02- Kurang Kerjaan
Yg di atas itu visual versi aku.. Tom Austen sama Jeon Somi. Knp mereka? Kan nabrak.. Krn aku lg suka sama 22nya.. hahha visual mah bebas.. terserah kalian.. oke bab2 awal masih perkenalan.. butuh penguatan karakter. Hahaha sotoy lo mon.
***
Hanya orang baik yang berkepribadian kuat yang bisa mengubah orang lain.
-Rumi-
***
"Jihaaaaan." Teriakan khas sedikit nyaring itu membuat Jihan menoleh ke samping jalan. Ia sedang duduk di halte sesuai tempat yang mereka tentukan untuk bertemu.
"Malika," sapa Jihan segera berdiri, lalu bergegas memeluk sahabat masa kecilnya.
"Akhirnya kita satu kota lagi." Keduanya saling meluapkan kerinduan. Maklum saja, Jihan baru menetap dua minggu di ibu kota. Orang tuanya mendapat pekerjaan yang bagus. Sebagai anak tunggal, Jihan mau tak mau harus ikut kemanapun mereka menetap.
Usia Jihan sudah memasuki kepala dua. Tahun ini genap dua puluh tahun.
"Kangen gue sama lo, Ji." Malika mencubit pipi sahabatnya.
"Ah, gue juga kangen sama lo. Malikong." Jihan lebih antusias lagi, tidak hanya mencubit, ia juga menepuk pipi Malika cukup keras.
"Lo masih bulet aja, Malikong." Malika yang memang bertubuh cukup lebar memasang wajah cemberut.
"Ah, capek gue diet. Kemarin udah berhasil turun berat badan, tapi karena kedatangan abang bakso di depan rumah, semuanya sirna." Mereka duduk di halte tempat mereka janjian.
"Jadi lo mau cari kerjaan, nih?" tanya Malika yang langsung diangguki Jihan.
"Lo kenapa nggak mau kuliah? Sayang, Ji." Jihan hanya bisa menghembuskan napas lelah. Kebanyakan teman-temannya selalu bertanya perihal keputusannya yang tidak melanjutkan pendidikan ke universitas.
"Kata Mama, kalo niat cuma setengah jalan, sayang biaya." Jihan menatap jalan raya yang siang ini tidak terlalu ramai. "Gue kan tamatan sekolah kejuruan, jadi bisa langsung kerja."
"Hebat lo, Ji." Jihan melirik sambil tersenyum. Sejak dulu, Malika memang selalu memanggil namanya seperti itu. Aneh, tapi Jihan suka.
"Terus lo mau cari kerjaan di mana?"
"Kemarin sih gue sempat kerja di restoran cepat saji. Sekalian bisnis kue kering rumahan sih sebenarnya. Lumayan, bisa nambah uang jajan dan beli gadget sendiri. Makanya sekarang gue mau punya penghasilan sendiri lagi di kota ini. Maklum hidup di ibu kota kan menguras biaya tinggi, tapi kalau emang belum dapet kerjaan, ya sambil jalan usaha kue keringnya."
"Gue bantuin deh, hari gini gunakan media sosial buat dagang. Asal jangan lebay aja promosinya." Jihan mengangguk, ia memang sudah membuat akun media sosial khusus untuk berjualan. Dan sepertinya bisa ia kembangkan kembali.
"Ji, kita jalan yuk." Bus yang ditunggu sudah terlihat.
"Oh iya, lo masih hutang tantangan sama gue." Mereka berdiri bersisian menunggu bus angkutan umum tiba di halte.
"Kita mau ke mana?" potong Jihan.
"Hari ini ada pameran furniture." Jihan lebih dulu masuk ke dalam angkutan umum, di susul Malika. Duduk di bagian paling depan, di samping supir.
"Emang lo mau beli ranjang?"
"Nggak, lihat-lihat aja. Kan pameran furniture biasanya yang datang orang-orang yang mau beli rumah."
"Nah, terus?"
"Ya kali aja ada pria mapan, lajang yang sedang mencari kekasih." Jihan menggeleng. Sebenarnya ia masih belum menangkap tujuan Malika dan kenapa datang ke pameran yang akan dikunjungi.
"Kali aja sang pria sekalian mencari calon istri di sana." Malika tertawa sendiri dengan alasannya.
