BAB 32
Waktu berlalu seperti berlari, begitu cepat. Bahkan dua bulan terakhir nyaris tidak terasa. Barangkali karenq sudah tak ada lagi tekanan dalam hidupnya. Meski berpira-pura menjadi istri bahagia itu sama sekali tak menyenangkan, tetapi tak semenyiksa sebelumnya. Berat memang, namun tidak semengerikan dalam bayangan.
Argani cukup kooperatif di bulan-bulan terakhir pernikahan mereka. Dia menjadi sosok yang cukup ramah dan penyayang. Tak pernah memaksa dan selalu bertanya sebelum melakukan sesuatu yang melibatkan Renjana. Memperlakukan sang istri dengan begitu sopan, membuat Renjana merasa dihargai.
Bohong jika Renjana mengatakan tak pernah nyaris luluh, karena kenyataannya tidak demikian. Argani yang ini sangat jauh berbeda dengan laki-laki yang memaksanya menikah tahun lalu. Kendati demikian, Renjana tak akan bisa lupa cara licik lelaki itu dalam menjebaknya.
Memaafkan bisa, tapi melupakan adalah perkara lain. Dan ya, keputusan Renjana sudah sangat bulat. Dia akan pergi setelah melahirkan. Dan itu sebentar lagi. Sangat sebentar. Mungkin besok atau lusa.
Karena kini, tahu-tahu Renjana sudah ada di sini. Di ruangan luar biasa dingin yang membuatnya gerahamnya sampai bergemelutuk. Di bawah lampu yang menyoroti tajam. Di atas ranjang sempit dengan hanya sehelai kain menutupi tubuh yang telanjang.
Di ruang operasi.
Benar, ini saatnya. Gerbang yang semula seperti terkunci rapat, kini tampak terbuka di depan mata. Hanya satu langkah lagi. Satu langkah lagi dan dia akan menuju kebebasan. Kebebasan yang sesungguhnya. Dunia luar tanpa campur tangan manusia mana pun kecuali dirinya. Ia bebas mencari dan memilih. Tak akan ada lagi yang menentang dengan siapa ia akan menghabiskan masa depan. Tidak orang tua. Tidak juga Argani. Terutama Argani.
"Kalau merasa mengantuk, Ibu boleh tidur, ya," ujar seseorang, yang Renjana ketahui sebagai dokter anestesi yang siaga berada di sampingnya.
Renjana hanya menjawab dengan anggukan kecil. Dia melirik ke atas, pada Argani yang tak sekali pun meninggalkannya sejak kemarin, semenjak mereka datang ke rumah sakit ini. Lelaki itu bahkan mengambil cuti dari pekerjaannya demi menemani sang istri. Dia pin menyewa satu lantai hanya untuk Renjana, agar istrinya bisa menjalani masa bersalin dengan damai dan tenang. Hanya orang-orang tertentu yang diizinkan untuk datang menjenguk, termasuk orangtua mereka.
Berlebihan. Sangat. Renjana sudah mengatakan ia tak masalah berada satu lantai dengan pasien lain atau siapa pun boleh datang membesuk. Namun bukan Argani namanya kalau bisa dengan mudah dibantah. Jadilah Renjana diam, menyerahkan semua keputusan pada suaminya yang keras kepala.
Benar, Argani sedetail itu. Untuknya. Membuat Renjana bertanya-tanya, benarkah lelaki itu hanya terobsesi, atau benar cinta?
Cinta luar biasa hingga membuatnya rela melakukan berbagai cara. Tetapi, di mana ada cinta seegois itu? Menyiksa satu hati demi menyenangkan hati yang lain.
"Semangat, Re. Kalau kamu masih merasa sakit saat dibedah, cengkeram saja tanganku," katanya sambil menggenggam erat tangan renjana yang berada di sisi-sisi kepala, membuat telapak yang semula dingin itu terasa hangat.
Renjana hanya tersenyum kecil sebagai jawaban. Ia ingin mengatakan sesuatu pada Argani saat itu, sayang kantuk yang luar biasa tiba-tiba datang menyerang, membuat kelopak matanya terasa berat. Renjana tidak bisa menahannya hingga memilih menyerah dan memejamkan mata. Kendati demikian ia masih bisa merasakan saat perutnya dibelah, setelah itu ... entah.
Tak ada rasa sakit. Tak ada kesedihan. Renjana seperti berada di atas balon udara, menikmati pemandangan langit dan bumi di bawah sana sekaligus. Burung-burung bertentangan di sekitar. Bunga-bunga tampak indah dari atas sana. Ia merentangkan tangan dan menghirup udara segar. Rasanya bahagia sekali. Terlalu bahagia hingga ia terus tertawa. Seperti ada yang menghiburnya.
