BAB 6



Kata-kata adiknya berhasil membuat Renjana termenung di sepanjang jalan, bahkan sampai ke rumah. Kalau dipikir-pikir, yang Riani bilang memang benar. Iya kalau dirinya berhasil mengingat setelah berusaha mencari tahu, kalau ternyata tidak, bukankah semua hanya akan menjadi kesia-siaan?

Namun kendati demikian, kata-kata terakhir adiknya agak janggal. Terlalu buruk untuk dikenang? Apa yang terlalu buruk?

Oh, ya ampun! Renjana memukul kepalanya sendiri, berharap sekali untuk tak berpikir yang bukan-bukan. Harusnya ia cukup fokus ke depan, seperti saran si bungsu, merangkai kembali kenangan baru dan biarkan yang lama berlalu. Ya, seharusnya begitu.

Andai semua semudah yang dikatakan. Renjana mendesah. Ia memeluk dirinya sendiri dengan pandangan kosong pada air yang tampak tenang di bawah sana, menampilkan sosoknya dalam balutan dress biru, hingga daun kering yang kemudian jatuh dari dahan pohon tak jauh dari sana membuyarkan segalanya, menciptakan riak hingga bayangan Renjana berubah samar dan menghilang perlahan.

“Aku cari ke mana-mana, ternyata kamu di sini.”

Suara berat itu berhasil menarik perhatian dari air. Argani. Renjana menoleh, ia berusaha tersenyum untuk menyambut. “Hanya mencari udara segar.”

“Sudah mau petang.” Argani memasukkan tangan ke dalam saku celana kerjanya yang belum diganti. Jas yang dipakainya tadi pagi entah di mana kini, pun dasinya tak lagi membelenggu leher panjang lelaki itu. Hanya tinggal kemeja yang tampak mulai kusut dengan kancing depan yang terbuka dua bagian serta lengan baju yang digulung asal hingga siku. “Kamu tidak takut sendirian di sini?” Lelaki itu berdiri di sisinya nyaris tanpa jarak. Satu suara dalam kepala Renjana yang entah dari mana datangnya berbisik agar ia sedikit bergeser dan memberi lebih banyak ruang hampa di antara mereka, tetapi Renjana berhasil menahan diri. Kenapa pula ia harus menghindar? Ini kehidupan barunya. Argani pasangan yang dipilihnya. Laki-laki yang mencintainya. Barangkali sebelum kecelakaan mereka sempat bertengkar atau bagaimana sehingga alam bawah sadar Renjana tak mengizinkan ia terlalu dekat dengan lelaki ini. Mungkin.

“Aku suka di sini.” Renjana menghirup udara yang cukup segar, mengabaikan perasaannya yang kembali tak nyaman sejak kedatangan sang suami.

Halaman belakang rumah Argani begitu luas dan asri dengan banyak bunga dan tumbuhan, pun kini ia sedang berdiri di tepi danau buatan berukuran cukup luas. Hampir lima belas meter panjangnya dan lebar kira-kira tujuh meter. Terdapat perahu kayu yang hampir lapuk di tepi berlawanan yang ingin sekali Renjana coba naiki. Sepertinya menyenangkan, sayang ia tidak berani. Salah-salah, dirinya bisa jatuh tercebur.

Seolah tahu yang sedang ia pikirkan, Argani mengeluarkan satu tangan dari saku celana dan menawarkannya pada sang istri. “Mau coba naik perahu?”

Renjana menoleh, menatap wajah tegas Argani dan tangan besar itu bergantian. Ada segaris senyum simpul di bibir lelaki itu, juga binar menyenangkan yang terpancar dalam tatapan jernihnya. Renjana, menatap mata tersebut agak lama, berusaha mencari-cari sesuatu yang bahkan ia sendiri tak tahu.

Di sana, dalam telaga bening suaminya, hanya ada sosok Renjana kala itu. Bukan yang lain.

Benar, kenapa tak jalani saja. Apa kurang dari Argani? Dia tampak tulus mencintai, pun tahu yang Renjana mau. Selalu berusaha memberikan yang terbaik untuknya. Serakah sekali kalau Renjana masih menginginkan lebih dengan mencari tahu masa lalu yang belum tentu bisa memberikan jawaban apa pun.

Menahan napas sejenak, Renjana terima uluran tangan suaminya yang langsung melingkupi jari kemari kecil wanita itu dengan kehangatan yang mulai ia kenali. Telapak Argani besar dan agak kasar, bukti bahwa ia pekerja keras. Kendati demikian, terasa cukup menyenangkan di atas kulitnya. Meski setengah ragu, Renjana memberanikan dirinya membalas genggaman itu, dan bersama mereka melangkah ke arah perahu yang terombang-ambing di sisi seberang.

Ya, Renjana sudah mengambil keputusan. Ia akan terus melangkah. Bersama Argani di sampingnya. Belajar kembali untuk mencintai lelaki itu, yang kini sudah menjadi suaminya.

