11. Malam Saat Aku Merindukanmu

Di hari saat kita saling meninggalkan satu sama lain, aku melihatmu pergi menjauh, dan pada akhirnya, setiap janji hanya menjadi angan belaka.

Dengan langkah pelan, Ayumi memasuki kawasan kuil terbesar yang ada di Osaka. Usai membereskan semua barang yang ia bawa di lemari kamar, Ayumi langsung beranjak menuju kuil dengan satu tujuan: berdoa. Sebuah ritual yang lama sekali tidak dilakukan Ayumi sejak kepergian Arata. 

Setelah menginap satu malam di Kyoto, Ayumi melewati perjalanan dari Kyoto menuju Osaka dengan perasaan tak menentu.

Pasca kejadian semalam, Ayumi merasa canggung untuk sekadar berbicara pada Fumio. Semua menjadi serba salah. Ayumi benar-benar merasa segan, meski setelah kejadian itu, sikap Fumio tak berubah sama sekali. Tetap terlihat dingin dan begitu datar. Nada suara terkesan angkuh, raut wajah cuek, dan sorot mata yang tajam seperti biasa.

Ayumi tahu, kejadian semalam benar-benar mengubah seluruh pandangannya tentang perjalanan ini. Ayumi sendiri bukannya tidak memercayai apa yang dikatakan oleh Fumio. Hanya saja, semua terasa begitu tiba-tiba. Memorakporandakan pertahanan yang Ayumi bangun di atas masa lalu menyakitkan dan memberikan ruang bagi sesak untuk menyelinap paksa setiap kali Ayumi teringat tentang Fumio-nya dulu. 

“Kenapa kau tidak mengatakannya sejak awal?” Ayumi dengan hati-hati bertanya saat pelayan yang mencatat pesanan mereka sudah berlalu. 

Fumio tidak mungkin membiarkan mereka berdua bicara di tengah gumpalan salju seperti tadi. Dengan kondisi tubuh Ayumi yang tiba-tiba terlihat drop, semua kemungkinan buruk bisa terjadi. Fumio dengan segera menuntun Ayumi menuju kedai terdekat, memesan teh hijau panas didampingi beberapa tusuk dango saat menyadari betapa pucat pasinya wajah Ayumi. 

“Fumio?” panggil Ayumi lagi saat menyadari tak ada respons dari pemuda yang mengambil posisi duduk di hadapannya sekarang. 

Fumio menatap wajah Ayumi lamat-lamat, menahan kalimat yang hampir terlontar saat pelayan membawakan pesanan mereka.

Fumio tersenyum tipis, menyodorkan segelas teh hijau panas dan sepiring penuh dango kepada Ayumi. “Minum dulu.” Fumio membantu tangan Ayumi yang sedikit gemetar ketika menggenggam gelas. Pemuda itu sesaat menghela napas saat Ayumi menatapnya, menunggu. “Aku tidak ingin terjadi salah paham. Belum tentu kau percaya jika aku mengatakannya saat itu. Aku harus mengumpulkan semua bukti untuk membuktikan apa itu benar kau atau bukan.”

Kali ini, Ayumi yang menatap Fumio lekat-lekat. “Bagaimana kau bisa yakin kalau Ayumi yang kau cari adalah aku?” tanya Ayumi kemudian. Gadis itu sempat terbatuk kecil beberapa kali, mengangkat telapak tangan kanan sebatas dada pada Fumio yang refleks terlihat cemas, memberi isyarat bahwa ia baik-baik saja. 

Kali ini, sebuah senyum kaku menghiasi wajah Fumio. Senyum yang tak pernah dilihat oleh Ayumi selama ini—entah dulu ataupun sekarang. Dilihat dari cara pemuda itu menaikkan sudut bibir dengan gerak kaku, Ayumi bisa pastikan, Fumio pasti jarang tersenyum sebelum ini. Atau malah jangan-jangan tidak pernah senyum sama sekali? 

