Part 19

Aku dan Rieke sudah selesai menandaskan isi mangkuk mi ayam masing-masing. Gelas es jeruk milikku telah kosong dan hanya menyisakan sedotan, juga sebongkah kecil es batu yang terlambat mencair. Sedang gelas milik Rieke tak jauh beda dengan kepunyaanku. Kami juga sudah kelar berbagi obrolan tentang Pasha dan pekerjaan. Sudah waktunya untuk membayar, lantas pergi meninggalkan kedai itu.

"Mau naik apa ke kantornya, Ke?" tanyaku pada Rieke saat kami berdua berjalan keluar dari kedai. "Biar aku pesankan taksi, ya?" tawarku berbaik hati. Pikirku di siang yang panas terik seperti ini paling nyaman naik taksi ketimbang naik angkot atau ojek.

"Nggak usah, Za." Wanita itu mencegah tanganku yang hendak kugerakkan untuk merogoh isi tas. "Aku bisa naik angkot, kok."

"Tapi naik taksi lebih nyaman, Ke."

"Nggak usah, Za. Sungguh. Aku nggak pa pa naik angkot. Lagipula kamu tadi sudah mentraktirku, masa harus membayar taksiku juga. Kamu mau aku kehilangan harga diriku di depanmu, hah?" Ia mencoba ngotot.

"Ya, ampun, Ke. Jangan bawa-bawa harga diri, deh. Nggak lucu." Lelahnya bicara dengan sahabatku yang satu ini.

Rieke nyengir.

"Ya sudah. Thanks untuk traktirannya hari ini. Aku balik kantor dulu. Dah... "

Rupanya dari kejauhan sudah tampak sebuah angkot yang melaju pelan ke arah kami. Pantaslah kalau wanita itu ngotot menolak kupesankan taksi dan memilih untuk naik angkot. Pakai bawa-bawa harga diri segala.

Dengan isyarat tangan Rieke menghentikan angkot itu dan bergegas naik seusai berpamitan  padaku. 

Setelah memastikan angkot yang dinaki Rieke telah melaju pergi, aku bergegas melangkah menuju ke tempat mobilku terparkir. Aku akan kembali ke butik. Ada beberapa hal yang mesti kulakukan dengan tumpukan pakaian yang masih tersimpan rapi di dalam plastik transparan dan tadi sempat kutinggalkan begitu saja karena kedatangan Rieke.

Setiba di butik aku langsung disibukkan pekerjaan dan nyaris lupa untuk bertanya pada Rieke, apakah ia sudah sampai di kantor atau belum. Pasalnya kecepatan angkot dan mobil biasa jauh berbeda. Bisa-bisa Rieke masih ada di jalan karena terjebak macet atau si supir angkot sengaja melambatkan laju kendaraannya demi mencari tambahan penumpang. Kasihan Rieke kalau hal itu benar-benar terjadi.

Tapi, di mana ponselku?

Aku merogoh isi tas sekali lagi setelah gagal menemukan ponselku. Seingatku sebelum pergi ke kedai mi ayam tadi, aku memasukkan ponsel ke dalam tas. Pun selama aku dan Rieke makan di kedai itu, aku sama sekali tidak menyentuh ponsel karena terlalu asyik makan sembari ngobrol bersama Rieke. Atau jangan-jangan aku memang tidak pernah memasukkan ponsel ke dalam tas dan meninggalkannya di butik?

Aku sudah mencari di seluruh penjuru ruang kerjaku. Di dalam laci, di atas meja, dan di antara tumpukan pakaian, tapi tidak mendapati apa yang sedang kucari. Aku bahkan meminta bantuan pada para karyawanku untuk mencarikan ponsel milikku yang seolah raib ditelan bumi.

"Coba ditelepon saja, Kak."

Salah satu karyawati memberi ide padaku.

"Ya, kamu coba saja."

Namun, beberapa saat setelah ia mencoba menghubungi nomor kontak ponselku, karyawati itu menggeleng lemah dan bilang padaku kalau ponselku tidak aktif.

"Dicek lewat cctv saja, Kak."

Salah seorang karyawatiku yang lain memberikan saran berbeda. Aku memang sengaja memasang kamera pengawas di beberapa sudut butik, termasuk di ruangan kerja pribadiku untuk berjaga-jaga jikalau ada sesuatu kejadian yang tidak diinginkan, semisal pencurian atau semacamnya.

Dari hasil rekaman kamera pengawas, tampak jelas kalau aku memasukkan ponselku ke dalam tas sebelum pergi ke kedai mi ayam bersama Rieke. Tapi, setelah kembali ponselku justru menghilang.

"Apa mungkin ponselnya hilang di kedai, Kak?"

Itulah yang kupikirkan setelah melihat hasil rekaman kamera pengawas. Kemungkinan besar ponselku hilang saat aku dan Rieke makan di kedai mi ayam itu. Melihat begitu banyaknya pengunjung di sana, memberikan peluang besar bagi tangan-tangan jail untuk melakukan tindak kejahatan. Dan biasanya mereka terdiri dari beberapa orang yang bekerja sama demi memuluskan niat jahatnya.

"Aku akan ke sana untuk memeriksa," ucapku seraya menyambar tas dan kunci mobil, lantas dengan setengah berlari aku keluar dari butik.

Aku tahu, ponsel yang telah dicuri seseorang, sangat kecil kemungkinannya akan ditemukan. Mustahil juga si pencuri akan mengembalikan hasil curiannya, kecuali ia bertobat dengan sungguh-sungguh. Tapi, dalam diriku ada sebuah keinginan yang kuat untuk menemukan ponsel itu. Sekalipun kemungkinan ketemunya 0,01 persen, setidaknya aku ingin menelusuri hilangnya ponsel itu.

Ini bukan tentang harga sebuah ponsel, tapi semua hal yang tersimpan di dalamnya teramat sangat penting bagiku.

***

 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top