BAB 30

Ini pesta keluarga Soejatmiko, tak heran kesan mewah terpampang nyata di setiap penjuru. Diadakan di halaman belakang kediaman keluarga besar Argani yang luar biasa luas dengan tema pesta kebun dengan hiasan kain yang dililit pada tiang-tiang besi di beberapa sudut. Lampu-lampu kecil kekuningan bergelantungan. Meja-meja bertebaran, berisikan berbagai hidangan dan minuman beraneka ragam yang menggugah selera. Aroma parfum yang mengembus di udara terasa begitu menyengat, aromanya bermacam-macam, membuat Renjana pening.

Tampak beberapa artis kenamaan yang hadir, pun penyanyi kondang tanah air sedang tampil di panggung kecil di sudut lain, membawa lagu terbarunya yang sedang hits tahun ini dan menempati posisi pertama di tangga lagu nasional. Undangan yang datang juga tak bisa disebut sedikit. Dari kalangan atas, tentu saja. Dan sejauh yang Renjana dengar, kebanyakan yang mereka bicarakan adalah bisnis dan kekayaan.

Undangan pria menggunakan setelan jas, dan undangan perempuan dengan berbagai jenis gaun. Ada yang tampil begitu seksi dengan kerah rendah dan belahan rok tinggi. Pun tak sedikit yang mengenakan baju model kemben ketat sepaha, memamerkan bentuk tubuh yang memang proporsional dan sintal.

Renjana? Oh, dia memakai gaun berwarna biru gelap dan sedikit mengilap, senada dengan setelan jas sang suami. Gaun yang dipilih sendiri oleh Argani di butik langganan. Panjang di bawah lutut, kerah tinggi dan lengan balon di bawah dengkul. Gaun longgar yang membuat perutnya tak begitu tampak. Sederhana dan elegan. Dipadu dengan setelan anting dan kalung senada, juga tas tangan kecil yang membuatnya terlihat mahal.

Nyaman sekali. Hanya saja, suasananya yang tak bikin nyaman. Renjana tidak terlalu suka dengan pesta.

Ugh, andai bisa ia lebih memilih tinggal di rumah ketimbang berjibaku dengan orang-orang yang tak dikenal ini--tak sepenuhnya, tentu saja, karena orangtua Renjana sendiri hadir malam itu. Mereka sempat berpapasan, dan orangtuanya hendak menyapa, tetapi Renjana langsung melengos, tak ingin bertemu keduanya. Lebih tepatnya, belum ingin. Luka di hatinya masih sangat basah.

Argani yang sepertinya memahami itu, memberi isyarat pada kedua orangtua sang istri untuk diam dan membiarkan Renjana menjauh. Lelaki itu kemudian membawa Renjana menemui Tuan dan Nyonya Soejatmiko untuk mengucapkan selamat ulangtahun pernikahan yang ke-37.

Ah, pernikahan ke-37 tahun. Dan selama itu pula mereka bisa bertahan. Kurang lebih seperti pernikahan kedua orangtuanya sendiri. Dan Renjana tahu seberapa besar ibunya mencintai sang ayah. Barangkali orangtua Argani juga sama.

Menikah dan menjalani pernikahan dengan orang yang dicintai pasti sangat membahagiakan. Renjana iri sekali, karena pada kenyataannya ia tidak begitu.

"Terima kasih, karena kalian sudah datang," ujar ibu mertuanya dengan senyum kecil yang tampak bersahabat dan ramah. Beliau tetap tampak cantik di usianya yang tak lagi muda kendati beberapa garis halus mulai muncul di wajahnya.

"Tentu saja, ini pesta kalian." Argani mengedik seraya mengambil dua minuman dari pelayan. Satu untuk Renjana, yang istrinya terima dengan patuh, dan satu lagi untuk dirinya sendiri. "Bersulang!" Ia mengangkat gelas ke udara, yang disambut tawa oleh Tuan dan Nyonya Soejatmiko sebelum kemudian menyambut sulangan putra mereka satu-satunya. Renjana tentu saja turut serta membenturkan gelas minumnya dengan milik sang suami.

Mereka kemudian berbincang sebentar, hanya sebentar karena masih banyak tamu lain yang ingin mengucapkan selamat terhadap kedua orangtuanya. Argani menggandeng Renjana, mencari meja kosong. Jari jemari panjang lelaki itu diselipkan di antara jari-jari Renjana yang mungil. Hangat. Perlekatan antar kulit memang menimbulkan kehangatan. Dan hanya sebatas itu.

Setelah menemukan meja dengan view yang dirasa nyaman, Argani menarikkan kursi untuk sang istri. Layaknya suami idaman. Dia tersenyum seraya berkata, "Silakan duduk Nyonya Soejatmiko."

Nyonya Soejatmiko, ya. Renjana mendesah dan menurut. "Terima kasih."

