10. Ketika Tuhan Mempertemukan Kita Kembali

Sebelum bertemu denganmu, aku tak tahu, bahwa dunia yang kutempati bisa sesunyi ini.

Ayumi menyentuh kaca bus di sampingnya, merasakan hawa dingin menjalar begitu saja. Gadis itu melirik sisi lain, mendapati Fumio yang terlelap selama perjalanan, membiarkan Ayumi terus bertarung dengan kecamuk yang menguasai kepala sejak keberangkatan mereka dari Apartemen Aizawa di Kanazawa menuju Kyoto.

Kanazawa ....

Bersama potongan jawaban tersebut, terdapat pula keping lain yang turut melengkapi. Nama apartemen yang Arata tulis sebagai tempat di mana ia akan tinggal selama di Kanazawa. Apartemen Aizawa. Begitulah yang Arata klaim dalam tulisannya.

“... dia sudah memiliki kekasih. Orang yang dia cintai. Aku ingat dengan jelas saat Arata-san mengatakannya.”

Kalimat itu serupa bisikan. Ayumi menyandarkan kepala dengan lunglai, sesaat seakan lesap dalam ingatan. Rasanya sesak. Seperti dihantam gada tepat di ulu hati.

Ayumi ingat, ketika mereka sudah sampai di Terminal Nohi Bus Kanazawa, ia dan Fumio langsung turun dan mencari alamat yang tertera. Apartemen Aizawa. Untungnya, tidak sulit untuk menemukannya.

Beberapa orang yang mereka tanyai langsung paham dan membantu menunjukkan arah yang harus dituju untuk menemukan Apartemen Aizawa. Penduduk setempat memberikan solusi agar Ayumi dan Fumio lebih baik menggunakan bus umum yang akan beroperasi sebentar lagi, karena Apartemen Aizawa masih cukup jauh kalau ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Ayumi membungkuk, berterima kasih lantas menggamit pergelangan tangan Fumio. Mencari tempat tunggu bus sesuai yang ditunjukkan penduduk setempat. 

Kaca jendela bus mulai terlihat dari ujung jalan lima menit kemudian, berhenti tepat di depan Ayumi dan Fumio yang langsung menaikinya dan memberikan alamat yang mereka cari pada supir bus. Dalam bus, Ayumi bahkan sama sekali tidak bisa menghentikan gejolak yang rasanya memenuhi dada, membuat semua anggota badan Ayumi seolah mati rasa. Tak berdaya. 

Ini harapan terakhir.

Ayumi perlahan memejamkan kedua belah mata. Jika ia memang tidak bisa menemukan Arata, maka mungkin ia harus mempertimbangkan untuk mencoba melupakan masa lalu dan janji yang benar-benar telah pudar.

Ayumi tersentak saat merasakan sebuah sentuhan lembut mendarat di bahu, membuat gadis itu langsung membuka kedua kelopak mata yang semula terkatup rapat. Bus sudah berhenti tepat di tempat yang mereka cari. Apartemen Aizawa. 

Tak jauh beda dengan Apartemen Origin. Ayumi mendongak, memperhatikan sebuah bangunan yang berdiri kukuh di depannya.

Ah, terjadi lagi. Ayumi mengusap wajah. Kedua kakinya terpaku, seolah tak bisa digerakkan dengan seluruh gaya gravitasi berpusat tepat di bawahnya. Gadis itu mengembuskan napas panjang, mencoba untuk memantapkan hati saat Fumio menggamit pergelangan tangannya.

Ayumi menoleh, turut mengangguk. Tatapannya lantas beralih menjadi lurus ke depan.

Di hadapan mereka, Apartemen Aizawa berdiri. Apartemen tiga tingkat yang terlihat kukuh. Berdasarkan apa yang ditulis Arata, seharusnya pemuda itu berada di balik salah satu pintu apato yang ada. Total dua puluh satu pintu. Ayumi menghitung dengan cepat. Masing-masing lantai dengan tujuh apato.

Sejujurnya, Ayumi ragu. Lima tahun bukanlah angka yang sedikit. Arata mungkin masih tinggal di sini. Namun, kemungkinan lainnya, bisa saja pemuda itu sudah pindah. Pergi mencari tempat tinggal baru. Dengan kata lain, kemungkinan pencarian ini berhenti sampai di titik ini masih lima puluh-lima puluh.

“Kita tidak akan tahu kalau tidak mencobanya.” Fumio merespons pendek kemungkinan yang Ayumi utarakan.

Ayumi tidak bisa untuk tidak setuju. Selagi belum dicoba, tentu tidak akan tahu. Namun, harus dimulai dari mana pencarian ini?

“Apa kau melihat papan nama Furihara dari sini?” Ayumi bertanya, memastikan.

“Tidak, kalau kau menanyakan pintu-pintu di lantai satu.” Fumio menyahut tanpa perlu repot-repot menoleh. “Tidak tahu, jika pertanyaanmu merujuk pada lantai dua dan tiga.”

