BAB 25
BAB 25
Ternyata berbuat baik pada orang lain tidak selalu berbuah manis. Kini, malah pahit yang harus Renjana petik atas uluran tangannya di masa lalu. Niat hati ingin membantu, sial ia malah salah sasaran.
Siapa sangka, dia yang dulu Renjana tolong di bawah langit yang sedang menangis, justru yang membuatnya meneteskan air mata paling banyak.
Argani. Renjana ingat betul lelaki itu. Bagaimana tidak, pemuda tersebut satu-satunya yang mengutarakan perasaan di depan umum untuknya. Saat perpisahan masa SMA. Si cupu yang selalu juara. Sebangku dengannya cukup memberi pengaruh untuk Renjana. Nilai akademisnya meningkat ia bahkan masuk peringkat lima besar di kelas. Padahal Renjana setuju duduk sebangku denganny karena saat itu sedang berselisih dengan Chintya.
Renjana akui, Argani banyak berubah. Dia yang dulu tambun, berkcamata dan wajah kusam, kini menjelma bak pangeran dari negeri dongeng. Tubuhnya ideal. Berotot di bagian tertentu. Garis wajahnya jadi lebih tegas. Sungguh berbeda dengan remaja dulu. Hanya sorot matanya yang masih sama. Entah ke mana perginya tumpukan lemak-lemak itu. Ah, siapa peduli.
Entah itu Argani si sempurna ini atau bukan, Renjana tetap tidak menginginkannya. Meski jujur, Argani yang sekarang jauh lebih tampan dari Dirga, tak ada pengaruhnya untuk Renjana. Terlebih setelah tahu, orang di balik batalnya pertunangan antara dirinya dengan Dirga adalah manusia ini. Yang ada Renjana justru membencinya. Sangat. Terlalu benci sampai Renjana tak sudi menatap wajah itu berlama-lama.
"Apakah ini bentuk balas dendam?" Langit malam ini cerah. Bulan tampak mentereng di langit Timur, berbentuk bulat sempurna berwarna kuning cerah. Indah sebenarnya, hanya saja karena suasana hati yang buruk, membuat Renjana tak bisa melihat sisi indah dari alam. Semua tampak buruk dan gelap. Sudut-sudur bibirnya tertarik ke bawah, sama sekali tak tertarik untuk senyum.
Merasa dadanya nyaris terbakar oleh amarah pada keadaan yang sama sekali tak mendukung, Renjana duduk di sisi kolam dan mencelupkan bagian bawah kakinya. Dingin, tentu saja. Tetapi tak sama sekali berhasil meringankan perasaan yang kacau balau. Napasnya tetap berat di setiap tarikan. Paru-parunya masih terasa sempit, seperti diikat tambang kuat-kuat.
Menunduk, Renjana perhatikan air yang semula tenang menjadi beriak. Seperti perasaannya.
"Dendam?" Sang lawan bicara mengulang. Dia mengikuti Renjana dan berdiri di sisi kolam, satu Langkah dari Renjana. Dua tangannya dimasukkan ke saku celana. Ia menunduk, menatap si gadis yang kala itu tampak layu. "Dendam apa maksudnya?"
"Karena dulu aku menolak kamu di depan umum. Dan sekarang, ini balasannya."
Argani berkedip pelan. "Kalau kukatakan aku masih menginginkan kamu seperti dulu, apa kamu percaya?"
Renjana tertawa kering, sama sekali tanpa humor. "Ia mendongak, menatap Argani yang saat itu juga menunduk, dengan pandangan tak senang. "Ingin?" sarkasme, "Mungkin maksud kamu penasaran," ada nada sinis dalam kata-katanya, "Kamu ingin tahu reaksiku setelah melihat--" ia memindai Argani dari ujung kepala sampai kaki dengan ekspresi meremehkan--"perubahan drastis kamu sekarang, kan? Kamu ingin tahu, apakah setelah fisik kamu berubah, aku akan menerima kamu dengan mudah?" Renjana berpaling sambil menuyeringai penuh ironi. "Sayangnya, tidak. Aku tidak mencari tampang atau posisi seseorang. Maaf. Aku mencintai lelaki lain. Kami hampir menikah, tapi karena lamaran kamu, Papa menentang kembali hubungan kami. Tidak bisakah kamu mencari perempuan lain saja?"
"Bisa saja," jawab Argani ringan, membuat Renjana spontan mendongak penuh harapan. Ia tersenyum.
"Sungguh?"
