BAB 9
Renjana sudah memantapkan pilihan. Ia telah memikirkan ini matang-matang. Dan semoga tidak ada penyesalan di masa mendatang atas keputusan yang akan diambilnya.
Renjana akan melupakan rencananya untuk mengulik kembali masa lalu dan fokus pada pernikahan dengan Argani serta masa depan mereka. Melihat ketulusan Argani juga pengorbanannya yang sampai rela membatalkan perjodohan dengan gadis pilihan orang tuanya hanya untuk memilih Renjana cukup membuatnya terenyuh. Argani juga sepertinya jujur, bahwa dia sangat mencintai Renjana. Cinta yang cukup besar.
Oh, kalau dipikir ulang, betapa jahat dirinya meragukan seorang Argani hanya karena ingatan masa lalu yang hilang. Kalau Argani berbohong, orang tua Renjana tak akan semudah itu melepaskan putri sulung mereka pada lelaki tersebut. Ah, bodohnya. Tuhan sudah menganugerahinya kehidupan yang begitu sempurna. Ayah dan Ibu penyayang. Saudara menyenangkan. Suami yang luar biasa beserta mertua yang tidak jahat seperti kisah orang-orang di luar sana. Kecelakaan yang kemudian merenggut ingatannya mungkin hanya sebagai ujian.
Ya. Bisa jadi memang demikian.
Menatap cincin yang melingkar di jari manis, Renjana mendesah. Ia melirik ke samping, pada Argani yang sudah pulas dalam lelap. Wajah tampan tersebut masih tetao terlihat begis. Ya, Argani memiliki raut wajah bengis. Alis hitam gelap nan tebal dengan bulu-bulu lumayan panjang dan bentuk agak lurus tapi sedikit melengkung di bagian ujung. Mata runcing dan kilat penuh misteri setiap kali memandang objek, tampak selalu siap menaklukkan. Hidung mancung dengan batang besar. Tulang pipi tinggi dan sangat tirus. Serta bibir tebal. Secara keseluruhan, dia tampan. Wanita-wanita yang menatapnya akan menoleh dua kali, tapi akan berpikir lagi untuk terpikat semudah itu.
Menurunkan pandangan, pipi Renjana merona melihat dada telanjang suaminya. Ugh, memang bukan hal baru berhubungan dengan suami. Hanya saja, malam ini untuk pertama kali Renjana memasrahkan segalanya. Segalanya. Yang lebih berarti dari sekadar fisik. Hatinya. Batinnya. Pikirannya. Renjana sudah meletakkan kepercayaan penuh di tangan Argani. Berharap sekali Argani mampu menjaga semua itu.
Mulai saat ini, Renjana berjanji untuk tak lagi bertanya-tanya tentang kisah yang sudah berlalu. Karena setelah ini, yang ada kisah mereka di masa depan. Hanya dirinya dan suami. Dan mungkin anak-anak juga nanti.
Anak-anak ya? Renjana menyentuh perutnya sendiri. Sejauh ini ia tidak pernah menunda. Bisa jadi sekarang ia sudah hamil. Hmm, memikirkan hal itu membuatnya lumayan antusias. Ia sudah cukup dewasa. Hampir tiga puluh tahun, hanya beberapa bulan lebih muda dari Argani.
Kalau ditanya siap atau tidaknya menjadi seorang ibu, Renjana pasti akan mengatakan siap, sekarang. Sekarang. Setelah pikirannya tercerahkan. Hanya saja, begitu melihat dua garis merah dua minggu kemudian, tangannya otomatis gemetar. Jantung berdebar kencang. Dan ia nyaris pingsan. Tidak percaya sama sekali dengan apa yang dirinya dapati.
Ia baru telat datang bulang dua hari dan merasa tubuhnya agak meriang. Renjana lupa apakah dulu jadwal haidnya teratur atau tidak, dan tak lagi tertarik untuk mencari tahu, seperti janjinya pada diri sendiri sejak memantapkan diri membuka hati.
Niat awal iseng membeli alat tes kehamilan, siapa sangka hasilnya ... positif. Ia mengandung. Anak Argani.
Seharusnya, Renjana luar biasa bahagia dan berlari ke luar kamar mandi untuk mengumumkan kabar bahagia itu pada suami. Bukan malah mematung di depan wastafel dengan tangan gemetar. Wajahnya pucat pasi dalam pantulan cermin. Juga tampak ketakutan.
Ada suara samar yang tiba-tiba terngiang di kepalanya. Suara yang sangat ia kenal, milik seseorang yang selalu menyapanya setiap awal bangun tidur dan sebelum lelap.