"Maksud lo, kali aja ada jodoh lo yang lagi ikut lihat pameran? Dasar Malikong, masih dua puluhan aja umurnya, udah mikirin kawin." Jihan menepuk punggung Malika. Gadis bertubuh sintal itu masih terkikik.
"Kadang, lihat pameran itu dapat bonus-bonus. Ah, pokoknya lo ikut aja. Sekalian keliling kota. Hari sabtu, Ji." Jihan menatap kaca depan bus sambil terkikik. Ia memang butuh refreshing sekilas. Pasalnya, dua minggu kemarin Jihan dibuat muak membersihkan rumah baru dan segala aneka bawaan yang ia punya. Menata kamar itu bukan hobinya. Memporak-poranda adalah kesukaannya. Dan kemarin kegiatan merapikan rumah terlalu menguras tenaga.
"Eh." Malika menyenggol lengan Jihan. "Jangan pura-pura lupa! Tantangan jaman smp kita."
"Masih ingat aja lo." Jihan sejak tadi berusaha mengalihkan janji tantangan, tetapi tetap saja Malika ingat.
"Pokoknya nanti di pameran lo sempetkan diri untuk menyelesaikan tantangan kita. Sederhana Ji, hanya mengambil minuman seseorang dan menghabiskannya lalu selesai." Tangan Malika sudah memperagakan cara menenggak minuman.
Jihan benci saat-saat ini. Punya hutang itu nggak enak, sampai menutup mata pun tak tenang. Dahulu ia sudah berjanji dan sekarang saatnya ia tepati. Tapi kan malu..
"Bayar denda aja, gimana?" tawar Jihan, Malika menggeleng.
"Enak aja. Gue masih ingat yah, malunya gue waktu Pak Bondan guru matematika kita di jaman smp marah-marah sama gue, karena jus nanasnya gue abisin." Jihan mengingat kejadian konyol di masa lalu.
"Ya, maaf."
"Nggak bisa, janji setia kita harus selesai. Janji selamanya jangan lo lupakan." Malika dan semangat persahabatanya memang tak lekang oleh waktu. Sahabat siapa sih ini?
"Hmm, gue traktir seminggu ini makan siang?" Jihan berharap Malika bisa luluh. Kata 'traktir' adalah kelemahan Malika. Sejak dulu sampai sekarang, Malika pasti goyah.
"Nggak. Tetap tantangan berjalan." Jihan mengerutkan alisnya. Kalau dulu saat remaja, mungkin semangat jahil kepada orang tak dikenal benar-benar mengusai, berbeda dengan sekarang. Jam terbang urusan jahil sudah tergerus waktu. Konyolnya sudah pergi.
"Pokoknya abisin minuman orang tak dikenal dan persahabatan kita benar-benar langgeng seumur hidup."
"Dasar Double XL.." Malika tertawa mendengar ledekan Jihan. Dia tidak akan tersinggung.
"Sekedar informasi, ukuran baju gue sudah turun jadi extra large." Sombongnya Malika. Jihan mencibir. Baiklah, apapun yang terjadi hari, biarlah mengalir. Jihan akan mengikutinya.
Sesampainya di lokasi pameran, mereka tampak antusias. Banyak gratisan dan ternyata tidak hanya sekedar pameran furniture. Malika lupa, khusus minggu ini pameran wedding juga dilaksanakan di hall sebelah. Kesempatan bagi mereka untuk mencicipi test food gratis dari pihak katering yang mengikuti pameran.
--
"Keren banget ini konsep kamarnya?" Jihan mengabadikan contoh satu set kamar tidur. Bergaya vintage dengan motif bunga yang tampak indah. Romantis dan elegan. "Nanti kalau gue nikah, gue mau suruh suami gue beli ranjang ini." Jihan bergumam sendiri. Lalu ia melihat-lihat keterangan tempat tidur dan lemari itu. Siapa tahu bisa ditargetkan sejak dini.
"Gila, keren-keren banget." Malika juga mengangguk. Sejak tadi banyak sekali barang yang ingin ia borong. "Andai gue orang kaya. Rasanya semua mau gue beli."
"Makanya gue mau kerja, nabung buat masa depan." Jihan semakin tak sabar untuk mendapatkan pekerjaan dan mempunyai pendapatan sendiri. Kalau begini, menyesal rasanya ia menghamburkan uang jajan demi setengah kilo keju cheddar, parmesan atau mozarella. Namanya juga hobi.
