BAB 28
Sesakit itukah bersamanya hingga kematian menjadi pilihan yang lebih baik bagi Renjana ketimbang menjalani hari dengan Argani? Padahal, Argani sudah berusaha memberikan yang terbaik bagi perempuan itu. Argani yang telah mengangkat derajat keluarganya dari titik terendah untuk kembali mengukir nama di dunia bisnis. Argani pun memberikan kehidupan batu yang lebih layak untuk Renjana ketimbang hanya menjadi kasir bengkel, dengan memberikan bisnis yang sudah dirintis mendiang adik lelaki itu. Argani rela membatalkan pertunangan dengan wanita sesempurna Chintya hanya untuknya. Dan Argani rela berusaha mati-matian demi bisa memiliki Renjana.
Namun semua ... gagal.
Tak satu pun yang dianggap berarti oleh Renjana. Dia justru menatap Argani selayaknya lelaki itu penjahat nomor wahid di dunia yang pantas dibenci.
Baiklah, Argani akui dirinya licik. Ia telah menikung hubungan Renjana dan Dirga yang sudah hampir menikah. Hanya itu.
Satu kesalahan, yang di mata Renjana lebih buruk ketimbang jutaan dosa. Padahal, Argani melakukan itu karena ... cinta. Cinta yang diragukan orang lain dan sekadar dianggap obsesi semata hanya karena karena terlalu menggebu.
Sejatinya, Argani hanya tidak ingin menyesal seperti ibunya yang harus menghabiskan seumur hidup dengan seseorang yang tidak dicintai. Hanya hormat. Argani tidak menginginkan itu.
Sejak kecil menjalani kehidupan dalam keluarga tanpa cinta, hanya kasih sayang yang terlalu dangkal membuatnya menginginkan lebih. Yang jauh lebih baik.
Melihat interaksi orangtuanya yang terlalu formal, Argani muak. Kehangatan di antara mereka terlalu mengambang. Tanggung.
Sayangnya, sekeras apa pun Argani berusaha, tak satu pun mendapatkan hasil yang diinginkan. Hari-hari menyenangkan di awal pernikahan mereka yang Argani anggap sebagai awal kisah rumah tangga mereka yang penuh kasih, buyar. Seperti mimpi. Karena kini, semua sirna semudah itu. Bagai ukiran di atas pasir pantai yang terkena sapuan ombak. Hilang seketika. Tak bersisa.
Mungkin, memang beginilah seharusnya. Mungkin, ini jawaban dari tanya yang selama ini berdengung dalam kepala. Mungkin, Renjana memang bukan takdirnya. Dan sekuat apa pun Argani berusaha melawan takdir, pada akhirnya ia akan kalah, karena sungguh, ia hanya manusia biasa yang tak punya kuasa atas apa pun, bahkan terhadap dirinya sendiri.
Menelan ludah kelat, Argani tatap Renjana yang terbaring di ranjang perawatan ruang vvip yang cukup luas dan fasilitas lengkap. Wanita itu tampak pulas dalam ketidaksaran. Mata terpejam. Terlihat begitu damai dengan napas teratur dengan bantuan selang oksigen yang dipasang ke kedua lubang hidungnya.
Dokter bilang tadi, "Beruntung Bapak bergerak cepat. Telat sedikit saja, bisa fatal akibatnya. Pasien hampir gagal napas karena banyaknya air yang terhirup."
Beruntung. Andai dokter tahu yang sebenarnya terjadi, beliau tidak akan berkata demikian. Karena sungguh, alih-alih beruntung, Argani justru sial. "Kandungannya. Bagaimana dengan kandungannya, Dok?"
"Sykurlah, bayi dalam kandungan Ibu Renjana cukup kuat meski detak jantungnya sempat melemah tadi."
Argani terpejam penuh syukur. Renjana dan anaknya selamat. Itu sudah lebih dari cukup.
Dan kini di sinilah Renjana berada. Dalam ketidakberdayaan alam bawah sadar. Dokter bilang, sebentar lagi dia akan membuka mata. Sebentar lagi yang entah kapan.
Menunduk, Argani raih tangan kurus istrinya. Ia rasa jari-jemari lentik yang tertulis di ranjang perawatan itu. Argani elu pelan sambil memandang wajah tak berdosa istrinya.
Apa aku sudah bertindak terlalu jauh? Pikirnya. Apa seandainya aku bisa merelakan kenyataan, semua tak akan seburuk ini? Kamu akan menjalani hari dengan orang lain. Menjadi istri Dirga dan mengandung anaknya.