“Apa kita sebaiknya memeriksa lantai dua dan tiga terlebih dahulu?”

“Menurutmu?”

Rasanya, Ayumi ingin menjambak laki-laki yang berdiri di sebelahnya ini. Namun, tidak ada waktu. Juga, tidak ada tenaga untuk melampiaskan kekesalan. Fokus dengan tujuan: Arata. Ditariknya napas panjang sebelum mengangguk, berjalan lebih dulu dengan Fumio menggiring beberapa langkah di belakang. Ayumi mengangkat wajah, sejenak menatap tangga untuk beberapa saat. Mengumpulkan keberanian. Perlahan, gadis itu menaiki satu per satu anak tangga.

Lantai dua mereka lalui dengan santai. Bersikap biasa saja. Bisa Ayumi dengar Fumio memberi instruksi dengan suara pelan. Ayumi pun sudah tahu akan hal itu. Bagaimanapun, Ayumi tidak berminat disangka pencuri yang sedang mengincar barang berharga atau apa pun itu. Disisirnya setiap pintu melalui sudut mata. Mencari nama Furihara. Sampai di pintu paling ujung, tidak ada satu pun seperti yang diharapkan.

Ayumi berbalik, balas menatap Fumio yang memandangnya. “Kau menemukannya?”

Fumio menggeleng. “Kau?”

Ayumi memberi respons serupa. “Lantai tiga?”

Anggukan Fumio berikan kali ini. Pemuda itu berbalik, berjalan lebih dahulu. Memimpin pencarian menuju lantai paling atas.

Semoga saja pencarian di sini membuahkan hasil. Ayumi diam-diam berdoa dalam hati. Doa yang sayangnya tidak bersambut. Sama seperti lantai satu dan dua, tidak terdapat papan nama Furihara di pintu mana pun.

“Apa mungkin kita salah tempat?” Ayumi bertanya lirih. Lebih seperti mengajukan pertanyaan untuk dirinya sendiri.

“Aku sudah mengecek map daring. Satu-satunya apartemen bernama Apartemen Aizawa hanyalah tempat ini.” Fumio menyandarkan punggung pada salah satu sisi dinding.

Jika memang demikian, dugaan bahwa Arata sudah tidak tinggal di sini lagi semakin besar. Ayumi mendesah dalam hati. Sekarang apa? Apa mereka harus mencoba peruntungan dengan bertanya pada penghuni apartemen ini? Besar kemungkinan para penghuni Apartemen Aizawa akan terganggu jika Ayumi dan Fumio harus mengetuk pintu satu per satu.

“Apa kau punya cara yang lebih baik?” Fumio balik bertanya. Tatapannya selurus dan setajam anak panah. Menyisir keadaan dengan teliti.

Ayumi menggeleng.

“Jadi, kita mulai?”

Anggukan Ayumi berikan sebagai jawaban.

Keduanya mulai dari pintu pertama. Lantai tiga, pintu paling kanan. Tepat di depan mereka sekarang ini. Dengan Fumio mengetuk pintu, dan Ayumi memperkenalkan siapa mereka pada penghuni yang menengok keluar. Pintu pertama: gagal. Seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Ekspresinya sinis. Irit kata. Menggeleng ketika Ayumi bertanya apa ia mengenal laki-laki bernama Furihara Arata yang juga menyewa apato di sini.

Pintu selanjutnya. Hasil serupa dengan apato sebelah. Kali ini seorang laki-laki muda. Ekspresinya sedikit lebih ramah. Sayangnya, dia juga tidak tahu-menahu soal Arata. Aku baru tiga bulan tinggal di sini. Begitu katanya. Ayumi mengangguk, berterima kasih dan minta maaf karena sudah mengganggu.

Pencarian dilanjutkan.

Pintu ketiga: pria tua yang ekspresi wajahnya saja tidak bersahabat. Cenderung judes. Tidak segan menyemprot Ayumi yang bertanya tentang penghuni bernama Furihara Arata. Memangnya aku peduli? Respons yang membuat Ayumi meringis.

Pintu keempat. Lima. Enam. Terakhir, tujuh. Pengujung pencarian di lantai satu. Semua tidak tahu soal Arata. Dua di antaranya berkata tidak pernah mendengar nama tersebut. Satu hanya menggeleng. Sisanya tidak ada yang membukakan. Mungkin penghuninya sedang pergi.

Fumio menyentuh bahu Ayumi, membuat yang bersangkutan menoleh. “Masih ada dua lantai di bawah sana.” Ekspresinya sekaku papan. Namun, bisa Ayumi dengar terselip sedikit nada menghibur di balik ucapan pemuda itu.

