4. Setuju, kan, Kalau Lily itu Cantik?

Erpan mengotak-atik ponselnya selama menunggu pesanan. Bodohnya aku, malah memperhatikan lelaki di depanku ini dengan jantung berdebar kencang.

Kulit putih bersih. Mata yang menyorot teduh. Hidung mancung. Alis tebal. Bibir tipis kemerahan. Wajah orientalnya jelas masuk kategori tampan. Bisa dikatakan mirip oppa-oppa Korea yang sekarang digandrungi sebagian besar kaum hawa bahkan tak jarang lelaki jadi-jadian. Ditambah postur tinggi tegap berotot—meski tidak sebesar binaragawan—menjadikan dirinya semakin rupawan. Berasal dari keluarga berada dan terpandang. Pekerjaannya di Omah Gaya-kantor milik Mas Dimi-hanya sampingan. Tidak banyak yang tahu, dia memiliki usaha percetakan dan penerbitan. Dompetnya jelas tebal dan dia terbilang cukup royal membelanjakan uang. Ah, siapa mampu menolak pesona sahabatku ini?

Perlahan pandanganku turun, mengamati diri sendiri, dan mulai membanding-bandingkan diri dengannya. Mendadak aku merasa sangat kerdil. Sepertinya tidak ada hal baik apa pun yang bisa kubanggakan. Jabatan sebagai COO di Omah Gaya hanya karena aku adik dari founder sekaligus pemiliknya, yaitu Mas Dimi. Kurasa posisi itu bisa diisi siapa saja jika Mas Dimi menghendakinya. Harta benda? Latar belakang keluarga? Aku tidak akan bisa menyaingi kualitas Erpan.

Sialan! Bisa-bisanya aku ciut begini. Sifat rendah diri yang bertahun-tahun lamanya berhasil kutekan mendadak mencuat ke permukaan. Sementara otakku dipenuhi banyak tanya, dia justru terlihat santai.

Mengapa harus Lily perempuan yang dia sukai? Eh, yakin hanya sekadar suka? Bagaimana kalau ternyata Erpan budak cinta tak tertolong sepertiku?
Mampukah aku bersaing dengannya? Erpan ... kalau berdoa meminta kamu amnesia setelah kena timpuk biji salak sama orang gila, dosa tidak, ya? Itu pun hanya agar kamu lupa tentang Lily saja.

"Oi, Gan!" Telapak tangan Erpan menari-nari di depan wajahku. "Melamun, ya? Diajak ngobrol dari tadi malah bengong," sungutnya. Ponsel yang tadi berada dalam genggamannya telah berpindah ke atas meja.

"Sorry," sahutku tak enak hati.

"Mikirin apaan, sih? Khusyuk banget kayaknya."

"Pak Dimi, kan, mau cuti. Belum apa-apa sudah kebayang gimana hectic-nya kerjaanku nanti pas dia tinggal," dalihku.

"Pergi bulan madu, kah?" Dia terlihat sangat antusias.

Aku tersenyum membenarkan terkaannya. "Ke Thailand. Enggak tanggung-tanggung, dua minggu." Aku mendengkus. Hal yang semula tidak terpikirkan berat, mendadak menjadi beban pikiran buatku. "Semoga kewarasanku tetap terjaga."

Dia mengangguk-angguk, sepertinya memahami kerisauanku. "Enggak apa-apa, Bro! Jangan insecure. Aku yakin kamu pasti bisa," tuturnya menyemangati.

Aku menghela napas panjang. Dia sebaik itu padaku, apa wajar jika kami saling sikut menarik perhatian gadis yang sama? Tidak nyaman memperebutkan gadis dengan teman dekat sendiri. Namun, bukankah sesuatu memang harus diperjuangkan? Termasuk cinta yang telah lama bersemayam dalam jiwa.

"Cantiknya," gumamnya sambil mengulum senyum.

"Pan, mandanginnya biasa aja, dong! Itu iler hampir netes! Sudah kayak kucing garong lihat ikan goreng, tau?" tegurku. Melihat wajahnya yang mupeng begitu meresahkan.

Bukannya tersinggung, Erpan malah cengar-cengir mendengar ucapanku. "Coba lihat, deh!" Erpan menunjuk meja kasir dengan dagunya. "Cantik, ya?"

Meskipun tidak mengikuti arahan Erpan, aku tahu apa yang tengah dia bicarakan.

"Di sana, woy!" Erpan mendorong pipiku hingga wajahku tertoleh ke samping.

