BAB 33


Dua hari pasca melahirkan di rumah sakit, Argani tak sekali pun muncul di hadapan Renjana. Terakhir kali, saat perawat datang membawa si bayi dan menawarkan bantuan untuk memberikan asi yang kemudian Renjana tolak. Setelah itu tak ada.

Usai menelepon seseorang untuk membelikan susu bagi anaknya, Argani langsung pamit pergi dengan membawa boks berisi bayi yang masih merah itu keluar ruangan. Entah ke mana. Dan sampai sekarang tak ada kabar. Hanya perawat yang sering datang untuk menanyakan kebutuhan dan membantunya ke kamar mandi. Sesekali ibunya.

Tak masalah sebenarnya. Toh, mereka sudah bukan suami istri lagi secara agama. Hanya secara hukum yang masih dalam proses. Hanya saja, haruskah setiba-tiba ini? Dia yang semula perhatian, seketika menghilang.

Renjana merasa sendirian. Kesepian. Ia sudah terbiasa ditemani. Terlanjur terbiasa. Ah, sial. Kenapa rasanya jadi semenyedihkan ini.

Berusaha memberulkan posisi duduk setengah berbaringnya yang mulai tak nyaman, Renjana meringis seraya menyentuh dadanya yang terasa nyeri. Tiga hari setelah melahirkan, payudaranya bengkak, tanda bahwa asi mulai diproduksi. Sakit sekali, bahkan tak jarang sampai merembes ke pakaian rawat yang dikenakannya.

"Mama tidak mengerti," ujar ibunya tadi malam sambil menatap bagian depan pakaian sang putri yang basah, "Kenapa tidak kamu susukan saja? Mengasihi memang berat, perih di awalnya. Tapi setelah terbiasa, akan menyenangkan, Jan. Kamu akan menikmati masa-masa itu, bahkan nanti akan merindukanmu setelah anakmu besar."

Renjana memilih untuk tidak menyahut. Ibunya belum mengetahui tentang keputusannya untuk pergi setelah melahirkan. Bahkan beliau juga tak tahu perihal Renjana yang sudah ditolak. Entah seheboh apa nanti kedua orangtuanya saat mendengar kabar tersebut.

Hari ketiga, Renjana sudah boleh pulang. Hanya sopir pribadi Argani dan dua asisten rumah tangga yang menjemput. Saat Renjana bertanya ke mana Tuan mereka, keduanya hanya mengatakan kalau Argani sedang sibuk. Padahal, Renjana tahu, Argani mengambil cuti kerja untuk satu minggu, dan ini baru hari keempat.

Begitu sampai di rumah, seorang asisten lain menghampiri. Ia berkata, "Tuan meminta Nyonya untuk ke ruangannya."

"Argani?" ulang Renjana, berusaha memastikan ia tak salah kira.

"Benar, Nyonya."

Renjana menelan ludah sebelum kemudian mengangguk. Langkah yang semula terarah ke kamar tidur, ia alihkan menuju ruang kerja Argani di sisi yang lain. Setiap jejak terambil, jantung Renjana tertabuh kian kencang. Darahnya berdesir saat ia menyentuh kenop pintu ruangan itu yang terasa dingin di telapak tangan.

Ugh, kenapa ia jadi panas dingin begini? Tuga hari tak bertemu, tidak seharusnya ia merasa senang dipanggil lelaki itu.

Mengembuskan napas panjang, Renjana memutar kenop hingga pintu terbuka, menampakkan sosok Argani yang menunduk menatap berkas-berkas di meja, tak menyadari Renjana yang sudah kembali menutup pintu dan kini tengah menatapnya, menelisik setiap inci sosok lelaki itu yang tampak lugu dalam posisi itu. Selugu saat SMA dulu.

Argani remaja yang kerap menjadi korban gerak. Sering dipakai oleh pemandangan sekolah. Didorong dan tak dianggap. Hanya karena fisiknya yang memiliki bobot berlebih. Jerawatan. Memakai kacamata tebal. Dan penyendiri. Tak ada yang ingin menjadi temannya.

Jauh berbeda dengan Argani yang sekarang. Semua orang ingin berada di samping lelaki itu hanya karena fisiknya sudah berubah. Pun memiliki segalanya.

Renjana yakin Argani yang lugu belum sepenuhnya hilang dari sosok itu, hanya tertutup oleh sikap tak acuhnya uang seolah tak ingin didekati.

Barangkali menyadari sedang dipandang, Argani kemudian mengangkat pandangan hingga tatapannya bertemu dengan Renjana yang spontan gelagapan. Buru-buru wanita itu melanjutkan langkah, berusaha menutupi salah tingkahnya.