Ayumi tersenyum kecil. Dilihatnya Fumio memberi isyarat agar tidak membuang-buang waktu. Ayumi mengangguk, mengikuti Fumio yang kembali berjalan di depan. Menuju tangga untuk segera turun ke lantai dua. Rasanya seperti menyeret langkah yang diberi beban tak kasat mata. Setengahnya karena perasaan yang tidak menentu, sisanya sebab harapan di hati Ayumi kian menipis.

Ayumi mengembuskan napas panjang, menuruni satu per satu anak tangga menuju lantai dua. Tiba-tiba saja, didapatinya Fumio menghentikan langkah. Tanpa aba atau kata. Membuat Ayumi yang terkejut tidak sempat menyetop langkah. Kepalang tanggung. Walhasil, tanpa bisa dicegah, Ayumi menubruk punggung sasa  Fumio. Tubrukan yang, entah Ayumi menabrak terlalu keras atau bagaimana, sukses membuat Fumio sempat oleng. Hampir terjerembap kalau saja Ayumi tidak menarik kemeja bagian belakang pemuda itu.

“Ada apa?” Ayumi bergeser ke samping kanan satu langkah, mencoba melihat apa yang membuat Fumio terhenti. Begitu mendapati apa itu, Ayumi ikut terdiam untuk beberapa saat.

Seorang wanita. Berdiri di hadapan Ayumi dan Fumio. Turut terpaku. Dilihat dari wajah dan perawakan, usianya mungkin sebaya dengan Ayumi.

Ada jeda beberapa saat sebelum wanita tersebut tersenyum. “Halo, apa kalian penghuni baru di sini?” tanyanya ramah.

Ayumi mengerjap. Sapaan itu terdengar bersahabat. Senyum turut tersungging meskipun tipis. Baru Ayumi ingin menjawab, didengarnya Fumio mendahului. Kami mencari seseorang bernama Furihara Arata. Begitu katanya. Selarik kalimat yang blak-blakan, membuat Ayumi menyikut rusuk pemuda tersebut.

“Kau ini!” tegur Ayumi pelan.

Fumio tidak menggubris. Tatapannya tetap selurus pedang. Menghunjam wanita yang ada di depan mereka.

Entah bagaimana dengan wanita itu. Namun, Ayumi yang melihatnya saja sudah merasa tidak nyaman. Buru-buru ia angkat suara, mengambil alih keadaan. “Ah, maaf soal itu.” Ayumi membungkuk sopan. Senyum kembali ia suguhkan. “Perkenalkan. Namaku Akikawa Ayumi, dan ini—” Gadis itu menepuk lembut punggung Fumio. “—Fujiwara Fumio. Tentang apa yang dikatakannya barusan, itu benar. Kami sedang mencari seseorang bernama Furihara Arata di sini.”

“Furihara Arata.” Wanita di hadapan Ayumi dan Fumio itu menyebut nama tersebut lirih. Tatapannya beralih pada Ayumi. “Maaf. Siapa namamu tadi?”

“Akikawa Ayumi.”

Hening.

“Apa kalian keberatan jika kita bicara di apato-ku? Lantai tiga. Pintu pertama dekat ujung tangga. Mari, mari.” Wanita tersebut bersuara. Senyum kembali tercetak di wajah cantiknya. “Ah, perkenalkan. Namaku Tanaka Rin.” Setelahnya, wanita yang mengaku sebagai Tanaka Rin itu kembali mengambil langkah. Menaiki anak tangga lebih dulu. Dengan Ayumi dan Fumio mengekor.

“Senang bertemu denganmu, Tanaka-san.” Kali ini, Fumio yang berbicara.

Rin mengangguk. Tangannya sibuk merogoh saku celana dan mengeluarkan kunci pintu apato. “Senang bertemu kalian, Fujiwara-san, Akikawa-san.” Wanita tersebut membukakan pintu, memberi isyarat agar Ayumi dan Fumio segera masuk. “Cuaca sedang tidak menentu,” katanya lagi, sekadar berbasa-basi.

Basa-basi yang langsung ditebas Fumio dalam satu kalimat. “Sejujurnya, kami tidak punya banyak waktu, Tanaka-san.”

Rin yang paham dengan sinyal halus tersebut lantas mempersilakan Ayumi dan Fumio untuk duduk. Ayumi dan Fumio duduk bersebelahan, sementara Rin mengambil posisi berhadapan yang dibatasi meja kecil di antara mereka. “Bisa kalian jelaskan sedikit seperti apa Furihara Arata yang kalian cari?”

Fumio yang juga mewakili Ayumi memberikan jawaban, “Dia pindah ke sini lima tahun silam. Mengatakan kalau Kanazawa adalah kampung halamannya. Pindah karena mendapatkan pekerjaan di sini.” Singkat, jelas, dan padat. Benar-benar Fujiwara Fumio.

“Apa dia juga—”

“Kesulitan mengenali wajah seseorang? Ya.”

“Apa kalian punya fotonya?”

