5. (Bukan) Refreshing
"Saya turut senang mendengar kabar ini." Rasa bangga menyelusup. Perlahan, tapi pasti menerbitkan senyum di wajahku. "Kepuasan pelanggan memang menjadi prioritas perusahaan kami," imbuhku dengan dada membusung bangga.
Lawan bicaraku tertawa renyah. Terbayang di mataku bagaimana semringahnya wajah lelaki bertubuh gempal yang tingginya hanya sebatas dadaku. Caraka Wibawa, lelaki berusia lebih setengah abad itu memang berpembawaan hangat dan murah senyum.
"Mewakili Pak Dimi dan seluruh tim, suatu kehormatan bagi saya mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang Pak Raka berikan pada Omah Gaya melakukan renovasi kantor Bapak. Semoga di lain kesempatan kita bisa kembali menjalin kerjasama."
Pembicaraan melalui sambungan telepon pun diputuskan usai aku menjawab salam yang Pak Raka ucapkan. Aku menarik napas yang teramat panjang lalu mengempasknnya dalam sekali embusan. Luar biasa lega.
"Gila, Mas! Baru seminggu, loh, ini! Kenapa aku enggak bisa sesantai Mas menangani kerjaan?" pekikku di tengah kesunyian.
Sepekan menggantikan Mas Dimi dan mengambil alih seluruh pekerjaannya seolah-olah membuatku kehilangan separuh hidup. Tidak hanya itu, aku seperti lupa caranya tersenyum. Lelah fisik dan psikis. Aku terlalu takut menghancurkan kepercayaan yang telah dia berikan padaku. Mengemban tanggung jawab tertinggi selama dia tidak ada memberi tekanan berkali-kali lipat lebih besar dari biasanya.
"Andai Mas Dimi sudah balik, kalau aku mengajukan cuti dikasih enggak, ya?" Aku mengetuk dagu dengan ujung ponsel. "Butuh healing, nih! Gilaaa! Otakku ngebul!" Masih bermonolog, ponsel dalam genggaman kugunakan untuk berkaca. Pantulan wajahku di sana terlihat sangat menyedihkan. Aku tersenyum miris. Pantas sinyal cintaku pada Lily tidak digubris.
Gan, itu muka apa daster Ibu, sih? Kok, enggak ada bedanya? Buluk. Dekil.
Ketukan pada daun pintu mengalihkan atensiku. Sejenak kutilik jam yang tergantung di dinding bercat krem enam meter di depanku, sudah satu jam melewati waktu istirahat.
Belum sempat menyahut, dari pintu yang sedikit terbuka, kepala Erpan menyembul.
"Boleh masuk, enggak?" Aku mempersilakan lelaki itu lewat anggukan.
"Masih sibuk, Bro?" tanyanya. Dengan santai dia melenggang masuk usai menutup pintu. Entah apa yang lelaki itu bawa. Aku hanya melihat sekilas sebab sedang membalas pesan yang dikirimkan Princessa. Sudah satu jam pesan itu masuk dan aku baru sempat membalasnya sekarang.
"Kenapa?" tanyaku usai menyimpan ponsel di laci meja. sambil membereskan beberapa berkas yang niatnya akan kubawa pulang.
Erpan menarik kursi di depanku lalu mendudukinya. Sesuatu yang dia bawa diletakkan di atas meja. "Belum makan, kan?"
Aku menjawab pertanyaannya dengan seringai. Pekerjaan yang seolah-olah tidak ada habisnya menenggelamkanku pada kesibukan, membuatku sering melupakan banyak hal termasuk urusan perut.
"Nih!" katanya seraya mengeluarkan kotak bekal dari dalam tas berbahan spunbond. "Makan dulu. Kamu perlu tenaga untuk menghadapi kejamnya dunia." Senyum mengejek terukir di wajahnya. Sialan!
"Tumben banget," ucapku sambil membuka kotak bekal pemberiannya. Ada nasi putih, ayam goreng, tumis sawi tahu, kerupuk, dan dua iris semangka.
Menempelkan punggungnya pada sandaran kursi, Erpan mengerling. "Jangan salah sangka dulu. Aku memang baik, tapi jelas enggak seperhatian itu."
"Jadi?" Aku memandang Erpan penuh tanya.
"Kesannya najis banget kalau aku yang ngasih itu."
"Sialan!" makiku sebal. .
Erpan terkekeh. Aku yakin dia memperhatikan saat aku mulai memasukkan suapan pertama ke mulutku.
"Enak?"
Tidak kugubris pertanyaannya. Diberi makan siang gratis saat aku sendiri melupakan salah satu kebutuhan utama tubuhku saja sudah sangat berarti sekali.
"Pesona seorang Regan Oktama Gunawan telah melahirkan pengagum rahasia yang sedang berusaha menanggalkan status kerahasiaannya."
Aku mengernyit mendengar ucapannya yang berbelit-belit. "Maksudnya?" tanyaku di sela kunyahan. Makanan ini cukup enak, walaupun tidak seenak masakan Mbak Baby. Duh, sepertinya aku sudah tercandu-candu masakan buatan kakak iparku itu.
"Titipan Santi."
Aku tersedak. Nama gadis itu disebut tepat saat aku berusaha meloloskan satu suapan lagi ke kerongkongan.
Hah, kok, bisa?!
Bukannya memberiku minum, Erpan justru terbahak. Tega sekali! Dia malah menertawakan tampangku yang pasti terlihat memalukan. Beberapa butir nasi yang berhasil keluar mengotori sekitar mulutku dan meja kerja. Beruntung sebelum makan aku sudah menyingkirkan semua berkas yang tadinya bertebaran di sana.