Namun, sekadar memikirkannya saja, Argani tak kuasa. Membayangkan Renjana menjalani hari-hari dalam keluarga kecil bahagia bersama lelaki lain, hatinya sakit luar biasa.
Cinta macam apa ini? Orang bilang, hanya dengan melihat seseorang yang disukai bahagia dengan yang lain, hati ikut merasa bahagia. Nyatanya, Argani tidak demikian.
Benar ia ingin Renjana bahagia, tapi di sampingnya saja. Bukan yang lain.
Akan tetapi, jika bersamanya lebih sakit dari kematian, Argani bisa apa selain melepaskan.
Benar. Melepaskan. Meski ia tahu tak akan semudah itu.
Mengeluarkan karbon dioksida dengan mulut lantaran dadanya terlalu sesak, Argani kecup punggung tangan Rejana yang masih terasa dingin. Syukurlah kini keadaannya sudah cukup stabil, mengingat tadi Argani berlari seperti orang gila membawa Renjana dari parkiran ke depan ruang UGD lantaran merasa istrinya sudah tidak bernapas lagi.
Menggenggam tangan Renjana kian erat, ia rasakan kebingungan sang istri bergerak. Dan detik selanjutnya disusul dengan sepasang kelopak wanita itu yang perlahan membuka, memamerkan telaga beningnya yang indah pada dunia.
Argani menelan ludah. Cepat-cepat ia lepas tangan wanita itu dan bangkit berdiri dari kursi jaga di sisi ranjang perawatan.
"Aku di mana?" tanyanya setengah sadar sambil berkedip pelan. Suaranya serak, tak sejernih biasanya. "Apa aku sudah mati?"
Bagaimana cara Argani menjawab pertanyaan itu?
Seakan sadar dirinya sedang diperhatikan, Renjana melirik ke samping, pada Argani yang berdiri kaku di sisi ranjang tempat tidurnya. "Ka-mu!" Dengan nada setengah mengecam.
Dia menelan ludah. "Kalau mati, aku tidak mungkin akan bertemu kamu lagi di dunia yang lain. Jangan katakan--" suaranya tercekat. Memikirkan kemungkinan dirinya masih hidup sebegitu membuat Renjana takut--"Aku masih hidup." Dan itu bukan pertanyaan.
Renjana mendesah. Tampak benci dan marah. Bukan hanya pada Argani, mungkin terhadap takdirnya juga yang begitu tidak adil.
Kecewa terhadap kenyataan, satu tetes bening jatuh dari ujung matanya. Ia kemudian membuang muka ke samping, seolah tak sudi menatap Argani. "Kenapa kamu selalu menang dan aku selalu kalah? Bahkan pada kematian!" Ada amarah dalam kalimat tanya itu. "Kenapa begitu sulit pergi dari cengkeramanmu?"
"Sebegitu besarkah keinginan kamu untuk lepas, Renjana?"
"Bahkan jauh lebih besar dari yang kamu bayangkan."
Argani ingin bertanya kenapa, tapi ia bahkan sudah tahu jawabannya. "Apakah dengan lepas dariku kamu akan bahagia?"
"Kamu bertanya begitu seolah akan melepaskanku," dengus Renjana tanpa melihat sang lawan bicara. "Tolong jangan beri aku harapan. Bahkan maut saja tak mampu membebaskan."
Geraham Argani bergemelutuk. Ia mengepalkan tangan di kedua sisi tubuhnya. Marah. Entah pada siapa. Mungkin pada Renjana. Atau dirinya sendiri. Atau pada keadaan yang tak memihak mereka. Cinta sendirian sama sekali tak menyenangkan. "Bagaimana kalau aku sungguh akan melepaskanmu?"
Secepat yang dirinya bisa, Renjana menoleh pada Argani yang masih berdiri di sisi ranjang. Wajah wanita itu sepucat kertas. Bibirnya kering. Ada lingkaran hitam samar di bawah matanya, bukti bahwa ia sering kesulitan tertidur saat malam menjelang. Tulang pipinya pun tampak makin jelas. Dan tubuhnya banyak kehilangan bobot beberapa bulan terakhir ini saat seharusnya bertambah lebih banyak demi bayi dalam kandungan yang sama sekali tak wanita itu inginkan.
"Benar kamu akan melakukan itu?"
Benar. Argani sudah berpikir matang sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Ia telah membuat perjanjian dengan takdir. Jika Renjana dan anak mereka selamat, Argani akan melepaskannya. "Dengan syarat."
"Apa?" Renjana bertanya sangsi.
"Hiduplah lebih baik beberapa bulan ini. Konsumsi banyak makanan sehat. Jangan stres. Dan biarkan aku berada di sisi kamu tanpa pandangan penuh kebencian itu."