Fumio mengiakan. Pemuda itu mengeluarkan ponsel dari saku celana. Menekan touch screen beberapa kali, lantas menyodorkan ponsel di tangan kepada Rin. Ada jeda yang cukup lama sebelum Tanaka Rin mengangguk.

“Aku mengerti. Persis seperti Furihara Arata yang kukenal. Biar aku ceritakan sedikit. Lima tahun lalu, aku bertemu Arata-san di Terminal Highway Bus Kanazawa. Dia menyapaku, bertanya apa aku mengetahui di mana Apartemen Aizawa berada. Pertanyaan yang bersambut. Kuajak dia ke apartemen ini. Bersambut lagi, entah kebetulan atau apa, Arata-san rupanya penghuni baru yang tinggal di sebelah apato-ku. Benar-benar bersebelahan.

“Awalnya, kami biasa saja. Tidak terlalu dekat. Hanya sebatas tetangga. Sesekali saling sapa sebagai formalitas. Namun, lambat laun, aku menyadari sesuatu. Bahwa aku ... menyukai Arata-san. Awalnya, aku berpikir, itu hanya sebatas perasaan terpesona karena dia tampan dan fisiknya rupawan. Terlebih, saat itu Arata-san masih sangat baru di sini. Baru satu bulan sejak kedatangannya. Kemudian, aku sadar, makin lama aku tidak bisa memisahkan antara sebatas kagum dan perasaan suka menggebu-gebu.

“Aku mendekatinya. Mulai lebih sering bertukar sapa. Usaha bersambut. Kami menjadi dekat. Ditambah, keadaan bawaannya membuat Arata-san sulit beradaptasi. Aku membantunya. Sesekali mendampingi.

“Kupikir, perasaanku tidak sekadar bertepuk sebelah tangan. Aku kemudian mengakui perasaanku. Namun, Arata-san dengan tegas menolak. Berkata bahwa dia hanya menganggapku sebagai teman sekaligus senior. Dia juga bilang kalau ia sudah memiliki kekasih. Orang yang dia cintai. Aku ingat dengan jelas saat Arata-san mengatakannya. Akikawa Ayumi. Dia menyebut nama itu dengan ekspresi riang dan senyum lembut.”

Hening. Baik Rin, maupun Ayumi dan Fumio, tidak ada yang bersuara lagi setelahnya.

Perlahan, Ayumi mengepalkan tangan di pangkuan, mati-matian menahan bulir bening yang siap merembes melalui sudut mata. Ada haru, juga rasa tersentuh yang menyusup. Bahwa Arata tidak melupakannya. Pertanyaan yang kerap menghantui terjawab oleh waktu. Di sini, melalui perantara Tanaka Rin. Orang yang sama seperti Ayumi. Gadis asing yang menyusup di hidup Arata. Namun, pada akhirnya, Arata tetap melabuhkan hati di satu tempat: Ayumi.

“Apa dia masih tinggal di sini?” Giliran Ayumi yang bertanya, memecah keheningan.

Sayangnya, Rin menggeleng. Terdengar helaan napas sebelum wanita itu kembali bicara. “Bisa dibilang, dia tinggal di sini hanya dua bulan. Sehari setelah aku mengakui perasaanku kepadanya, Arata-san pergi. Dia sempat berkata kalau ada pekerjaan yang harus diurus di Osaka. Aku hanya mengangguk. Tidak bertanya lebih banyak. Kalian tahu, kan? Ada kecanggungan tersendiri pasca penolakan yang kuterima. Aku bahkan terlalu malu untuk sekadar menatap matanya saat itu.

“Bulan demi bulan berlalu, Arata-san tidak pernah kembali. Aku akhirnya memberanikan diri untuk mencoba sekadar menghubungi. Namun, nomornya tidak bisa dihubungi. Arata-san seperti hilang begitu saja. Aku mengenal Arata-san sebagai orang yang anti dengan media sosial. Jadi, hanya nomornya kupunya. 

“Sampai, hari itu datang. Satu tahun sejak kepergiannya.

“Aku masih ingat hari itu. Sepulang dari luar kota karena pekerjaan, aku mendapati kalau ... seseorang telah menempati apato Arata-san. Penghuni baru. Orang yang tidak ada sangkut paut sama sekali dengan Arata-san. Sejak hari itu, aku tidak pernah lagi melihat Arata-san. Jangankan melihat. Mendengar kabarnya saja tidak pernah lagi.”

Mendengarnya, hati dan perasaan Ayumi mencelus tanpa bisa dicegah.

Berbeda dengan Fumio yang justru menaikkan sebelah alis. Hanya sebentar. Setelahnya, pemuda itu kembali menyodorkan ponsel kepada Rin. “Kau keberatan memberitahu kontak Arata?”

