BAB 2

Renjana ingat saat pertama kali ia membuka mata setelah merasa tidur yang cukup panjang. Semua tampak putih awalnya, sebelum kemudian memudar dan mulai berganti warna. Pandangannya mulai jelas, pun pendengaran. Kata-kata syukur terpanjat dari beberapa suara yang berbeda, pun tatapan-tatapan dari berbagai pasang mata.

Tiga pasang tepatnya saat itu. Dari seorang perempuan dan dua laki-laki. Yang tak Renjana kenali.

“Alhamdulillah, Sayang. Kamu sudah bangun.” Perempuan paruh baya yang berdiri setengah membungkuk ke arah ranjang perawatan yang ditempatinya menyapa dengan mata berkaca-kaca. Rambut pendeknya tersisir rapi dengan banyak bagian yang mulai berubah warna menjadi abu. Garis-garis penuaan mulai tampak jelas di sekitar bibir dan kening beliau.

Renjana tidak menyahut. Ia hanya bisa menatap nyalang. Tangannya yang berada di kedua sisi tubuh terasa digenggam erat.

Lalu suara lain yang lebih berat kembali terdengar setengah terisak. “Syukurlah. Papa sempat tidak berani berharap apa pun, Nak.”

Papa. Renjana mengulang kata itu dalam kepala. Ia kenal kata tersebut. Papa berarti orang tua laki-laki. Renjana masih ingat setiap kata yang dipelajari sejak kecil. Nama benda dan sifat. Dia hanya ... lupa pada orang-orang ini. Bahkan ia lupa pada dirinya sendiri.

Dia siapa? Bagaimana bisa terbaring di tempat ini. Dan orang-orang itu.

Tak seperti pasangan paruh baya yang menangis di sampingnya, satu pemuda lain di sana sibuk menekan tombol untuk memanggil dokter, yang datang tak lama kemudian untuk memeriksa keadaan Renjana.

Wanita paruh baya tadi bertanya khawatir tentang keadaannya karena sejak membuka mata, si pasien tak sama sekali berkata-kata. Dokter hanya mengatakan itu hal normal. Keadaan Renjana jauh lebih baik sekarang, dengan senyum penuh rasa syukur. Beliau lalu bertanya pada gadis yang baru terbangun itu mulai dari angka dua yang dibentuk dari jari sampai lima, yang kesemuanya berhasil Renjana jawab dengan benar.

Sampai kemudian dokter bertanya lagi. “Kamu ingat nama kamu siapa?”

Renjana tak langsung menjawab. Ia berkedip lambat. Lalu menggeleng pelan.

“Kalau ini?” tanya dokter lagi sambil menunjuk wanita paruh baya di samping beliau. Renjana kembali menggeleng. Begitu pula saat ditanya tentang ayahnya dan laki-laki asing lain di ruangan itu yang ikut menjaga.

“Ini Mama, Jana. Ini Papa, Sayang.” Wanita yang mengaku ibunya, meremas tangan Renjana dan kembali menangis. Tetapi yang diajak bicara tetap skeptis. “Dokter, apa yang terjadi dengan anak saya? Bagaimana bisa dia melupakan kami?”

Dokter mendesah, lalu melakukan pemeriksaan lanjutan sebelum kemudian memvonis bahwa Renjana kemungkinan besar mengalami amnesia traumatis.

Mendengar vonis tersebut, ibu Renjana nyaris pingsan. Sedang ayahnya bertanya waswas, apakah ingatan Renjana bisa kembali atau tidak. Dan jika, ya, kapan hal tersebut akan terjadi? Yang dijawab tidak pasti oleh dokter, karena kemungkinan terburuk, memori Renjana tidak akan pernah kembali.

Amnesia. Renjana merenung setelah ditinggal sendiri dalam kamarnya. Lupa ingatan. Yang itu berarti ia tidak bisa mengingat apa pun masa lalunya. Seperti saat ini. Semua terasa asing. Tempat ini. Orang-orang di sini. Dan semua hal yang tampak pun didengarnya. Tak ada bayang-bayang apa pun, hanya ingatan kosong.

Rasanya, Renjana ingin menangis. Hanya saja, ia bingung apa yang harus ditangisi. Jadilah ia hanya bisa bertanya-tanya, apa yang terjadi hingga dirinya mengalami hal konyol ini?

Lama dirinya ditinggal sendiri, sampai kemudian pintu ruang perawatan terbuka. Lalu sosok itu muncul dengan senyum terkembang di bibirnya. Laki-laki asing yang ikut mejaganya bersama pasangan paruh baya yang menyebut diri mereka sebagai ayah dan ibunya. Laki-laki yang sebelum ini bahkan tak banyak bicara pun tak sempat memperkenalkan diri. Anehnya, Renjana sama sekali tak merasa penasaran dengan manusia satu ini, bahkan cenderung tak nyaman setiap kali melihatnya. Entah mengapa.

