BAB 22



Kembali ke tanah air setelah sekian tahun menempuh pendidikan di negeri orang rasanya ... aneh. Semua terasa berbeda. Banyak yang berubah dari bertahun-tahun lalu. Gedung-gedung yang dulu tinggi makin menjulang berusaha mencakar langit, pun bangunan bertingkat lain yang mulai dibangun. Kendaraan kian padat. Udara makin terasa tak ramah. Juga perubahan-perubahan lain yang membuat Argani kian asing dengan negaranya sendiri. Kendati demikian, tetap saja menyenangkan. Akhirnya ia pulang, membawa bekal ilmu untuk dimanfaatkan di masa depan.

Ah, sudah berapa tahun ia meninggalkan tempat kelahirannya ini? Enam tahun? Tujuh? Entahlah. Argani tidak terlalu menghitung. Yang pasti, hari-hari ia lewati dengan yah, jadwal yang padat. Jadwal belajar dan diet ketat. Olahraga tidak boleh terlewat. Tubuhnya kurus dan padat berotot seperti sekarang bukan sekadar hadiah cuma-cuma dari langit, melainkan karena usaha yang cukup keras. Atau sangat keras.

Kini, tak ada lagi Argani yang dulu dijauhi karena kegendutan. Yang ada hanya ... Argani, yang sering disebut "si tampan dari Asia" oleh beberapa teman dan dosen di kampusnya. Ditambah warna kulitnya yang lumayan eksotis, tidak sepucat warga Eropa pada umumnya, membuat ia makin disukai.

Siapa yang tidak mau dengan lelaki itu sekarang? Oh, tentu sudah banyak yang mengantar. Argani hanya tinggal tunjuk, maka kaum Hawa akan ikut dengan suka rela. Termasuk Chintya, siswa paling populer di masa SMA yang dulu memandangnya setengah mata--kawan Renjana.

Siapa sangka, ternyata mereka lolos di kampus yang sama, dan pertama kali bertemu di tahun kedua, saat fisik Argani mulai berbeda. Kebetulan Chintya mengambil jurusan manajemen, sedang Argani di ekonomi. Mereka tak sengaja bertatap muka pertama kali di perpustakaan salah universitas kenamaan Inggris.

Kala itu Argani sedang membaca sambil berdiri di samping rak saat kemudian ada seseorang dari bilik sebelah yang mengambil buku di rak depannya hingga bekas buku tadi berlubang. Lalu sesaat kemudian aksen nama yang lama tak ia dengar terdengar, membuatnya sedikit terkejut hingga mengerutkan kening.

"Argani!"

Argani. Sedangkan di sini ia biasa dipanggil 'Ar' atau nama belakangnya--dengan aksen Inggris tentu saja.

Dan bukan hanya aksen, suara yang menyerukan namanya pun tak asing.

Dengan kening berkerut, Argani mendongak dari bukunya. Kedua alisnya spontan terangkat saat menemukan wajah familier si depan mata malalui celah kecil yang tercipta setelah salah satu buku terambil.

"Kamu ...." Argani tidak mungkin lupa. Dia salah satu teman dekat perempuan cinta pertamanya di zaman putih abu-abu, paling populer satu sekolahan pula. "Chintya."

Tak heran Chintya bisa berada di sini. Selain cantik, otaknya juga lumayan jalan. Selama dua semester berada di kelas yang sama semasa putih abu-abu dulu, Chintya konsisten menempati peringkat kedua setelah Argani sendiri. Dan di kelas sebelum-sebelumnya, ia selalu berada di peringkat pertama. Pun beberapa kali diikutkan olimpiade.

"Kamu benar Argani?" Sang lawan bicara masih tak percaya. Ia bahkan sampai ternganga dan menutup mulutnya. Dan seolah ingin memastikan lebih lanjut, ia kembali meletakkan buku ke rak hingga celah kosong tadi hilang, lalu gadis tersebut muncul lagi di bilik yang sama dengan Argani, menghampirinya. "Benar-benar tidak bisa dipercaya!" ujarnya, berhasil membuat Argani yang sudah kembali membaca, mengangkat kepala lagi menghadapnya yang entah sejak kapan berdiri di sisi yang sama.

Argani hanya berkedip dan mengangkat satu alis.

"Ini benar kamu? Argani yang ...." Dia tampak tak nyaman untuk meneruskan kalimatnya, jadi hanya bisa melanjutkan dengan isyarat memerhatikan Argani lekat dari ujung kaki hingga kepala.

Argani mengedik tak acuh. "Yes, this is I'm. Cowok gendut berkacamata yang dulu ditolak mentah-mentah oleh sahabat kamu di depan umum."