“Caramu bicara, mengundai rambut, anting di telinga kiri, juga menundukkan tatapan saat pertama kali kita bertemu,” jelas Fumio, yang mau tidak mau membuat Ayumi turut yakin, kalau pemuda itu memang Fumio yang selama ini ia kenal.

Ayumi sempat terbatuk dengan tangan memijat pelipisnya yang mengeluarkan keringat dingin. Fumio membantu gadis itu untuk meminum teh hijau yang ada agar lebih baik.

Pembicaraan terus berlanjut hingga menyentuh masalah Arata. Topik sensitif, terlebih ketika Fumio bertanya apa Ayumi akan kembali bersama dengan Arata jika mereka berhasil menemukan pemuda tersebut. Pertanyaan yang sukses membuat Ayumi tercenung, kehabisan kata-kata untuk menjawab. 

Ayumi menunduk, menggeleng pelan sebelum mengaku tidak tahu jawabannya untuk saat ini. Fumio mengalah, tak mengungkit masalah itu lagi dan memutuskan untuk fokus pada tujuan awal mereka: menemukan Arata atas dasar kekeluargaan, bukan tentang perasaan di antara mereka.

Meskipun Fumio sudah berkata demikian, selama perjalanan kembali menuju penginapan, kepala Ayumi terus dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan lain. Diliriknya Fumio yang berjalan di sisi kanan. Tatapannya lurus ke depan. Tanpa senyum, membuat pemuda itu terlihat angkuh dan cuek meski Ayumi tahu benar pemuda itu memiliki kebaikan hati yang besar. Entah dulu ataupun sekarang. 

Antara Arata dan Fumio.

Ayumi tanpa sadar menggigit bibir. Antara kekasih dan sahabatnya. Sama-sama masa lalu yang sempat memberikan suka maupun duka setelahnya. Turut memberikan kontribusi besar dalam hidup Ayumi. Gadis itu memejamkan mata, mencoba menenangkan pikiran dan menata hati yang mulai patah-patah.

Jika ini memang takdirnya, kenapa semua terasa begitu pelik? Kenapa masa lalu yang lain harus datang di saat Ayumi mencoba menemukan masa lalu yang terlalu lama ia tunggu dan cari jawabannya? 

Ayumi perlu berdoa. Meminta petunjuk untuk memutuskan semua jalinan di saat seperti ini.

Maka, saat mereka berdua tiba di Osaka dan pergi menuju ke penginapan yang sudah dipesan oleh Fumio via aplikasi daring, gadis itu mengetuk pintu kamar Fumio yang tepat berseberangan dengan kamarnya. Ayumi dengan hati-hati meminta ditemani mencari kuil terdekat karena ia sendiri benar-benar buta daerah besar di Jepang ini.

Fumio mengangguk, menggamit lengan Ayumi untuk segera mencari bus mini yang akan membawa mereka menuju kuil terdekat. Dua kilometer dari tempat mereka menunggu bus sekarang. Sepanjang perjalanan menuju kuil, tidak ada yang berbicara. Ayumi mengusap tengkuk belakang yang tiba-tiba terasa dingin sebelum gadis itu sempat merasa mual ketika angin musim dingin menerjang saat keduanya tiba di tujuan dan turun dari bus.

Fumio langsung sigap menahan pergelangan tangan Ayumi saat dilihatnya gadis itu sedikit terhuyung memasuki gerbang kawasan kuil. Fumio tak kunjung melepaskannya sampai benar-benar yakin gadis itu baik-baik saja. Ayumi menangkupkan tangan kepada pendeta yang menyambut mereka. Bersama dengan Fumio, ia berdiri tepat di depan altar doa. 

Ayumi merogoh saku celana, melempar sebuah koin di depan altar sebagai sumbangan, lantas menangkupkan telapak tangan di depan dada seraya memejamkan mata dengan khidmat. Bibir gadis itu bergerak pelan, lirih sekali saat menuturkan doa panjang yang tak pelak membuat hatinya seperti dikoyak-koyak. 

