itu dengan anggun mengambil posisi duduk berseberangan dengan Ayumi. Hanya tersekat meja di mana Sakura meletakkan benda itu.

Map berisi sesuatu yang membuat Ayumi terhenyak saat Sakura membukanya.

Ayumi menyentuh lembar demi lembar kertas berwarna-warni yang ada saat Sakura memberi isyarat agar memeriksanya. Tanpa bisa dicegah, tangan Ayumi gemetar saat menekuri satu demi satu kertas di tangan.

Ini ... surat-surat yang ia tulis untuk Arata. Ini semua sungguh surat-surat yang ia tulis untuk Arata. Bertahun-tahun lalu. 

Namun, yang membuat Ayumi terguncang adalah saat ia menemukan dua lembar foto yang menampilkan sosok dirinya sewaktu masih bersekolah di Kanazawa. Dua-duanya candid. Salah satunya saat Ayumi menyuap onigiri, sementara lainnya saat angin berembus kencang, mengibarkan rambut Ayumi yang panjang sepunggung. Gadis itu tanpa sadar meremas lembar surat yang sempat ia pegang,  

Perlahan, Sakura menyentuh pergelangan tangan Ayumi yang bertumpu di atas meja, membuat gadis itu mengangkat wajah yang bagi Sakura seperti menyimpan seribu cerita di balik nuansa sendu itu. “Aku tahu kalau suatu hari nanti kau akan datang, Ayumi-san. Cepat atau lambat. Sekarang kita bertemu, dan aku ingin menepati janji yang pernah kubuat dulu: menceritakan semuanya. Kenapa Arata bisa bersamaku saat ini. Aku akan ceritakan semua,” kata Sakura terbata-bata.

Ayumi menatap Sakura lamat-lamat, menajamkan pendengaran saat Sakura mulai bercerita.

Semua dimulai lima tahun lalu.

Saat itu, Sakura tengah mengendarai mobil melewati satu daerah yang jarang dilalui pada pukul satu dini hari. Sakura melihat ada sesuatu yang aneh di tepi jalan. Radius lima puluh meter. Sakura menemukan sebuah mobil yang terperangkap di tepi jalan dengan keadaan bagian depan mobil rusak berat.

Sakura bergegas turun, mencoba memeriksa, mempertimbangkan panggilan hati karena saat itu ia juga bekerja sebagai dokter bedah di salah satu rumah sakit besar Osaka. Di sana, di bangku kemudi, Sakura menemukan sosok Arata tak sadarkan diri dengan darah bersimbah dari dahi serta kepala, membasahi kemeja yang dikenakan oleh pemuda itu. 

Tanpa pikir panjang, Sakura dengan cepat membuka pintu mobil yang tak kalah rusak dan penyok, membawa Arata sekuat tenaga untuk diantarkan ke rumah sakit sesegera mungkin demi mendapatkan rawat intensif. Perawatan Arata langsung ditangani oleh Sakura malam itu juga.

Beberapa minggu kemudian, saat Arata tersadar dari masa kritisnya, Sakura menyadari satu hal yang terjadi. 

“Saat itu kami melakukan rontgen dan pemeriksaan menyeluruh. Kami kemudian tahu kalau Arata mengalami gegar otak serius, menyebabkan hilang ingatan dalam jangka panjang. Ia bahkan tidak bisa mengingat namanya sendiri. Setelah melakukan berbagai usaha, akhirnya aku menemukan nomor kedua orang tuanya, memberitahu kalau anak mereka sedang menjalani rawat inap intensif di Osaka. Mereka tiba beberapa hari kemudian di Osaka, menjenguk Arata dengan wajah cemas meski Arata sama sekali tak bisa mengingat mereka.

“Perlu usaha dan waktu agar bisa meyakinkan Arata tentang keluarga yang ia miliki, dan hal itu membuatku sering berada di sisinya untuk membantu proses mengingat hal-hal penting dalam hidup Arata atas permintaan Tuan dan Nyonya Furihara saat itu.

“Selama hampir satu tahun, kami akhirnya bisa meyakinkan Arata tentang hal-hal penting dalam hidupnya, terutama keluarga dan identitas dirinya sendiri. Hal yang entah kenapa membuatku semakin dekat dengan keluarga Furihara, khususnya Arata.