"Nah, ada kegunaannya kan gue ajak lo ke sini? Otak lo jadi meluas, nabung nggak cuma hanya buat beli keju. Sekarang meningkat jadi beli ranjang," ledek Malika. Tinggal di lain kota tidak membuat mereka hilang komunikasi. Malika tahu, sahabatnya pecinta aneka jenis olahan keju. Dan karena hobinya itu, cukup menguras dompet. Terlebih Jihan sangat mencintai olahan keju mozarella.
Sayang duitnya kalau cuma buat lelehan mozarella, Ji. Lagian kebanyakan makan keju bisa nimbun lemak.
Gue sih aman biar makan banyak lelehan mozarella. Emangnya, lo?
Terkadang Malika berpikir dunia tidak adil. Kenapa ia mudah melebar jika menelan sedikit saja sesuatu ke dalam mulutnya. Sedangkan Jihan, tetap di posisi aman walaupun makan daging satu kilo dalam satu waktu. Sungguh tidak adil. "Iya-iya yang perutnya kayak karet. Sombong." cibir Malika.
"Udah ayo lihat-lihat lagi. Kita cari gratisan." Keduanya kembali berjalan menyaksikan pameran. Ramai tapi cukup menghilangkan penat di isi kepala.
"Sekarang beli minuman yang seger." Mereka sudah berada di outdoor area pameran. Berniat mencari stand minuman segar. Sejak tadi mereka terlalu kenyang mencicipi makanan berat ala-ala katering pernikahan.
Malika melirik ke arah kanannya. Terlihat dua orang pria dewasa sedang menunggu pesanan minuman. Sepertinya ada stand yang menjual minuman segar. Posisinya memang dekat dengan mereka.
Malika menarik tubuh Jihan agar pandangan matanya menatap ke arah pria tersebut. "Ambil hop-hop tuh bapak, dan tantangan kita impas!" Masih ingat aja Malika. Jihan melirik jengkel.
Jihan menggeleng. "Nggak mau, malu gue."
"Bapak itu lagi ngobrol serius sama yang di sebelahnya. Itu minuman udah selesai di depannya dia nggak tahu. Ayo cepat, ambil lalu minum. Gerak cepat dan selesai. Kapan lagi bertingkah konyol di usia kita yang sekarang?" Malika mendorong Jihan mendekati area itu. Selesaikan Jihan!
"Lo aja sana!"
"Gue udah duluan, Ji. Masih lupa kejadian dulu? Ayo selesaikan hutang lo. Keburu mati ditanya di dalam kubur, loh!?"
Sialan Malika, sahabatnya itu memang tahu kelemahan Jihan, janji memang harus ditepati.
Pelan Jihan mendekati posisi bapak itu, memunggungi sang bapak yang terlihat sedang tertawa sampai terpingkal-pingkal. Jihan melirik arah penjual minuman, sibuk dengan pesanan minuman. Lalu ke segala penjuru, sepertinya semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Aman, Jihan bisa melakukan aksinya sekarang lalu pulang dengan beban tantangan selesai. Bukan dosa besar kan minum milik orang lain? Lagipula dia memang butuh minuman. Dahaganya kering. Jihan masih berperang dengan batinnya. Benar atau tidak tindakan yang akan ia jalankan.
"Ayo." Jihan bisa menebak gerak bibir Malika. Sambil mengangguk, ia mengambil gelas minuman itu, menusuk sedotan dan menyeruput perlahan. Sulit sebenarnya, karena sedotan berdiameter lebar ini cukup memperlambat cairan ini masuk ke dalam tenggorakan. Tetapi kesegaran rasa cokelat dipadukan taburan biskuit oreo membuat ia mampu menghabiskan setengah gelas minuman bukan miliknya. Sekalian saja dinikmati.
Ia melirik Malika, berharap sahabatnya itu memberikan tanda selesai. Dan anggukan Malika membuat Jihan bahagia. Setengah minuman itu sudah lancar masuk ke dalam perutnya. Segera ia meletakkan gelas itu dan berlari ke arah Malika. Perutnya terasa dingin mendadak. Terang saja, baru meluncur minuman ilegal ke dalam sana. Tapi ini kan bentuk pengorbanan. Selesai dan persahabatan terjalin tanpa adanya hutang janji.