Argani mengedik pelan. "Tapi jika aku melakukan itu, maka aku tidak bisa memberikan pinjaman pada orangtuamu."
Senyum Renjana hilang secepat datangnya.
"Nominalnya besar, Renjana. Sangat besar. Dan aku yakin tidak ada orang lain lagi yang bersedia memimjamkan dana sebesar itu selain aku mengingat ... nama orangtua kamu hampir di-black list oleh bank. Dan kalau aku menarik pinjaman itu, aku tidak yakin keluarga kamu bisa bangkit lagi."
Geraham Renjana bergemelutuk. "Kamu jahat!"
"Bukan jahat, sayang. Realistis. Aku berani memberikan modal besar, karena ada sesuatu yang bisa mereka tawarkan. Dan aku tertarik dengan tawaran itu."
"Aku bukan barang yang bisa ditawarkan!"
"Faktanya memang demikian. Jadi sekarang pilihan ada di tangan kamu."
"Dulu kita pernah menjadi teman." Renjana menahan diri untuk tidak meraung. Ia masih berharap ada nurani di balik dada bidang yang dilapisi kemeja biru itu. "Tidak bisakah, sekali ini saja. Aku mencintai laki-laki lain, Argani." Ia mendongak lagi, menatap mata Argani tepat di mata. Berharap sekali sang lawan bicara akan iba. "Kami menjalin hubungan sejak kuliah, dan berjuang untuk mendapat restu dari keluarga. Lebih dari sepuluh tahun!"
"Manis sekali!" tukas Argani dengan nada dingin, sama sekali tak terpengaruh dengan kisah perjuangan cinta dua sejoli itu. "Tetapi kenapa aku harus peduli pada kalian, saat perjuanganku untuk sampai di sini juga tidak mudah?"
"Apa maksud kamu?"
Rahang Argani mengencang, sebelum kemudian dia melengos begitu saja. "Intinya, aku tidak bisa melepaskan kamu semudah itu, Renjana."
Bibir Renjana menipis. Ia mengeluarkan kakinya dari kolam dan bangkit berdiri, menghadap Argani dengan amarah yang sama sekali tak ditutup-tutupi. "Lalu bagaimana kalau aku yang memutuskan untuk lari?"
Satu alis Argani terangkat. "Memang kamu bisa?"
"Kenapa tidak?"
Menyeringai, Argani menggeleng-gelengkan kepala. "Saya kenal kamu. Kamu tidak akan melakukan itu. Kamu tidak mungkin meninggalkan keluarga kamu dalam keadaan ekonomi yang ... sekarat."
"Lihat saja nanti!" Kedua tangan Renjana terkepal erat di sisi-sisi tubuhnya setiap urat terasa mengejang, amarah berada di puncak ubun-ubun. Ingin rasanya ia ludahi lelaki sombong ini. Lelaki sombong yang sama sekali tak Renjana kenal ini. Karena Argani remaja dulu agak cupu dan lugu. Jangankan muncul menyobongkan diri, menyapa lebih dulu saja ia tak berani. Apa mungkin karena kini ia berkuasa dan memiliki fisik sempurna, karenanya ia berubah menjadi menyebalkan begini?
Argani mendengus kecil. "Baiklah, kita lihat saja nanti," ujarnya dengan nada bosan. Ia kemudian menyipitkan mata dan menatap Renjana penuh arti, "Aku pastikan, kamu akan mengandung darah dagingku. Bukan Dirga."
Dan---
Plak!
Renjana tak bisa menahan diri lagi. Napasnya menderu usai melayangkan serangan. Sedang Argani ... dasar iblis dari neraka itu justru hanya mengusap ujung bibirnya sambil tersenyum miring. Sialan.
***
Pilihan ada di tangannya. Renjana termenung, menatap kedua tangannya di atas pangkuan dengan tatapan nyalang. Benar. Ia hanya harus membuat keputusan.
Malam itu sudah cukup larut saat Renjana masih berdiri di depan jendela yang masih terbuka. Rembulan sudah meninggi. Argani telah pergi sejak beberapa jam lalu usai makan malam bersama.
Cara lelaki menatapnya, Renjana bergidik setiap kali mengingat tatapan teman masa SMA nya itu. Dalam dan intens. Pupil Argani tampak lebih gelap saat mengarah padanya. Seperti ada hasrat yang besar untuk memiliki.