“Sama sekali tidak.” Rin menyambut ponsel yang terulur. Gadis itu kemudian merogoh tas tangan di pangkuan, mengambil ponsel dan mencari kontak Arata. Jemari lentiknya menari lincah di atas layar sentuh ponsel Fumio sambil sesekali melirik ponselnya sendiri. “Hanya saja, seperti yang sudah kukatakan, nomornya tidak bisa dihubungi.” Dikembalikannya ponsel di tangan kepada sang empu.

“Tidak masalah.” Fumio mengangguk, fokus pada layar ponsel yang masih menyala. Menatap selarik nomor yang baru saja diberikan Rin terpampang. Pemuda itu mengangkat wajah, menatap Rin sebentar sebelum beralih kepada Ayumi. Tangannya terulur, menyerahkan ponsel di tangan.

Ragu, Ayumi menerima ponsel yang diberikan. Ditatapnya nomor yang diklaim Tanaka Rin sebagai kontak Arata. Gadis itu mengembuskan napas panjang, mengembalikan ponsel di tangan kepada si empunya. Anggukan dia berikan sebagai tanda mengerti. Ayumi menoleh, beralih menatap Rin seraya tersenyum sebelum berpamitan. “Terima kasih, Tanaka-san.”

Setidaknya, ia berhasil menemukan jawaban lain yang mengarahkannya semakin dekat dengan Arata.

“Ayumi.”

Satu tepukan di bahu menarik Ayumi kembali dari ingatan selama di Kanazawa. Gadis itu mengerjap, menatap keadaan sekitar. Bus sudah berhenti, menandakan tiba di tujuan. Satu colekan pelan mendarat di lengan. Dilihatnya Fumio yang sudah bangun memberi isyarat agar mengantre turun. Ayumi mengangguk. Kurang dari tujuh menit, keduanya sudah menapaki kawasan terminal.

“Kau ingin memakan sesuatu? Ada kedai di sekitar sini.” Fumio menunjukkan beberapa tempat makan yang tercantum di map daring ponsel. “Aku tidak ingin dianggap menelantarkan dan membiarkanmu kelaparan.”

Ayumi tergelak. Dipejamkannya mata, membiarkan angin dingin Kyoto menerpa wajah saat mereka berdua mulai berjalan, memutuskan untuk beristirahat di Kyoto satu malam. Sudah terlalu senja untuk melanjutkan perjalanan. Ayumi memantapkan hati, menyejajarkan langkah dengan Fumio yang—tanpa Ayumi sadari—tersenyum tipis kepadanya.

“Ayumi?”

Pagi hari yang mendung. Satu ketukan terdengar dari luar, membuat Ayumi yang tengah membereskan barang-barangnya di meja dekat kasur langsung menoleh ke arah pintu. Dengan gesit Ayumi bangun, merapikan helaian rambut yang sempat menutupi mata ke belakang telinga, lantas membuka pintu. Terlihat sosok Fumio yang masih lengkap dengan atribut musim dingin—syal, mantel, dan sarung tangan.

Sebelah alis Fumio terangkat, menatap Ayumi lamat-lamat tepat di manik mata. “Bisa kita bicara sebentar?”

“Tentu.” Ayumi membukakan pintu kamar lebih lebar, memberi isyarat agar pemuda itu masuk dan bicara di dalam. Ayumi berbalik sebelum langkahnya terhenti saat ia merasakan sebuah tangan menahan lengan. Ayumi menoleh, mendapati Fumio yang menggeleng kecil ke arahnya. “Ada apa? Bukannya tadi ingin bicara?” tanya Ayumi heran, terlebih saat Fumio menyuruh Ayumi untuk mengambil atribut musim dingin gadis itu.

Baru Ayumi ingin bertanya lagi, Fumio langsung meletakkan telunjuk di depan bibir, menyuruh agar gadis itu tidak perlu banyak bicara. Ayumi hanya perlu melakukan apa yang Fumio minta. Itu saja.

“Aku memang ingin bicara, tapi bukan di sini.” Fumio menjelaskan setelah Ayumi siap. 

Fumio menggamit pergelangan tangan Ayumi, memberi isyarat agar gadis itu mengikuti langkahnya. Dengan perasaan agak dongkol, Ayumi akhirnya ikut melangkah juga. 

Hal ini yang sebenarnya Ayumi tidak suka tentang Fumio. Apa susahnya memberitahu orang lain tentang apa yang pemuda itu inginkan? Langkah mereka berpacu, terus keluar dari penginapan sederhana yang sudah Fumio reservasi dua kamar via aplikasi daring. Mau tidak mau reservasi dilakukan dadakan di saat mereka sama mendadaknya datang ke tempat ini. Ayumi hanya mengangkat bahu, ikut saja.

Fumio memberi isyarat agar Ayumi terus berjalan sebelum berbelok menuju halaman belakang penginapan. Kawasan lengang dengan beberapa kursi panjang dan batang pohon sakura yang ranting-rantingnya tertutup sedikit salju. Langkah Ayumi terhenti tepat ketika Fumio mengangkat tangan sebatas telinga, memberi isyarat kalau mereka sudah sampai. Fumio berbalik, menatap kedua belah iris mata Ayumi yang tampak bening.

