Part 04

Jalanan yang kami lalui menuju ke rumah sakit cukup lengang. Tapi, suasana di dalam mobil yang aku dan Pasha tumpangi jauh lebih mencekam dari itu. Sepanjang perjalanan Pasha membisu. Raut wajahnya ditekuk. Sedang aku tak berani melontarkan satu kata pun di depannya. Aku cukup tahu diri dan masih merasa bersalah padanya.

Begitu tiba di rumah sakit, Ryan, adik Pasha menyambut kami di depan lobi. Agaknya Pasha telah menghubunginya beberapa saat sebelum berangkat ke rumah sakit. Aku sempat melihatnya memegang ponsel saat kami berada di dalam mobil.

"Bagaimana keadaan Papa, Yan?" Pasha langsung mencecar adik laki-lakinya dengan pertanyaan begitu kami tiba di hadapannya. Pasha terlihat begitu cemas.

"Papa kritis, Mas. Dia masih belum sadarkan diri sampai sekarang," ungkap Ryan.

"Di mana Papa sekarang?" Pasha tampak tak sabar ingin segera melihat kondisi Papa.

Ryan langsung memberi komando agar kami mengikuti langkahnya menuju ke arah lift.

Kedua kakak beradik itu memiliki postur tubuh yang bagus dan sepasang kaki panjang. Sebaliknya aku memiliki sepasang kaki pendek dan itu membuatku merasa kesulitan untuk menyusul langkah-langkah mereka. Alhasil aku tertinggal beberapa langkah meskipun telah berusaha untuk setengah berlari mengejar Pasha dan Ryan. Untungnya mereka tidak menutup pintu lift dan masih bersedia menungguku meski sedang terburu-buru.

Begitu sampai di depan salah satu kamar VIP tempat Papa Pasha dirawat, aku menghentikan langkah.

Pintu ruangan itu terbuka ketika aku tiba. Pasha dan Ryan telah lebih dulu masuk ke dalam kamar. Dan aku hanya berdiri mematung tepat di depan pintu.

Dari posisiku berdiri, aku melihat Papa Pasha sedang terbaring dengan beberapa peralatan medis menempel di tubuhnya. Seperti kata Ryan, Papa masih tidak sadarkan diri. Sementara itu, di sebelah tubuh Papa, ada Mama yang dengan setia menunggu suaminya.

"Nggak mau masuk?"

Suara Ryan berhasil mengejutkanku yang masih berdiri di depan pintu. Adik Pasha itu menyadari jika aku belum juga melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar.

"Iya." Dengan langkah ragu, akhirnya aku berjalan masuk untuk bergabung dengan keluarga Pasha. Bukankah aneh jika aku hanya berdiri di depan pintu sementara mertuaku sedang terbaring sakit di dalam sana?

Tiba-tiba saja aku merasa disergap rasa canggung di tengah-tengah keluarga Pasha. Momen ini membuat rasa bersalahku mencabik hati nurani. Apalagi ketika aku mendapati Pasha sedang memeluk tubuh Mamanya untuk menguatkan hati wanita itu.

"Maaf, aku baru bisa datang, Ma," ucap Pasha usai ia melepaskan pelukannya ke tubuh Mama.

Mama tampak berusaha tegar dengan menepuk-nepuk punggung putranya. Rautnya terlihat lelah dan sedih, tapi wanita itu masih berusaha menampilkan seulas senyum tipis.

"Kamu juga datang, Za?" Mama malah menyapaku yang sedang berdiri di dekat ujung tempat tidur Papa.

"Iya, Ma," sahutku lirih. 

"Bagaimana keadaan Papa, Ma?" Pasha seolah sengaja ingin mengalihkan perhatian Mamanya dariku. Laki-laki itu beralih pada Papa yang sedang terbaring di atas tempat tidur dengan selang pernapasan menempel di bawah hidungnya. Beliau tampak diam tak bergerak selayaknya orang yang tertidur pulas.

Padahal Pasha sudah menanyakan kondisi Papa pada Ryan tadi. 

"Seperti yang kamu lihat, Papa masih belum sadarkan diri." Mama menjelaskan kondisi Papa.

"Lalu apa kata dokter?"

"Kondisi Papa masih belum stabil dan kita hanya bisa menunggu."

Suasana menjadi hening ketika Pasha meraih tangan kanan Papanya. Laki-laki itu menggenggam tangan Papa seolah ingin memberitahukan kedatangannya. Tak ada satu kalimat pun yang Pasha luncurkan dari bibirnya, tapi aku yakin hatinya sedang melantunkan berbaris-baris doa dan harapan.

"Doakan yang terbaik untuk Papa, Sha," ucap Mama seraya mengusap punggung Pasha. Laki-laki itu terlihat cukup terpukul dengan keadaan yang menimpa Papanya. Berbeda dengan Mama atau Ryan yang cenderung tampak lebih tegar dan kuat.

Dengan gerakan perlahan aku mundur dari posisi tempatku berdiri dan berjalan ke arah pintu. Bukan tanpa maksud, aku hanya ingin memberi ruang pada Pasha dan keluarganya. Dukungan dari keluarga sangat dibutuhkan Papa Pasha saat ini. Sementara aku merasa bahwa diriku hanyalah orang asing diantara mereka. Menjadi istri Pasha tidak serta merta membuatku merasa menjadi bagian dari keluarga itu.

Lorong rumah sakit yang kosong di waktu dini hari seperti sekarang cukup membuat bulu kuduk merinding. Terlebih lagi udara malam turut menusuk persendian. Bayangan tentang hal-hal mistis dan menyeramkan berkelebat bebas di alam pikiranku. Konon rumah sakit identik dengan hal-hal semacam itu. Dengan mengesampingkan semua pikiran negatif dari kepalaku, aku memaksakan diri untuk berjalan ke arah sebuah bangku besi yang berada beberapa meter dari pintu kamar yang dihuni Papa Pasha. Lebih baik aku menunggu di sana, batinku.

Kalau saja aku tadi tidak ngotot mampir ke rumah kontrakan Rieke usai dari butik, tentunya Pasha tidak akan terlambat datang menjenguk Papanya. Meski itu tidak bisa merubah keadaan, setidaknya Pasha bisa lebih awal berada di sisi Papanya. Hingga kini kondisinya masih kritis dan segalanya bisa saja terjadi, termasuk hal terburuk sekalipun. Bukankah ini hanya akan menjadi beban untukku seandainya Papa Pasha tidak bisa bertahan, kan?

Itu sungguh menakutkan! Selamanya aku hanya akan menjadi mimpi buruk bagi Pasha. Oh Tuhan, tolong selamatkan Papa Pasha...

Aku terus menerus merapal doa dan pengharapan dalam hati di sepertiga malam terakhir.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top