“Ingat ini Renjana,”--ada kemarahan dalam suara itu, juga gema yang tak menyenangkan. Mereka seperti berada dalam dimensi lain, di mana tak ada seorang pun selain keduanya. Gelap di mana-mana, anehnya wajah Argani tampak jelas sekali--“suatu saat, kamu akan menjadi milikku dan mengandung darah dagingku. Hanya darah dagingku.” Dalam bingkai wajah yang sedikit lebih muda dari saat ini, Argani menatapnya penuh janji. Rambut bagian depannya tampak sedikit panjang hingga menyentuh alis tebalnya.
Tatapan itu begitu menakutkan. Sangat menakutkan. Dan meski hanya dalam pikiran, berhasil membuat Renjana menggigil ketakutan.
Entah ini ingatan masa lalu atau hanya bayangan acak yang muncul dalam kepalanya. Yang pasti, semuanya tampak nyata. Kata-kata demi kata. Bahkan Renjana bisa melihat titik-titik keringat di kening Argani muda itu.
Kalau ini memang salah satu ingatan yang hilang, momen apakah yang Renjana ingat? Kenapa sama sekali tak menyenangkan? Ataukah saat itu terjadi, mereka sedang dalam pertengkaran saat masa pacaran?
Namun, kenapa Argani sampai mengancamkan itu? Apakah Renjana berbuat kesalahan? Atau ia menolak lamaran sang suami?
Ya ampun. Sakit sekali. Renjana mendadak pusing lagi. Ada sedikit ketakutan yang kembali mendera. Ia seperti takut dengan janji Argani di masa lalu. Bahwa ia akan mengandung darah daging lelaki itu.
Menyentuh kepalanya yang luar biasa pening, Renjana jatuhkan alat tes kehamilan yang dipegangnya ke wastafel, disusul tubuhnya sendiri yang ikut luruh ke lantai. Badannya lemas seketika hingga tak mampu melawan tarikan gravitasi.
Kenapa harus muncul ingatan yang buruk di momen yang seharusnya membahagiakan?
Wajar ada pertengkaran dalam hubungan, seperti yang mungkin terjadi dengan ia dan Argani saat masa pacaran dulu. Tapi kenapa Argani harus tampak semarah itu? Marah dan seperti sedikit putus asa. Sepasang matanya menyala. Oh, dan bayangan tadi benar-benar jelas, seolah baru terjadi kemarin. Berhasil membuat Renjana berkeringat dingin.
Renjana ketakutan. Masih sangat ketakutan, hingga bunyi ketukan di papan pintu kamar mandi tak sama sekali didengarnya.
“Renjana, Sayang, apa yang kamu lakukan di dalam? Kenapa lama sekali?”
“Renjana!”
“Re?!”
“Kalau dalam hitungan ketiga kamu tidak menjawab, saya dobrak pintunya ya!”
“Satu ....”
Menelan ludah, Renjana berusaha bangkit berdiri. Ia mengelap keringat yang entah sejak kapan membanjiri keningnya. Dengan gerak sedikit sempoyongan, Renjana melangkah pelan dan membuka pintu. Wajah khawatir Argani menyambut. Jauh berbeda dengan lelaki yang tampak marah dalam ingatan yang baru muncul dalam pikirannya.
Benarkah mereka orang yang sama?
Berusaha tak menampakkan ketakutan, Renjani berkeras menampilkan senyum, memaksa bibirnya yang mendadak kaku untuk melengkung. “Aku tidak apa-apa.”
Napas lega terembus dari bibir agak kehitaman lelaki itu. “Aku pikir kamu kenapa-kenapa. Kenapa begitu lama? BAB kah?”
Argani bertanya. Haruskah ia menjawab jujur bahwa dirinya sedang syok lantaran mendapati hasil tes kehamilan yang menunjukkan hasil positif, ditambah bayangan masa lalu yang tak bisa dikatakan menyenangkan?
Sejauh apa pun Renjana berusaha melupakan masa lalu, sekeras itu pula bayangan masa lalu menjeratnya, sedikit demi sedikit mulai membuka. Seolah meminta Renjana untuk menggali lagi. Dan lagi. Tetapi, ia sudah berjanji untuk tak lagi bertanya tentang kenangan lampau, atau mengungkit-ungkit.
“Aku ...” bagaimana ini? Mulut Renjana kembali terkatup. Ia menjilat bibir bawahnya yang kering, matanya mencari-cari. Entah apa. Mungkin mencari alasan.
Sialnya, Argani bukan manusia sabar. Ia menaikkan salah satu alisnya, tanda bahwa lelaki itu membutuhkan jawaban segera. Dan belum juga Renjana menemukan dalih, Argani sudah mendesah dan meminggirkan tubuh istrinya agar ia bisa masuk ke dalam kamar mandi untuk mencari tahu sendiri.
