BAB 35


Matahari mulai turun saat pesawat yang Renjana naiki mendarat dengan sempurna di bandara internasional Ibukota. Dengan perasaan ringan, ia melangkah santai menyusuri bangunan besar itu menuju pintu keluar. Ugh, lupakan acara liburannya yang kurang menyenangkan lantaran kedatangan Dirga yang tanpa undangan. Beruntung ia selalu bisa menghindar dari lelaki tersebut dan tak sekali pun bertemu. Dan untuk itu, Renjana harus menonaktifkan ponselnya di tiga hari terakhir masa liburan yang seharusnya indah.

Ah, sudahlah. Lupakan. Masih ada tahun depan.

Renjana mendesah. Seseorang sudah menunggu di tempat parkir sejak hampir satu jam lalu dan beberapa kali menelepon hanya untuk meminta agar Renjana lekas ke sana. Berlari kalau perlu, yang Renjana balas hanya dengan dengusan dan gulir mata jengah

“Gue sudah bilang kan, kemungkinan gue tiba pukul tiga. Siapa suruh berangkat menjemput lebih awal?”

“Ya gue kan cuma nggak mau lo kelamaan nunggu. Kasihan. Kayak anak ilang.”

Renjana berdecak. “Akhirnya, lo yang lama nunggu. Dan nyalain gue. Padahal, salah siapa coba?”

Suara di seberang saluran terdengar bersungut-sungut, yang berusaha tak Renjana pedulikan. Ia tetap melangkah santai sambil menyeret koper berukuran sedang yang dibawanya pergi libur selama hampir satu minggu ke Pulau Dewata. Sendirian. Menikmati waktu dengan dirinya sendiri cukup menyenangkan. Toh, dia memang hampir tidak memiliki siapa pun di dunia ini. Kecuali mungkin seseorang yang kini menunggunya di parkiran dan menolak menjemput ke terminal kedatangan--lupakan orangtuanya yang marah besar lantaran Renjana memilih bercerai dengan Argani dan tak menerimanya di rumah, toh Renjana memang tidak prnah berniat kembali ke sana. Ia suka dengan hidupnya yang sekarang.

Renjana menarik napas panjang saat sambungan telepon dimatikan sepihak. Ia mengedik, tak ingin ambil pusing dan mulai mempercepat langkah seraya menurunkan kembali ponselnya dari telinga, takut seseorang di sana makin merajuk dan meninggalkannya di bandara. Bisa repot nanti.

"Hahaha ... awas kamu nanti!"

Suara tawa dari kejauhan terdengar di antara hiruk pikuk bandara yang ramai, terdengar paling nyaring dan renyah. Berat serta rendah. Cukup familier. Pun berhasil membuat salah satu organ di balik dadanya bergetar pelan.

Seketika, langkah Renjana terhenti. Pun napas yang seperti menemukan titik jeda. Sejenak. Hanya sejenak tapi berhasil membuat dunianya jungkir balik. Menguapkan ketenangan yang berhasil didapatkannya setelah liburan. Merusak seluruh kekuatan yang berhasil terhimpun untuk menjalani hari selama satu tahun ke depan sebagai sekretaris dari bos yang gila kerja. Ugh, itu sungguh menguras tenaga, Renjana hampir tak bisa bernapas dibuatnya.

Renjana menoleh ke kanan dan kiri, mencari sumber suara itu. Suara yang sukses membuat keringat dingin mengaliri punggungnya yang mendadak menggigil.

Lalu, napas Renjana terhenti begitu pandangannya menemukan yang dicari.

Dia di sana. Beberapa puluh langkah darinya. Di antara hilir mudik banyak manusia lainnya. Berjalan dengan langkah kecil untuk mengimbangi seseorang di sampingnya. Seorang gadis.

Gadis itu cantik sekali. Rambutnya ikal, terlalu ikal hingga tampak seperti keriting gantung buatan. Matanya bulat besar, penuh binar keceriaan. Pipi tembam. Bibir kecil yang tampak penuh. Dan saat ini dia sedang tersenyum pada seseorang di sampingnya. Laki-laki tinggi nan gagah dengan setelan santai yang tak lepas menggenggam jari-jemari mungil itu agar si kecil tidak berlari menjauh.

Ada kasih sayang di antara mereka. Cinta yang tulus, terpancar dari tatapan hangat yang entah mengapa membuat hati Renjana sakit saat melihatnya meski hanya dari kejauhan.

Renjana kenal tatapan itu. Wajah itu. Senyum itu. Kehangatan itu. Sesuatu yang dulu ia benci hingga ingin mati, tetapi kini justru sangat dirindukannya. Hanya saja, semua sudah terlambat. Sangat terlambat.