Renjana membuka mulut hendak membantah, tetapi Argani lebih dulu mengangkat satu tangan, meminta wanita tersebut diam dan mendengarkan permintaannya hingga selesai.
"Hanya sampai anak itu lahir. Tiga bulan lagi. Dan itu tidak lama. Bisakah?"
Renjana tak langsung menjawab. Ia menatap suaminya penuh makna, berusaha menelisik sesuatu yang mungkin tampak dalam tatapan lelaki itu. "Setelahnya," ujarnya lambat-lambat, "aku bisa hidup semauku kan?"
"Ya."
"Kita akan bercerai secara resmi?"
"Seperti yang kamu inginkan."
"Aku bisa kembali pada Dirga?"
Argani menahan napas dan membuang pandangan. "Dengan siapa pun."
"Ini bukan tipuan, kan?"
"Selama mengenalku, apa aku pernah ingkar?"
Renjana tidak menjawab. Argani yang dikenalnya memang paling anti menjilat ludah sendiri. Meski licik, dia tak pernah ingkar janji. Tetapi tetap saja Renjana merasa ragu. Bagaimana pun, dia Argani. Yang akan selalu melakukan berbagai cara untuk mendapatkan yang diinginkan.
"Aku ingin hitam di atas putih."
Argani tersenyum satire. "Setakut itu aku akan ingkar." Ia melirik Renjana dengan ujung mata. Ada kilat terluka di matanya yang spontan membuat Renjana menatap ke arah lain.
"Hanya untuk berjaga-jaga."
"Baiklah. Aku akan menghubungi notaris."
Setelah itu sudah. Renjana hanya mengangguk sekali, dan tak ada obrolan lagi.
Argani memilih keluar setelah sepuluh menit mereka terjebak dalam kesunyian. Terlalu sunyi hingga detak jam dinding terdengar nyaring.
Oh, asing sekali. Padahal sewaktu SMA dulu mereka sangat akrab. Renjana kerab menempelinya di sekolah, membawanya berbaur dengan siswa lain agar ia tak sendirian.
Ah, tak usah jauh-jauh ke masa SMA. Awal pernikahan mereka juga lebih dari indah. Terlalu indah sampai Argani terlena dan merasa benar-benar punya rumah untuk pulang. Nyatanya tak demikian. Kebahagiaan singkat itu sungguh semu. Seperti mimpi yang tak pernah menjadi nyata.
Argani sudah menyentuh kenop pintu, hendak memutarnya agar bisa keluar, saat kemudian ia teringat sesuatu dan kembali menoleh ke balik punggungnya.
Ia berdeham untuk menarik perhatian, dan ya, berhasil. Renjana menoleh dan menatapnya kendati enggan.
"Di saat-saat terakhir pernikahan kita, setelah hitam di atas putih disahkan, aku harap kamu tidak keberatan bersikap seperti dulu saat awal pernikahan. Saat kamu masih hilang ingatan."
Renjana menelan ludah. Wajahnya tampak makin pasi, seperti ketakutan. "Haruskah kita tidur satu ranjang lagi?"
Apa Argani semengerikan itu sampai Renjana harus setakut ini? "Aku tidak akan menyentuh tanpa izin. Hanya tidur. Apa kamu keberatan?"
Wajah Renjana tampak sedikit lega. "Baiklah kalau hanya sekadar tidur tanpa sentuhan."
"Oke?"
Renjana mengedik, tanda bahwa ia bersedia. "Hanya tiga bulan kan? Hanya sampai anak ini lahir?"
Argani mengangguk.
"Satu lagi. Aku tidak ingin melahirkan normal. Tolong atur jadwal caesar dengan obgyn setelah ini."
Tenggorokan Argani sakit sekali. Apalagi dadanya. Untung ia masih bisa menahan diri. Renjana berhak atas tubuhnya. Dan Argani tidak boleh memaksakan apa pun terhadap wanita itu. Setidaknya dia masih bersedia melanjutkan kehamilan.
"Seperti yang kamu inginkan. Ada lagi?"
Yang ditanya menggeleng. "Silakan keluar."
Mengangguk singkat, Argani putar gagang pintu. Ia keluar dari ruangan itu dengan pelan. Sangat pelan hingga tak menimbulkan suara sedikit pun.
***
Huhuhu, maaf telat update, ya. Di duta lagi riweh, Cah. Riweh banget ....
Makasih buat yang masih mau nunggu. Yang nggak sabaran busa langsung ke karyakarsa, ya. Di sana udah tamat lengkap sama ekstrapart ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top