Dua langkah dari meja kerja Argani, ia berhenti. Menunggu instruksi. Dan saat sang lawan bicara memberi isyarat tangan seperti menyilakan, barulah Renjana duduk.

"Bagaimana keadaan kamu sekarang?" tanya lelaki itu dengan nada yang terlalu formal. Wajah datar. Tatapan tanpa kehangatan. Tak seperti Argani yang ia kenal. Tidak seperti suaminya.

Renjana membasahi bibirnya yang kering dengan saliva. "Baik." Tentu saja. Dia menjalani operasi mahal dengan perawatan terbaik di rumah sakit terbaik. Masih ada sedikit rasa nyeri di perut, hanya sedikit. Payudaranya yang sedikit menyiksa. Tapi masih bisa ia tanggung.

Cuma ada satu masalah. Dada Renjana sering terasa nyeri. Entah kenapa. Seperti saat ini. Argani yang memandangnya dengan cara asing, membuat nyeri di balik dada kian menyiksa.

"Baguslah," Argani meletakkan berkas yang semula dipegangnya, "Kalau ada yang kamu butuhkan, jangan sungkan untuk mengatakannya."

"Sejauh ini, semua kebutuhanku sudah terpenuhi."

Argani mengangguk. "Untuk perceraian kita, aku aku sudah menghubungi pengacara keluarga untuk mengurus segalanya. Dan aku pastikan tidak akan lama."

"Oh."

"Kamu sudah boleh pergi."

Ludah Renjana seketika berubah sekeras batu saat ditelan. Kenapa dia seperti diusir? Argani yang sebelumnya mati-matian menahannya kini ... ini yang ia mau. Demi apa pun, kata pergi inilah yang berbulan-bulan ini dirinya perjuangkan. Dan Renjana sudah mendapatkannya. Kenapa pula ia harus tersinggung.

Mengangguk beberapa kali, Renjana bertanya dengan suara tercekat, "Hari ini juga, bolehkah?"

Sisi konyol dalam dirinya, berharap sekali Argani akan menahan. Walau hanya sehari.

"Terserah kamu, Renjana. Hidupmu sepenuhnya milik kamu sekarang."

Begitukah?

Renjana tertawa kaku. Kok sakit, ya?

"Dan ini," Argani menggeser beberapa lembar kertas dan kartu ATM, "Surat-surat berharga dan sejumlah uang sebagai harta gono-gini. Kuharap ini cukup."

"Aku tidak butuh ini." Renjana menggeser kembali berkas-berkqs tersebut ke arah sang lawan bicara, yang langsung Argani cegah.

"Ini hak kamu. Tolong diterima. Kamu boleh memakainya, atau jika kamu tidak ingin, kamu bisa memberikannya pada orang lain atau ... terserah. Tapi biarkan aku menunaikan kewajiban terakhir atas dirimu, Renjana.".

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Renjana menerima. Ia membuka buku tabungan atas namanya dan tercengang melihat saldo yang tertera di sana. Terlalu banyak angka nol. "Ini--" ia tak kuasa melanjutkan, hanya mendongak memandang Argani yang hanya mengedik.

"Kamu berhak atas itu. Anak yang kamu lahirkan, anakku, lebih tidak ternilai. Kamu bertaruh nyawa untuk itu."

Renjana menggigit bibir. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi seluruh koleksi kata dalam kepalanya seakan menghilang seketika. Menguap bersama rasa sakit dan entah.

"Kamu membayarku karena sudah melahirkan anakmu." Dan ini bukan pertanyaan. Ia tatap mata Arganj lurus-lurus.

"Karena aku tidak tahu harus berterima kasih dan menebus semua kesalahanku dengan cara apa. Karena itu, aku memberikan lebih. Semoga uang ini bermanfaat. Nanti kamu bisa membuka usaha atau apa. Dengan Dirga atau siapa pun. Aku juga sudah menyertakan data Dirga di salah satu berkas itu. Alamat tempat tinggalnya yang sekarang dan sebagainya."

"Untuk apa?" Tenggorokan Renjana sakit. "Apa kamu yakin Dirga masih mau denganku yang sudah ternodai?"

Argani membalas tatapan Renjana tanpa gentar. "Kalau Dirga tidak menginginkan kamu lagi, kamu tahu selalu ada tempat di mana kamu begitu diharapkan, Renjana. Lebih dari apa pun. Itu pun jika kamu bersedia untuk datang."

