BAB 27
Seperti pungguk yang merindukan rembulan. Nyaris mustahil untuk digapai. Wajar. Bulan dan pungguk adalah dua hal yang berbeda. Jauh berbeda. Pungguk makhluk kecil di bumi, sedang rembulan merupakan penguasa langit malam.
Namun, Argani bukan pungguk yang menyedihkan. Dan Renjana juga tak sesuperior itu sampai bisa disamakan dengan rembulan.
Sungguh, dia hanya perempuan biasa dengan kecantikan standar. Dari kalangan yang ... jangan lupa usaha ayahnya yang nyaris bangkrut. Perumpamaan pungguk dan rembulan sama sekali tidak cocok dengan mereka.
Hanya saja, sial. Argani memang semenyedihkan si pungguk Malang yang hanya bisa memandang tanpa dapat memiliki. Memang, Renjana miliknya. Istrinya. Tetapi hanya sekadar hitam di atas putih, itupun dengan tipuan. Sedang hati perempuan itu bukan miliknya. Argani hanya memiliki raga Renjana dan bukan jiwanya.
Ya, semenyedihkan itu.
Argani, dialah yang layak disebut rembulan itu. Banyak perempuan semenyedihkan pungguk yang menginginkannya. Ia bahkan bisa memiliki sekelas elang sekali pun. Hanya saja, perasaannya terhenti pada Renjana. Pada perempuan yang sama sekali tak menginginkannya, sejauh apa pun perubahan yang ia alami.
Renjana ... membencinya.
"Menyedihkan sekali."
Dua kata itu memancing perhatian Argani, berhasil mengalihkan afeksinya dari pemandangan di balik jendela ruang tengah lantai dua yang mengarah pada danau buatan di halaman belakang. Ya, ia sedang mengamati Renjana yang berjalan setengah melamun di sepanjang sisi danau dengan tatapan kosong, seolah tak ada yang menarik di dunia ini.
Menoleh ke samping, Argani dapati ibunya. Sukma, yang tampak jauh lebih muda dari usia beliau yang sudah air menginjak kepala enam. Tak tampak satu helai pun uban di atas kepala beliau. Semua tampak hitam dan mengilau. Wajahnya pun hanya memiliki sedikit kerutan. Seperti perempuan berusia akhir tiga puluhan. Efek dari perawatan mahal dan hidup sehat.
Perempuan yang telah melahirkan Argani ke dunia ini, berdiri di sisi si sulung dengan tatapan mengarah lurus ke arah Renjana di bawah sana yang kini mulai mendekati perahu.
"Mama!" Argani berseru dengan nada lelah. Ia mendesah. "Kenapa berkunjung tanpa kabar?"
"Haruskah berkabar hanya untuk mengunjungi anak sendiri?" Sukma melirik ke arah putranya sembari menaikkan satu alis. "Kamu sudah lama tidak pernah datang ke rumah. Hampir tiga bulan. Wajar kan kalau Mama kangen, apa lagi sekarang kamu putra kami satu-satunya."
"Tolong jangan ingatkan aku tentang itu."
"Kenapa?"
"Karena selamanya aku akan tetap menjadi sulung."
"Dari bungsu yang sudah meninggal?" Nada sarkasme itu sangat menyebalkan.
"Selamanya Dina akan tetap hidup bagiku, Ma."
"Di hati. Hanya di hati."
"Langsung saja. Apa tujuan Mama datang? Mama tidak pernah berkunjung tanpa tujuan."
Sukma menueringai kecil. Argani memang sudah sangat mengenalnya. Menarik napas pendek, ia kembali memerhatikan menantunya yang entah sejak kapan duduk di atas perahu dan mulai mendayung tanpa tenaga ke tengah. "Karyawan butik telepon, Renjana sudah beberapa bulan tidak pernah datang, padahal stok butik sudah hampir habis dan banyak model pakaian yang sudah ketinggalan zaman. Karyawan sudah beberapa kali menelepon Renjana, tapi ponselnya tidak aktif. Semua pasti ulah kamu, kan?"
Retoris sekali pertanyaan itu. Argani menolak menjawab. Yang ibunya artikan sebagai iya.
"Beberapa bulan ini Renjana sedang tidak baik-baik saja."
"Maksud kamu?"
"Dia sudah ingat semuanya, Ma."