Lima meter di depan kami tampak Lily senggol-senggolan dengan Amel. Kedua perempuan itu tengah tertawa. Entah apa yang lucu. Yang kusadari, pandangan mereka tertuju padaku dan Erpan. Jangan-jangan mereka sedang membicarakan lelaki di depanku ini. Benarkah begitu? Aku meneguk ludah. Getir.

"Kamu fokus lihatin Lily, deh, Gan!" titah Erpan. Lagi, ludah yang melewati kerongkongan terasa begitu pekat. "Setuju, kan, kalau Lily itu cantik?"

Iya, aku setuju. Sejak dulu aku sudah mengamini hal itu.

"Gan!" tegur Erpan. "Lily cantik, kan?"

Sangat susah menarik ke atas sudut-sudut bibirku. Namun, sebisa mungkin kulakukan. "Cantiklah! Yang ganteng Kim Min Il," sahutku asal mencoba berkelakar. Tanpa dia tahu, jantungku saat ini keras berdebar.

"Pesanannya, Mas," ujar Santi-pekerja baru di Bonana-sopan dan ramah. Gadis lulusan SMA setahun lalu itu berwajah ayu. Dia adalah anak dari salah satu pekerja yang membantu usaha katering milik ibunya Erpan.

Santi tersenyum saat meletakkan ice latte pesananku ke atas meja. "Silakan, Mas," katanya tanpa memutus pandang dariku. Mendekap nampan dengan sebelah tangan, gadis itu membenahi helaian rambut yang jatuh ke samping wajahnya sembari mengukir senyum lebih lebar.

"Terima kasih," ucapku membalas senyumnya.

"Selamat menikmati," ucap Santi lagi sebelum berlalu dari hadapanku.

"Kayaknya ada yang lagi cucuper, deh!" celetuk Erpan setelah Santi berjarak cukup jauh.

Aku mengernyit, tidak paham dengan ucapannya. "Apaan, tuh?"

"Apanya?" Dia malah balik bertanya.

"Itu yang kamu sebut tadi. Aku enggak paham."

"Cucuper?" tanya Erpan sambil mengocok boba red velvet favoritnya, minuman yang justru menurutku rasanya aneh.

"Curi-curi perhatian," cetusnya sambil mengedipkan sebelah mata.

Aku baru tahu kalau ada istilah curi-curi perhatian. Yang aku tahu sejak dulu hanyalah curi-curi pandang.

"Siapa?" tanyaku seraya menikmati minuman buatan Lily. Di waktu yang sama tanpa sengaja aku mendapati gadis itu tengah melihat ke arahku. Atau ... Erpan? Mungkinkah dia sedang mengawasi kami? Memperhatikan Erpan maksudku.

Lily berpaling cepat, tidak membalas senyum yang kulemparkan. Dia terlihat salah tingkah seperti seseorang yang kedapatan mencuri, lantas menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Tanggapannya membuatku kecewa luar biasa.

Erpan berdecak. Secara tiba-tiba, dia mencondongkan tubuh hingga dadanya menyentuh meja. Lelaki itu lantas berbisik, "Santi."

Aku tertawa. "Pikiran sesat dari mana itu?" tanyaku heran.

Erpan mendengkus. Sepertinya kesal dengan tanggapanku. Siapa suruh mencetuskan hal aneh macam itu padaku? Ada-ada saja!

"Kamu enggak merhatiin gelagatnya? Kentara, loh!"

Masa, sih? Aku mencebik, tidak memercayai ucapan Erpan.

"Coba perhatikan, Bro! Buka mata, buka hati. Belajar peka!"

Aku diam meresapi ucapannya. Apa mungkin? Mengingat usia yang terpaut jauh, rasanya mustahil. Santi terlalu muda jatuh hati dengan lelaki seusiaku. Namun, andai memang benar, apa urusanku? Perasaannya tidak ada urusannya denganku.

"Tapi ... dibanding Santi, kalau aku pasti lebih pilih Lily," ucap Erpan lirih. Dia mengerling, tersenyum penuh arti. "Lily itu ... calon istri idaman."

Kepercayaan diriku mengejar cinta Lily mendadak runtuh mendengar penuturan Erpan. Fix, dia saingan, dan aku jelas tidak menyukai bersaing dengan sahabat sendiri.
.
.
.
Udahlah, Om Egan mending pindahin cintanya ke Santi aja, deh! Gimana menurut kalian? Risiko patah hatinya kecil, ya, kan?
Btw, terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak ⭐💬
Sayang kalian banyak-banyak 🥰
Samarinda, 22 Januari 2023
Salam sayang,
BrinaBear88

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top