BAB 36
Bumi berputar. Waktu berjalan. Musim berganti. Tetapi mengapa kenang tetap diam? Tak berubah pun tidak mau hilang. Tetap dalam ingatan. Menumpuk. Berdebu. Dan tak terlupakan.
Hanya satu kali pertemuan, yang bahkan lebih daripada singkat, kenangan yang sudah terkunci rapat dalam kotak pandora dalam ingatan, kembali muncul ke permukaan, seiring dengan rasa sesak yang enggan hengkang.
Seharusnya, semua baik-baik saja. Pertemuan tak terduga sudah pernah Renjana kira. Dan dalam rencananya, ia akan bersikap biasa. Selayaknya bertemu teman lama. Argani akan menyapa, dan ia membalas sapaan tersebut dengan perasaan ringan tanpa beban.
Pun dengan anak itu. Renjana sudah pernah membayangkan sebelumnya. Putri Argani di masa depan kemungkinan akan mencari ibu kandungnya. Renjana telah menata hati untuk masa itu.
Namun, semua buyar saat kenyataan yang lebih dulu bicara. Putri Argani bahagia dengan ayahnya, tampak tek terlalu butuh sosok ibu. Atau mungkin ia sudah memiliki ibu baru? Bisa jadi. Kemungkinan yang entah mengapa berhasil membuat suasana hati Renjana makin buruk.
Wanita itu membuka mata yang sejak berjam-jam lalu berusaha ditutup rapat. Berbagai macam doa ia baca. Bahkan Renjana sudah menghitung dari satu sampai lima ribu. Akan tetapi lelap tak juga menjemput kesadarannya. Mimpi indah entah berada di mana. Renjana tak bisa tidur. Sama sekali.
Ingatan kemarin sore terus menghantui dan selalu berulang-berulang dalam kepala. Suara tawa bernada rendah dan berat itu berputar bagai kaset rusak. Sungguh membisingi kepala.
Renjana yakin betul, mereka sempat saling temu pandang. Sekilas. Yang sontak membuat tawa lelaki itu terhenti begitu saja. Pun wajahnya yang praktis berubah kaku dan dingin.
Lalu saat mereka berpapasan--Renjana menghela napas panjang berusaha mengurangi sesak sialan yang muncul di balik dada--kenapa Argani harus bersikap seolah tak mengenalnya?
Tak ada sapaan, walau sekadar hai. Atau dia sedang sariawan? Tetapi sariawan tak seharusnya menghalangi seseorang untuk tersenyum.
Oh, jangankan tersenyum, melirik saja tidak.
Atau mungkin dia pernah kecelakaan dan hilang ingatan? Barangkali karma atas kejahatannya di masa lalu terhadap ia dan Dirga?
Bisa jadi.
Namun ... kalau benar dia hilang ingatan, kenapa tawanya langsung menghilang begitu bersitatap dengan Renjana. Itu tak mungkin kebetulan, karena terlalu tiba-tiba.
Sialan! Renjana menendang selimut dengan kesal.
Argani sialan! Bahkan setelah lima tahun berlalu, dia masih saja membuat hidup Renjana tidak tenang.
Demi apa pun, Renjana hanya pernah melakukan satu kesalahan di masa lalu; menolak cintanya di depan umum. Tetapi kenapa ia mendapat balasan yang sebanyak ini?
Ugh, sudahlah. Lupakan Argani. Sekarang, pikirkan bagaimana cara tidur dengan tenang. Itu saja.
Melirik jam dinding yang menempel bagian tembok kiri, Renjana bangkit dari ranjang. Sudah pukul setengah satu dini hari, dan matanya belum juga mau diajak kompromi. Akhirnya Renjana keluar kamar dan melakukan olahraga ringan, hanya agar fisiknya kelelahan dan bisa tidur dengan nyenyak.
Untungnya berhasil. Sialnya dia kesiangan. Padahal kemarin Simon sudah mengirim jadwal untuk hari ini dan memintanya datang lebih pagi, bukan malah terlambat.
Benar, bosnya adalah suami Joanne, tapi bukan berarti Renjana menjadi anak emas di perusahaan. Meski ya, ia bisa bekerja di kantor itu berkat koneksi orang dalam. Lebih tepatnya mungkin rekomendasi. Saat itu Simon sedang butuh sekretaris baru karena sekretaris lamanya mengundurkan diri setelah menikah, sedang Renjana cukup mumpung di bidang itu dan masih sesuai dengan jurusan kuliah serta pengalaman bekerjanya. Jadilah Joanne merekomendasikan sang sahabat yang kemudian Simon terima dengan syarat. Percobaan tiga bulan. Kalau cocok lanjut, tidak cocok ya didepak.