"Kok, bisa?" Pertanyaan itu akhirnya terlempar dari mulutku. Tentunya usai membersihkan mulut dengan tisu dan menenggak air putih dari gelas bertangkai tinggi yang selalu tersedia di ujung meja.
Setelah melihatku minum barulah Erpan bangkit, mengambilkanku sebotol air mineral dari lemari pendingin mini di ujung ruangan. Aku mendengkus dan memutar bola mata melihat senyum yang menghiasi wajahnya. Sepertinya dia sengaja mengerjaiku.
Masih dengan senyum lebar tanpa dosa, dia menjelaskan, "Santi bilang dia sengaja bawa bekal makan siang lebih. Dia juga bilang dari tadi nungguin kamu, tapi kamu enggak keluar kantor padahal sudah lewat jam makan siang. Jadi, pas kebetulan aku ke Bonana, dia langsung nyamperin aku dan titip itu buat kamu." Alisnya bergerak naik-turun. "Manis banget, ya, perhatiannya?"
Aku tersenyum masam. Kalau sering-sering begini, bisa-bisa aku jadi bahan gibah satu kantor. Zaman sekarang, bukan mulut perempuan saja yang suka bergosip.
"Yang muda semakin terdepan," katanya, terlihat pipinya menggembung seperti menahan tawa.
"Enggak usah ngeledek!" hardikku kesal melihat cengirannya. Karena perut ini lebih memerlukan perhatian, lebih baik aku fokus menghabiskan makan siangku.
"Nih!" Aku mengembalikan kotak bekal yang seluruh isinya sudah tuntas berpindah ke dalam perut. "Tolong bilang sama dia, terima kasih banyak," pesanku.
Erpan menggeleng. "Bilang langsung ke orangnyalah!" tolaknya. Seringainya membuatku semakin kesal.
"Kan, dia titipnya sama kamu, Pan! Jadi aku balikinnya juga lewat kamu," balasku tak mau kalah. Bukan hanya tidak ingin bertemu dengan Santi, tetapi aku memikirkan kemungkinan hal ini diketahui juga oleh Lily. Bukannya memuluskan jalanku mendekatinya, yang ada dia malah semakin jauh. Jangan sampai dia berpikir aku menerima perhatian Santi dengan senang hati, padahal selama ini berusaha mendekatinya. Tolong dicatat, aku tidak termasuk kategori buaya darat.
"Ayolah, Pan! Please, tolongin aku." Kupasang tampang sememelas mungkin.
Berpura-pura cemberut, tetapi Erpan menuruti permintaanku. Kurasa dia mengerti jika aku menghindari pertemuan dengan Santi. Kotak bekal itu kembali disarangkan ke dalam tas. Dari meja, barang itu beralih ke pangkuannya.
"By the way, besok ada acara, enggak?"
"Memangnya kenapa?" Aku balik bertanya.
"Halah, sok sibuk banget, sih! Biasanya, sih, kalau weekend jomblo bebas, kan?"
Aku memelot sebal. Sialan! Dasar enggak sadar diri! Dia juga jomblo, kali? Kenapa hari ini mulutnya seperti rem blong begitu, sih?
"Kalau besok free, kita jalan-jalan, yuk!"
Aku yakin Erpan dapat dengan jelas melihat ekspresi keherananku. Kupandangi wajahnya dengan saksama. Saking seriusnya, kurasa kedua alisku nyaris menyatu. Tidak biasanya dia mengajakku keluar di akhir pekan.
"Gimana? Mau, ya?" Kesannya setengah memaksa.
"Aku tanya sama anak gadis di rumah dulu," sahutku akhirnya.
"Kalau Tuan Putri mau ikut, ajak aja! Enggak apa-apa, kok! Biar makin rame," cetusnya bersemangat.
Hm, mencurigakan banget! Ini pasti ada apa-apanya. "Memangnya mau ke mana?"
"Pengin nonton, sih! Di bioskop ada film baru yang katanya sayang banget dilewatkan. Habis itu terserah, deh! Nongkrong, ngopi, makan-makan, semua boleh." Wajahnya terlihat penuh harap. Matanya berbinar-binar bak anak anjing. "Aku traktir, deh!"
"Deal!" sahutku cepat. Ini kesempatan langka yang sayang kalau dilewatkan. Kapan lagi refreshing difasilitasi begini? Aku bukannya matre, aku hanya pencinta gratisan. Bukannya pelit juga, tetapi lebih baik uangnya ditabung buat masa depan. Iya, enggak?
"Mantap!" serunya senang. "Aku balikin ini ke Bonana dulu, deh!"
Eh, mau ke Bonana lagi? Berarti ketemu Lily lagi, dong!
"Mending titip Amel aja," saranku. Mungkin dia lupa kalau sudah tiga hari ini Amel bekerja di sini. Lebih baik begitu, daripada dia berlama-lama di Bonana dan semakin dekat dengan Lily.
Erpan diam sejenak, tampak mempertimbangkan usulanku. "Boleh, deh!" ucapnya membuatku diam-diam mengembuskan napas lega. Namun, jantungku nyaris berhenti berdetak saat dia kembali berkata, "Sekalian biar Amel juga bilang ke Lily kalau kamu join acara besok."
Sebelum mengajakku, dia sudah lebih dulu mengajak Lily? Mereka bukan pengin nge-date, kan? Nasibmu, kok, ngenes banget, Gan? Masa dijadikan obat nyamuk di acara kencan gebetan? Itu, sih, namanya bukan refreshing!
.
.
.
Bagian ini gak ada scene tambahan, ya.. hanya beberapa edit typo.
Terima kasih sudah membaca.
Jangan lupa tap bintang di pojokan dan berikan komentar sebanyak-banyaknya.
Sayang kalian banyak-banyak 🥰
Samarinda, 28 Januari 2023
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top