BAB 24
"Aku tidak tahu, entah kamu memang benar cinta, obsesi, atau terlalu bodoh sampai berjuang sekeras itu hanya untuk Renjana yang bahkan sama sekali tidak menginginkan kamu."
Chintya baru saja datang, langsung masuk ke ruang kerjanya tanpa mengetuk pintu lebih dahulu. Bahkan sekretaris Argani tak mampu melarang wanita itu. Satpam yang dipanggil untuk mengamankannya oleh asisten sang bos pun, tak berani menghadang mengingat siapa perempuan tersebut. Orang-orang kantor Argani mengenalnya sebagai mantan tunangan lelaki itu.
Argani yang sebelumnya sedang sibuk bekerja di depan layar, sontak mendongak lantaran kaget saat pintu ruang kerjanya menjeblak terbuka begitu saja dari luar. Ia menyipit tak senang melihat kedatangan tamu tak diundang yang muncul dari sana dengan diikuti sekretarisnya dengan wajah permohonan maaf. "Saya sudah berusaha menghalangi Bu Chintya, Pak, tapi beliau--"
"Saya mengerti," ujar Argani tanpa menoleh pada sekretarisnya, dan hanya menatap Chintya dengan raut masam. Lega terpancar dari wajah si sekretaris yang langsung mohon undur diri.
"Kupikir urusan kita sudah selesai, Chintya. Dan saat ini aku sibuk."
"Kamu membatalkan pertunangan kita sepihak, Argani!" Wanita itu meraung. Matanya memerah karena marah. "Lima tahun. Selama lima tahun aku bersabar hanya untuk disampaikan. Kamu benar-benar tega!"
Argani menipiskan bibir. Ia menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi kerja berada yang spontan mundur menjauhi meja persegi yang dipenuhi tumpukan berkas yang masih harus ia kerjakan. Menumpukan kedua siku tangannya ke lengan kursi, Argani menjalin jari-jemari di depan dada. "Kamu yang memutuskan untuk menunggu meski tahu perasaanku untuk siapa. Kamu yang selalu meremehkan dan berkata aku tidak akan mampu tanpa keluargaku. Tetapi, lihat sekarang. Aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri."
"Tetap saja ini tidak adil!"
"Lantas, apakah menikahi kamu itu adil untukku?"
Chintya menggigit bibirnya. Ada kesedihan di sepasang telaga bening wanita itu yang masih memerah. Kelopaknya tampak sedikit bengkak, seakan memberi tahu dunia bahwa ia menangis semalaman di balik selimut. Sendirian.
Salah Chintya. Ia tahu Argani tidak pernah memiliki rasa apa pun untuknya. Sejak awal hanya ada Renjana. Sosok gadis yang dikenalnya semasa SMA. Satu tahun. Hanya satu tahun, tapi mampu membuat Argani menggila hingga lebih dari satu dekade lamany.
"Apa yang Renjana miliki dan aku tidak?" tanyanya setengah putus asa. "Aku yang populer di sekolah dulu. Dia hanya mendompleng padaku, jika tidak berteman denganku, siapa yang akan mengenalnya? Aku juga lebih pintar di sekolah. Selalu peringkat atas dan hanya kalah saat satu kelas dengan kamu. Renjana? Dia jauh di bawah kita. Dari segi keluarga, aku juga lebih baik!" Chintya menepuk dadanya sendiri dan mulai terisak.
Argani baru menyadari betapa buruk penampilan mantan tunangannya itu sekarang. Dia tak serapi biasanya. Rambutnya pun tergerai berantakan, hanya sedikit lebih rapi karena ia memakai bandana. Dia yang biasa mengenakan setelan pun, saat ini datang dengan pakaian rumahan--tapi masih tergolong aman dikenakan keluar. Tetap saja, tak seperti Chintya yang Argani kenal.
"Dari banyak segi, mungkin kamu memang lebih baik dari Renjana. Tetapi, hanya Renjana yang dulu datang padaku saat aku butuh. Mengulurkan tangannya. Saat aku bukan siapa-siapa. Saat itu, di mana kamu, Chintya?"
Yang ditanya sejenak bungkam, hanya menatap Argani nanar selama beberapa saat sebelum kemudian kembali buka suara, "Tetapi aku yang menemani hampir seluruh proses kamu!"
"Setelah aku berubah menjadi lebih baik. Dari banyak sisi. Lagi pula, aku juga tidak pernah menjanjikan apa pun. Kamu tahu betul itu."
"Tetap saja. Apa semua itu tidak ada artinya?!"