Waktu telah berlari begitu jauh, meninggalkan masa lalu. Renjana pernah menjadi manusia paling bahagia karena bisa lepas dari jerat pesona yang dianggapnya salah. Dan memang salah. Sialnya, kesalahan tersebut meninggalkan bekas luka yang besar di relung kalbu.

Tak perlu bertanya, Renjana tahu siapa gadis yang berada dalam gandengan si pria yang kini masih tertawa, seperti menikmati kejengkelan si kecil. Dia pasti ... putrinya. Atau lebih tepat ... putri mereka.

Barangkali tak tahan gemas, si pria langsung mengangkat sang putri ke dalam gendongan dan menyerang dengan ciuman bertubi-tubi di seluruh wajah mungil itu, masih sambil melangkah. Dua orang bersetelan hitam menyeret koper mereka di belakang.

Renjana masih di sana. Terdiam. Membisu. Kakinya seperti terpasung hingga dirinya tak bisa melangkah ke mana pun. Menatap pandangan di kejauhan sana dengan mata nanar. Dan seolah menyadari dirinya sedang diperhatikan, lelaki itu mengangkat kepala. Lalu tatapan mereka pun bertemu. Seketika ... tawa lelaki itu terhenti begitu saja. Wajah ramah dan bersahabat yang semula tampak di wajah itu menghilang, berganti ekspresi dingin tak tersentuh.

Dia mengubah posisi gendongan sang putri menjadi lebih nyaman seraya mengalihkan pandangan, tetap lurus ke depan tapi tidak pada Renjana. Dia terus melangkah hingga jarak mereka cukup dekat. Dan--

Renjana menelan ludah kelat.

--Dia melewatinya begitu saja, hanya meninggalkan bekas aroma parfum yang menguar di bandara. Aroma kayu--masih seperti dulu. Sama.sekali tak menyapa walau hanya sekadar kata 'hai'. Seakan mereka dua orang asing yang tak pernah saling mengenal sebelumnya. Seolah semesta mereka tak pernah bersinggungan dalam satu garis takdir. Seolah ... Renjana tidak pernah ada dalam dunianya. Dunia mereka.

Andai tak ada pegangan koper yang bisa dijadikan tumpuan, Renjana yakin akan mempermalukan diri dengan ambruk di tengah keramaian. Tubuhnya lemas. Lututnya gemetar. Dan hatinya sakit diabaikan.

Oh, bukan salah lelaki itu. Wajar kalau kini dia mengabaikan Renjana atau bahkan mungkin lupa sepenuhnya. Sejak awal, Renjana tidak menginginkan mereka. Sejak awal, dirinya yang ingin lepas. Dan Tuhan mengabulkan.

Sudah berapa tahun berlalu sejak itu? Tiga? Lima? Dilihat dari tinggi putri mereka, sepertinya sudah hampir enam tahun.

Enam tahun yang panjang.

Menyesal bukan lagi pilihan. Dan rindu yang kini menjeratnya merupakan sebuah kesalahan. Sebab tak seharusnya ia merasa demikian.

Mengedip-ngedipkan mata yang mendadak terasa panas, Renjana menahan diri untuk tidak menangis. Nyeri di ulu hati ia tahan. Bahkan lidahnya pun Renjana gigit hanya untuk tidak memanggil nama lelaki tersebut.

Mantan suaminya.

Argani. Yang terlihat jauh lebih matang ketimbang enam tahun lalu. Tubuhnya tinggi, tegap dengan otot-otot yang pas di beberapa bagian. Lebih dari itu, dia tampak seperti suami idaman sekaligus ayah yang sempurna. Caranya memperlakukan sang putri pasti membuat banyak anak merasa iri.

Mengeratkan genggamannya pada gagang koper, Renjana makin memelankan langkah. Katakan ia tolol, tapi entah mengapa ada harapan kecil suara berat itu akan memanggil namanya. Seperti dulu.

Satu.

Dua.

Dan--

Tiga.

Renjana menghitung dalam hati dengan perasaan tak menentu. Harap-harap cemas dalam level berlebih hingga tangan dan punggungnya terasa dingin.

Namun, tak ada apa pun. Sama sekali. Yang terdengar hanya derap ribuan langkah. Bunyi roda koper yang bergelinding di atas lantai, juga speaker yang memanggil penumpang. Selebihnya ... nihil.

Dengan tenggorokan yang terasa nyeri, Renjana berbalik, menatap ke belakang hanya untuk mendapati sosok Argani dan putrinya sudah terhalang manusia-manusia lain.