Renjana dilema. Di satu sisi, ia ingin lepas. Di sisi lain ... apa? Renjana tidak tahu. Yang pasti, entah kenapa rasanya agak berat untuk pergi. Tetapi ia juga tidak bisa terus-terusan berada di sini. Sesuatu melarangnya. Sesuatu dalam dirinya menolak.

Ego.

"Aku akan berkemas." Mengambil berkas-berkas itu dan memasukkan ke dalam folder yang juga Argani sediakan, Renjana bangkit berdiri.

"Apa kamu sudah punya tempat tujuan?"

Gerakan Renjana yang hendak mendorong kursi tempat duduknya ke belakang, terhenti. Ia tidak punya tujuan. "Aku punya banyak uang sekarang. Aku bisa menuju tempat mana pun."

Argani menaikkan satu alis. "Benar juga."

Mendekap folder di dada, Renjana mengangguk sebagai bentuk pamit. Ia lantas berbalik dan melangkah ke arah pintu. Tepat sebelum ia memutar kenop, Argani menghentikannya.

"Re," panggil lelaki itu dengan suara yang dalam. Yang dipanggil praktis menghentikan langkah.

Dua detik berlalu. Renjana mendengar suara derap langkah samar-samar. Lalu ....

Tubuh Renjana menegang. Rasa hangat menjalar di seluruh tubuh. Dua tangannya besar saling berkaitan di depan perutnya. Argani, lelaki itu memeluknya dari belakang. Detak jantungnya yang berdegup dengan ritma normal, terasa di punggung Renjana, dan desah napasnya di leher wanita tersebut. Panas, sukses membuat bulu roman Renjana meremang.

"Sebentar saja. Hanya sebentar." Ia berbisik. "Anggap saja ini pelukan perpisahan. Aku janji, setelah ini aku tidak akan pernah mengganggu lagi. Tidak akan."

Renjana menatap sepasang tangan besar di depan perutnya. Ada rasa ingin menyentuh, tapi ia tahan sekuat tenaga dan mengalihkan itu dengan menggigit bibir keras-keras. Telaga beningnya terasa panas, seperti ada ribuan jarum kecil tak kasat mata yang menusuk-nusuk. Membuatnya ingin menangis.

Kenapa perpisahan selalu menyakitkan? Bahkan dengan seorang Argani sekali pun.

Argani mengeratkan pelukan. Napasnya makin terasa dekat dengan leher Renjana. Dan bibir lelaki itu terasa menggesek telinganya, membuat darah wanita itu berdesir hebat. Lalu, jenak kemudian seuntai kata terdengar samar. Berbisik, "Maaf. Maaf karena telah mencintaimu segila ini. Maaf karena cintaku telah menyakitimu. Maaf."

Dan air mata yang sebelumnya mati-matian Renjana tahan, luruh juga, membanjiri pipinya, dan jatuh mengenai tangan lelaki itu yang masih bertaut di depan perutnya.

Argani bilang cinta. Untuk kedua kalinya setelah dulu diumumkan di lapangan saat SMA. Dan rasanya berbeda. Kali ini ... ia percaya.  Akan tetapi … ah, sudahlah.  Lupakan.

Renjana berkedip cepat. Ia meliarkan pandangan, mencari sumber cahaya agar air matanya mau berhenti mengalir, sedang isaknya ia telan agar tak lolos dari katup bibir. Dan jangan tanya, betapa sakit tenggorokannya saat itu. Sakit sekali.

"Tolong berbahagialah. Aku tidak akan memaafkanmu jika setelah ini kamu hidup tidak lebih baik daripada saat bersamaku." Lalu lelaki itu melepaskan pelukannya dengan perlahan. "Pergilah, Re. Pergi sejauh yang kamu mau."

Begitu pelukan Argani lepas, Renjana merasa kehilangan. Alih-alih berhenti, air matanya mengalir makin deras.

Tak kuasa mengucapkan kata perpisahan, pun tak ingin Argani tahu bahwa saat ini dirinya bersedih, Renjana hanya mampu mengangkat tangan ke udara tanpa berbalik badan sebagai tanda perpisahan. Setelahnya, ia membuka kenop pintu dan keluar dari sana. Dari ruang kerja Argani. Pun dari hidup lelaki itu.

***

 

Kalau masih banyak typo maafkan, yaaa … ini saya ngetiknya ngebut biar bisa cepet update.

Semoga kalian suka ^^

Yang mau maraton duluan bisa langsung cus ke karyakarsa, yaa ...

Bdw, di kk saya ada cerita baru juga, loh!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top