Part 12

Dua puluh menit kemudian aku dan Mama telah menempati salah satu meja di kantin rumah sakit. Masing-masing di hadapan kami telah tersaji semangkuk soto berkuah bening dan dua botol air mineral. Mama bilang tidak biasa minum es teh atau teh hangat sesudah makan, jadi aku hanya menyesuaikan selera dengannya. Memang, rasa soto yang dijual di kantin rumah sakit tidak senikmat soto-soto yang dijual di luar sana. Tapi, sejauh ini aku masih bisa menikmatinya. Sungguh, rasanya tidak seburuk itu. 

"Nggak mudah untuk memenangkan hati seorang anak kecil," ucap Mama Pasha setelah menyuap untuk yang pertama kali. Dan ia berhasil menahan tanganku yang hendak ikut menyuap.

Benarkah? Pertanyaan singkat itu kusampaikan hanya lewat tatapan mata.

"Pasha nggak langsung menerima Mama sebagai ibunya. Mama bisa mengerti kalau pikirannya penuh dengan kecurigaan dan rasa tidak percaya. Bagi Mama itu wajar. Mayoritas anak-anak akan melakukan hal yang sama jika berada di posisi Pasha." Mama melanjutkan pemaparannya.

"Lalu bagaimana Pasha bisa menerima Mama?" Aku bertanya penuh selidik. Siapa yang tidak penasaran ingin mendengar kisah semacam ini setelah melihat Pasha dan Mamanya begitu saling menyayangi.

"Mama terus melakukan pendekatan padanya. Tapi itu nggak sebulan dua bulan, Za. Mama melakukannya selama bertahun-tahun. Hingga pada suatu saat Pasha mengalami kecelakaan motor. Itu terjadi ketika Pasha duduk di bangku SMA. Diam-diam tanpa sepengetahuan kami, Pasha ikut geng balap liar dan malam itu dia mengalami kecelakaan."

Aku menyuap pelan-pelan sembari menyimak penuturan Mama Pasha.

"Kecelakaan itu hampir merenggut nyawa Pasha."

"Oh ya?" Aku terkejut.

"Kamu melihat bekas luka jahitan di tubuh Pasha, kan? Meskipun sudah lama, tapi bekasnya masih ada sampai sekarang."

Tentu saja aku tidak melihatnya, batinku. Aku tidak sedekat itu dengan Pasha. Kamar kami saja terpisah.

"Pasha mengalami luka yang parah di kepala sehingga menyebabkan dia koma selama dua hari. Tapi untungnya dia bisa sembuh dan memiliki kehidupan yang normal seperti yang lain." Wanita itu meneguk air mineralnya dari botol selama jeda bercerita. "Kecelakaan itu adalah titik balik bagi Pasha. Mama merawat Pasha selama dia sakit. Papanya juga terus mendampingi Pasha. Bahkan Papa nggak marah sama sekali pada Pasha. Dan setelah dia sembuh, sikapnya terhadap Mama berubah sedikit demi sedikit. Pasha mulai memercayai Mama dan perlahan dia mau menerima kehadiran Mama. Dia juga semakin sayang pada Papanya. Dan setelah sembuh, Pasha bersikap baik. Dia nggak neko-neko lagi. Mama sangat bersyukur dengan keadaan Pasha," tutur Mama Pasha cukup panjang.

Cerita yang cukup menyentuh, batinku.

"Pasha juga memperlakukanmu dengan baik kan, Za? Apa dia tipe suami romantis?"

Mama Pasha berhasil membuatku tergagap. Siapa sangka wanita itu akan melontarkan pertanyaan semacam itu.

"Uhmm... " Sulit untuk menjawabnya. "Dia baik, tapi bukan tipe romantis," ujarku sesaaat setelah berpikir.  Selama Pasha tidak pernah menyakitiku, aku bisa menganggapnya memperlakukanku dengan baik, bukan?

"Soalnya Pasha nggak banyak cerita tentang kamu dan rumah tangga kalian. Kalau Mama nggak tanya, dia nggak akan cerita apa-apa," ujar Mama. Agaknya ia masih senang membahas perihal Pasha hingga detik ini.

Memang tidak ada yang bisa diceritakan dari kehidupan rumah tangga kami, imbuhku dalam hati. Dan aku berpura-pura meneguk air minum untuk menghindari percakapan.

"Apa kita nggak membungkus makanan untuk Pasha, Za? Pasha juga belum makan, kan?"

"Iya, Ma." Aku hanya menurut. Setahuku Pasha belum sarapan. Namun, aku tidak tahu selera Pasha. Apa ia mau makan soto dari kantin rumah sakit?

Seusai makan dan membungkus satu porsi soto untuk Pasha, aku dan Mama kembali ke kamar Papa. Selagi dalam perjalanan kami berbincang hal-hal ringan.

Ketika kami tiba di kamar Papa, kulihat Pasha dan Papanya masih asyik berbincang, entah tentang apa, tapi aku yakin perbincangan mereka sangat membosankan.

"Makanlah dulu, Sha. Tadi Zara membelikan kamu soto," beritahu Mama dengan mengajukan namaku di depan Pasha, padahal membeli soto itu sama sekali bukan ideku.

Pasha hanya mengukir senyum tipis dan terkesan palsu di mataku.

Aku terpaksa menghampiri Pasha dan menyerahkan bungkusan di tanganku.

"Sebaiknya setelah makan kamu beristirahat di rumah, Sha. Biar tubuh kamu cepat sehat. Kondisi Papa juga sudah mulai membaik. Kamu nggak perlu bolak balik rumah sakit. Kalau kamu kecapekan, kamu bisa sakit lagi nanti," ucap Mama.

"Aku baik-baik saja, Ma."

"Jangan ngotot. Memangnya kamu nggak kasihan pada Zara? Dia kan  capek merawat kamu, Sha. Zara juga butuh istirahat. Masa kamu nggak paham juga maksud Mama?"

"Iya, Ma. Aku paham."

"Cepat makan sotonya, setelah itu pulang dan istirahat," suruh Mamanya penuh pemaksaan.

"Iya, iya Mama bawel."

Tanpa sadar aku ikut mengembangkan senyum melihat tingkah keduanya. Bahkan hingga detik ini aku masih sulit percaya kalau mereka bukanlah anak dan ibu kandung.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top