“Kami-sama, jika Arata takdirku, dekatkan dia kepadaku. Namun, jika garis takdir berkata ia bukan untukku, pertemukan aku sekali saja dengannya sebelum aku menghapus semua ingatan tentang dirinya. Tentang kenangan kami berdua, dan semua janji yang hanya angan belaka.

“Jika memang Fumio yang berdiri di sampingku sekarang adalah orang yang kucari selama ini, berilah petunjukmu kepada kami berdua. Aku sudah terlampau lelah terus berputar pada lingkaran ketidakpastian.”

Tanpa bisa dicegah, bulir bening hangat menetes pelan dari sudut mata Ayumi. Meleleh perlahan melalui pipi gadis itu sebelum ia menghapus jejak air mata tersebut dengan punggung tangan.

Ayumi menghela napas panjang, menguatkan hati. Gadis itu lantas menggamit bahu Fumio, membuat pemuda yang sempat berdoa bersamanya itu sontak membuka kelopak mata dan mengerjap saat Ayumi mengajak untuk segera pergi. Keduanya memberikan salam pada pendeta, melangkah keluar dari kawasan kuil dengan perasaan tak menentu. 

Tepat saat langkah keduanya melewati gerbang kuil, tiba-tiba saja Ayumi merasakan kepalanya berdenyut hebat dengan tengkorak seperti dipukul dengan palu hingga penglihatan perlahan buram.

Ayumi meringis, memegangi ulu dada yang terasa perih. Gadis itu terhuyung, hilang keseimbangan.

Fumio yang melihat Ayumi tampak kepayahan, langsung menahan pergelangan tangan gadis itu. Tak peduli meski tangannya sempat terkena muntahan Ayumi yang tiba-tiba saja terlihat pucat pasi. Gadis dalam pelukan Fumio itu mendesah, mencengkeram bagian atas mantel Fumio dengan lemah. 

“Fumio ....” Perlahan, sesak mulai menguasai Ayumi, membuat semua yang ada tiba-tiba menjadi gelap. Gadis itu tak mampu merasakan kedua kakinya.

Ayumi tersengal. Samar ia mendengar Fumio berseru, riuh beberapa orang, dan decit ban memekakkan telinga saat kedua mata Ayumi perlahan mengatup, tak sadarkan diri. 

“Dokter, bagaimana keadaannya?” 

Fumio menarik kursi setelah dipersilakan oleh yang bersangkutan. Fumio mengambil posisi duduk, tepat berhadapan dengan dokter yang hanya dibatasi meja. “Apa dia baik-baik saja?” tanya Fumio, kali ini tidak bisa menyembunyikan raut cemas. Pemuda itu menghela napas lega saat dokter di depannya tersenyum, mengangguk.

Dokter berdeham, menumpukan pergelangan tangan ke meja. “Saya menemukan gejala mag akut pada Akikawa-san. Kemungkinan karena pola makan tidak teratur dan tidak beristirahat dengan cukup.” Dokter tersebut mengambil secarik kertas dan menuliskan beberapa resep, dengan cepat menyerahkannya pada Fumio. “Akikawa-san masih harus rawat inap beberapa hari agar kami bisa memantaunya. Untuk sementara ini, tolong berikan resep itu dan perhatikan pola makannya selama di sini. Mohon kerja samanya, Fujiwara-san.”

Fumio berdiri, pamit setelah bersalaman dengan dokter dan keluar dengan perasaan gamang. Fumio mengembuskan napas pendek. Ia harus segera menebus resep di tangan dan mengurus administrasi perawatan Ayumi. 

Tepat ketika Ayumi tak sadarkan diri, Fumio dengan gesit langsung menyetop sebuah mobil sedan berwarna hitam yang melintas dan minta bantuan agar bisa mengantarkan mereka menuju rumah sakit. Pasangan yang mengendarai mobil itu terbelalak, langsung turun dari mobil dan melihat keadaan Ayumi yang saat ini kepalanya dipangku oleh seorang miko kuil tempat mereka berdoa. 

