BAB 8
Renjana hendak turun ke lantai satu saat melihat seorang perempuan cantik keluar dari ruang kerja suaminya di lantai yang sama rumah itu. Spontan, ia menghentikan langkah. Dan di saat yang sama, wanita tadi juga melihatnya. Satu detik yang cukup lama, mereka saling pandang dengan tatapan menilai satu sama lain.
Dengan pikiran penuh tanya, Renjana masih berusaha tampil ramah dengan menyunggingkan senyum kecil. Barangkali dia rekan kerja Argani atau saudara jauh yang memiliki keperluan penting, batinnya. Sebagai nyonya rumah, Renjana tak boleh tampil masam.
Namun, senyum Renjana luntur secepat datangnya. Alih-alih membalas keramahan wanita itu, si tamu justru berpaling muka dan lanjut melangkah dengan lebih tegas dan dagu yang dinaikkan. Dia melewati Renjana yang sudah akan turun ke tangga, lalu mendahului begitu saja. Padahal, apa salah Renjana? Atau pertemuannya si cantik dan Argani berakhir buruk sehingga suasana hati perempuan tersebut berantakan dan berdampak padanya? Entahlah.
Renjana masih di sana untuk sesaat, melihat punggung tegap si wanita sampai dia menghilang dari pandangan, masih dengan tanya dalam pikirannya. Penasaran dan tak habis pikir dengan sikap wanita tadi.
Mendesah dan berusaha tak ingin ambil pusing, Renjana mengedik. Ia sudah akan kembali mengangkat tumit dan turun ke lantai bawah untuk makan malam, saat kemudian satu tangan besar merengkuh pinggangnya dari belakang seraya mengecup tengkuk Renjana, spontan membuat wanita itu kegelian oleh napas beraroma mint di belakangnya. Tapi Renjana tak melakukan apa pun dan hanya diam, dia ingin belajar untuk tak lagi menghindari Argani, dan justru balas memeluk tangan lelaki itu yang membelit perutnya.
“Wangi banget sih kamu,” komentar lelaki tersebut seraya mengendus-endus aroma sang istri seperti kucing membaui menu baru.
“Tentu saja. Aku baru selesai mandi.”
“Aku suka aroma sabun pilihan kamu.”
Renjana hanya tersenyum dan mengedik sebagai balasan. “Omong-omong,” katanya kemudian sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan suaminya seraya berbalik menghadap lelaki itu, “apakah pertemuan tadi berjalan dengan tidak baik?”
Satu alis Argani terangkat mendengar pertanyaan itu. “Kenapa?” Dan bukannya menjawab, dia justru balik bertanya.
“Aku sempat berpapasan tadi dengan tamu kamu. Dan dia kelihatan tidak senang.”
Ada desah berat yang lolos dari katup bibir sang lawan bicara yang tidak Renjana mengerti. “Tidak usah dipikirkan. Tidak penting juga.”
“Urusan bisnis kah?” Tetapi Renjana yang keras kepala mulai menunjukkan sifat aslinya dengan terus mengejar dengan pertanyaan lain. Entah kenapa dia penasaran.
Dan terbesit di kepala Argani untuk menggodanya. Tersenyum miring, ia menaikkan satu alis. “Kalau aku bilang dia selingkuhan suami kamu, apa kamu percaya?”
Renjana memutar bola mata jengah dan melepas tangan Argani yang masih berada di pinggangnya. Ia pun kembali berbalik dan mulai menuruni tangga. “Terlalu dini untuk selingkuh,” ujarnya sambil lalu. “Kalau pun benar begitu, kamu tidak akan seterusterang ini.”
Argani mengikuti istrinya dari belakang dengan senyum geli. “Dan kalau memang benar aku berselingkuh, apa yang akan kamu lakukan?”
Renjana tidak perlu berpikir untuk menjawab pertanyaan tersebut. “Pergi,” katanya dengan tegas. “Perselingkuhan dan kekerasan adalah dua hal yang tidak bisa dimaafkan dalam pernikahan.”
“Jadi, selain dua kesalahan itu, apakah bisa dimaafkan?”
Kaki Renjana sudah menjejak di lantai bawah. Ia melepaskan tangannya dari teralis. Ada nada yang berbeda dalam suara Argani saat melontarkan pertanyaan barusan yang membuatnya kemudian kembali berbalik menghadap lelaki itu yang masih berada di tiga anak tangga terakhir. Dan ya, bukan hanya nadanya, tetapi juga ekspresi wajahnya yang tampak agak kaku, pun tatapan matanya yang terlalu dalam. “Contohnya, kesalahan apa?”