"Kamu senang?" tanya satu suara yang tak asing. Ia pun berbalik mencari suara tersebut dan menemukan sosok Dirga di belakangnya. Lelaki itu menatap penuh kasih sayang dan cinta.
Renjana mengangguk cepat untuk menjawab. Bagaimana mungkin tidak bahagia, menaiki balon udara dengan lelaki yang dicintai merupakan impian yang terlalu besar untuk menjadi nyata.
Sayangnya, Renjana merasa ada yang kurang. Seperti ada sesuatu yang hilang. Ia pun mencari-cari, menoleh sana-sini. Celangak-celinguk ke segala penjuru. Tak ada apa pun yang janggal. Tidak menyerah, Renjana menunduk, jantungnya sejenak berhenti berdetak saat menemukan jauh di bawah sana Argani menatapnya sambil melambaikan tangan tanda perpisahan.
Dan entah mengapa, Renjana merasa sedih. Bahagianya tang tadi sirna secepat datangnya. Luka dalam tatapan Argani membuatnya tak ingin pergi. Lelaki itu seperti butuh seseorang, teman untuk sepinya.
"Dirga, bisakah kita berhenti dan turun saja?" Ia menoleh pada Dirga yang berdiri tak kalah bahagia di sampingnya.
Yang ditanya menggeleng. "Tidak bisa, Jan. Kalau kita berhenti, balon kita akan pecah dan kita akan jatuh. Aku tidak mau kita berakhir."
"Tapi aku mai turun, Dirga."
"Tidak, kita harus tetap terbang."
"Kumohon, Dirga!"
"Tidak, Renjana. Tidak boleh."
"Dirga, sekali ini saja. Hanya sebentar. Aku ingin pamit."
"Tidak akan."
"DIRGA!"
Renjana tersentak seketika. Napasnua terengah. Dan dia membuka mata. Jantungnya berdegup luar biasa kencang.
Oh, ternyata hanya mimpi. Hanya saja mimpi barusan sungguh terasa begitu nyata.
Mengembuskan napas perlahan, Renjana mulai memfokuskan pandangan. Langit-langit di atas sana menyambut. Lampu ruangan menyorot tajam. Renjana berkedip. Di mana ia sekarang?
Menoleh ke samping, ia temukan Argani yang tersenyum kering di samping jendela yang terbuka, menampakkan sekilas pemandangan taman rumah sakit dan ruangan perawatan lain di seberang taman.
Ah, Argani di sini. Masih di sini.
Berusaha tersenyum, Renjana merasa bibirnya kaku. Ia pun meraba perutnya dan menyadari bagian tersenyum tak sebesar kemarin. Ugh, juga rasa tak nyaman di bagian perut bawah.
Benar juga, ia baru saja menjalankan operasi untuk mengeluarkan bayi itu.
Susah payah, Renjana membuka mulut, hendak menyapa. Tetapi belum juga satu silabel lolos dari bibirnya, suara Argani lebih dulu mengudara. "Bahkan dalam keadaan tidak sadar setelah melahirkan anakku pun, hanya nama Dirga yang kamu sebut." Tak ada nada sinir atau sarkastik dalam kalimat itu. Hanya kalimat penjelas biasa, tapi berhasil membuat Renjana tak nyaman.
"Maksudnya?" Dan ya, ia benar-benar tidak mengerti.
"Kamu tadi memanggil-manggil nama Dirga."
Kerongkongan Renjana terasa kering. "Aku tidak ingat."
"Tentu saja," ujar Argani lirih dan agak sinis, "tadi hanya ingauan." Lelaki itu mendesah berat seraya berbalik badan, memunggungi sang lawan bicara. "Tidak perlu merasa tak nyaman. Kamu bisa melakukan apa pun sekarang. Toh, sesuai perjanjian, per detik ini aku akan membebaskanmu."
Akhirnya, kalimat yang paling Renjana tunggu-tunggu terucap juga. Kebebasan. Sesuatu yang selama ini dirinya perjuangkan hingga ia rela bersikap bukan seperti dirinya.
Anehnya, Renjana tidak merasa senang. Ia justru ingin menjelaskan tentang mimpi barusan. Tapi, untuk apa? Jadi ia pun menahannya. "Jadi maksudnya, aku bisa langsung pergi sekarang?"
Argani menunduk. "Sebaiknya tidak. Kamu masih dalam masa pemulihan. Tunggu sampai dokter membolehkan."
"Kapan?"
"Sekeburu itukah kamu, Renjana?"