Janji konyol.
Ini tindakan teraneh yang pernah ia lalukan tiga tahun belakangan. Ia sudah bertaubat dari aneka tantangan nekat. Dan hari ini, adrenalinnya terasa terpacu cepat. Reaksi yang sudah sangat lama tak ia rasakan.
"Gila lo, Malikong." Jihan mencengkram dua lengan Malika. Tertawa bersama. Rasanya seperti kembali ke zaman mereka remaja. Ekspresikan gayamu ala anak remaja di zamannya.
"Gara-gara lo minum itu, gue jadi mau. Ayo deh kita beli." Jihan menahan tangan Malika.
"Untuk apa lagi ke sana? Ah, cari tempat lain aja." Jihan sudah bahagia karena menyeselesaikan tantangan, sebaiknya jangan ke area itu lagi.
"Loh, saya belum minum, Mbak."
"Tapi itu pesanan Bapak sudah diminum? Bapak lupa kali?"
Jihan dan Malika melirik ke arah stand. Sepertinya sang bapak mulai tahu kalau minumannya dicuri setengah gelas. Terbukti sekarang sedang beradu mulut.
"Ayo kita pergi dari sini." Jihan menarik tangan Malika. Dari pada dicurigai.
"Oke." Malika menurut dengan Jihan.
"Tunggu!" Tiba-tiba sebuah tangan menarik tangan Jihan yang satunya. Menyeretnya mendekat ke arah stand minuman.
"Eh, siapa lo?" tegur Jihan yang merasa tak kenal dengan orang asing yang menariknya tanpa permisi.
"Maaf, Pak, wanita ini yang telah meminum pesanan Bapak." Jihan melebarkan matanya. Mampus, ia ketahuan. Tapi tadi kan tidak ada yang peduli dengan aksinya? Kenapa orang ini bisa tahu? Malaikat kah?
"Anda siapa?" tanya sang bapak yang terlihat bingung. Penjaga stand minuman pun juga ikut penasaran.
"Iya, lo siapa? Seenaknya nuduh temen gue ambil minuman orang." Malika langsung memasang badan. Jihan masih diam, tak menduga akan ketahuan. Ia bukan maling.
"Bapak selesaikan sama Mas ini aja, saya banyak pesanan." Bapak itu mengangguk kepada penjaga stand minuman dan tatapannya beralih kepada pria yang katanya mengetahui siapa yang telah meminum pesanannya tanpa izin.
"Maaf, Mas tadi bilang apa?"
"Saya punya bukti." Pria itu merogoh ponselnya dan memperlihatkan layar ponsel. Jelas terlihat adegan Jihan sedang menikmati minuman tersebut.
Jadi orang ini merekam adegan tadi? Benar-benar memalukan.
"Ji, gawat," bisik Malika yang tak berkutik. Beberapa orang sudah mulai mengerumuni mereka.
"Jadi kamu benar yang meminum pesanan saya?" tanya sang bapak tak percaya. Tidak emosi, tapi Jihan merasa tak enak. Ia memilih menunduk malu. Alasan apa yang terdengar masuk akal untuk diutarakan sebagai pembelaan? Bilang ia kehausan? Tetap saja ia salah. Apalagi kalau bilang ini tantangan? Konyol sekali.
"Maaf, saya haus," cicit Jihan bingung. Dasar Malika sialan! Jihan yakin Malika sedang menahan tawa.
"Haus? Alasan aneh. Kamu kan bisa ke kamar mandi, ambil aja air kran. Gratis. Bisa minum se ember." Si pria perekam tindakannya mencibir dan memberikan solusi sinting. Memangnya dia kuda minum air dari ember. Dasar orang aneh, ikut campur urusan orang. Kurang kerjaan.
"Belikan bapak ini yang baru. Kamu perempuan, tapi tingkahnya mirip tahanan." Pria itu masih bersuara.
"Nggak apa-apa, Mas. Mungkin Mbak cantik ini memang kehausan. Lagi pula kalau istri saya tahu, pasti dia akan berterima kasih dengan Mbak cantik ini. Sebenarnya saya dilarang minum ini. Saya pengidap diabetes." Jihan sedikit bernapas lega. Rupanya sang korban cukup manusiawi. Jihan sempat khawatir akan dibawa kasus ini ke ranah hukum. Memalukan jika kedua orang tuanya mendapat kabar, putrinya mencuri minuman setengah gelas.