Renjana yakin, tadi Argani pasti melihatnya. Argani pasti mengenalinya, toh tidak banyak yang berubah dari Renjana. Penampilan masih sama. Wajah pun demikian. Hanya model rambut yang kini menjadi pendek.

Atau dia hanya berpura-pura tidak mengenalnya.

Ugh, soal. Seharusnya ia tak merasa kecewa. Seharusnya sesak ini tak perlu ada. Argani hanya bersikap tak acuh seperti orang asing. Biarkan saja. Tetapi kenapa Renjana malah merasa sedih?

Huh. Dasar laki-laki. Sombong sekali dia. Mungkin karena sudah berhasil melupakan Renjana, makanya dia bersikap semenyebalkan itu. Atau akarena dia sudah menikah lagi.

Bisa jadi.

Dan siapa istrinya yang sekarang? Chintya kah? Atau orang lain?

Siapa pun itu bukan urusan Renjana lagi. Tetapi mengapa hanya dengan memikirkan Argani sudah menikah lagi membuat hati Renjana ngilu?

Lupakan. Lupakan. Lupakan. Dia hanya lelaki kejam yang tak pantas dikenang.

Menarik napas panjang untuk mengisi paru-parunya yang terasa menyempit,  Renjana kembali berbalik dan kali ini melangkah lebih cepat. Ia butuh udara segar. Segera.

Keluar dari bandara, alih-alih udara segar, yang Renjana dapati justru wajah cemberut Joanne dan perutnya yang tampak hampir meledak. Di berdiri di sisi mobilnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada. "Lo tega banget. Ibu hamil besar dipaksa menunggu hampir satu jam. Untung gue nggak brokol di sini!"

Andai dalam keadaan lain, Renjana pasti akan membalas sungutan itu dengan memutar bola mata jengah dan berkata, "Bukan salah gue, kan."

Namun tidak dengan saat ini. Ia justru mengatakan sebaliknya. "Maaf," dengan nada Lesu dan wajah lelah. Praktis membuat Joanne menaikkan satu alis heran.

"Kenapa lo malah minta maaf?"

"Karena sudah membuat lo menunggu sekian lama."

Alis Joanne yang lain ikut terangkat. Makin heran. Kalimat itu terucap, tapi seolah bukan untuknya. Dan Renjana langsung bergerak begitu saja. Menuju mobil Joanne. Membuka bagasi. Memasukkan kopernya ke sana. Lalu ia membuka pintu mobil bagian penumpang, lantas duduk dengan manis.

Ah, tidak dengan manis. Wajahnya masam. Padahal tadi di telepon nadanya tak selelah barusan.

Apa yang telah terjadi dengan sahabatnya? Atau, dia orang lain yang sedang menyamar sebagai Renjana untuk menjebaknya?

Merasa tebakan terakhirnya terlalu konyol, Joanne menggeleng-gelengkan kepala dan ikut masuk ke dalam mobil. Ia mengambil tempat duduk di sebelah Renjana seraya meminta sopir melajukan kendaraan mereka.

Joanne membuka percakapan lebih dulu, "Kenapa muka lo jelek gitu?"

Renjana hanya mengedik pelan. "Nggak apa-apa."

"Lo marah sama gue?"

"Kenapa harus marah?"

"Karena gue bocorin perihal liburan lo ke Bali sama Dirga?"

"Kenapa gue harus marah hanya karena masalah sepele macam itu." Renjana memalingkan pandangan ke arah jendela mobil. Suasana hatinya sedang tidak bagus untuk mengobrol. Sedang di sampingnya, Joanne mengangguk-angguk dan mulai bercerita panjang lebar. Tentang kehamilannya. Suaminya. Masalah kantor yang sedang tidak baik-baik saja. Dan bahkan sampai akuisisi.

Entah apa yang diakuisisi. Renjana tidak terlalu memperhatikan. Pun tak begitu tertarik. Jadilah ia hanya menjawab dengan, "Hmm." Dan, "Hmmm." Juga, "Oh." Tanpa sama sekali menyimak. Pikirannya masih tertinggal di dalam Bandara. Tepatnya, pada salah satu pengunjung bernama Argani.

***

Harusnya sih saya update tadi malem, tapi ketiduran. Wkwkwk … hari sebelumnya nggak bisa karena ada suami di rumah. Maklum pejuang LDR. Jadi kalo suami lagi pulang maunya nempel dan lupa sama apdetan.  Maapkeun yaaa ….

 

Gimana bab ini? Mwehehehe ….

Yang mau maraton duluan sampe ekspart bisa langsung cus ke karyakarsa, yaa ^^

 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top