“Kamu belum tidur?” Dia bertanya sembari melangkah pelan usai menutup pintu. Buket besar dengan rangkaian berbagai macam bunga tergenggam di tangan, yang kemudian ia letakkan di meja nakas.

Renjana menolak menjawab. Ia menatap sekilas sebelum kemudian mengalihkan pandangan pada jendela ruang rawat yang ditempatinya seorang diri. Rasanya lebih menyenangkan melihat pemandangan langit yang tampak kelabu hari itu ketimbang lelaki tersebut. Ada rasa tak suka yang muncul tiba-tiba tanpa alasan. Atau mungkin sebenarnya beralasan.

“Om dan Tante izin pulang sebentar dan meminta saya jaga kamu sementara waktu. Mereka sedang mengambil baju ganti di rumah.”

Renjana masih diam. Dan si lelaki terus mengoceh. “Saya senang kamu bisa kembali membuka mata, Sayang.”

Sayang. Dia juga memanggil Renjana dengan sebutan itu, membuatnya mulai penasaran. Sebenarnya siapa laki-laki ini? Saudaranya kah? Kakak atau adik?

Menoleh, Renjana membuka mulut hendak bertanya, tetapi sepertinya dia paham isi kepala sang lawan bicara dan langsung memperkenalkan diri dengan cara yang cukup manis dan norak sekaligus.

Dengan senyum masih terkembang di bibir, ia bangkit berdiri seperti siswa baru yang diminta memperkenalkan diri oleh guru. “Saya tahu keadaan ini tidak nyaman untuk kamu, begitu pun saya. Tapi meski begitu, saya tidak keberatan mengulang kisah kita dari awal.” Ia mengulurkan tangan dengan gerak formal, lantas melanjutkan, “Perkenalkan, saya Argani. Argani Hadinata. Calon suami kamu.”

Calon suami? Renjana menelan ludah yang tiba-tiba terasa kelat. Ia menatap nyalang tangan Argani yang terulur padanya dengan enggan, rasa ingin menolak uluran itu. Renjana bahkan mengepal tangan erar-erat di balik selimut, dan mulai merasa gemetar.

Calon suami? Benarkah? Kenapa Renjana tidak bisa mempercayainya. Berbeda sekali dengan pasangan yang mengaku sebagai ayah dan ibunya yang bisa langsung ia terima begitu saja.

Ada yang berbeda dengan Argani. Dengan senyumnya. Pun dengan caranya menatap. Seperti menyimpan rahasia yang tak ingin Renjana tahu. Entah dari mana pemikiran ini berasal, padahal ia lupa segalanya. Yang pasti, ia tak suka pada lelaki ini.

Melihat uluran tangannya terabaikan, Argani mendesah. Ia menarik kembali tangannya ke sisi tubuh dengan wajah kecewa yang tak ditutup-tutupi. “Saya tahu, kamu pasti terkejut. Bagaimana pun, kamu baru sadar dari kecelakaan.”

Kecelakaan. Ya, mereka beberapa kali mengatakan Renjana mengalami kecelakaan tunggal saat berkendara. Mobilnya mengalami rem blong dan ia menabrak pembatas jalan di tol, yang membuatnya berakhir di sini.

“Sejak kapan kita bertunangan?” Renjana tak bisa menahan diri untuk bertanya--dengan nada yang jauh dari kata ramah.

“Cukup lama. Pernikahan kita bahkan sudah akan digelar sebentar lagi. Kamu mengalami kecelakaan saat akan berangkat fitting pakaian pengantin. Kita janji bertemu di tempat karena waktu itu jadwal saya terlalu sibuk untuk menjemput kamu.” Argani tidak menatapnya saat menceritakan kisah yang tak Renjana ketahui itu. Lelaki tersebut hanya menunduk, seperti penuh sesal, meski Renjana tak mendapati nada penyesalan dalam suaranya. Yang membuatnya bukan merasa yakin, malah kian meragu.

Benarkah? Kalau memang iya, kenapa Renjana merasa takut? Bukankah seharusnya ia nyaman dengan lelaki ini? Atau, di mana getaran itu? Kenapa yang ada di hatinya malah ... perasaan muak?

Atau sebelum ia mengalami kecelakaan mereka sempat bertengkar? Atau Argani pernah berselingkuh darinya? Atau ... apa? Kenapa tak ada petunjuk sama sekali.