Sukma tampak tidak terkejut sama sekali. Beliau bahkan tidak mengernyit, seolah tahu cepat atau lambat cerita fiksi putranya akan berakhir juga. "Lantas, bagaimana dengan nasib butik? Kita tidak mungkin menutupnya begitu saja. Dina bekerja cukup keras membangun butik itu dari nol."
Benar, butik itu merupakan hasil kerja keras Dina. Mending adik Argani yang tersayang, yang nahas harus meninggal di usia muda lantaran penyakit jantung yang dideritanya sejak lahir. Hampir dua tahun lalu. Dian berhasil membangun butik hingga dikenal berbagai kalangan, dan saat gadis malang itu berpulang, Sukma yang mengambil alih butik sampai kemudian tiada angin tiada hujan, Argani datang secara tiba-tiba padanya dan meminta butik dialihkan atas nama Renjana. Dari sana skenario hidup dari Renjana yang hilang ingatan dimulai.
"Siapa dia?" selidik Sukma curiga saat kali pertama putranya datang dan berniat membeli hasil usaha adiknya. "Bagaimana bisa kamu lancang meminta butik Dina untuk orang lain?"
Ditanya sesinis itu, Argani sama sekali tak gentar. Dia hanya mengalihkan pandangan dan menjawab dengan begitu ringan. "Bukan orang lain, Ma. Dia calon istri aku."
"Chintya?"
Argani berdecak. "Pertunangan kami sudah batal. Mama tidak mungkin lupa itu."
Memutar bola mata jengah, Sukma mendelik pada putranya. "Bukankah wanita yang kamu inginkan itu sudah menjadi calon istri orang lain? Dan bukankah dia menolak kamu? Kenapa kamu masih harus memaksakan diri."
"Dia kecelakaan dan hilang ingatan." Argani menjelaskan ogah-ogahan, hanya agar Sukma tidak banyak bertanya, yang justru sebaliknya.
"Lantas?"
Senyum yang muncul di bibir Argani kala itu tampak aneh dan asing. Pun menyeramkan. Sukma merinding dibuatnya. "Mama tidak perlu tahu, yang pasti dua sudah bersedia menjadi istriku."
"Kamu tidak memanipulasinya kan, Argani?"
Yang ditanya memepuk paha sekali dan mengalihkan pandangan tanpa menjawab pertanyaan Sukma. Dan tanpa dijawab pun, Sukma tahu. Putra sulungnya memang harus selalu memiliki apa yang diinginkan sejak dulu, sedari kecil. Mirip dirinya.
Sukma ingin marah, tetapi dia juga merasa kasihan. Orang-orang seperti mereka sulit untuk jatuh cinta, dan sekali menjatuhkan hati, maka semua berhenti di sana, tak bisa ke lain lagi. Pun demikian dengan Sukma. Ia pernah jatuh cinta sekali, sayang tak bisa menyatu. Dan dirinya harus menerima kenyataan menikah dengan ayah Argani, yang sampai saat ini tak bisa meluluhkan perasaannya.
Dan begitulah cerita palsu kehidupan Renjana dimulai. Sampai semua berantakan begini, sama sekali tak sesuai harapan. Renjana yang kemungkinan bisa amnesia permanen, ternyata telah berhasil mengingat semuanya. Secepat ini. Dan dari wajah Argani yang tampak kaku, Sukma tahu seberapa dalam frustrasi yang putranya rasakan. Tetapi Sukma tidak bisa melakukan apa pun. Argani sudah berani bermain api, maka ia juga harus siap terbakar.
"Lalu, apa yang akan kamu lakukan?" Sukma kembali menatap ke luar jendela, pada perahu yang mengambang di danau, di bawah sana. Wanita itu melamun sambil bermain air, gesturnya seakan tak memiliki semangat untuk hidup.
"Tentu saja mempertahankannya."
"Meski dia akan sangat membenci kamu?"
"Bisa jadi dia akan membalas perasaanku suatu hari nanti."
Sukma tertawa sumbang. "Setelah semua yang kamu lakukan? Jangan terlalu banyak berharap, Nak."
"Kenapa tidak?"
"Pikirkan anak kalian nanti. Bagaimana perasaannya harus ditatap dengan amarah setiap hari oleh ibunya sendiri. Kamu mungkin sanggup, tapi mahluk kecil itu?"
Sontak, Argani terdiam. Tao menemukan satu kata pun untuk dijadikan bantahan. Yang ia pahami, setiap anak menginginkan kasih sayang dari ibu mereka. Termasuk juga Argani. "Mama menyayangiku," ujarnya kemudian dengan nada kaku. "Aku juga anak dari orang yang sama sekali tidak Mama cintai. Tapi kalian bisa hidup bersama sampai sejauh ini hanya dengan cinta Papa yang bertepuk sebelah tangan."