Senyum Argani berubah aneh. Lelaki itu mengedik seraya memalingkan pandangan. “Kebohongan misalnya.”
“Kalau memang ada yang kamu tutupi dari aku, lebih baik bicara sekarang. Aku akan memaafkan apa pun itu selagi tidak fatal.”
Desah napas Argani berubah. Ia mengembuskan udara dari lubang hidungnya dengan agak berat, lantas kembali menatap Renjana dengan senyum ringan dan tatapan mata jenaka. Entah ke mana perginya ekspresi tadi, membuat Renjana makin yakin bahwa memang ada yang suaminya tutupi. Entah apa. Mungkin kesalahan di masa lalu, atau ... ah, amensia ini memang menyebalkan.
“Aku hanya bertanya, Re,” dia menuruni anak-anak tangga sekali dua dan meraih tangan Renjana, “karena dalam pernikahan pasti akan ada satu dua kebohongan. Entah kecil atau besar.”
Benarkah demikian? Satu suara sinis dalam kepalanya berbisik, Renjana berusaha untuk tidak terpengaruh. Bagaimana pun, ia sudah meyakinkan diri untuk mempercayai lelaki ini dan membuka hati untuknya. “Selama tidak berdampak terlalu buruk pada pernikahan dan hubungan kita, sepertinya masih bisa aku maafkan. Karena bukan cuma kamu, mungkin aku juga akan berbohong di waktu-waktu tertentu.”
Argani menyipitkan mata mendengar jawaban itu. “Kamu mau berbohong tentang apa?”
Wanita itu mengedik dengan senyum penuh rahasia yang dibuat-buat. “Kalau aku katakan, bukan bohong namanya.”
“Dasar perempuan nakal!” ujar Argani gemas sambil mengacak puncak kepala Renjana yang rambutnya masih sedikit basah.
Istrinya berusaha menghindar sambil tertawa kecil dan berlari ke ruang makan tak jauh dari sana. Ah, berusaha lebih ikhlas menjalani kehidupan barunya ternyata lebih menyenangkan. Karena bisa jadi rasa tertekan yang selama ini menghantui memang hanya sekadar pikiran buruknya saja. Kalau pun benar ada kebohongan seperti yang Argani katakan tadi, pasti bukan kebohongan fatal. Mungkin hanya, sebelum Renjana kehilangan ingatan benar mereka berselisih paham yang kemudian membuatnya marah dan kesal dan barangkali sampai mengancam membatalkan pernikahan. Tidak akan lebih dari itu. Karena kalau iya, keluarganya tak bakal menerima Argani untuk putri mereka. Iya, kan?
Selain kamar dan halaman belakang, Renjana juga suka ruang makan rumah mereka yang satu bagian dindingnya ful kaca, menampilkan halaman samping yang asri dengan kolam ikan berukuran kecil dan air mancur buatan yang mengalir. Suara gemerisik air yang jatuh dan mengalir terdengar begitu menenangkan. Ditambah hawa sejuk karena beberapa tumbuhan bonsai di pot-pot besar membuat suasana makin asri. Pun kicau burung di sangkar besar yang terletak di pojok teras samping makin membuatnya jatuh cinta dengan tempat ini. Seperti surga impian.
“Aku penasaran,” ujar Renjana begitu selesai dengan satu suapan, “seberapa baik hubungan kita dulu. Kamu sepertinya tahu betul semua yang aku suka. Kecuali ... tentang rumah yang terlalu mewah.”
Kunyahan Argani terhenti sejenak mendengar pertanyaan tersebut. Ia mengangkat kepala menghadap Renjana dengan tatapan itu lagi. Dalam dan penuh rahasia. “Sebenarnya tidak terlalu baik.”
“Oh ya?” Renjana meragukan itu.
Argani mengunyah pelan sebelum menelan makanan dalam mulut dan mengambil minum di sebelahnya. “Kita lebih sering bertengkar.”
“Pertengkaran dalam sebuah hubungan itu biasa.”
Yang Argani balas hanya dengan senyum kecil. “Mungkin.”
“Apakah rumah ini kita pilih bersama?” Wanita itu kembali menyendok nasi dan sayur, lalu menyuapkan ke dalam mulut dengan tetap memperhatikan Argani yang kini menunduk ke piringnya sendiri dan berusaha memotong daging dengan pelan.