Terbukti, Renjana bertahan hampir lima tahun ini di posisi yang sama. Simon memiliki banyak klien bisnis, salah satunya Argani. Tetapi Simon yang mengetahui kisahnya dengan lelaki itu, menghargai Renjana. Dia tidak pernah mengajaknya pergi rapat bila dengan Argani dan lebih memilih asisten pribadinya menemani.
Simon dan Joanne memang sebaik itu. Orang-orang baik yang Tuhan kirimkan saat Renjana sedang dalam keadaan sehancur-hancurnya.
Sudah lebih dari terlambat saat Renjana tiba di kantor. Saat itu sudah pukul sembilan pagi.
Dengan napas terengah, Renjana berjalan setengah berlari begitu keluar dari lift, melewati lorong pendek menuju meja kerjanya. Tiba di sana, ia lantas melempar tas ke atas meja dan berdiri tegap untuk mengatur ritme pernapasan yang berantakan. Setelah dirasa mulai tenang, Renjana mengambil beberapa folder untuk dibawa ke ruang Simon seperti yang kemarin bosnya minta.
Semoga Simon tidak marah. Semoga. Ia masih ingat betul betapa menyeramkannya lelaki itu saat dikuasai emosi. Renjana pernah melakukan kesalahan beberapa kali, dan kena dampak keras dari sang atasan. Saat ini, Renjana hanya bisa berdoa semoga Simon dalam suasana hati yang sangat bagus agar kesalahan Renjana kali ini terampil.
Mengetuk pintu ruang kerja sang atasan, suara di dalam sana menyerukan untuk masuk. Renjana menurut. Ia membuka pintu dan melangkah pelan tetapi mantap dalam setiap jejak. Di balik meja, bosnya membelakangi, duduk menghadap jendela besar yang menampilkan keindahan Ibukota. Hanya sebagian lengan atas dan sedikit kepalanya yang yang tampak mengingat kursi kerja itu memiliki sandaran yang cukup besar.
"Selamat pagi, Pak. Saya ingin mengantarkan berkas sesuai instruksi Bapak via daring semalam."
"Sudah jam berapa sekarang?"
Renjana mengernyit. Ada yang aneh dengan suara bosnya. Agam sedikit berbeda. Mungkinkah dua sedang tidak emak badan? "Maaf, Pak. Saya terlambat."
"Saya bertanya, jam berapa sekarang?"
Ugh. Tamatlah Renjana. Sepertinya suasana hati sang atasan sedang tidak baik-baik saja. Renjana mengembuskan napas pelan. Ia jam dinding di sisi kiri. "Jam sembilan lewat lima belas menit, Pak."
"Kantor di mulai jam berapa?"
Renjana meringis. "Delapan."
"Satu jam kamu bilang terlambat?" tanya lelaki itu retoris. "Andai jadi kamu, saya tidak akan pernah mau datang lagi ke perusahaan ini."
Renjana menelan ludah kelat. Apa maksudnya ini ... Renjana dipecat?
Mana mungkin. Ia pernah melakukan kesalahan yang lebih dari sekadar terlambat, tetapi Simon memaafkan meski dengan konsekuensi potong gaji di bulan itu. "Bapak tahu, saya baru selesai cuti seminggu, dan kemarin baru pulang dari Bali. Saya jadi agak lelah, itu salah satu faktor yang membuat saya bangun kesiangan. Maaf, Pak. Saya tahu ini tidak bisa dijadikan alasan. Saya hanya mengatakan yang sebenarnya."
Sang lawan bicara mendengus. Mendengus! Sejak kapan Simon suka mendengus?
"Saya juga baru pulang liburan dari Eropa, tapi saya bisa datang ke kantor tepat waktu."
Renjana mengernyit. Setahu Renjana, Simon tidak ke mana-mana. Bahkan istri lelaki itu yang kemarin menjemputnya ke Bandara. Jadi, kapan dia punya waktu terbang ke Eropa? "Kapan Bapak sempat pergi sejauh itu?"
"Kenapa kamu harus tahu?" Kursi yang diduduki si bos berputar, kemudian menghadap padanya. Dan--
--Renjana terbelalak. Mulutnya praktis menganga lebar. Dan ia kehilangan napas seketika.
Dia bukan Simon! Ya ampun, bukan!
Tanpa sadar, Renjana mengambil satu langkah mundur. Terlalu terkejut. Sangat. Hingga refleks tubuh membawanya menjauh.
Kejutan apa lagi ini?
"Kamu!" Ia menuding dengan suara tercekat. "Sedang apa kamu di sini?"
Dia ... Argani, mengernyit samar. Tatapannya lurus. Tampak sama terkejutnya, tapi lebih bisa mengatur ekspresi. Lelaki itu kemudian meneliti penampilan sang lawan bicara, dari ujung kaki hingga kepala, sukses membuat Renjan sedikit salah tingkah tapi tetap berusaha bersikap baik-baik saja.
