Aku menghela napas panjang. Permintaan Ibu untuk kembali ke rumah tidak lagi bisa kuhindari. Ya, sudah. Sepertinya memang sebaiknya begitu. Terus menumpang di rumah Mas Dimi rasanya juga tidak baik. Dia sudah memiliki istri saat ini. Melihat kemesraan mereka sangat tidak baik untuk kesehatan hati. Menimbulkan penyakit hati. Iri akut yang menyiksa sanubari.
"Ibu masih enggak mau tinggal di sini, Mas?" tanya Mbak Baby. Kakak ipar yang usianya lebih muda lima tahun dariku itu tetap memanggilku mas seperti dahulu. Terasa sedikit aneh, tetapi mungkin begitu lebih nyaman baginya. Jadi biarkan saja.
"Nggak tau juga, Mbak. Ibu kalau sudah ada maunya, tuh, susah dibantah. Mau ditolak, takut nanti ngambek. Padahal kembali ke sana juga harus siapin jiwa raga," paparku jujur. Setelah menyesap kopi dari cangkir yang sudah Mbak Baby siapkan, aku lanjut berkata, "Padahal yang diomongin setiap hari yang itu-itu juga. Cessa aja sampai hafal saking monotonnya."
Mbak Baby terkekeh. Matanya yang bulat mengecil saat tertawa. Dibanding Lily yang cantik, menurutku kakak iparku ini cenderung manis dan imut. Ini penilaianku pribadi. Kalau dari sisi Mas Dimi pasti beda lagi.
"Memangnya yang diomongin Ibu apa aja, Mas?" Dia menduduki kursi pertama di sisi kanan meja. Tatapannya tertuju padaku untuk sesaat sebelum beralih pada nasi goreng di piringnya.
"Biasalah masalah jodoh." Aku turut menyuap nasi goreng buatannya. Nikmat luar biasa! Apalagi telur mata sapinya, gurih karena digoreng dengan mentega. Udang goreng krispinya juga enak dan renyah. Sukses menggoyang lidah sejak suapan pertama.
"Wah, kalau gitu, Mas Regan harus cepat-cepat cari istri," seloroh Mbak Baby sebelum kembali mengisi mulutnya dengan makanan.
"Maunya, sih, gitu, Mbak! Tapi belum kelihatan hilalnya."
"Tapi sudah ada calonnya, kan?" tanya perempuan berkerudung biru itu sambil menatapku. Semenjak menikah dengan Mas Dimi, dia memutuskan berhijab. Penampilannya saat ini menjadi lebih anggun dan bersahaja. Mungkin untuk mengimbangi Mas Dimi yang dewasa.
Aku menggaruk tengkuk. Lily bisa disebut calon bukan, ya? Soalnya, sampai saat ini pun aku masih belum berani mengungkapkan perasaan padanya. Sikap acuh tak acuhnya membuatku dilema. Bagaimana kalau ternyata perasaanku tidak berbalas?
"Maunya dia sama Lily. Tapi Lilynya malah enggak peduli." Mas Dimi yang baru memasuki ruang makan menyela. Dia langsung menempati kursi tepat di ujung meja, tempat kepala keluarga. Wangi maskulin dari parfumnya menguar pekat mengalahkan aroma gurih nasi goreng buatan istrinya.
Bisa, tidak, jangan terlalu jujur begitu? Aku, kan, malu! Ah, tapi mungkin ada baiknya juga. Kalau Mbak Baby tahu, pasti dia akan membantu mendekatkanku dengan Lily. Pintar sekali Mas Dimi! Mengapa tidak terpikir olehku sebelumnya?
"Mas Regan suka sama Lily?" tanya Mbak Baby dengan raut terkejut.
"Bukan sekadar suka, tapi setengah gila gara-gara cinta," sahut Mas Dimi. "Sudah resmi jadi bucin sejati."
"Serius?" Perempuan itu tampak tak percaya. Dia memandangku dan Mas Dimi bergantian.
"Lihat, tuh, di jidatnya ada stempel 'Bucinnya Lily'," balas Mas Dimi. Telunjuknya diarahkan ke keningku.
Aku diam saja, membiarkan kakakku yang brilian beraksi. Setelah ini, jalanku akan semakin mudah mendapatkan hati Lily.
"Aku baru tau, loh!" Mbak Baby mengisi piring Mas Dimi dengan nasi goreng dan udang goreng krispi.
