2. Lily, si Putih nan Cantik
Terpesona ...
Ku pada pandangan pertama
Dan tak kuasa
Menahan rinduku
Senyumanmu slalu menghiasi mimpiku
Ingin kupeluk dan kukecup keningmu
Oh indahnya ....
Lagu lawas yang tiada bosan kudengarkan walaupun telah kuputar berulang-ulang. Tidak jemu juga kudendangkan walaupun aku sadar suaraku sumbang. Apalagi liriknya yang mewakili perasaanku sekarang. Indahnya jatuh cinta dengan si dia.
"Lama-lama gila kamu, Gan!" tegur Mas Dimi merusak kesenanganku. "Makanya jangan dipendam sendiri."
Mas Dimi bersandar pada kaca mobil sambil memijat kepala yang sejak tadi dia keluhkan pusing. Wajar saja, dia pasti lelah membagi waktu antara pekerjaan dan persiapan resepsi. Terlebih aktivitas menguras tenaga yang biasa pengantin baru lakukan. Dia pasti berusaha keras membuat dunianya tetap seimbang.
"Namanya juga orang lagi jatuh cinta, Mas!" Aku menyahut sambil terus fokus mengemudi. "Kayak Mas enggak gitu aja sama Mbak Bebi," sindirku.
"Sorry, kita beda cerita." Mas Dimi berucap dengan nada jemawa. "Do something, Gan! Kayaknya Lily bukan tipe cewek bebal yang enggak paham masalah percintaan. To the point. Langsung tembak tanpa kebanyakan basa-basi."
"Sinyalku mental Mas sama sikap dinginnya. Bingung harus gimana lagi."
"Jangan cuma kasih sinyal. Perempuan itu bukan dukun yang bisa membaca pikiran. Lah, kadang pikiran sama hati sendiri aja mereka masih kurang paham. Gimana mau ngerti perasaan orang lain?"
"Ini Mas lagi curhat?" tanyaku, menoleh padanya. Untuk beberapa saat aku memandang lelaki itu dengan penuh keheranan. Aku penasaran apa yang sedang dia pikirkan.
"Bagi-bagi pengalaman," tukasnya sambil mengotak-atik ponsel. Kurasa sedang berbalas pesan dengan Mbak Baby. "Kalau enggak diburu, sampai sekarang mungkin aku juga masih digantung." Dia tersenyum kecil.
"Mau ngomong soal perasaan sama Lily itu susah, Mas. Lah, dia aja kayak biasa aja tanggapannya. Jadi bingung," keluhku.
"Kalau gitu, mungkin dia beneran enggak ada rasa sama kamu. Cari perempuan lain ajalah kalau gitu!" ucap Mas Dimi santai. Dia tersenyum menatap layar ponsel. Kata-katanya kejam, mematikan harapan yang menggebu dalam jiwa. Walaupun kuakui nasihatnya menyentuh dan mendekati realita.
"Enggak rela, Mas!" Aku menginjak pedal rem karena lampu merah menyala di depan sana. Lagu Terpesona milik Glenn Fredly telah berganti dengan Terpesona milik Bulan Sutena.
"Kalau gitu, mungkin perjuangan kamu kurang maksimal. Pepet terus, jangan kasih kendur!"
Aku memutar bola mata. Bicara memang lebih mudah dari praktiknya.
"Mas sudah enggak sakit kepala lagi?" tanyaku sengaja mengalihkan pembicaraan.
Mas Dimi menoleh. Tatapan kami bertemu. Dia tersenyum lebar sambil menggeleng. "Sudah dikasih obat," ujarnya memamerkan layar ponsel. Tampak Mbak Baby duduk manis di meja makan yang penuh dengan aneka masakan.
"Baca caption-nya, dong!"
Sekali lagi bola mataku berotasi.
Enggak sabar menanti Mas Sayang pulang. Dilengkapi emot love dan mata berbintang
Cih!
Mas Dimi berdecak. "Jomblo enggak usah iri. Makanya cepat-cepat halalin Lily. Biar tau gimana rasanya capek pulang kerja disambut penuh cinta sama istri," pungkasnya dengan senyum mengejek.