Itu namanya celamitan, songong dan tidak berpendidikan.
"Dihapus saja Mas videonya." Jihan mengangguk dan tersenyum malu kepada sang bapak. Baik sekali si bapak.
"Maaf yah, Pak. Saya tak sengaja. Saya akan ganti rugi." Jihan menunduk memberi hormat kepada bapak tua itu.
"Nggak usah, Mbak. Saya tidak masalah, lain kali langsung minta aja jangan diam-diam." Mau tak mau Jihan mengangguk. Terseralah mau dicap aneh. Sudah terlanjur.
"Terima kasih anak muda, sudah jangan diperpanjang." Bapak itu menepuk pundak pria itu lalu pergi bersama temannya.
Jihan dan Malika sendiri masih diam di tempatnya. Tak lupa pria si tukang ikut campur yang masih terus menatap tanpa takut. "Saya bisa saja lapor polisi, tapi untung bapak itu tidak mau memperpanjang kasus." Eh, masih nyinyir nih orang.
Jihan mengangkat wajahnya. "Heh, lo kenapa sibuk banget ngurusin gue? Iya gue salah, udah minta maaf juga. Terus kenapa masih nyinyir?" Jihan akhirnya menyemburkan isi hatinya.
"Jelas saya tak suka, kamu berbuat nekat di tengah keramaian. Sudah seharusnya saya meluruskan apa yang salah. Melihat kejahatan tapi hanya diam? Itu bukan sifat saya." Jihan dan Malika saling menatap. Dasar pria aneh.
"Hapus rekaman tadi!" usul Malika. Jihan mengangguk. Pria itu menggeleng. "Suka-suka saya, ini milik saya, hasil kerja keras saya." Dengan angkuhnya pria itu memamerkan ponselnya di atas udara, bahkan rekamannya masih diputar.
Jihan ingin merampas ponsel itu. "Tapi itu rekaman gue." Pria itu mundur untuk menjauh dari Malika dan Jihan.
"Pak Arsal? Meja dan kursi untuk restoran sudah kami siapkan? Tinggal dipilih." Suara seorang wanita membuat Jihan dan Malika berhenti. Sepertinya sedang berbicara dengan pria aneh itu. Jihan dan Malika tahu diri untuk tidak merecoki perbincangan seseorang.
Pria itu sempat melirik ke arah mereka. "Besok-besok kalau mudah haus, bawa air jangan hanya satu botol kecil. Bawa galon kalo perlu."
Dan pria yang kalau Jihan tidak salah dengar bernama Arsal itu pergi meninggalkan kekesalan yang masih meradang. Orang aneh dengan tingkat ikut campur terlalu tinggi.
"Gara-gara lo nih, Malikong."
"Udahlah, itung-itung kenalan sama jenis pria ibu kota." Mereka berjalan ke luar lobi.
"Iya, tapi nggak gitu-gitu amat kali. Pria tadi sih kurang kerjaan. Sempet-sempetnya ngerekam. Terus mau disebar di medsos? Sekalian aja viralkan!" Jihan benar-benar geram.
"Eh, Ji?! Kalo dia benar-benar sebarin gimana?" Benar juga, bisa kacau kalau tersebar.
"Gue sumpahin melarat tuh orang."
"Tapi cakep, Ji. Tatapan tajam langsung menancap di dada." Jihan malas mengingat wajah pria itu. Sinting memuji orang hobi kurang kerjaan.
"Udah kita jalan-jalan lagi. Menikmati ibu kota dan hiruk pikuknya." Jihan mengangguk sambil berjalan. Ia sempat merogoh tas slempang untuk membuka pesan di ponsel. Getaran tak akan berhenti sebelum pesan itu terbaca. Tebak Jihan pasti sang mama. Dan ternyata memang benar.
-Mama : Jangan lupa besok pagi pergi ke rumah Pak RT. Beliau minta surat-surat syarat untuk buat kartu keluarga. Mama dan Papa pergi pagi, ada acara senam bersama di kantor baru Papa. Sekalian kamu minta surat rujukan kelakuan baik sama Pak RT. Ingat! Jangan pulang terlalu malam dan jangan pacaran!
***
A&J
Minggu, 26Feb 17
Mounalizza
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top