"Sudah seharusnya." Argani hendak ikut duduk, tapi gerakannya terhenti saat seseorang entah dari mana datang dan menyapa dengan memanggil namanya dengan akrab.

"Argani!"

Spontan, lelaki itu pun menoleh, begitu juga dengan Renjana. Rasa ingin tahunya mengambil alih lantaran suara tadi milik perempuan, dan sepertinya tak asing.

"Chintya." Argani menyebut nama itu pelan, tapi masih bisa Renjana dengar.

Yang disebut namanya berhenti satu langkah dari meja yang Argani dan Renjana tempati. "Hai!" Ada semringah di wajahnya saat menyapa Argani, lalu berubah datar saat bersitatap dengan Renjana yang mendongak ke arahnya. "Renjana." Dia mengangguk kaku dan formal.

"Kenapa menyapa dingin begitu? Bukankah kita teman lama Chintya? Dan seingatku, dulu kita sangat akrab."

Senyum formal Chintya menghilang seiring dengan sepasang bola matanya yang membesar. Tampak sekali dia terkejut, dan spontan menoleh pada Argani dengan ekspresi penuh tanya.

"Renjana sudah ingat semuanya," jelas Argani singkat sambil mengedik pelan.

"Oh!" Chintya berseru pendek dan tampak makin syok, tetapi tak berani berkomentar lebih meski terlihat sekali masih banyak tanya yang hendak ia utarakan. Dan sepertinya Renjana tahu pertanyaan-pertanyaan yang berusaha ia pendam itu.

Renjana sudah ingat segalanya. Segalanya. Termasuk masa-masa ia dibodohi kemarin.

Chyntia, dia yang datang ke rumah mereka di awal pernikahan, yang sempat membuat Renjana sedikit merasa cemburu. Wanita elegan yang berada satu level dengan suaminya. Chyntia. Sahabat Renjana masa SMA dulu. Gadis paling populer di sekolah. Tetapi, kenapa saat itu Chyntia pura-pura tidak mengenalnya? Apa dia juga terlibat?

Tidak mungkin. Saat ditanya waktu itu, Argani bilang wanita ini mantan tunangannya. Dan sepertinya, Chyntia masih sangat berharap pada si culun yang dulu dijauhi saat sekolah, bahkan oleh Chyntia juga.

Sahabatnya--atau lebih tepat, mantan sahabat--mencintai Argani. Tampak jelas dari tatapan matanya saat melirik suami Renjana. Sayang, cinta bertepuk sebelah tangan.

"Mau duduk bersama?" tanya Renjana spontan. Sengaja. Ia memasang senyum paling lebar dan wajah luar biasa ramah. Hanya untuk ... topeng tentu saja. Dunia ini terlalu kejam untuk dihadapi dengan jujur. Renjana yakin, bahkan Chyntia sekali pun sedang memakai topengnya saat ini.

"Umm, tidak usah. Aku tahu kalau kalian ingin duduk berdua saja," tolak halus sang lawan bicara.

Renjana menaikkan alisnya. "Kami sama sekali tidak keberatan. Iya kan, Argani?" Ia menoleh pada suaminya yang malah meringis.

"Tentu saja," sahut lelaki itu, sama sekali tak membantah.

Renjana yang merasa mendapat persetujuan, mengembalikan perhatian pada Chintya yang pada akhirnya mendesah seraya melebarkan senyum paksa. Dia tak punya pilihan dan menyerah untuk mendebat. Wanita itu mengambil tempat di sebelah Renjana, membiarkan kursi di sebelah kosong antara dirinya dan Argani.

Makin malam, suasana pesta kian meriah. Hampir seluruh tamu undangan sudah datang, sebagian duduk mengisi meja yang tersedia, sebagian lebih memilih berdiri dan mengobrol entah apa, dan sebagian lain berada di depan panggung kecil di pojok sana mengikuti nada dan lirik dari penyanyi yang sedang melantunkan lagu cinta. Bising sudah tentu. Dan jangan tanya betapa penatnya Renjana, ia paling tak suka pesta. Beruntung kali ini ia menemukan hiburan baru dalam bentuk Chintya yang terlihat gelisah di seberang meja.

Kenapa harus gelisah? Mereka pernah berteman di masa lalu. Bahkan sangat akrab. Pun karena kepopuleran Chintya, Renjana jadi dapat imbas baiknya, dan karena itu Renjana selalu merasa punya utang terima kasih pada mantan tunangan Argani ini.

Andai saja mereka bertemu dalam keadaan yang berbeda--Renjana bukan istri Argani--akankah Chintya tetap bersikap seasing ini?

"Seingatku, dulu kalian hanya sekadar kenal, bagaimana ceritanya bisa jadi begitu akrab sampai bertunangan pula?"

Chintya dan Argani saling paling pandang. Kemudian suami Renjana mengedik, "Kami satu universitas." Singkat, padat dan jelas.

Chintya hanya mengangguk tanda satu suara. "Kami sering bertemu dan kemudian jadi cukup dekat."

