Part 15
Rencananya hari ini aku akan beristirahat barang dua atau tiga jam sebelum menyambangi butik, tapi tidak jadi. Salah seorang pegawai butik menelepon dan mengatakan ada barang masuk siang ini. Alhasil aku buru-buru mandi, berganti pakaian, dan langsung meluncur ke butik. Aku bahkan tidak memeriksa kondisi Pasha sebelum pergi.
Jam tujuh malam aku baru pulang.
Namun, aneh. Ketika tiba, aku mendapati rumah kami tampak gelap gulita. Lampu teras tidak dinyalakan. Akan tetapi aku mendapati mobil Pasha masih terparkir di garasi. Agaknya Pasha tidak pergi keluar setelah kami pulang dari rumah sakit.
Ini bukan menyeramkan lagi. Rumah kami seperti tidak berpenghuni. Horor.
Apa jangan-jangan terjadi sesuatu dengan Pasha?
Seketika isi kepalaku dipenuhi dengan dugaan-dugaan negatif tentang laki-laki itu. Aku tadi meninggalkannya dalam kondisi mental yang tidak baik. Bagaimana jika Pasha nekad melakukan sesuatu yang bisa menyakiti dirinya sendiri?
Usai mematikan mesin mobil, aku bergegas turun. Dengan terburu-buru aku berjalan ke arah pintu dengan menyalakan lampu senter dari ponsel guna memberikan penerangan ke sekitar.
Ruangan di dalam rumah juga gelap gulita. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Pasha? Kenapa ia tidak menyalakan lampu? Padahal sambungan listrik di rumah kami baik-baik saja.
"Pasha!"
Usai menyalakan lampu, aku meneriakkan nama laki-laki itu ke sekeliling ruangan. Tapi tidak ada sahutan. Aku melanjutkan pencarian ke kamar Pasha.
Sampai di depan kamar Pasha, aku kembali meneriakkan nama laki-laki itu. Mungkin ia tertidur, batinku. Tapi, tetap tidak ada sahutan. Aku terpaksa membuka pintu kamar Pasha karena tidak ada pilihan lain.
Begitu pintu terbuka, aku langsung syok ketika tidak mendapati siapa-siapa di dalam kamar itu. Ruangan itu kosong tanpa penghuni. Seolah-olah Pasha telah menghilang begitu saja. Ponselnya juga tergeletak di atas nakas, seperti sengaja ditinggalkan oleh pemiliknya.
Jika Pasha pergi ke suatu tempat, seharusnya ia membawa ponsel karena benda itu sangat dibutuhkan mengingat Papa sedang dirawat di rumah sakit. Pasha juga memiliki jabatan penting di kantor, sehingga ia harus ada saat dihubungi. Dan juga, aku belum pernah melihatnya pergi ke suatu tempat tanpa menggunakan mobilnya.
Apa mungkin Pasha diculik seseorang demi tebusan besar? Bukankah keluarganya kaya raya? Tapi, bagaimana jika ia diculik oleh pesaing bisnis papanya yang ingin menghancurkan keluarga Pasha?
Apa semua itu mungkin? Bagaimana jika Pasha hanya pergi sebentar ke sekeliling kompleks perumahan dengan berjalan kaki untuk sekadar menenangkan diri?
Jika tahu ini akan terjadi semestinya aku tidak meninggalkan Pasha tadi, sesalku. Sekarang aku harus bagaimana?
Setelah berpikir sebentar, aku memutuskan untuk menunggu. Mungkin Pasha akan kembali beberapa saat lagi. Tentu saja aku menunggunya dengan gelisah demi mengingat kondisi mental Pasha yang sedang tidak baik-baik saja.
Sekitar sepuluh menit menunggu di ruang tamu, akhirnya Pasha muncul dari arah luar. Laki-laki itu masih mengenakan pakaian yang sama yang ia kenakan tadi saat ke rumah sakit. Namun, ekspresi wajahnya terlihat senormal biasanya. Ia tampak sehat.
Ia terlihat heran melihatku yang langsung mengangkat tubuh dari atas sofa. Keningnya berkerut samar.
"Kamu dari mana?" tanyaku lebih dulu. Karena aku tidak sabar ingin mendengar pengakuannya.
"Aku dari rumah tetangga," balasnya seraya mengangkat jempol kanan dan mengarahkannya ke samping. Raut polos tidak bersalah bisa kutangkap dari wajah Pasha. Lantas ke mana wajah tegang yang kulihat tadi siang saat kami berkendara pulang dari rumah sakit?
"Apa kamu sedang bercanda?" tanyaku tak habis pikir. Jika Pasha sedang tidak baik-baik saja, kenapa ia malah pergi ke rumah tetangga dan bukannya pergi ke psikiater?
"Bercanda bagaimana?" Wajah polos itu kini memasang raut bingung.
"Bukannya tadi aku menyuruhmu pergi ke psikiater? Kenapa kamu malah pergi ke rumah tetangga? Memangnya tetangga kita seorang psikiater?"
"Bukan," gelengnya membuatku bertambah kesal.
"Lalu?"
"Tadi tetangga sebelah datang ke sini. Dia minta bantuan padaku untuk membetulkan saluran airnya yang mampet. Kebetulan anaknya sedang dinas di luar kota dan baru pulang besok. Jadi, nggak ada yang bisa dimintai bantuan," tutur Pasha menjelaskan situasi yang sebenarnya padaku.
Penjelasan Pasha seketika membuatku melongo.
"Oh." Aku benar-benar kehabisan kata-kata untuk mengutarakan perasaan yang campur aduk ini.
"Tetangga sebelah memberiku dua bungkus nasi goreng. Kamu belum makan, kan?"
"Belum," jawabku tanpa semangat.
"Kalau begitu aku mandi dulu. Setelah mandi kita bisa makan sama-sama."
Pasha berlalu dari hadapanku sejurus kemudian. Meninggalkan aku yang berdiri mematung dengan pikiran semrawut tentang dirinya. Apa traumanya sebercanda itu?
Laki-laki yang tidak bisa kupahami.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top