Oh, pantas suaranya berbeda. Dan jauh lebih menakutkan dari Simon. Lebih keras. Lebih menyebalkan. Dan gara-gara dirinyalah Renjana terlambat datang ke kantor. Sialan.
Apa katanya tadi? Baru pulang liburan dari Eropa? Itukah mengapa kemarin dia ada di bandara?
Ah, lupakan. Ada yang jauh lebih penting dari itu.
"Di mana Pak Simon? Kenapa kamu yang menempati meja ini?"
Argani menautkan jari-jemari di depan dada. Wajahnya datar sekali. Dia berkedip lambat, salah satu hal menyebalkan lain dari lelaki itu. "Jadi kamu sekretaris Simon." Bukan pertanyaan. "Tidak profesional ternyata. Liburan dijadikan alasan datang terlambat bekerja."
"Bukan urusan kamu!"
"Sekarang tentu urusan saya."
Renjana menyipit, ia berkata setengah mendesis, "Kita sudah berpisah jauh sebelum ini, Argani. Dan kamu sudah berjanji tidak akan mengganggu hidupku lagi."
Satu alis Argani terangkat. "Tidan bisakah kamu bersikap lebih sopan?"
"Kenapa harus?!"
"Karena mulai hari ini, saya bos di sini."
Renjana tertawa. Benar-benar tertawa meski tahu tak ada yang lucu sama sekali. "Jangan bercanda!" tukasnya kemudian. Lalu tawanya berhenti, "Jangan bilang kamu melakukan kejahatan lagi untuk mendapatkan aku?"
Alis Argani bergerak makin tinggi, ia bahkan menelengkan kepala, tampak tak habis pikir sama sekali. "Apa kamu sempat berkaca sebelum berangkat ke kantor?"
"Tentu saja!"
"Lantas, berapa nilaimu untuk diri sendiri sampai kamu berpikir saya akan melakukan kejahatan untuk mendapatkan--" lelaki itu meneliti dengan seksama sosok Renjana dengan tampang tak tertarik--"kamu?"
Telak.
Sombong sekali dia. Padahal dulu lelaki menyebalkan itu nekat menabrak mobilnya untuk memiliki Renjana. Hanya karena sekarang dia mungkin sudah berhasil melupakannya, jadi merasa di atas angin, eh?
Namun lebih dari itu, Renjana jadi malu sendiri. Sialan. Argani sialan.
"Kalau tidak melakukan kejahatan, bagaimana bisa kamu yang menjadi bos sekarang?"
"Simon memindahkan sebagian besar saham padaku. Seharusnya kamu sudah tahu artinya itu."
Renjana menelan ludah. Lagi. Ia berkedip cepat, mendadak teringat pada ocehan Joanne kemarin di mobil yang tak terlalu ia haraukan. Akuisisi.
Ya ampun, apa itu berarti ... Argani bos sekarang? Dan Renjana--
Sekretarisnya.
"Jangan bercanda!" Renjana menolak menerima kenyataan. "Pak Simon tidak mengatakan apa pun pada saya!"
"Kenapa harus?"
"Karena saya sekretarisnya!"
Argani tersenyum separo, setengah mengejek. "Sekretaris yang lebih memilih liburan saat perasaan sedang kesulitan."
Jleb sekali.
Sejujurnya, Renajana sudah menduga ini. Dan Simon pernah beberapa kali membahasnya, tentang kemungkinan untuk melakukan merger dan menyerahkan sebagian saham kepada pihak lain untuk menyelamatkan perusahaan yang hampir kolaps.
Namun, mengapa harus Argani?
Takdir macam apa ini? Kenapa ... kenapa ... oh, Renjana tidak mengerti. Di dunia yang luas ini, banyak manusia lainnya yang lebih berkuasa dan mumpuni, bukan hanya lelaki sombong ini.
Andai bisa. Ia ingin mekundurkan diri sekarang juga. Sayangnya, ia baru menandatangani perpanjangan kontrak tiga bulan lalu.
"Saya terlambat. Sangat terlambat. Satu kesalahan yang mungkin fatal. Saya pantas dipecat."
"Ah," Argani mengembuskan napas panjang seraya bersandar pada punggung kursi kerja. "Saya tidak memecat karyawan hanya karena satu kesalahan, jadi untuk saat ini kamu saya ampuni."
Ternyata dua masih iblis dari neraka!
***
Gimana gimana gimana? Makin seruuuu kaaannn …
Wkwkwk … mereka ketemu lagi. Dan bener2 ketemu kali ini😂
Semoga selalu suka, yaaaa ….
Yang kepo mau maraton duluan bisa langsung cus ke keryakarsa. Yaa ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top