"Apa saat itu Argani sudah berubah?"

"Lumayan, tapi tidak sebaik sekarang. Dulu dia masih berjerawat satu dua dan memakai kacamata setebal kamus itu."

Oh, Renjana sudah bisa mengira. Karena siapa yang akan mau dekat dengan Argani bila kondisinya masih sama seperti SMA dulu. Bukan bagaimana, tetapi Renjana tahu betul tipe pria idaman Chintya, penampilan memang nomor ke sekian, tapi dia tidak suka laki-laki dengan berat berlebih.

"Tentu saja," Argani mengimbuhi, "aku yang dulu tidak akan mungkin dilirik seorang Chintya."

Chintya memutar bola mata jengah. Tidak terima dengan penilaian sebelah mata itu, ia ikut mengeluarkan serangan. "Aku hanya rasional. Lagi pula, Renjana juga menolak cintamu waktu itu karena apa kalau bukan--"

"Karena itulah yang jadi motivasiku untuk berubah," tangkis Argani tak terima istrinya diserang. "Dan sekarang aku berhasil. Berhasil menjadi lebih baik dan bonus mendapatkan Renjana juga."

Chintya sudah membuka mulut, hendak membalas, tapi sapaan dari sebelah kursi mereka menarik perhatian. Laki-laki muda dengan setelan formal. Dia tersenyum pada ketiganya sebelum memfokuskan pandangan pada Argani sambil memiringkan kepala.

"Oh, Simon!" Argani bangkit berdiri untuk menyalimi lelaki itu. Mereka berbincang sebentar sebelum kemudian Argani pamit untuk mengobrolkan hal penting dengannya.

Dan saat hanya tinggal berdua, ekspresi wajah Chintya berubah seketika, tak lagi setegang sebelumnya. Dia menegapkan punggung dan meletakkan tangan di atas kaki yang disilang di bawah meja. "Jadi kamu sudah ingat semuanya, ya." Dan itu bukan pertanyaan.

Renjana menaikkan satu alis. "Begitulah."

Senyum Chintya terlihat penuh sindiran. "Aku kira, kamu akan lebih memilih pergi setelah ingatan masa lalumu kembali. Nyatanya?" Ia berdecih seraya mendelik. "Kenapa? Sadar kalau menjadi Nyonya Soejatmiko lebih menguntungkan ketimbang kembali pada tunangan kaku yang cuma punya usaha bengkel itu?"

Andai saat ini mereka sedang tidak berada di tengah keramaian, sudah tentu Renjana akan menyiramkan sisa limunmya pada sang lawan bicara. Lancang sekali dia menghinanya. Lancang sekali dia menghina Dirga. Yang hanya punya usaha bengkel katanya? Hah! Sombong sekali.

Menipiskan bibir, Renjana balas serangan tak berperasaan itu. "Sekarang aku tahu kenapa Argani tidak pernah bisa jatuh cinta padamu."

"Apa maksud kamu?"

"Kamu terlalu picik, Chintya."

"Jangan bilang yang kukatakan keliru, Renjana. Karena kalau memang begitu, sudah tentu saat ini kamu tidak akan ada di sini."

"Justru ini syarat agar aku bisa pergi!" jawab Renjana penuh penekanan.

Chintya mengernyit. Tak mengerti. "Maksudnya?"

Renjana mendongak, menatap pada lampu kuning yang bergelantung di atas sana, menahan diri untuk tidak menangis. Bagaimana pun, dia tidak boleh terlihat lemah. "Argani ingin kami mengulang kembali masa awal pernikahan yang cukup menyenangkan. Sampai anak ini lahir."

"Setelah itu?" sela Chintya tak sabar.

"Kami akan bercerai dan aku bebas."

Chintya melipat tangan di atas meja dan memajukan tubuh hingga nyaris menempel ke meja. "Kamu setuju?" tanyanya sangsi.

"Menurut kamu?"

Sang lawan bicara mengembuskan napas lewat mulutnya. Tak habis pikir. "Gila!" komentarnya yang Renjana balas dengan dengusan. "Jadi maksudnya, saat ini kamu dan Argani hanya sedang berpura-pura? Menjalani peran sebagai suami dan istri yang bahagia dan saling mencintai?"

Renjana memilih untuk tidak menjawab. Nyatanya, ia memang sempat mencintai Argani.

Sempat.

Renjana yang hilang ingatan sudah jatuh hati pada suaminya. Fakta yang sampai saat ini sulit ia terima.
 

***

Harusnya saya update tadi malem, tapi ngantuk pol, jadi malam ini deh.

Maaf, lama ya. Pengen update cepet nyatanya cuma wacana. Di duta sibuk, Cah. Harap maklum.

Semoga kalian suka, ya ^^

Yang penasaran dan mau marathon duluan, bisa cuss ke karyakarsa, ya. Di sana sudah lengkap sampe ekstra part ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top