Renjana membuka mulut, lalu menutupnya kembali. Tak tahu harus menjawab apa. Ia masih berada di ambang antara sadar dan tidak, lalu langsung dihadapkan pada situasi yang sama sekali tak membuat nyaman hanya karena ia yang mengigau nama Dirga--sejauh ini, begitulah yang berhasil Renjana tangkap dari situasi mereka sekarang.
"Aku--"
Kalimat Renjana terhenti oleh suara ketukan pintu. Serempak, keduanya menoleh tepat saat detik kemudian daun pintu bergerak terbuka. Seorang perawat berseragam hijau masuk sambil mendorong kotak kaca transparan berisi bayi di dalamnya. Dengan sigap, Argani menghampiri dan mengambil bayi tersebut ke dalam gendongan.
Si perawat kemudian lanjut memeriksa kondisi Renjana dan menanyakan beberapa hal terkait keadaannya. "Anaknya sudah boleh disusui ya, Bu. Meski di beberapa mama asi belum langsung keluar, tapi pompa dari bibir bayi langsung bisa jadi rangsangan sehingga asi dapat keluar lebih cepat."
Renjana praktis tak menyahut. Dia spontan menoleh pada Argani seolah hendak bertanya. Dan Argani yang paham arti tatapan itu menjawab dengan bijak. "Setelah kamu menyusuinya, dia akan bergantung sama kamu, Renjana."
Renjana menelan ludah. Jawaban tersebut seolah pilihan terakhir dari Argani untuknya.
Menyusui anak mereka atau tidak. Renjana membasahi bibirnya yang kering. Kalau ia memutuskan untuk menyusui saat ini, itu artinya ia memilih menyerah dan tetap tinggal bersama lelaki itu.
Dan kalau ia menjawab tidak, berarti ... pergi.
Melihat Renjana diam saja, si suster kembali bersuara, "Mau saya bantu posisikan, Bu, untuk disusui?"
Inilah keputusan Renjana. Menarik napas, ia berucap, "Terima kasih, Sus, tapi tidak perlu." Renjana menolak melirik pada Argani yang ... entah ini hanya perasaannya atau tidak, tatapan Argani berubah.
"Baiklah. Kalau begitu saya permisi." Dan suster itu pun pergi, meninggalkan Renjana bertiga dengan suami dan anaknya.
Suami dan anak. Kerongkongan Renjana terasa kerongang. Betapa intim kata itu. Suami. Anak. Sayang, di sini bukan tempatnya. Posisi istri dan ibu yang baru ia sandang, Renjana masih merasa tak menginginkannya. Argani bukan masa depan yang ia harapkan. Pun anak itu.
Meletakkan kembali si bayi ke kotak kaca, Argani merogoh ponsel dalam saku celana dan menghubungi seseorang. Tanpa kalimat sapaan, ia langsung mengucap kalimat perintah, "Belikan anakku susu formula terbaik dan bawa ke ruang perawatan Renjana."
Hanya satu kalimat, dan dia langsung memutus sambungan. Yakin titahnya akan terlaksana. Dan memang pasti demikian.
"Maaf." Suara Renjana tercekat. Seperti banyak jarum menusuk telaga beningnya, membuat ia ingin menangis. Sungguh, ini bukan keputusan yang mudah. Sama sekali tak semudah yang pernah ia bayangkan sebelumnya.
Argani menolak membalas tatapan sang istri dan hanya memfokuskan pandangan pada bayi mereka yang masih tertidur dalam boks. "Tidak perlu. Aku yang seharusnya mengucapkan terima kasih. Terima kasih karena sudah melahirkannya. Terima kasih sudah mau bertahan sejauh ini." Dia menarik napas panjang, lalu mendongak, menatap Renjana lurus-lurus dengan ekspresi serius. "Mulai sekarang kamu bebas. Mulai sekarang," menahan napas, "kamu bukan istriku lagi, Renjana. Kamu sudah memenuhi perjanjian kita, dan aku pun demikian. Setelah ini, pergilah ke mana yang kamu mau. Jalani hidup yang membuat kamu bahagia. Jangan sekali-kali mencoba mengakhiri hidup seberat apa pun masalah yang kamu pikul. Dan aku sudah mengurus sebagian harta yang akan menjadi milik kamu setelah perceraian kita diresmikan. Aku doakan yang terbaik untuk kamu dan Dirga."
Akhirnya. Usai sudah. Talak telah dijatuhkan. Ikatan mereka lepas. Renjana bebas.
Ini yang diinginkannya. Tetapi, kenapa Renjana tidak merasa senang?
***
Telat, ya? Hehehe... maaf. Kemarin terlalu larut menikmati lebaran. Wkwkwk ...
Semoga ini bisa menebus kesalahan saya yaa....
Yang mau marathon duluan sampe tamat, silakan meluncur ke karyakarsa ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top