Skak mat! Sudahlah, aku diam saja. Lagipula aku memang tidak bisa membalas ucapannya. Jomblo ngenes, apalah daya? Seketika nelangsa.
-***-
"Murung aja, sih, Om! Kenapa, coba?" Princessa tiba-tiba muncul di hadapanku. Gadis sebelas tahun itu duduk di seberang meja kerjaku menempati kursi Erpan yang sedang keluar istirahat makan siang.
"Kamu tumben banget pulang cepat." Aku hanya meliriknya sekilas, enggan melepas pandangan dari layar monitor yang tengah menampilkan laporan penjualan dan laba/rugi tahun ini dengan laporan keuangan dua periode sebelumnya.
"Aih, malah mengalihkan pembicaraan," gerutunya sebal. "Sudah gitu aku dikacangin lagi."
"Ke sini sama siapa?" Yang bertugas mengantar-jemput dia, kan, aku!
"Sama Momma. Habisnya teleponin Om Egan enggak diangkat-angkat," keluhnya dengan bibir mengerucut.
"Eh, masa, sih?"
Aku segera mengecek ponsel. Benar saja. Sebelas panggilan tak terjawab dari nomor yang kusimpan dengan nama kontak My Little Boss dan tiga panggilan dari Bapak Boss Yang Terhormat. Sialan! Bisa-bisanya aku tidak ingat kembali menghidupkan nada dering. Aku menelan ludah. Terbayang bagaimana masamnya wajah Mas Dimi nanti sepulang meeting.
"Kenapa bisa pulang cepat? Tumben banget!"
"Rapat guru."
Aku mengangguk-angguk. Alasan klasik. Sekolah swasta ternyata tidak jauh beda dengan sekolah negeri.
"Daripada galau, mending kita keluar makan siang, yuk!" ajaknya.
"Memangnya kamu tadi enggak dikasih makan sama Momma?"
"Momma tadi ngajakin aku makan, tapi aku enggak mau. Aku lagi pengin makan sama Om Egan," terangnya dengan nada manja. "Sudah beberapa minggu ini Om Egan sibuk sampai enggak punya waktu buat aku. Aku, kan, kangen."
Duh, romantisnya anak gadis! Mungkin tidak, ya, kalau kalimat itu juga diucapkan Lily suatu hari nanti? Halu saja dulu, edan kemudian.
"Malah ngelamun!" Princessa cemberut lagi.
Aku menghela napas. Mungkin memang saatnya aku rehat. Lagi pula, sebentar lagi jam makan siang akan berakhir. "Memangnya kamu mau makan apa?" tanyaku sembari mematikan laptop.
"Kita makan ayam goreng Mamam Chicken, yuk!"
"Ya, sudah, ayo!"
Keluar kantor digandeng Princessa, tatapanku tidak bisa menghindari bangunan di seberang jalan. Ruko dua lantai berukuran mungil itu terlihat cukup ramai seperti biasa.
"Kita ke Bonana sebentar, ya, Om?"
"Ngapain?"
"Izin sama Momma."
"Bukannya tadi sudah bilang?"
Princessa menatapku penuh arti. "Tapi Om Egan, kan, belum izin bawa aku pergi," cetusnya sambil mengulum senyum. Tingkahnya mencurigakan sekali.
Aku mengalah dan pasrah saat ditarik gadis bertubuh bongsor dalam balutan seragam putih merah kotak-kotak itu.
"Tante Lily, Om Egan pesan minuman kayak biasa," ujar Princessa tanpa canggung seolah memang aku yang menyuruhnya.
Lily tercenung. Untuk beberapa saat dia menatapku. Namun, dia akhirnya mengangguk sambil tersenyum. Jempolnya teracung pada Princessa. Tanpa suara dia mengucap, "Oke."
"Kamu apaan, sih?" protesku pada Princessa.