Apa pun yang akan ia temukan nanti, akan diterima dengan dada yang lebih lapang. Lagi pula, anugerah apa yang lebih besar dari pasangan yang mencintai lebih dari dirinya sendiri?

Renjana hanya harus belajar menerima kenyataan dan menyingkirkan kejanggalan yang sampai kini terus menghantui. Lebih dari itu, ia sudah lelah menebak-nebak sendiri.

Argani memperlakukan Renjana dengan begitu lembut dan penuh kasih sayang. Dengan hati-hati ia menuntun sang istri menaiki rangkaian kayu yang mulai lapuk itu dan memastikannya tidak terjatuh. Argani bahkan memegangi bagian bawah pakaian Renjana agar tidak basah, mengabaikan sepatunya yang sudah kotor lantaran tak sengaja menginjak bagian pinggir danau yang berlumpur.

Setelah Renjana duduk dengan nyaman di atas perahu, barulah Argani menyusul dan mengambil tempat di depan wanita itu, berhadapan. Ia kemudian mengembuskan napas lega, karena ternyata lumayan butuh perjuangan untuk bisa berada di sana.

Melihat wajah Argani yang sampai berkeringat, Renjana spontan tertawa kecil. Tawa sungguhan, bukan jenis kebahagiaan pura-pura seperti yang selama ini ia paksakan untuk menghargai jasa lelaki ini.

Melihat itu, Argani menaikkan satu alis. “Kenapa?”

Renjana menggeleng pelan sebagai jawaban. “Kamu tidak pernah naik perahu sebelumnya, ya?” Ia balas dengan tanya setelah tawanya mereda. Ia menatap Argani ssetengah geli.

Yang ditanya meringis. “Sering. Tapi bukan jenis perahu tua dan kecil begini.” Ia mengedik ke bawah, pada rangka kayu yang kini mereka naiki. Dengan ragu, Argani mencoba memegangi dua dayung di sisi kanan dan kiri, lalu mulai memutarnya hingga perahu itu menjauh dari tepi. Membuat Renjana spontan berpegangan erat pada alas tempat duduknya.

“Kamu yakin akan mendayung? Bisa berabe kalau kita tidak bisa kembali.”

“Tenang, kalau pun kita terjebak di tengah danau, tinggal teriak panggil tukang kebun.”

Mendengar jawaban asal itu, Renjana refleks memukul paha Argani. “Kamu gila!” pekiknya seraya tertawa, lebih lepas dan keras dari sebelumnya. Dan untuk kali pertama semenjak bangun dari kecelakaan, ia benar-benar merasa cukup segar. “Bagaimana kalau tidak ada yang mendengar teriakan kita?”

“Kita bisa melompat dan berenang ke tepi.”

“Kita bisa tenggelam, Ar.”

Argani tampak terkejut, sejenak. Bola matanya sedikit melebar, entah karena apa. Karena baru memikirkan kemungkinan mereka tenggelam kah? Lalu seperti tak ada apa pun, ekspresinya kembali melembut. “Danau ini tidak terlalu dalam, Re. Lagi pula, kamu tidak akan tenggelam.”

Re. Renjana berkedip pelan. Apa dulu itu panggilan Argani untuknya, di saat yang lain menyebutnya dengan Jana? Entah mengapa, Renjana menyukai itu. “Bagaimana kamu bisa seyakin itu? Aku bahkan yakin kamu tidak tahu pasti kedalaman danau ini.”

“Memang tidak.”

“Lantas?”

“Kamu lebih jago berenang dariku.”

Dan lagi, Renjana kembali tergelak. “Oh ya?”

“Kalau tidak percaya, coba saja.”

Kalimat itu seperti tantangan. Dan Renjana benar-benar tertarik untuk mencoba, mencari tahu kebenaran informasi yang baru suaminya katakan. Benarkah ia pandai berenang?

“Jangan coba-coba, Re!” ujar Argani dengan tatapan ngeri, barangkali karena melihat reaksi Renjana yang kemudian menatap penuh minat ke arah air danau bening di bawah mereka.

“Kenapa kamu tampak khawatir? Bukankah aku pandai berenang?”

“Lalu karena itu kamu nekat melompat dan benar-benar berenang ke tepi dan meninggalkanku terombang-ambing sendirian di atas perahu tanpa tahu cara kembali?”

Renjana menelengkan kepala, menatap Argani yang tampak makin ngeri. “Kamu takut?”

“Renjana!”

“Kamu juga bisa melompat. Dan kita berenang bersama ke tepi. Itu solusi yang bagus.” Renjana mengangguk-angguk, merasa sudah memberi jalan keluar terbaik untuk mereka.

“Jangan berani-berani!”

“Atau ....” Ia makin menelengkan kepala dan memandang Argani dengan tatapan penuh goda. “Kamu tidak bisa berenang?”