Argani mendesah. Ia melepas jalinan jari jemarinya dan memutar kursi kerja menghadap jendela ruangan yang hordennya terbuka, menampilkan pemandangan langit Ibu Kota yang menderang. Matahari sudah meninggi, memancarkan kegagahannya pada dunia seolah ingin mengintimidasi bumi. "Bukankah beruang kali sudah kukatakan agar kamu mencari laki-laki lain? Tetapi kamu terlalu keras kepala, Chintya. Sekarang... apa? Aku yang seakan-akan menyakiti kamu."
"Kenyataannya memang begitu!"
"Ini salah satu perbedaan kamu dari Renjana."
"Renjana! Renjana! Renjana!" Chintya setengah menjerit lantaran terlalu kesal. "Aku muak mendengar namanya!"
"Dan aki senang menyebutkannya."
"Dia mencintai laki-laki lain, Argani. Kamu tidak akan pernah mendapatkannya."
Argani mendongak mendongak makin tinggi. Menantang cahaya matahari yang menyilaukan tanpa sama sekali berkedip, seolah tak merasa silau sama sekali. "Akan kubuktikan padamu. Secepatnya. Kamu akan berada dalam daftar pertama tamu undangan dalam pernikahan kami," ujar Argani penuh janji.
Chintya menggeram. Ia tahu dirinya tak akan pernah menang berdebat dengan laki-laki itu. Laki-laki yang sialnya ia sukai. Terlalu suka hingga ia rela menunggu bertahun-tahun dalam ketidakpastian.
Tak kuasa berada bersama dengan Argani dalam ruang yang sama lebih lama, Chintya memutuskan untuk pergi dari sana dengan langkah setengah menghentak-hentak. Lantas membanting pintu dari luar sekuat tenaga.
Argani tak tersinggung sama sekali. Dia hanya menggeleng kecil. Memahami. Cinta sendirian itu sama sekali tak menyenangkan. Tetapi lebih sakit melihat seseorang yang dicintai dengan yang lain. Seperti saat melihat Renjana dengan Asep Dirgantara. Untungnya pernikahan mereka sudah dibatalkan. Renjana bukan lagi milik lelaki itu, melainkan milik Argani kini. Ayah wanita tersebut sudah menandatangani perjanjian utang yang Argani berikan, dengan Renjana sebagai imbalan.
Nanti malam waktu temu mereka. Argani sudah tidak sabar. Ingin rasanya memutar waktu, sayang ia tak memiliki kuasa atas itu. Jadi untuk membunuh rasa tak sabarnya, Argani memutuskan untuk menyibukkan diri dengan pekerjaan.
***
Malam menjelang seperti tiba-tiba. Terlalu cepat rasanya. Hari-hari setelah rencana pernikahannya kacau balai seperti berlari. Dan kini tiba saatnya pertemuan dengan laki-laki yang sama sekali tak Renjana inginkan. Pilihan Papa dan Mama yang katanya jauh lebih baik dari Dirga.
Sebaik apa pun kalau bukan Dirga, untuk apa? Renjana mendesah hanya untuk merasakan kerongkongannya makin perih. Setiap hela napas yang ia hirup terasa berat sekali. Seperti tak ada lagi yang menyenangkan di dunia ini.
Melirik ponsel di meja rias, Renjana ingin menangis. Tak ada telepon atau pesan dari Dirga. Ayah dan ibu lelaki itu juga sudah memblokir kontaknya.
Dirga sempat menghubungi beberapa hari lalu, menyampaikan kekecewaan terhadap keputusan ayah Renjana yang terlalu tiba-tiba. Dan Renjana hanya bisa terisak sambil memohon maaf.
"Bukan salah kamu, Jan. Jangan minta maaf. Aku sedih kalau kamu seperti ini. Percaya saja, kalau memang jodoh, kita akan menemukan jalan untuk kembali bersama," ucap Dirga dari seberang saluran.
Jalan katanya. Jalan yang mana? Jalan mereka terlalu berliku. Bertahun-tahun berjuang untuk mendapatkan restu, begitu didapat, ada lagi rintangan yang datang.
Renjana sempat mengajak kawin lari, hanya saja Dirga menolak. Katanya, "Aku ingin mengambil kamu dengan cara yang baik dari orangtua kamu, Jan. Bagaimana pun mereka merawat kamu sejak kecil, dan itu tidak mudah."
Memang benar. Hanya saja ... Renjana menelan ludah kelat.
Mengalihkan pandangan dari ponsel, ia menatap bayangan dirinya di cermin. Sosok di depan sana tampak asing. Cantik. Dengan bermacam-macam riasan. Ibunya terlalu antusias dengan kedatangan tamu spesial mereka malam ini sampai mendatangkan MUA ke rumah untuk mendandaninya sedemikian rupa. Pun memberikan pakaian baru. Dres merah muda dengan potongan sederhana dengan panjang di bawah lutut dan lengan seperempat. Rambutnya dikriting gantung.