“Tidak.” Suaranya agak berat dan serak. “Aku membeli rumah ini dari hasil lelang bank. Lalu aku merenovasi beberapa bagian sesuai dengan selera kamu.”
Renjana mengangguk-angguk. “Apa aku ikut andil dalam merenovasi rumah ini?” Dia memasukkan sendok yang sudah diisi ke dalam mulutnya.
“Tidak juga.”
Jawaban yang terdengar jujur itu membuat Renjana mengernyit, tetapi ia tetap berusaha berpikir positif. “Oh, aku tahu. Kamu pasti menyiapkan rumah ini untuk kejutan setelah pernikahan kita, kan? Yang sayang gagal karena aku mengalami kecelakaan dan amnesia,” tebaknya dengan nada yang dibuat seceria mungkin, karena kini ekspresi wajah Argani makin gelap.
Senyum yang kemudian Argani tampilkan kelewat manis dan sedikit tak disukainya. “Kira-kira memang begitu. Kamu suka, kan?” Lalu wajahnya kembali melembut.
Ah, Renjana mendadak kenyang. Sepertinya memang ada kebohongan dalam hubungan mereka. Tetapi apa? Itukah yang menyebabkannya tidak fokus menyetir dan mengalami kecelakaan?
Menghabiskan setengah gelas air mineral, Renjana bertanya sungguh-sungguh. “Perempuan tadi, kamu belum menjawab. Dia siapa?”
Argani mendesah. “Bukan orang penting, Re.”
“Tapi aku ingin tahu. Tidak bolehkah?”
“Kamu tidak akan senang mendengarnya.”
“Karena?” Bukan Renjana namanya kalau tidak keras kepala. Sepertinya, dia memang tipe orang yang bisa menerima satu penjelasan dengan mudah. Dan perlahan, Renjana bisa sedikit-sedikit mulai mengenali sifatnya. Salah satunya ini. Kepala batu.
Napas panjang terembus dari hidung Argani. Ia memundurkan punggung menjauh dari meja makan. “Dia mantan tunanganku.”
Oh. Renjana berkedip lambat. Ia mengambil kembali gelas minumnya yang isinya tinggal separuh dan meneguk hingga tetes terakhir. “Dia datang untuk apa?”
Kedikan bahu kecil, Argani lakukan sebagai jawaban. “Hanya mengucapkan selamat pernikahan.”
“Apakah aku yang membuat pertunangan kalian batal?”
“Ya dan tidak.”
Renjana tidak mengerti dengan jawaban itu, dan seperti tahu isi kepala istrinya, Argani menjelaskan. “Kami dijodohkan awalnya. Tetapi kemudian aku menentang karena lebih memilih kamu.”
Itu jawaban yang jujur. Renjana tahu dari tekanan nada dan tatapan mata Argani yang sama sekali tidak menghindar. Jawaban yang seharusnya membuat ia merasa lega, bukan justru tak nyaman.
Ternyata, banyak hal di masa lalu yang terjadi. Hal-hal yang cukup rumit dan membingungkan. Mungkin karena itu akhirnya otaknya memilih untuk melupakan segalanya dan memulai dengan ingatan baru. Renjana harus menerimanya. Barangkali memang itulah yang terbaik. Untuknya. Untuk mereka.
Melepaskan sendok dari tangan kanannya, Renjana raih salah satu tangan Argani dan menggenggam dengan cukup erat sesaat sebelum kemudian ia beri elusan pelan. “Aku melupakan segalanya, Argani. Maaf. Aku bahkan sempat meragukan kamu dan hubungan kita. Maaf. Tetapi mulai sekarang, aku mau belajar lagi. Aku mau membuat kenangan lagi. Aku mau mengukir masa depan. Dengan kamu. Dan semoga semua lebih baik ketimbang dulu. Apa pun itu, Renjana di masa lalu pasti tidak salah memilih seseorang sebagai teman hidup untuk masa mendatang. Dan aku harap kamu mau bersabar.”
Argani balas genggamannya tanpa berani balas menatap. Dia hanya memandang ke arah tangan mereka yang bertaut dan mengangguk pelan. “Masa lalu yang tidak menyenangkan memang sebaiknya dilupakan, Re.”
***
Pengen rajin update setelah ini. Doain ya, biar bisa fast update kayak cerita2 sebelumnya….
Bdw, ada yang nungguin ini nggak sih? Suka juga nggak? Kalo banyak yang suka kan saya jadi semangat nanti ngetiknyaaa….
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top