Tak menemukan apa pun, walau sekadar tanda lantai basah, Argani hendak berbalik kembali ke arah Renjana, tetapi tidak. Satu benda kecil di wastafel mencuri perhatian.
Argani bukan manusia bodoh. Ia tahu benda itu. Ia mendekat, lalu perlahan meraihnya.
Dua garis merah berarti satu hal.
Sedikit ketegangan di wajahnya mengendur. Rasa penasarannya terjawab, dan ia ... tersenyum lebar saat kemudian kembali menoleh pada sang istri yang masih mematung di dekat pintu.
“Kamu hamil!” Itu bukan pertanyaan. “Kamu hamil, Re!” ujar Argani dengan nada lebih keras. Lebih tegas. Sepasang mata runcingnya berkilat senang.
Renjana ... apa yang bisa ia lakukan? Oh itu bukan pertanyaan yang benar. Maksudnya, Respons apa yang harus ia tunjukkan pada Argani?
Bahagia. Seharusya. Bukan kembali merasa ngeri dan takut.
Ini aneh!
Argani mendekat, dan Renjana ingin lari. Kakinya gatal untuk menghindar, hanya saja ia seperti terbelenggu rantai besar. Ya ampun, bagaimana bisa sekilas ingatan bisa begitu mengguncang?
“Anakku.” Suara Argani melembut. Entah sejak kapan, lelaki itu sudah berdiri di depan Renjana dan tangan kanannya di perut sang istri. Mengelus pelan. “Luar biasa!” pujinya sambil menatap wajah sang lawan bicara yang berusaha menghindar. “Aku tidak menyangka akan secepat ini, Re. Terima kasih.”
Ketulusan itu.
Air mata Renjana jatuh saat kemudian Argani memeluknya erat. Ada getar samar dalam suaranya. Jelas sekali dia bahagia. Argani bahagia. Membuat Renjana merasa ... entahlah.
Seharusnya ini memang momen bahagia mereka. Tetapi kenapa bayangan sialan itu muncul? Benarkah itu bagian dari masa lalu? Atau hanya bentuk ketakutan yang belum hilang sepenuhnya.
“Kamu senang?” tanya Renjana dengan nada suara yang sebisa mungkin dibuat tenang.
“Tentu saja!” Argani menjawab tanpa ragu seraya mengeratkan pelukan sambil sedikit menggoyangkan tubuh Renjana ke kanan dan ke kiri. Seperti anak kecil.
“Senang karena kita akan segara menjadi orang tua, atau senang karena akhirnya kamu berhasil membuat aku mengandung darah daging kamu?” Sungguh, tak ada rencana untuk melontarkan pertanyaan ini, kalimat tadi keluar begitu saja dari mulutnya. Semudah itu.
Tubuh Argani menegang, terasa sekali dalam pelukan mereka. Perlahan, ia menjauhkan tubuh tanpa melepas Renjana sepenuhnya. Dua pundak wanita itu masih dalam kuasa sang suami. Dengan mata menyipit, Argani mengunci tatapan mereka, seolah sedang berusaha mencari-cari. “Maksud kamu apa?”
Bukan hanya Argani. Renjana juga sedang mencari. Mencari tahu tentang bayangan itu. Apakah sekadar khayalan, atau benar ingatan. “Hanya bertanya.”
“Apa bedanya? Tentu kita akan menjadi orang tua karena kamu mengandung darah dagingku. Dan aku bahagia karenanya. Ada yang salah.”
Tidak. Tak ada yang salah. Keadaan yang salah. Bukan Argani. Bukan pula dirinya.
Oh. Saat ini, tak ada yang bisa mengerti Renjana. Tak satu pun. Bahkan dirinya sendiri. Dia sekarang milik Argani dan Argani miliknya. Ia sudah berjanji untuk memulai dari awal dan membuka hati. Seharusnya tidak ada keraguan lagi.
Tak kuasa menahan perasaan, tangan Renjana bergerak naik, meremas sisi kanan kiri pakaian sang suami erat-serat. Ia lalu menariknya keras sebelum menjatuhkan diri ke dalam pelukan lelaki itu, lalu menangis. “Aku hanya takut.” Wajahnya ia benamkan di dada lebar itu.
“Apa yang kamu takutkan?”
Dan Renjana menolak memberi tahu. Dia hanya menggeleng. Lalu terisak.
Harus bagaimana dengan perasaan dan pikiran yang tidak jelas ini? Ia jadi merasa serba salah.
“Sssttt ...” Argani membalas pelukannya. Berusaha menenangkan dengan menepuk-nepuk pelan bahu wanita tersebut. “Semua akan baik-baik saja. Percaya padaku, ya.”
Renjana ingin percaya. Sungguh.
***
Yang kepo pengin baca duluan bisa langsung ke karyakarsa, ya. Di sana udah bab 28 loh ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top