BAB 21

Sejak Renjana mengingat kembali masa lalunya, Argani merasa tidak ada hari yang menyenangkan lagi. Semua terasa menyebalkan. Kecuali pekerjaan. Karena dengan bekerja, ia bisa lupa sejenak tentang Renjana. Kesibukan berhasil membuat pikirannya teralihkan. Karena itulah Argani sering mengurung diri di ruang kerja saat belum waktunya memberi sang istri makan atau jadwal memandikan.

Seperti saat ini. Argani sedang membaca proposal kerja sama saat tiba-tiba pintu ruang kerjanya diketuk, yang otomatis membuyarkan fokus lelaki itu. Argani mengerang tak senang. Satu-satunya intervensi yang ia suka hanya alarm yang menandakan waktunya untuk menemui Renjana. Selain dari itu, errrrr ....

"Masuk!" Argani mendongak dari layar laptop saat pintu ruang kerja dibuka, menampakkan salah satu pembantu senior yang ia tugaskan untuk melayani tamu masuk muncul dari balik kayu persegi dengan ukiran sederhana itu. "Saya harap kamu membawa informasi penting."

"Ada tamu di luar, Tuan."

Argani mengernyit. Tamu lagi. Belum cukup kah dengan kehadiran Chintya saja sebelumnya? "Siapa?"

"Orang tua Nyonya."

Sial. Argani mengumpat dalam hati. Ia praktis menutup laptopnya dan bergegas keluar dengan melangkah cepat melewati pembantu yang masih berdiri sopan di tengah ruangan.

Dan benar saja, di ruang tamu sudah ada orangtua Renjana. Mertuanya. Mereka tampak sedang melihat-melihat isi ruangan. Maklum, ini kali pertama mereka datang ke rumah ini, setelah hampir lima bulan Renjana menikah.

Memelankan langkah, Argani berdeham pelan, menarik perhatian. Berhasil. Keduanya yang semula sedang menikmati lukisan abstrak yang terpajang di ruang tamu, praktis menoleh. Senyum keduanya terkembang begitu mendapati kedatangan menantu kesayangan.

Ini sudah cukup malam. Terakhir Argani melihat jam beberapa saat lalu, jarum pendeknya telah melewati angka delapan. Apa gerangan yang membuat kedua mertuanya datang di waktu-waktu begini?

Dan ... bagaimana kalau mereka meminta untuk menemui Renjana?

"Malam, Pa. Ma." Argani sengaja memberi penekanan lebih pada kata malam, setengah untuk memperingati, bahwa ini bukan waktunya bertemu. "Tumben, ada apa?" Memang bukan sambutan yang sopan. Argani paling tidak suka bersikap dibuat-buat. Ia mengambil tempat di salah satu sofa tunggal, dan lantas menjatuhkan diri--tanpa mengalami ayah dan ibu Renjana.

Ayah Renjana ikut mengambil tempat, duduk bersabarlah dengan istrinya di sofa panjang. "Maaf kalau kami mengganggu malam-malam dan datang tidak memberi kabar. Kami hanya ingin tahu kabar Renjana."

"Renjana baik," jawab Argani lugas.

"Boleh kami menemuinya?" Ibu Renjana bertanya hati-hati. "Sudah hampir dua bulan ini dia tidak ada kabar. Bahkan pesan serta telepon dari kami ditak pernah ditanggapi. Kami jadi khawatir."

"Memang seharusnya kalian merasa khawatir," Argani mendesah, berkata penuh arti.

"Maksudnya? Renjana baik-baik saja kan?"

Argani memandang keduanya lekat. Dua sikunya ia tumpukan di lengan sofa seraya menjalin jari-jemarinya satu sama lain. "Ingatan Renjana sudah kembali."

Bagai tersambar petir siang bolong, kedua orang tua Renjana terperajat. Spontan mereka saling pandang dengan ekspresi khawatir. "Apa karena itu Renjana memutus komunikasi dengan kami?" tanya ibunya takut-takut.

Tentu saja mereka harus takut, mengingat keduanya ikut andil dalam membodohi si wanita malang yang kini terkurung di kamar lantai atas. "Bisa jadi."

"Bisa kami menemuinya?" ujar ayah Renjana setengah memohon.

Argani ingin melarang, tapi ia berpikir lagi, bisa jadi Renjana sedikit terhibur bertemu dengan kedua orang tuanya. Bagaimana pun, selama hampir dua bulan ini hanya Argani yang selalu wanita itu lihat. Kehadiran orang lain, terutama ayah ibunya, bukan tak mungkin membuat Renjana senang.