Sesuatu yang dulu tak pernah Fumio lihat. 

“Ada apa?” tanya Ayumi.

Bibir Fumio bergerak, hendak mengatakan sesuatu sebelum urung. Ditatapnya Ayumi sejenak sebelum bertanya, “Kau memikirkan sesuatu?”

Ayumi menggeleng.

“Aku tidak suka dengan pembohong, dan aku yakin kau bukan orang seperti itu.”

Mendengar rentetan kata tersebut refleks membuat Ayumi menggigit bibir bawah. Maju mundur ingin menjawab. Gadis itu mengangkat wajah yang sempat menunduk, diiringi senyum sendu. “Hanya berpikir, kenapa Arata tidak pernah menghubungiku pasca mengganti nomor kontak.” Telapak tangannya terkepal erat. “Jika memang nomor lamanya hangus, setidaknya ia pasti memiliki nomorku di daftar kontak ponsel. Dia bisa menghubungiku. Aku tidak pernah mengganti nomor ponsel sekali pun.”

Hening.

Getar mulai terdengar ikut menggiring ketika Ayumi melanjutkan, “Jika memang dia mencintaiku, harusnya dia menghubungiku.” Gadis itu menunduk dalam. Setitik air mata jatuh mengenai tanah yang ia pijak. Tanya dan kesedihan yang selama ini terpendam, merembes juga akhirnya.

Fumio mendebas. Tangannya terulur, mencengkeram lembut kedua belah bahu Ayumi. “Jadi, menurutmu yang diceritakan Tanaka Rin soal perasaan Arata kepadamu hanya bualan belaka?”

Perlahan, rasa besi menyentuh ujung lidah Ayumi. Diusapnya bibir bawah, mendapati sedikit darah. Menandakan gigitan pelan yang berujung terlalu keras. Hasil usaha Ayumi menahan perasaan yang campur aduk tak karuan sekarang ini. Gadis itu mengusap wajah. Sadar betul membiarkan emosi yang meluap-luap sempat terlepas di depan Fumio. Sesuatu yang harusnya Ayumi simpan sendiri. Terlalu egois rasanya melibatkan perasaan pribadi dalam pencarian ini. “Maafkan aku.”

“Apa kau—”

“Kalau begitu—” Ayumi dengan cepat menyela, tidak ingin berlarut-larut. Entah ia saja yang terlalu sensitif, atau memang kata-kata Fumio sedikit banyak sanggup membolak-balik perasaannya hanya dalam satu kalimat. “—kita pergi?” Ayumi tersenyum, berbalik. Baru satu langkah, satu cengkeraman di pergelangan tangan menahannya.

“Bukan itu yang ingin kubicarakan.”

Ayumi menoleh, menyaksikan Fumio melepaskan anting yang pemuda itu kenakan di telinga kanan, menggenggamnya erat sebelum tangan Fumio terulur ke arah telinga kiri Ayumi, turut melakukan hal serupa. Pemuda itu membuka kedua belah telapak tangan, memperlihatkan sepasang anting yang persis sama. Bentuk, warna, dan detail yang serupa.

“Fumio ....”

Tatapan Fumio selurus anak panah. Tajam dan menghunjam Ayumi ketika bertanya, “Apa kau juga menyadarinya?”

Ragu, Ayumi membalas tatapan tersebut dan mengangguk pelan. Sejak mereka bertemu di Apartemen Origin, Ayumi sudah menyadarinya. Kalau Fumio mengenakan anting yang tampak serupa dengannya. Bahwa mereka sama-sama mengenakannya di salah satu telinga. Hanya sekilas Ayumi menyadari hal tersebut. Fujiwara Fumio, laki-laki dengan tatapan bak elang siap menyambar mangsa, sukses membuat Ayumi lebih banyak menunduk di pertemuan pertama mereka. Segan menatap dan meneliti laki-laki itu berlama-lama.

Ayumi tidak ingin ambil pusing. Tujuannya adalah Arata, bukan mengenal lebih dalam siapa Fumio. Namun, perjalanan mereka hingga ke titik ini seperti menyeret Ayumi menapaki hal tersebut. Di sini, dari jarak sedekat ini, kedua belah anting yang Fumio perlihatkan benar-benar serupa. Seakan keduanya bukanlah kebetulan semata.

“Apa seorang anak laki-laki memberikannya di saat ulang tahunmu yang kesepuluh?” Tatapan Fumio melembut ketika dilihatnya Ayumi kembali mengangguk. “Tujuh belas tahun lalu, aku mengenal anak perempuan yang memiliki nama sepertimu. Perempuan yang memiliki semangat juang besar dan begitu kuat. Tak peduli seberapa besar orang lain mencemoohnya. Tetap tegar dengan hal yang menjadi kekurangannya. 