Chintya tertawa pelan. "O-ow. Sepertinya ada yang masih marah." Dia melipat tangan di depan dada seraya bersandar ke rak buku. Tatapannya tak lepas mengamati Argani seolah lelaki itu spesies langka.

"Bukan marah. Hanya ... itu salah satu kenangan yang tidak akan pernah terlupakan."

Mengedik, Chintya mengambil bulu secara acak. "Aku mengerti, dan itu cukup wajar. Dulu kamu jauh berbeda dari sekarang."

"Kalau saja dulu aku seperti sekarang, apa sahabatmu akan menerima?"

Chintya batal membuka buku yang tadi diambilnya. Dia membuat ekspresi seolah sedang berpikir, sebelum kemudian menggeleng mantap. "Renjana bukan tipe perempuan yang melihat orang lain dari fisik."

"Lantas dari mana?"

"Hati yang pasti. Tapi aku juga tidak cukup tahu, karena sejauh aku mengenal Renjana, dia belum pernah menjalin hubungan lebih dari sekadar teman dengan orang lain."

"Sampai sekarang?"

"Entah kalau sekarang. Kami sudah lama tidak berkomunilasi. Jadwal kuliah yang lumayan padat di semester awal membuatku jarang membuka media sosial."

Argani menahan diri untuk tak memutar bola mata. "Jadi kamu tidak tahu kabar terbarunya?"

Yang ditanya menggeleng. Argani hanya ber oh pendek. Dalam hati terbesit keinginan untuk membuktikan perkataan Chintya tentang Renjana yang tidak melihat seseorang dari bentuk fisik.

Kalau benar dia tidak melihat seseorang dari segi fisik, Renjana tidak akan menolaknya mentah-mentah di depan mata seluruh siswa.

"Omong-omong, kenapa kita baru bertemu sekarang ya?" lanjut Chintya, membuka topik baru.

Argani mengedik sebagai jawaban, yang berlanjut pada  obrolan lain hingga satu jam terlewat begitu saja di perpustakaan itu. Di akhir pertemuan, Chintya meminta nomor kontak Argani yang lelaki tersebut berikan tanpa pikiran panjang, yang membuat mereka sering betemu di kemudian hari.

Sampai saat ini.

Oh, andai dulu ia tahu Chintya akan begitu menggilainya, sudah tentu Argani tidak akan pernah memberikan akses pada wanita itu untuk mendekat.

Omong-omong, bagaimana kabar Renjana sekarang? Apakah dia sudah menikah? Entah. Argani bahkan tidak tahu sekarang perempuan itu tinggal di mana. Sudah hampir satu bulan Argani kembali, tapi mereka belum pernah bertemu sekali pun.

Mudah sebenarnya untuk tahu semua hal tentang Renjana. Argani tinggal membayar seseorang dan ia tinggal terima beres, tapi Argani tidak melakukannya. Entah, hanya belum ingin.

Sampai di akhir bulan kedua ....

Saat itu Argani sedang ditugaskan oleh ayahnya untuk kunjungan bisnis ke Bandung selama beberapa hari. Sialnya begitu lepas dari tol Cipularang, cuaca berubah menjadi buruk. Hari yang tadi cerah, berubah seketika. Hujan turun begitu deras dan langit menghitam.

Andai hanya hujan, tak masalah sebenarnya. Naasnya, mobil lelaki itu mogok. Di tengah jalan. Di bawah langit yang menangis. Dan kartu sim yang Argani gunakan tidak mendukung di cuaca buruk. Sinyal mendadak ikut lenyap. Jadi, tak ada siapa pun yang bisa ia hubungi. Jadilah ia hanya bisa menepi di bahu jalan. Sesekali mendapat klakson teguran dari pengendara lain yang mengira ia parkir sembarangan. Sementara ia tidak kenal daerah sini. Bengkel pun sepertinya jauh.

Ya Tuhan, Argani berdoa dalam hati. Memohon agar dikirimkan seseorang yang bisa membantunya. Siapa pun. Tolong.

Dan ya, Tuhan mengabulkan. Tak lama kemudian, datang seseorang bersepeda motor model tua--bukan motor murahan, Argani kenal model itu--berhenti di belakang mobilnya. Si pengendara turun dan mengetuk kaca pintu mobil Argani beberapa kali.

Argani awalnya agak ragu untuk menurunkan kaca, khawatir yang datang orang jahat yang berniat merampas barang-barangnya. Tetapi saat teringat ia memiliki pisau lipat di dashboard yang bisa digunakan sewaktu-waktu dalam keadaan darurat, ia pun agak tenang dan membuka jendela mobil. "Ya?"

"Maaf, Mas. Mobilnya kenapa?"

Langsung ke inti. Argani suka model begini. "Mogok, Mas."