"Kasus kita tidak sama. Mama sama sekali tak membenci ayahmu. Mama justru sangat menghormatinya, dan Mama menerima lamarannya dulu tanpa paksaan. Kamu adalah anugerah yang sangat Mama inginkan, begitu juga Dina. Sedangkan Renjana, dia mengandung bayi laki-laki yang sudah menipunya."
Sukma benar. Renjana memcengkeram terakis jendela. Kehilangan kata-kata. Ia menipiskan bibir saat melihat Renjana di bawah sana makin menunduk, dan kemudian ....
Byur!
Wanita itu menghilang di bawah permukaan air. Sukma yang juga melihat, terkesiap. Sedang Argani mengumpat.
Buru-buru lelaki itu berbalik dan berlari secepat kilat seperti orang gila, ia bahkan melangkah beberapa anak tangga saat turun menuju lantai satu. Pelayan yang baru pulang belanja pun nyaris ia tabrakan saat melewati pintu samping menuju halaman belakang. Ia bahkan lupa menggunakan sandal.
Begitu tiba di tepi danau, Argani melompat. Ia berenang dengan gaya bebas ke bagian tengah dan menyelam agak dalam untuk mencari istrinya yang belum kelihatan di bawah permukaan yang memiliki jarak pandang pendek, terlebih sekarang sudah memasuki kemarau dan air danau tidak sejernih kolam.
Dan setelah berputar-putar beberapa kali, akhirnya Argani menemukan ujung dress istrinya yang melambai-lambai. Argani menghampiri. Renjana setengah menutup mata saat ia dekati. Da begitu tangan sang istri berhasil ia raih, sepasang telaga bening itu sudah menutup sempurna.
Argani mendekap pinggang Renjana erat-erat dan membawanya ke tepian. Ia terengah-engah menyeret tubuh istrinya ke permukaan.
"Re!" Argani menepuk-nepuk pipi Renjana pelan. Tak ada jawaban. Renjana tetap memejam dengan segaris senyum kecil di bibirnya, seolah merasa damai dalam ketidaksadaran. Melihat itu, dada Argani nyeri, seperti ada satu jarum kecil yang menusuk dadanya dalam-dalam. Sangat dalam.
Sesakit itukah hidup bersamaku? Pikirnya seraya menekan dada wanita itu untuk memberi pertolongan pertama. Air berhasil keluar dari mulut Renjana dalam tekanan ketiga, tapi ia belum juga sadarkan diri.
Selanjutnya, Argani memberi napas buatan, tapi tetap gagal. Wajah itu masih pucat, seputih kertas. Pun terasa dingin. Tak ada rona sama sekali di wajahnya.
"Re, bangun!" Argani membentak setengah panik. "Kubilang bangun!" Ia menepuk-nepuk kembali pipi Renjana, kali ini dengan lebih keras, tetapi kelopak mata Renjana justru lebih rapat. "Jangan berani-berani membantah perintahku, Renjana, kalau tidak--" suara Argani tercekat.
Kalau tidak, apa? Sialan!
Tak ingin ada sesuatu terjadi pada istri dan anaknya, cepat-cepat Argani membopong tubuh tang terasa dingin dan lemas itu dengan setengah berlari. Nadinya pun melemah.
"Asal jangan mati, Re," batinnya, "Asal jangan mati, aku akan mengabulkan apa pun yang kamu mau. Ini janjiku."
Sungguh. Apa saja. Sekali pun Renjana ingin perpisahan, akan Argani kabulkan asal wanita itu tetap hidup. Cukup hidup. Itu saja. Sebab Argani tidak tahu, tanpa Renjana di dunia ini, masihkan ia bisa menjalankan satu hari saja tanpa ingin ikut mati, mengingat hanya Renjana dunianya sejak hujan hari itu, saat semesta memgabaikannya dan hanya dia yang mengulurkan tangan tanpa ragu.
Cinta pertamanya.
Dan sepertinya juga yang terakhir.
Jika bukan dengan Renjana, maka tidak dengan siapa pun.
***
Huhuhu …. Andai jatuh cinta sama orang yang tepat, pasti bahagia banget Argani ya😭
Yang pengen maraton bisa ke karyakarsa, ya. Di sana udah tamat, loh ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top