Cantik. Tapi, bukan Renjana sekali. Ia aslinya tidak sefaminim ini. Dia juga berias, tetapi tak setebal tampilan di depan cermin sekarang.
Yang lebih menyakitkan, tampilan cantik ini bukan untuk Dirga, kekasihnya.
Ketukan dari luar pintu kamar terdengar. Tanpa menunggu instruksi, Mama masuk ke dalam dengan senyum semringah. Ia tampak puas menatap hasil make up yang mendempul di wajah putrinya. "Wah, cantik sekali anak Mama."
Renjana sama sekali tak tersanjung dengan pujian itu.
"Calon suami kamu sudah datang. Ayo keluar, Sayang."
Calon suami. Ingin tertawa rasanya mendengar dua kata itu terucap dari bibir ibunya. Semudah itu orang lain mendapatkan restu, sedang Dirga yang berjuang mati-matian selama bertahun-tahun, tak sama sekali mendapatkan apa pun.
Ingin rasanya menolak, tapi Renjana tahu semua itu percuma. Jadilah ia hanya menurut. Bangkit berdiri. Memilih pasrah, karena menolak pun percuma.
Laki-laki itu sudah tiba. Dia datang sendirian, tanpa keluarganya. Begitu Renjana tiba di ruang tengah, laki-laki bersetelan hitam yang semula duduk membelakanginya, menoleh, menatap Renjana lekat, yang Renjana tatap balik tanpa gentar.
Tak mau munafik, Renjana akui dia tampan. Jauh lebih tampan dari Dirga. Dan wajah itu seperti tak asing. Dia seperti pernah melihatnya, entah di mana. Atau ini hanya perasaan Renjana saja.
"Ini Renjana," kata ayahnya sambil tersenyum bangga. Beliau menarik lembut tangan si sulung untuk dihadapkan pada tamu kebanggaan mereka. "Re, ini laki-laki pilihan yang Papa maksud. Ayo kenalan."
Renjana menolak menurut. Alih-alih mengukurkan tangan, ia justru melengos. Ayahnya menegur dengan deretan keras, yang sama sekali tak Renjana pedulikan.
Meringis, lelaki paruh baya itu memohon maklum dari Argani yang tampak tak sama sekali tersinggung. "Anak kami kadang memang agak keras kepala."
"Saya tahu." Argani bergumam pelan. "Lagipula, kami sudah saling kenal."
Kalimat terakhir Argani berhasil menarik perhatian Renjana yang spontan kembali menatapnya. "Maaf, tapi saya tidak pernah mengenal Anda!"
Satu alis Argani terangkat. Ia menatap Renjana geli. "Mungkin kamu cuma lupa."
"Maksudnya?"
"Saya Argani, Renjana. Teman SMA kamu. Yakin kamu tidak kenal?"
"Argani?" Renjana mengulang nama itu dengan setengah mengeja. Muncul kerutan di keningnya, tanda ia berusaha mengingat.
Ugh, kalau boleh jujur, Argani sedikit tersinggung Renjana butuh waktu selama itu hanya untuk mengingatnya. Meski ya, Argani yang dulu dan sekarang jauh berbeda. Tetapi, tidakkah Renjana ingat namanya? Argani bukan nama yang pasaran.
"Argani." Renjana mengulang nama itu sekali lagi. Tampaknya ia sudah mulai mengingatnya dilihat dari ekspresi wajah dan tatapannya yang menelisik sang lawan bicara dari ujung kepala sampai kaki. Dia lalu menggeleng pelan. "Argani yang gendut itu?"
Yang gendut itu. Uh, kenyataannya memang demikian, tetapi kenapa Argani tak senang? Ternyata begitu kenangan Argani dalam pikiran wanita itu. Sama sekali tak berarti.
Argani mengedik, berusaha tak menampakkan rasa tidak senangnya. "Saya diet."
Renjana berdecih. "Jadi kamu yang membuat Papa menarik restunya dari Dirga? Dan kamu pikir, hanya karena sekarang kamu sudah kurus, aku akan mau? Picik sekali!"
***
Telat lagi, ya? Hehehe … maaf. Ngetiknya kudu curi2 waktu, Cah. Jadi maklum, ya ….
Beberapa bab lagi yang di karyakarsa tamat, ya. Yang mau maraton monggo.
Tenang, di sini insyaAllah sampe tamat juga, ya. Tapi sabar.... hehe ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top