“Hal yang membuat anak-anak lain sering mengganggu dirinya. Aku hanya mampu menyelamatkannya sekali sebelum ia pergi jauh. Saat ia bercerita kalau orang tuanya akan menjemput hari itu. Membawanya untuk melakukan operasi mata. Ya, dia gadis buta. Aku mencoba untuk terus berada di sisinya saat itu. Mencoba untuk melindungi,” tutur Fumio panjang lebar, tak peduli dengan Ayumi yang saat ini benar-benar terguncang dengan mulut setengah terbuka dan mata terbelalak hebat. 

Ayumi refleks menutup mulut dengan punggung tangan, bisa merasakan kedua belah lututnya seperti lemas seketika. Kami-sama! Perasaan Ayumi menjerit pilu, dengan kecamuk badai yang tiba-tiba saja menyergap hati dan pikiran. Membuat keduanya tak koheren. Saling bertumbukan satu sama lain.

Apa yang Fumio ceritakan ... itu benar-benar mirip dengan cerita masa kecilnya.

Ayumi mulai merasakan napasnya tersengal, diiringi perasaan yang bercampur menjadi satu. Ayumi limbung, makin merasakan sesak menyakitkan ketika cerita Fumio mengingatkan Ayumi pada orang itu. 

Tanpa peduli betapa kelunya Ayumi saat ini, Fumio terus melanjutkan. “Saat itu, dia bercerita kalau dia akan segera melakukan operasi mata. Kabar yang membahagiakan, tentu saja. Akhirnya dia bisa melihat dunia layaknya orang normal. Tepat saat dia akan berangkat dan pergi, gadis itu sempat memberikan sumpit yang sering ia kenakan untuk mengundai rambut. Saat makan, membaca, belajar, atau bahkan saat kami bermain layangan dan sepatu roda. Benda yang menjadi kenang-kenangan kedua kami, setelah sebelumnya aku memberikan sebuah anting sebagai hadiah ulang tahun. Dengan aku menyimpan salah satunya. Sebagai tanda persahabatan kami berdua. Hari itu, aku melihatnya pergi menjauh, berharap agar dia akan segera kembali. Kenyataannya, dia tak pernah kembali lagi sampai saat ini.”

Fumio memegang kedua belah bahu Ayumi pelan, menatap lamat-lamat gurat wajah yang tak pernah berubah di mata Fumio itu. Pemuda itu tersenyum. Untuk pertama kalinya. Senyum yang bercampur haru membuncah setelah sekian lama. Sorot matanya menghangat, membuat Ayumi bisa menangkap dengan jelas sepasang mata pemuda yang biasanya memancarkan kilat tajam itu kini tampak berembun.

“Aku tahu, kau adalah Ayumi yang kucari selama ini. Ayumi, gadis buta yang kutunggu hingga sekarang. Aku bisa melihat semuanya. Cerita-ceritamu, ibumu, dan juga semua yang berhubungan dengan kita di masa lalu. Kau Ayumi yang selama ini kucari.”

“Fumio ....”

Fumio merogoh saku celana, mengeluarkan sebuah sumpit kayu yang tampak rapuh dan tua. Selarik nama terukir di sana meski tidak terlalu jelas karena sudah dimakan waktu. Akikawa Ayumi.

“Apa kau mengingatnya, Ayumi?” Fumio menyerahkan kembali sumpit kayu itu kepada Ayumi. Kepada pemiliknya yang sebenarnya, berpuluh-puluh tahun yang lalu. “Aku harap kau mengingatnya, Akikawa Ayumi.” Fumio menatap gadis di depannya yang sudah berlinang air mata.

Ayumi mengangkat wajah, menatap lama pemuda di hadapannya. Mencoba merasakan kehadiran Fumio-nya di dalam diri pemuda yang berdiri di depannya sekarang ini. Nama yang selama ini tebersit di kepala Ayumi ketika untuk pertama kalinya pemuda itu mengirimkan surat kepadanya. Bahkan, nama itu terus berdengung. Berlanjut hingga saat ini. Nama yang membuat Ayumi tak berani mengambil harapan terlalu jauh. Nama yang membuat Ayumi memiliki kenangan indah sekaligus menyakitkan sebelum bertemu dengan Arata.

Fumio tujuh belas tahun lalu, dan Fujiwara Fumio yang sekarang berdiri di hadapannya.

“Fumio ... apa itu kau?”

Ingatan Ayumi mulai berkelana, membuka memori-memori puluhan tahun silam. Ketika ia berusia sepuluh tahun, duduk di sebuah bangku taman. Ayumi yang pemalu, lemah, dan ... tidak bisa melihat apa pun. Saat itu, bagi Ayumi, dunia hanyalah hitam belaka. Ia hanya bisa membayangkan ketika “teman-teman” yang lain bercerita betapa cantiknya matahari kala tenggelam. Atau indahnya salju pertama yang turun. Juga bunga sakura yang bermekaran saat musim semi. 