“Hingga hari itu tiba, saat Arata dan keluarganya menyampaikan maksud bahwa mereka ingin melamarku untuk Arata. Aku saat itu, yang tak pernah tahu tentang dirimu sama sekali, Ayumi-san, akhirnya menerima lamaran itu. Jika saja aku boleh jujur, bukan karena cinta, tapi karena aku ingin melindungi Arata dengan segala kekurangannya. Karena saat melakukan pemeriksaan secara berkala, aku tidak hanya menemukan fakta bahwa Arata bukan hanya kehilangan ingatannya dalam jangka waktu yang lama, melainkan juga—”

“Prosopagnosia, face-blindness.” Ayumi memotong lirih, merasakan genggaman Sakura semakin erat.

Sakura tertegun, sebelum ia mengangguk samar. “Kau pasti lebih mengetahui hal ini ketimbang aku. Berdasarkan informasi yang kudapat dari Tuan dan Nyonya Furihara, Arata sudah menderita prosopagnosia sejak lahir. Aku sudah berusaha mengungkit tentang dirimu pada tiga bulan pertama pernikahan kami, tepat saat aku berhasil menemukan berlembar-lembar surat ini di bawah ranjang apato Arata di Kanazawa. Tersimpan rapi dalam sebuah kotak bersama dengan dua lembar fotomu. Namun, kau tahu sendiri bukan, apa yang bisa diharapkan dengan bertanya kepada Arata tentang siapa Akikawa Ayumi meski aku sendiri sudah memperlihatkan surat-surat itu padanya?

“Arata hanya menggeleng, mengatakan kalau ia tak mengenal siapa pun yang bernama Akikawa Ayumi. Memperlihatkan foto-fotomu berakhir dengan respons sama dengan surat-surat yang kau tulis, mengingat bagaimana Arata kesulitan mengenali wajah seseorang.

“Aku sudah berusaha membantu Arata mengingat siapa gadis bernama Akikawa Ayumi. Meskipun pada akhirnya, Arata tak mampu mengingat apa pun. Tahun demi tahun, akhirnya kita bertemu di sini.” Sakura menyeka ujung mata yang mengeluarkan bulir bening hangat dengan punggung tangan saat selesai menceritakan semua yang ia dan Arata alami selama ini.

Semua jawaban yang Ayumi cari selama ini ... terjawab sudah. 

Jujur, sebagian kecil hati Ayumi tidak bisa menerima semua ini. Gadis itu mengatupkan kedua belah kelopak mata, menguatkan hati yang siap runtuh kapan saja.

Tanpa sengaja, mata Ayumi menangkap siluet perut Sakura. Gadis itu sejenak ragu, hingga pertanyaan itu terlontar juga. “Sakura-san, apa kau sedang—” Ayumi memberi isyarat dengan menunjuk perut sendiri saat Sakura menatapnya, yang disambut satu anggukan kecil disertai rona di kedua belah pipi wanita itu. 

Sakura mengelus perut. “Anak kedua. Sudah tiga bulan.” Sakura terkekeh, sebelum ia tercenung saat mendapati ekspresi Ayumi yang hanya mengangsurkan sedikit senyum, tak bisa menyembunyikan kabut pada sorot mata. Diam-diam, Sakura tidak enak hati. “Ah, maaf,” ucap Sakura meskipun Ayumi dengan cepat mengangkat wajah, menggeleng dengan senyum lebih lebar.

“Aku turut senang. Semoga lancar sampai persalinan.” Ayumi menangkupkan kedua belah tangan di depan dada, berdiri dan pamit undur diri.

Sudah cukup perjalanannya berakhir sampai sini. 

“Ayumi-san ....” Sakura turut berdiri seraya menahan pergelangan tangan Ayumi. Sorot matanya seakan melontarkan berjuta kata maaf yang tak terucap. “Ma—”

Ayumi menggeleng tegas, sudah bisa mengira apa yang akan dikatakan Sakura. Wanita di depannya itu tidak bersalah. Justru sebaliknya. Berkat Sakura, Arata bisa bertahan hidup. Juga, menemukan kebahagiaan lain. Kebahagiaan yang, Ayumi tahu, harusnya ia ikut bahagia karenanya. Bukan sebaliknya.

Entah kenapa, tiba-tiba seperti ada yang mengiris perasaan Ayumi perlahan-lahan. Terlalu pelan hingga rasanya perih itu membunuhnya perlahan pula.