"Oh, pantas." Pengendara itu menaikkan kaca helm yang, menampakkan seraut wajah pemuda khas sunda yang manis dan ramah. "Kebetulan ada bengkel dekat sini, Mas. Kalau Mas berkenan, mari saya bantu."

Sepasang alis Argani mengerut tampak berpikir. Dan seolah tahu isi kepala sang lawan bicara, pengendara yang menggunakan jas hujan klasik itu terkekeh kecil. "Saya bukan orang jahat. Kalau Mas tidak percaya, saya bisa tunjukkan KTP."

Yang Argani tanggapi dengan serius. "Boleh. Sini saya simpan KTP-nya sampai saya dapat kepastian bahwa Mas benar orang jujur."

Sang lawan bicara tak tersinggung sama sekali. Ia justru benar-benar mengambil dompet dari saku belakang celananya dan benar-benar diserahkan pada Argani. Dengan gaya angkuhnya, Argani masih saja membaca secara lengkap data diri pemuda itu dan mencocokkan wajah dalam foto dengan versi nyatanya.

Asep Dirgantara.

Wajah mirip.

Sepertinya dia jujur. Dirga memasukkan KTP si Asep ke dalam saku kemejanya sebelum kemudian ia membuka pintu mobil dan keluar dengan menggunakan payung yang selalu tersedia dalam mobil. "Omong-omong, bantuan apa yang Mas Asep tawarkan? Bantu mendorong mobil sampai ke bengkel, atau ...."

"Bukan. Bengkelnya lumayan jauh Mas. Setengah kilo meter. Mas ikut saya dulu pakai motor, nanti kita tinggal minta orang bengkel jemput mobil Mas."

Ide yang cukup bisa diterima. Baiklah. Argani menurut.

Tiba di bengkel tujuan, ia diminta duduk di kursi tunggu yang ada di dekat kasir. Posisi kasir sedang kosong saat itu.

Bengkel yang dimaksud lumayan besar, bukan bengkel kecil. Ada tempat memandikan kendaraan juga. Tempatnya cukup bersih. Argani suka.

Karyawan yang ditugaskan untuk menjemput mobilnya sudah berangkat. Sedang si Asep yang tadi membawanya kemari entah di mana sekarang. Dia seketika lenyap begitu mereka sampai tujuan dan hanya meminta Argani menunggu.

"Kemungkinan akan butuh waktu cukup lama untuk pengambilan dan perbaikan mobilnya, Mas, mengingat cuaca sedang buruk," ujar seseorang dari bilik kasir. Argani menoleh seraya menaikkan satu alis. Perasaan tadi tidak ada siapa pun di sana. Kenapa sudah ada pengawai perempuan yang posisinya kini membelakangi Argani seolah sedangemgambil sesuatu di tempat minum.

Kapan dia datang?

Ini bukan bengkel hantu, kan? Kenapa mendadak Argani merinding. Terlebih, ia seperti kenal suara itu, seolah pernah mendengar entah di mana.

"Mas lebih suka kopi atau minuman manis?" tanya kasir perempuan berambut sepunggung berperawakan sedang tersebut. Dia mengenakan pakaian yang warnanya senada dengan seragam montir.

"Air mineral kalau ada."

"Oke, air mineral kalau begitu." Ia membuat gestur menukar sesuatu di balik sana, sebelum kemudian bersiap berbalik menghadap Argani.

Argani sudah harap-harap cemas. Pikirannya dikuasai horor. Ia sudah siap siaga untuk kabur jika saat berbalik mendapati kepala tanpa wajah atau bahkan lebih seram dari itu.

Alih-alih kabur, Argani justru tak bisa bergerak saat wanita itu berbalik. Dunianya seolah menemukan titik henti detik itu juga. Seisi alam terjeda, termasuk titik-titik air hujan yang sebelumnya deras menghujam bumi. Pun desah napas Argani. Serta detak jantungnya.

"Ini minumannya, Mas." Dia mengulurkan air mineral kemasan yang masih tersegel. Bagian luar kemasan sedikit berembun, tanda baru dikeluarkan dari lemari pendingin.

Argani menelan ludah. Kesulitan bergerak.

Tentu saja dia familier dengan suara wanita itu.

Dia ... Renjana. Bukan hantu.

***

Siapa yang masih penasaran sama masa lalu Argani dan Renjana?

Dari bab ini sampe beberapa bab ke depan mungkin nanti isinya masa lalu, ya. Asal muasal kebencian Renjana sama Argani sama Renjana akan mulai terungkap.

Mari kita lihat seberapa licik Bang Argani. Wkwkwk …

Yang kepo mau maraton duluan bisa langsung ke karyakarsa, ya ^^
Di sana udah mau tamat, loh!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top