Ia ingat, ketika anak-anak seusianya berceloteh riang dan bergaul bersama, ia hanya bisa duduk menepi. Menyaksikan semuanya dengan telinga dan ketajaman hati. Menerka-nerka seperti apa rasanya melihat dunia dengan dua mata yang normal. Baginya saat itu, dunia hanya hitam pekat yang menggelayut di mana-mana. 

“Fumio, kau mau?” Ayumi menyodorkan kotak bekal ke samping kanan dengan riang, tersenyum kecil ketika menyadari kehadiran seseorang di sampingnya. Seperti hari-hari yang sudah berlalu, Fumio menemaninya duduk. Setia mendengarkan celoteh Ayumi, atau hanya sekadar menemani bocah perempuan itu.

Usia mereka sepuluh tahun. Bagi Ayumi, Fumio adalah dunianya. Jendela hati. Orang yang siap mengulurkan tangan. Mendorong dan menuntun Ayumi melakukan sesuatu yang dulu dirasa mustahil karena kekurangannya. Memperkenalkan Ayumi pada sisi dunia yang tak pernah tersentuh sebelumnya. Bermain sepatu roda, layang-layang, bahkan melindungi ketika Ayumi diganggu anak-anak yang usil.

Fumio melirik kotak bekal yang disodorkan padanya. Terlihat lezat, tetapi pantang untuk berkata ya. Itu yang ibu ajarkan. “Untukmu saja. Aku sudah kenyang,” katanya lagi.

Ayumi tersenyum, menarik kembali kotak bekal itu ke pangkuan. “Terima kasih sudah mengambil tongkatku dari mereka, Fumio.” Ayumi mengambil tongkat, tertatih-tatih berjalan dengan tongkat di tangan. “Ayo.” Ayumi menarik tangan Fumio, mengajaknya untuk segera pulang. 

Semua terasa sempurna, dan Ayumi bersyukur meski ia mungkin tidak akan pernah bisa melihat bagaimana rupa wajah Fumio dengan kedua mata yang ia miliki. Ya, terasa sempurna sebelum hari itu datang.

Hari di mana bibi memberitahu kalau ayah dan ibu akan menjemput. Ayumi akan bisa melihat dalam waktu dekat. Sudah saatnya melakukan operasi mata. Berita menggembirakan. Bahkan Ayumi tidak bisa menahan diri untuk tidak bercerita pada Fumio saat bocah laki-laki itu berkunjung, antusias. Seperti biasa, Fumio hanya mendengarkan. Tidak sedikit pun menyela. Barulah setelah Ayumi selesai bercerita lima belas menit kemudian, Fumio menanggapi dengan satu pertanyaan yang membuat Ayumi kecil terdiam untuk beberapa saat.

“Kau akan kembali, kan?”

Ayumi mengangguk, tersenyum lebar. “Tentu saja aku akan kembali.”

Hening. Ada jeda sejenak sebelum Fumio berkata, “Aku tidak yakin.” Ada sirat khawatir yang terdengar. “Aku takut kau akan melupakanku.”

“Tidak mungkin. Aku tidak akan melupakanmu. Janji!” Ayumi mengangkat kelingking, mengajak Fumio untuk menautkan jari. Tidak ada respons yang Ayumi harapkan. Ayumi baru ingat, Fumio cenderung lebih dewasa ketimbang anak-anak seumuran mereka.

“Aku butuh lebih dari sekadar kelingking.”

Ayumi terdiam. Apa lagi yang bisa ia lakukan sebagai bukti? Gadis itu berpikir sejenak sebelum menarik sumpit kayu yang menahan kundai rambut, memberikannya pada Fumio. “Ambillah. Kelak, saat kita bertemu lagi, baru kau kembalikan.” Ayumi kecil tersenyum lebar. Jemarinya menunjuk anting yang bertengger di telinga kiri. “Anggap saja kenang-kenangan kedua setelah anting yang kau hadiahkan.”

Siapa yang menyangka kalau itu terakhir kalinya mereka berbicara satu sama lain ....

Nyatanya, Ayumi tidak pernah kembali semenjak hari itu. Dan sekarang, mereka saling berhadapan. Ayumi menggigit bibir, menatap Fumio yang mengangguk penuh arti. 

Tanpa sadar, Ayumi limbung. Kehilangan keseimbangan, membuat gadis itu hampir saja terjatuh kalau Fumio tidak menangkapnya. Ayumi memejamkan mata, dengan perasaan yang perlahan-lahan terkoyak karenanya.

Arata ….

Fumio ….

Dua nama itu terus berdengung dalam hati. Memorakporandakan perasaan.

Tanpa henti.
















Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top