Selama makan malam, tatapan Argani nyaris tak pernah lepas darinya sekalipun dia sedang berbicara dengan ayahnya. Dan cara sang ayah memperlakukan Argani sungguh ... terlalu hormat. Terlalu segan. Terlalu menjaga sikap. Seolah Argani manusia berangkat paling tinggi di bumi.
Keputusan apa yang harus Renjana ambil? Yang pasti, ia tak sudi menjadi istri Argani.
Melirik ponsel yang tergeletak di meja nakas samping ranjang, Renjana memilatkan tekat. Ia bergegas mengambil benda itu, lantas mendial kontak Dirga.
Panggilan pertama, tak ada jawaban. Panggilan kedua, masih sama. Renjana tidak menyerah. Ia melakukan panggilan ulang dan ... akhirnya Dirga menjawab.
"Kamu belum tidur?" Suara Dirga terdengar serak. Dia pasti terbangun karena telepon dari Renjana.
"Aku nggak bisa tidur."
"Kenapa?"
Dan Renjana mulai terisak. Air matanya jatuh begitu saja. Membayangkan ia akan kehilangan Dirga, rasanya tak sanggup. Dirga sudah menemaninya lebih dari satu dekade. Mereka membangun bengkel bersama dari nol, meski Renjana hanya sekadar ada tanpa ambil peran apa pun. Tetap saja, terlalu banyak kenangan. Bahkan dalam mimpi Renjana, hanya ada sosok Dirga di masa depan. Ia bahkan sudah merangkai dalam angan, baju apa yang akan dikenakan saat pernikahan. Renjana pembelanjaan rumah tangga, bahkan berapa anak yang ingin mereka miliki.
Jika bukan dengan Dirga, Renjana tak akan bisa. Lelaki ini dunianya. Yang paling sabar menghadapinya. Yang menunggu beetahun-tahun hanya untuk mendapat restu ayahnya. Yang paling tahu sifatnya. Dan dia merelakan Renjana begitu saja dengan orang lain demi kebaikan ekonomi keluarga, tanpa memikirkan lukanya sendiri. Di mana lagi Renjana bisa menemukan laki-laki setulus Dirga?
Jika bukan dengan Dirga ... tangis Renjana makin menjadi.
"Jan," suara Dirga di seberang saluran berubah khawatir. "Kamu baik-baik saja, kan?"
"Kamu benar mencintaiku kan, Ga?" tanya Renjana di sela isak.
Suara desah Dirga terdengar panjang. "Kenapa kamu masih bertanya?"
"Kamu mau menikah sama aku kan?"
"Jan--"
"Tolong jangan pikirkan yang lain. Sepuluh tahun, Ga. Apa artinya sepuluh tahun ini?!"
"Tapi ayah kamu--"
"Papa bahkan tidak peduli dengan perasaanku. Kenapa aku aku harus peduli?"
"Terus mau kamu apa?"
"Kita kawin lari, ya!"
Ya, Renjana sudah membuat keputusan. Dan inilah keputusannya. Ia akan lebih memilih Dirga. Tidak keluarganya yang hanya mementingkan uang. Tidak juga Argani yang sombong itu.
Mengingat janji Argani yang setengah mengancam tadi membuatnya takut. Entah mengapa, seperti ada lebih dari sekadar janji dalam tatapannya. Dan Renjana tidak mau kalau sampai ucapan lelaki itu menjadi kenyataan.
Mengandung anak Argani?! Oh, semoga tidak sama sekali.
"Jangan gegabah, Jan!"
"Aku nggak gegabah. Aku nggak bisa menahan diri lagi. Aku nggak sanggup, Ga."
"Tolong pikirkan sekali lagi. Jangan sampai kamu menyesal."
"Justru aku akan lebih menyesal kalau sampai melakukan sebaliknya."
Dirga tidak langsung menyahuti. Renjana menggigit kuku-kuku tangannya yang tidak memegang ponsel. Harap-harap cemas dengan jawaban Dirga. Sedang air matanya masih terus mengalir, menolak berhenti. Sesekali ia menyeka pipinya yang basah di sela-sela isak tangis.
Terdengar suara desahan pelan. "Kapan?"
Seperti mendapat angin segar di tengah gurun. Renjana bernapas lega mendengar tanya Dirga yang hanya berarti satu hal. Dia setuju. Setuju!
"Malam ini."
Dirga mengumpat pelan. "Jangan gila, Jan!"
"Tolong, Ga. Demi kita."
***
Di sebelah, insyaAllah satu bab lagi tamat, yaaa ....
Kuy yang mau maraton. Monggo ^^
Di wattpad insyaAllah akan dipercepat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top