"Jangankan perasaannya Regan, perasaanku aja dulu kamu abaikan," sindir Mas Dimi sambil mencolek hidung mungil Mbak Baby. Pipi istrinya bersemu dan pandangannya berbinar-binar.
Perempuan itu balas mencubit pipi Mas Dimi mesra.
Yah, mulai, deh, tontonannya! Colek-colekan, cubit-cubitan, terus saling pandang penuh cinta. Ini, nih, yang aku bilang tidak baik untuk kesehatan hati dan mata!
"Pamer terus! Anggap saya tak ada. Begini memang nasib makhluk tak kasatmata," sindirku sembari menyudahi sesi sarapan. Niat mengisi ulang piringku terpaksa urung dilaksanakan.
"Eh, iya, jadi lupa kalau ada Mas Regan," celetuk Mbak Baby salah tingkah, tetapi terlihat tanpa rasa bersalah. "Kalau gitu semangat berjuang, ya, Mas! Semoga bisa meluluhkan hati Lily." Senyum manis mengembang di wajahnya.
What? Mengapa dia tidak menawarkan bantuan sebagai Mak Comblang? Lily sahabatnya dan aku adik iparnya, loh! Wah, benar-benar tidak peka perempuan satu ini.
Mas Dimi tertawa, seolah mengerti apa yang kupikirkan. Kesal, aku memelototinya.
"Sabar, ya, Gan!" seru Mas Dimi juga tanpa rasa bersalah. "Selamat berjuang!"
Ternyata harapan sangat jauh dari kenyataan. Nasib, nasib!
-***-
"Gan, benar, enggak, sih, rumor yang beredar?" Erpan alias Panjul dengan hebohnya menghampiriku menanyakan sesuatu yang tidak jelas.
"Rumor apa memangnya?" Aku bertanya balik sembari menutup map merah yang tadi pagi Amel serahkan padaku.
"Lily, yang kerja di Bonana mau pindah kerja di sini?" Lelaki yang hari ini mengenakan kemeja biru cerah itu menatapku penuh minat.
"Bukan Lily, tapi adiknya," sahutku mengklarifikasi kebenaran berita. "Ini berkasnya." Aku menunjukkan fail berisi surat lamaran dan fotokopi ijazah dengan nama Kamelia Artika.
Erpan menyambar berkas dalam genggamanku, lalu membaca cepat surat lamaran yang sebenarnya hanya bentuk formalitas itu. "Yah ...!" Dia terlihat kecewa saat menutup berkas dan mengembalikan map itu padaku.
"Kenapa?"
Erpan merosot lesu sembari mengempas punggungnya pada sandaran kursi. Debas keras terdengar, seperti orang yang sedang frustrasi. "Enggak bisa dekatin kakaknya," keluhnya.
"Ooh! Mau dekatin Lily?" Aku manggut-manggut mengerti.
Erpan mengangguk sekali.
Wait! What ...?
"Maksudnya?" Giliran aku yang menatap Erpan penuh minat. Please, jangan bilang kalau kita saingan!
Erpan mengedikkan bahu seraya mengibaskan tangan. "Lupain aja!"
Enak saja! "Apaan, sih, Pan?" Aku memburunya karena penasaran. Jangan bilang kalau ....
"Aku, tuh, suka sama dia. Tapi, dia bilang cuma mau menjalin hubungan sama cowok yang bisa ngambil hati saudaranya," pungkas Erpan dengan wajah nelangsa. "Ya, wajar, sih! Mereka, kan, cuma hidup berdua. Tanpa orang tua, mereka jadi dekat satu sama lain. Mau dapatin adiknya, harus bisa menangin hati kakaknya juga. Begitu juga sebaliknya."
Aku meneguk ludah. Tuhan, dari sekian banyaknya perempuan di kota ini, mengapa Erpan harus jatuh hati pada Lily? Kalau begini, apa aku bisa bersaing dengan sahabat sendiri?
"Aku pergi dulu, deh!" ujar Erpan sambil beranjak dari duduknya.
"Mau ke mana?" tanyaku, tak benar-benar ingin tahu.
"Ke Bonana beli minuman. Kalau begini, harus lebih sabar merebut hati calon ipar," keluhnya. Lelaki itu mengayun langkah gontai meninggalkanku sendiri.
Tidak bisa dibiarkan! "Pan, aku ikut!" Aku harus memastikan bahwa sahabatku ini tidak masuk dalam daftar pesaing yang patut kurisaukan.
.
.
.
Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak ⭐💬
Happy weekend, semua 🥰
Samarinda, 29 September 2023
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top