Mereka memang bukan orangtua yang baik, tapi darah akan selalu lebih kental daripada air.

Jadilah Argani mengangguk. Ia pun bangkit berdiri dan menggiring kedua mertuanya untuk mengikuti.

"Tolong jangan terkejut." Argani berujar tepat sebelum membuka pintu kamar utama. Dan belum juga lawan bicara sempat bertanya maksud dari perkataan lelaki itu, Argani sudah lebih dulu membuka pintu.

Suara kesiapan ibu Renjana menyambut. Sedang ayahnya takbiran berkata-kata mendapati keadaan putri mereka dalam keadaan ... terikat.

Mendengar pintu kamar dibuka, Renjana sama sekali tak tertarik. Hanya Argani yang selalu datang. Dan ia sudah bosan. Pun belum sudi melihat wajah lelaki itu. Tetapi suara terkesiap yang familier menarik perhatian. Ia pun memutar pandangan dan menemukan suaminya datang bersama dua orang lain.

Renjana tertegun. Papa dan mama. Andai dalam keadaan normal, Renjana akan langsung berteriak girang dan menyerukan nama keduanya. Hanya saja ... tidak demikian.

Mereka ... salah satu yang ikut andil dalam menciptakan takdir menyedihkan ini baginya. Mereka ikut berpura-pura, bekerja sama membodohi Renjana yang hilang ingatan, hingga ia percaya dan jatuh dalam tipu daya.

"Jana!" Ibunya menghambur masuk, memeluk Renjana erat, yang tak sama sekali putrinya sambut. Ia tetap diam seperti patung.

"Bagaimana ...." Ayah Renjana terbata, "Bagaimana bisa kamu sampai mengikatnya begini?" Seperti ada kemarahan dalam nada tanya itu. "Dan sejak kapan?"

"Sejak ingatannya kembali." Argani bergeser, memberi ruang bagi ayah mertuanya untuk lewat, kalo-kali saja beliau ingin juga memeluk sang putri.

"Kamu makin kurus." Ibunya sudah terisak. Beliau menyentuh pipi Renjana yang jadi sangat tirus. "Apa yang terjadi sampai kamu diikat begini?"

Andai bisa, Renjaja akan menjauh. Ia bahkan tak tahu saat ini Ibunya sedang berakting atau benar-benar menangis. Ingat, mereka pandai berakting.

Ayah Renjana yang tak tega melihat si sulung terikat, membuang pandangan. Tidak tahu harus berbuat apa. Semua di bawah kendali Argani. Dan ia jelas tak mampu melawan lelaki itu.

"Seolah Mama peduli." Renjana mendengus, berusaha melepas wajahnya dari rangkuman tangan ibunya, tetapi sama sekali tidak berhasil.

"Bagaimana mungkin Mama tidak peduli?" Wanita paruh baya itu ganti mengelus sah satu tangan Renjana yang terbelenggu.

"Tiga puluh menit. Kalian punya waktu tiga puluh menit." Argani yang mengerti mereka butuh waktu untuk bicara, memilih keluar dari kamar itu dan menutup pintu dari luar.

"Kalau saja Papa dan Mama tidak menyerahkan Jana pada monster itu, saat ini Jana tidak mungkin terikat begini." Renjana menuding dengan nada keras, tak peduli sekali pun Argani mungkin masih di balik pintu dan menguping. Jika lelaki itu benar tak sengaja mendengar, maka akan lebih baik.

Ayah Renjana mengusap wajah kasar. "Argani tidak mungkin mengikat kamu kalau kamu tidak macam-macam."

"Maksud Papa, aku harus diam saja setelah mengingat semuanya? Menurut seperti boneka meski hatiku terluka?!" Renjana menatap ayahnya nanar, tak menyangka ayahnya masih akan membela lelaki sialan itu. "Dia yang membuat aku hilang ingatan. Dia yang juga nyaris bikin aku mati, Pa! Apa Papa lupa itu?"

"Buktinya kamu masih hidup sampai sekarang, Jana."

"Pa!" Sang ibu memberi peringatan pada suaminya, meminta dengan isyarat pandangan agar lelaki itu tidak mengkronfontasi putri mereka. Bagaimana pun saat ini putri mereka sedang tidak baik-baik saja.

Renjana ternganga dengan kalimat sang ayah, sama sekali tak menyangka sang ayah masih membela Argani yang jelas-jelas ... sakit.

"Jadi, Papa menunggu sampai aku mati?" Suara Renjana tercekat. Ia tak ingin menangis lagi. Sungguh. Tetapi air mata itu jatuh sendiri.