Sang lawan bicara membuang muka. Satu gesture yang menjawab pertanyaan Renjana tanpa kata.

Mengetahui fakta tersebut, Renjana tentu terperangah. Ia menyentuh salah satu tangan suaminya yang masih berada di atas dayung dan sedikit mengguncangnya. “Kamu sungguh tidak bisa berenang?”

“Sepertinya kamu bahagia sekali dengan fakta ini, ya.”

“Lalu, dari mana munculnya otot-otot dan tubuh yang tinggi ini?” Ia kemudian menekan-nekan otot di lengan Argani dengan gerak setengah mengejek.

“Jenis olahraga bukan hanya renang,” jawab Argani setengah tersinggung.

“Oh ya ampun,” Renjana membuat tatapan seperti mengasihani, “Siapa sangka bapak Argani ternyata tidak bisa berenang. Pantas saja tadi kamu sampai keringatan, ternyata karena takut air.”

“Aku tidak takut air.” Argani setengah mendesis, tapi justru tampak menggemaskan dan membuat Renjana bertambah geli.

“Iya kah?” Wanita itu makin jadi menggoda. Ia bahkan mulai menggoyang-goyangkan perahu pelan hingga rangka kayu tua itu menjadi tak stabil.

“Renjanaaa!”

Renjana tertawa kian kencang, tak kuasa melihat ekspresi waswas suaminya. Tidak tega, ia pun mengangkat tangan ke udara dan menghentikan aksi konyol tadi, tapi rupanya perahu tua itu tak bisa diajak kompromi dan menjadi makin oleng seiring dengan guncangan tubuh Renjana yang tertawa terbahak-bahak.

Lalu tanpa aba-aba, perahu itu pun berbalik dan menceburkan pasangan itu ke dalam air danau yang ternyata sangat dingin.

Dan siapa tadi yang bilang bahwa danau tersebut tidak terlalu dalam? Tentu saja itu bohong. Karena Renjana kesulitan bahkan nyaris tak bisa menyentuh dasar. Cepat-cepat ia keluar dari balik perahu dan naik ke permukaan hanya untuk mendapati Argani yang berusaha menggapai-gapaikan tangan ke udara sebagai upaya agar tak tenggelam.

Siapa sangka, lelaki itu sungguh tak bisa berenang sedang Renjana bisa dengan mudah mengapungkan tubuh di permukaan.

Khawatir, Renjana segera berenang ke arah suaminya dan menarik tubuh besar itu ke atas agar bisa kembali bernapas, lantas menggiringnya ke tepi danau yang ternyata lumayan jauh karena ternyata posisi mereka sudah ada di tengah.

Argani megap-megap. Ia bernapas lega begitu sudah sampai di tepi, lantas merebahkan diri ke rumput hias yang terpangkas rapi di sana.

“Maaf. Seharusnya aku tidak bercanda seperti tadi.” Renjana menunduk di atas tubuh tinggi besar Argani yang tampak kalah dan basah kuyup dengan wajah penuh sesal.

Dengan napas masih tersengal, Argani menjawab, “Maaf diterima dengan satu syarat.”

“Apa?”

“Sepertinya saya butuh napas buatan.”

Renjana menyipitkan mata. “Ini modus namanya.” Yang dibalas Argani dengan kedikan ringan.

“Napas buatan, atau tidak termaafkan?”

Pura-pura berdecih, Renjana menarik napas panjang kemudian sebelum makin menunduk dan memberikan syarat yang suaminya minta. Yang kali ini ia lakukan dengan perasaan lebih ringan, tak tertekan seperti sebelumnya setiap kali mereka bersentuhan.

Dan ya, kali ini berbeda. Renjana merasa bibirnya sedikit geli saat menyentuh bibir Argani yang sedikit gelap lantaran terlalu lama mengonsumsi nikotin, alih-alih takut. Napas lelaki itu segar dan beraroma campuran mint serta rokok.

Awalnya, Renjana sedikit ragu, bagaimana pun dirinya tak pernah memulai lebih dulu untuk mencium lelaki ini. Dan seperti menyadari itu, Argani menekan punggung istrinya untuk memperdalam ciuman mereka, lalu menggulingkan tubuh sang wanita hingga kini posisinya berada di atas, ia pun mulai memimpin sampai kemudian mereka nyaris kehilangan napas. Barulah kemudian Argani menjauhkan diri dengan wajah puas. “Maaf diterima,” katanya yang disambut Renjana dengan memberikan pukulan cukup kencang di bahu suaminya.

Argani ... oh, dia tergelak keras.

Renjana, ia menyadari tak lagi merasa terancam di sisi lelaki ini.

Siapa sangka, perahu sore itu berhasil membuat mereka lebih dekat.

***

Ciyeee … kayaknya ada yang mulai luluh, nih. Wkwkwk …. Andai Renjana bisa inget masa lalu😌

Yang penasaran bisa baca duluan di karyakarsa, ya. Di sana usah bab 20, loh ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top