Part 26
Semua kenangan manis yang kubagi bersama Rieke kembali melintas satu per satu di dalam benakku. Tidak mungkin aku bisa menghapusnya dalam semalam. Mungkin hanya sebagian yang akan menetap dalam ingatan, sedang sebagian yang lain akan terlupakan seiring berjalannya waktu. Bagaimanapun juga ia pernah hadir dan mewarnai hari-hariku yang kosong. Rieke pernah sangat berarti untukku. Setidaknya ia memberiku sebuah kesempatan untuk memiliki seorang sahabat. Meski pada akhirnya ia juga yang menancapkan duri paling tajam di hatiku.
Gundukan tanah di hadapanku masih basah. Pun ribuan kelopak bunga mawar merah yang menebarkan wangi khas, masih terlihat segar di atas pusara. Sebaris nama Rieke yang terukir di sebuah papan nisan kuusap sekali lagi seiring terlantunkannya sebuah doa tulus. Semoga Tuhan memberikan tempat yang terbaik untuknya di alam sana.
Seluruh pelayat telah pergi sejak dua jam yang lalu. Area pemakaman telah sepi. Sementara langit di atas kepalaku yang semula berwarna biru berangsur berubah menjadi kelabu pekat. Kecepatan angin mulai meningkat secara signifikan. Dedaunan kering milik sebuah pohon kamboja terbawa embusan angin dan berguguran di sekitar tubuhku. Agaknya hujan akan turun tidak lama lagi. Namun, aku masih enggan untuk beranjak dari tempatku bersimpuh di depan pusara.
Tepukan lembut yang jatuh di atas pundakku berusaha menyadarkan aku atas situasi sekitar. Pasha telah menungguku cukup lama. Aku tak mungkin membuatnya mengorbankan lebih banyak waktu dan tenaga. Apalagi mendung pekat yang menggantung di langit tak bisa kutahan meski sebentar saja.
"Sebentar lagi hujan, Za. Kita harus pergi sekarang."
Pasha mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri.
"Maaf aku membuatmu menunggu terlalu lama," ucapku pelan.
Pasha hanya mengulas senyum tipis, lantas mengulurkan tangan kanannya ke wajahku. Ia menyeka air mata yang entah sejak kapan membasahi kedua pipiku.
"Ayo kita pulang sekarang," ajak laki-laki itu. Pasha meraih genggaman tanganku, lantas membawaku pergi meninggalkan pusara Rieke. Namun, belum sampai lima langkah, aku merasa kedua kakiku memberat. Lututku lemas. Sementara mendung pekat yang menggantung di atas sana seolah mendadak jatuh menimpa kepalaku.
Tubuhku kehilangan keseimbangannya dan aku ambruk ke tanah.
**
Aku mendapati tubuhku telah terbaring di atas tempat tidur entah berapa jam kemudian. Ajaibnya sebuah tabung infus tampak tergantung di atas kepalaku dan bukannya pemandangan langit yang tertutupi gumpalan awan berwarna kelabu pekat. Namun, samar-samar telingaku menangkap suara gemericik hujan yang datang dari luar sana.
"Kamu sudah sadar?" Suara lembut Pasha menyambutku. Laki-laki itu menempati sebuah bangku kecil yang biasa kugunakan untuk duduk ketika berhias diri.
"Kenapa aku diinfus?" tanyaku seraya berusaha untuk bangun. Rasanya tidak nyaman berbaring seperti ini di depan Pasha. Aku masih kuat untuk sekadar duduk.
"Aku yang meminta dokter agar memberimu infus," jelas Pasha.
Menyebalkan. Tidak seharusnya Pasha repot-repot mendatangkan seorang dokter ke rumah hanya untuk memeriksaku. Aku yakin dengan beristirahat sebentar, kondisiku akan pulih. Pasha terlalu berlebihan. Ada apa dengan laki-laki itu?
"Itu nggak perlu, Sha. Aku memang pingsan tadi, tapi aku baik-baik saja setelah istirahat," tandasku.
"Tapi aku mencemaskanmu, Za," tukas Pasha seketika membuatku melongo. "Kamu juga pernah merawatku saat aku sakit dulu. Jadi, biarkan aku merawat kamu sekarang."
"Aku nggak pernah menganggapnya sebagai utang budi ... "
"Tapi aku ingin melakukannya untuk kamu."
Kenapa percakapan kami lebih mirip sebagai perdebatan sepele yang sama sekali tidak penting?
"Aku baik-baik saja sekarang," ucapku. Percakapan ini harus selesai di sini. Aku merasa baik-baik saja dan Pasha tidak perlu melakukan apa-apa untukku.
"Kamu mau apa, Za?" tegur Pasha saat aku hendak mencabut jarum infus dari tanganku. Adegan semacam ini sudah kerap kutonton dalam drama-drama. Mencabut jarum infus jauh lebih gampang dari memasangnya.
"Aku nggak mau diinfus."
"Jangan egois, Za." Pasha menarik tanganku tiba-tiba. "Kamu sedang sakit. Biarkan cairan itu habis lebih dulu, baru kamu boleh mencabutnya."
Cekalan tangan Pasha berhasil membuatku luluh.
"Kamu istirahat saja dulu. Aku mau pergi sebentar untuk membeli makanan. Tapi, kamu harus janji untuk tidak mencabut jarum infusmu, mengerti?"
Seperti terhipnotis kata-kata Pasha, kepalaku mengangguk tanpa syarat.
"Aku janji nggak akan lama," ucap Pasha seraya mengusap puncak kepalaku dengan gerakan lembut sebelum akhirnya ia berlalu dari kamarku.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top