"Aku cuma bantuin Om Egan kayak waktu Daddy dulu," terangnya. Gadis berambut hitam sepunggung itu menggiringku duduk di salah satu kursi kosong di tengah ruangan. Tidak sampai 5 detik pantatnya menyentuh kursi, ponselnya langsung dikeluarkan dari persembunyian.
Mengapa sikap sok tahu bocah ini semakin besar, sih? Benar-benar karbitan. Sepertinya matang cepat akibat perkembangan zaman.
"Kalau berdasarkan zodiak harusnya, sih, Om Egan sama Tante Lily itu cocok." Princessa menunjukkan layar ponselnya. Laman pencarian berisi artikel tentang perbintangan terpampang di sana. "Om Egan libra. Tante Lily aquarius. Di sini tertulis kalau kalian itu match untuk jadi pasangan karena kalian sama-sama punya elemen udara." Matanya bergerak-gerak ke kanan kiri dan mulutnya tampak komat-kamit mengeluarkan suara yang tidak jelas tertangkap indra pendengaranku.
"Heh, enggak baik percaya ramalan-ramalan kayak gitu!" tegurku.
"Om Egan enggak usah kebanyakan protes, deh! Mendingan sekarang senyum aja. Senyum yang lebar. Keluarkan pesona Om Egan," bisiknya sambil membenahi ikatan rambutnya. "Tuh, Tante Lily kayaknya mau ke sini."
"Bisa banget kamu, ya? Sok mau jadi Mak Comblang segala." Aku mencibir.
"Tapi di Daddy sama Momma, usahaku berhasil." Kedua tangannya diturunkan, salah satunya masih memegang ponsel yang saat ini dalam posisi telungkup. Dia duduk tenang seolah pembicaraan kami sudah menemui titik akhir. Kedua tangannya terlipat manis di atas meja, persis sikap murid teladan yang siap menerima pelajaran.
Aku mendengkus sebal melihatnya tersenyum jemawa, persis daddy-nya.
Selang beberapa menit kemudian, Lily berada di depan kami. "Pesanan Mas Regan," katanya ramah.
Aku pun mengukir sebuah senyum manis sarat isyarat cinta seperti yang diperintahkan Princessa. Diikuti tatapan memuja. Semoga kali ini Lily mengerti dan membiarkanku masuk ke hatinya.
"Thank you, Aunty Lily yang cantik," sahut keponakanku ramah dan riang.
"Ish, bisa banget, ya, anak gadis memuji. Cessa juga cantik, loh!" balas Lily tak kalah riang. Senyum manisnya mengembang. "Selamat menikmati, Mas." Lily berucap padaku lantas balik badan dan melangkah pergi. Waktu yang teramat singkat. Aku bahkan tidak punya kesempatan mengucapkan terima kasih atau melemparkan sedikit pun obrolan basa-basi.
"Duh, kayaknya perjuangan Om Egan bakal berat. Sambutan Tante Lily ke Om Egan enggak begitu hangat," komentar Princessa dengan mimik serius. "Sabar, ya, Om." Gadis itu menepuk-nepuk pelan bahuku.
Aku hanya cemberut, tidak bisa lagi berkata-kata. Tidak mengerti bagaimana menanggapi ucapannya. Sepertinya keponakanku ini terlampau cepat dewasa melebihi usianya. Alih-alih menempel padaku dengan alasan rindu seperti rengekannya beberapa menit lalu, dia malah sibuk dengan ponselnya. Ternyata di depan Lily tadi adalah salah satu aksinya. Akting yang sangat luar biasa.
Lily Yuanita. Perempuan itu yang telah mencuri hatiku sejak pandangan pertama. Setelah hampir dua puluh delapan tahun menghirup udara di dunia, baru kali ini aku merasakan jatuh cinta. Dia yang sudah membuatku jatuh bangun karena mendamba. Cinta memang tak pandang usia. Cinta datang tanpa pernah bisa diduga sebelumnya.
Seperti kata Agnes Monica dalam lagunya. Cinta ini kadang-kadang tak ada logika. Gila, ya?
.
.
.
Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak ⭐💬
Happy weekend semua 🥰
Samarinda, 22 September 2023
Salam sayang,
BrinaBear88
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top