Kalau orangtuanya sendir saja tidak peduli, lantas pada siapa Renjana harus berlari?

"Kamu tahu bukan itu maksud Papa."

Tidak bisakah ayah dan ibunya sekadar berucap maaf? Hanya maaf. Satu kata itu saja. Bukan tidak mungkin Renjana akan luluh dan memaafkan mereka.

Hanya saja ... apa? Tak ada. Mereka malah menyalahkannya, memintanya untuk tidak berbuat macam-macam hanya agar Argani tidak marah. Lucu sekali.

Dirga. Hanya Dirga. Satu-satunya manusia yang paling bisa mengertinya. Dirga yang akan selalu membelanya. Melindunginya. Tetapi dia entah di mana sekarang. Dan ... apakah dia masih bersedia menerimanya dalam keadaan yang sudah terjamah?

Renjana menarik kakinya mendekat ke dada, rapat sekali. Berharap nyeri di hatinya berkurang dengan melakukan itu. Tetapi sama sekali tidak. Ia berkata tanpa menoleh, "Kalau kalian datang hanya untuk ini, lebih baik pergi saja."

"Jan ...." Ibunya berusaha membujuk.

"Tolong." Suara Renjana nyaris tak bisa keluar. Hanya serak. Tangisnya sudah berada di ujung kerongkongan. Sebesar apa pun ia berusaha menahan, hatinya tetap saja terluka.

Mereka, yang melahirkannya saja tidak peduli.

Mengelus pelan kepala Renjana, ibunya bangkit dari sisi ranjang. "Kalau memang itu yang kamu mau, kami permisi."

Dan mereka pun pergi. Begitu saja. Masih tanpa maaf.

Setelah ditinggal sendiri, tangis Renjana kembali pecah. Nadanya begitu pilu. Ia berusaha mengentak-entakkan tangan, ingin menepuk-nepuk dadanya yang ... ya, Tuhan, pedih.

Renjana masih menangis saat Argani masuk. Laki-laki itu tidak mengatakan apa pun. Dia hanya duduk di sisinya tanpa suara, lalu memberikan pelukan. Begitu saja.

Dalam keadaan normal, Renjana pasti memberontak ingin lepas. Tapi saat itu, tidak. Ia butuh ini. Sangat. Pelukan, yang bahkan tidak diberikan oleh orang tuanya. Tangis Renjana pun makin menjadi, memecah sunyi di ruang kamar yang biasa sepi.

Renjana menyandarkan kepalanya di dada bidang Argani, mencari tempat ternyaman sebelum kemudian menjerit tertahan, berusaha melepaskan seluruh rasa sakit yang terpendam sekian lama. Lupa, bahwa yang mendekapnya kini adalah manusia yang paling ia benci di dunia.

Dan untuk kali pertama setelah ingatannya kembali, Renjana merasa pelukan Argani cukup ... hangat.

Entah berapa lama mereka dalam posisi itu. Yang pasti, Renjana jatuh terbuai. Hal terakhir yang diingatnya, Argani memgelus lembut rambut wanita tersebut sambil berbisik, "Kamu pasti lelah. Tidurlah. Aku tidak akan ke mana-mana."

Kalimat tersebut terdengar seperti hipnotis, berhasil membuat Renjana merasa kantuk seketika. Ia masih terisak saat kemudian menutup mata, lalu alam mimpi menjemput kesadarannya.

Saat terbangun, dunia sudah benderang. Matahari berada di posisi cukup tinggi dalam tahtanya. Daun mangga yang biasa Renjana amati tampak jelas, bergoyang pelan ditiup angin.

Renjana menggeliat. Aneh. Terasa begitu leluasa. Seolah tanpa belenggu.

Mengernyit, ia berusaha bangkit, lalu menoleh ke kanan dan ke kiri.

Renjana ternganga. Kedua tangannya terbebas. Lepas. Tali yang sebelumnya ada, kini lenyap tanpa jejak. Hanya menyisakan bekas ikatan di pergelangan tangannya, bukti bahwa ia memang penah terbelenggu.

***

Hmmm, saya nggak bisa berkata-kata. Jujur, saya juga nggak tahu ujung cerita ini nanti. Jari kayak ngetik sendiri, nggak sesuai rencana awal. Wkwkwk …

Jadi, saya juga penasaran sama lanjutannya.

Andai laptop saya nggak rusak, kemungkinan update lebih cepat😭

Yang kepo mau baca maraton bisa cuss ke karyakarsa, ya. Do sana udah bab 50-an loh!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top