Sebagai gantinya, Ayumi meraih telapak tangan Sakura dan menggenggamnya erat. “Sakura-san, terima kasih banyak.” Ditatapnya Sakura lekat-lekat tepat di kedua belah mata. Ayumi tersenyum, mengangguk. “Tolong, jaga dia. Aku percaya padamu,” katanya lagi. Gadis itu lantas menunduk, tidak bisa mempertahankan lengkung bibir lebih lama.

“Ayumi-san, aku—” Kalimat Sakura terputus begitu saja, tepat saat satu suara memanggil namanya. Suara yang familier. Bukan hanya bagi Sakura, tetapi juga Ayumi.

“Sayang?”

Entah bagaimana dengan Sakura. Untuk beberapa saat, Ayumi terpaku. Laki-laki itu ... sudah banyak berubah. Terlalu banyak hingga Ayumi perlu waktu meyakinkan diri. Menatap lama pria yang memanggil Sakura dengan sebutan Sayang itu. Lebih lama dari yang Ayumi kira untuk bisa mengenalinya.

 Arata-kun ... akhirnya kita bertemu lagi.

Andai semua masih sama, Ayumi tanpa ragu akan berlari menghampiri. Menerjang dan memeluknya. Menumpahkan semua kerinduan dalam dada. Melontarkan puluhan, atau mungkin, ratusan pertanyaan. Setelah bertahun-tahun, di sini, mereka bertemu.

Bagaimana kabarmu?

Kau tampak kurus. Apa kau makan dengan teratur?

Tidurmu tidak cukup, ya? Matamu sudah seperti panda saja.

Sayang, semua tidak lagi sama.

“Ah, maaf. Aku tidak tahu kalau kau kedatangan tamu.” Arata berujar pelan. “Aku permisi dulu.”

“Furihara-san!” Entah mendapat kekuatan dari mana, pada akhirnya, tersebut juga nama itu. Tidak ada lagi Arata-kun. Semua sudah berubah. “Terima kasih atas bantuannya.” Ayumi membungkuk sopan, berusaha tersenyum.

Senyum mungkin tersungging di wajah, tapi Ayumi tahu hatinya mulai tersedu tanpa suara.

Sesaat, Arata terpana. Hanya sebentar. Dialihkannya tatapan ke arah Sakura yang memberi isyarat bibir tanpa suara. Dia wanita yang sempat kita tolong karena tidak sadarkan diri di dekat kawasan kuil. Begitu kata Sakura.

Arata mengangguk. Dirinya mungkin kesulitan mengenali dan merekam memori wajah seseorang, tapi tidak dengan ingatan tentang kejadian yang masih belum lama berlalu itu.

“Apa kau—” Arata berusaha mengenali wajah itu. Sia-sia. Ah, memang selalu begitu, kan? Seberapa besar pun dirinya berusaha, Arata akan selalu melihat orang-orang sebagai orang asing. Ditambah, ini pertama kalinya Arata bertemu dengan wanita yang berdiri di sisi istrinya itu saat ini. “—baik-baik saja?”

Aku tidak baik-baik saja, Arata-kun. Aku merindukanmu.

Ayumi mengangguk pelan sebagai jawaban. Sudah saatnya dia pergi. Ayumi menatap lekat-lekat wajah dua orang yang menjadi pengujung kisah pencarian ini.

Arata dan Sakura.

Ayumi tersenyum pada suami-istri tersebut seraya berkata, “Aku permisi. Selamat malam.”

Setelahnya, tanpa berkata apa-apa lagi, Ayumi pergi. Tak berhenti sedikit pun. Langkahnya tergesa ketika meninggalkan kawasan kediaman Furihara, dengan luka berjejer mengikuti jejak kenangan yang menemukan jawaban. 

“Hei.”

Fumio yang sedari tadi menunggu di ujung jalan, terhenyak saat Ayumi menghampiri dan menatapnya lekat-lekat sebelum gadis itu menyandarkan dahi pada dada Fumio. Tak bisa lagi menahan tangis yang pecah seketika saat itu juga.

Hening.

Hanya ada desau angin musim dingin Osaka yang menemani senyapnya mereka. Begitu saja, sesak yang Ayumi rasakan perlahan memudar tepat saat Fumio merengkuh erat pinggangnya, memperkecil jarak di antara mereka. Bersama letup kecil harapan yang mulai menyala perlahan di ujung relung terdalam hati keduanya.

Bersama-sama. []















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top