Sang istri menjerit tertahan, menyuruh suaminya segera membantu Fumio mengangkat Ayumi ke kursi belakang. Bahkan, sang istri tanpa ampun menjitak kepala suaminya itu karena dirasa mengendarai mobil terlalu santai. Wanita itu mencak-mencak, menyuruh agar langsung kebut sambil sesekali memeriksa kondisi Ayumi yang terbaring lemah di pangkuan Fumio. Pemuda itu mengucapkan terima kasih, yang langsung disambut lambaian tangan sang wanita dan kalimat tidak masalah. Mereka pun memiliki tujuan yang sama: rumah sakit. 

Sekali lagi, Fumio berterima kasih saat si pria kembali membantu membopong Ayumi ke dalam, yang mana langsung disambut gerak cekatan perawat yang melihat mereka. Ayumi langsung dibawa untuk ditangani secara lebih lanjut. Mereka bertiga berpisah, setelah Fumio kembali berterima kasih seraya membungkukkan badan, tanda penghormatan yang sudah lama sekali tidak ia lakukan. 

“Bagaimana keadaannya?”

Mereka kembali bertemu di beranda rumah sakit secara tidak sengaja. Tepat saat Fumio kembali setelah membeli makanan. 

Pasangan yang membantu mereka. Tampak serasi. Dengan pergelangan tangan sang pria melingkar di pinggang istrinya. Wanita tersebut dengan cepat menepis tangan sang suami yang sempat-sempatnya menggoda. “Semoga dia baik-baik saja,” ucap wanita itu lagi dengan sorot mata menunjukkan ketulusan yang besar. 

Fumio mengangguk singkat. “Dia akan baik-baik saja.” Pemuda itu lantas membeberkan secara singkat apa yang terjadi dan kesimpulan dokter setelah hasil pemeriksaan keluar. Hanya gejala mag. Mungkin sudah bisa keluar dari rumah sakit dua atau tiga hari lagi. Sang wanita mengangguk mafhum, kembali mendoakan agar Ayumi lekas sembuh. 

“Apa kita bisa bertukar kartu nama? Ini kartu nama kami. Berkunjunglah kalau memang memungkinkan.” Sang wanita merogoh tas yang tersampir di bahu, menyodorkan dua buah kartu nama dengan kedua belah tangan dan badan sedikit membungkuk.

Fumio tersenyum tipis, menerima uluran kartu nama tersebut. Pemuda itu memberikan kartu namanya pada sang wanita, sebagai bentuk balasan atas keramahan pasangan tersebut. Sang wanita melirik sebentar kartu nama Fumio sebelum tersenyum hangat. “Senang bertemu denganmu, Fujiwara-san.” Sang wanita menyodorkan tangan yang langsung dijabat singkat oleh pemuda tersebut.  

Fumio tersenyum tipis. “Senang bertemu kalian.” Pemuda itu menyodorkan tangan pada sang suami yang berdiri tepat di sebelah istrinya. 

Laki-laki itu sempat terlihat canggung. Agak kikuk meski tetap menyambut juga dengan enggan. Hal yang membuat Fumio terhenyak saat menatap lamat-lamat wajah pria itu. Tampak familier. Fumio memicingkan mata, sedikit terperangah ketika kepalanya mulai memberikan gambaran tentang siapa yang terlihat begitu mirip dengan laki-laki itu. 

Arata ....

Fumio tak melepaskan sedikit pun tatapan dari wajah laki-laki di hadapannya itu meski sang suami wanita tersebut terang-terangan membuang tatapan ke arah lain, enggan menatap Fumio. Pemuda itu menenggak ludah, tak bisa percaya dengan fakta bahwa pria itu benar-benar mirip dengan orang yang mereka cari. Bahkan setelah keduanya pamit undur diri, Fumio tak bisa melepaskan pandangannya dari laki-laki itu. 

Wajah, suara, postur tubuh, dan gerak-gerik yang benar-benar mengingatkan Fumio pada sosok Arata. Pemuda itu terdiam setelah menekuri kartu nama di tangan. Dua nama yang membuat Fumio mematung, dengan kedua belah lutut lemas begitu saja.

Furihara Sakura dan ….

... Furihara Arata.








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top