Renjana mengerutkan kening, dalam. Ia berusaha mengingat, apa pun. Walau hanya secuil bayangan samar. Hanya saja ia tak bisa menemukan. Ruang kepalanya begitu hampa. Kosong. Memorinya terkunci rapat. Tak bisa ia buka sama sekali. Sedang penasaran itu terus berkembang dan menimbulkan banyak tanya.

“Sejak kapan kita kenal?”

“Kita satu sekolah waktu SMA.” Argani menjawab lugas, tak sama sekali tamak berbohong. “Saya bahkan sudah jatuh cinta sama kamu sejak dulu, tapi kamu terlalu sulit dijangkau.”

“Kenapa?”

Argani mengeluarkan ponsel dari saku celana. Ia memperlihatkan beberapa foto dari galerinya. Foto lama dengan resolusi rendah dan tampak buram, kendati demikian masih tampak cukup jelas. Dan ya, foto tersebut seperti Renjana dalam versi yang lebih muda. Gadis belia cantik pada masa dulu yang tengah mengenakan seragam putih abu-abu dengan rambut panjang dan poni miring. Bando merah jambu tersemat di atas kepala. Dia tersenyum ke arah kamera. “Ini foto kamu dulu,” terang Argani. “Cantik sekali. Primadona di sekolah kami.” Dia lalu menggeser layar sentuh poselnya ke samping dan memperlihatkan foto lain. Foto bersama satu kelas. Ia memperbesar gambar sampai memperlihatkan satu sosok gempal di barisan belakang, wajah bulat berkacamata tebal. Dia cemberut ke arah kamera, seolah tak senang digfoto. “Dan ini saya.”

Renjana spontan menatap Argani yang kini berada di hadapannya, lalu ganti memandang sosok dalam gambar yang jauh sekali berbeda. Argani yang sekarang cukup ramping, tinggi dan lumayan berotot dengan rahang tegas dan tulang pipi tinggi. “Kalian tidak mungkin orang yang sama,” dengusnya, yang dibalas Argani dengan tawa kecil.

“Karena itu saya mengatakan kamu sulit dijangkau. Kamu primadona di sekolah dulu, sedang saya orang yang sama sekali tidak diperhitungkan.”

“Kalau begitu bagaimana bisa aku mau sama kamu?”

Ekspresi Argani langsung berubah. Senyumnya memudar. Pun tatapannya yang menjadi sedikit gelap. “Kamu tidak mau, Renjana. Kamu menolak saya mentah-mentah saat saya mengungkapkan perasaan di depan anak-anak satu sekolah.”

Mendengar pernyataan tersebut, Renjana kehilangan kata-kata.

“Tapi saya tidak menyerah. Ah, sebenarnya saya sempat menyerah.” Argani tersenyum kecut. Ia menurunkan ponselnya. “Karena malu, saya pindah sekolah dan melanjutkan kuliah ke luar negeri. Kita bertemu lagi setelah beberapa tahun kemudian. Setelah saya berubah dan menjadi lebih baik. Jauh lebih baik.”

“Saat itu, apa aku langsung jatuh cinta?” kejar Renjana, tak yakin dirinya serendah itu. Menilai seseorang hanya dari segi fisik semata.

Argani mengedik pelan, tak meyakinkan. “Kisah kita cukup rumit. Yang pasti, perjuangan saya belum berakhir.”

Masih banyak pertanyaan lain yang butuh jawaban, hanya saja Renjana tak memiliki cukup kesempatan. Karena detik sebelum mulutnya sempat mengeluarkan satu silabel untuk melanjutkan obrolan mereka, pintu ruangan kembali terbuka, menampakkan sepasang paruh baya yang mulai bisa ia terima sebagai orangtuanya. Semudah itu. Kecuali Argani yang entah mengapa masih Renjana curigai.

Setelah Argani pulang, Renjana memberanikan diri bertanya pada kedua orangtuanya. “Benarkah dia calon suami Jana?”

Jana. Entah mengapa lidahnya begitu lugas menyebut diri dengan nama pendek itu, seperti sudah terbiasa dan memang seharusnya.

Sang ayah yang semula memainkan ponsel, menurunkan benda pipi itu dari depan wajah dan melarikan pandangan pada ibunya yang seketika menghentikan gerakan saat melipat selimut yang dibawa dari rumah untuk dipakai nanti malam untuk menginap. Mereka saling tatap selama sepersekian detik dengan mimik yang sulit ditebak sebelum kemudian tersenyum simpul saat kembali menoleh pada Renjana di ranjang perawatan. “Iya. Dia memang calon suami kamu.”

“Pilihan Jana sendiri?” Renjana masih sangat ragu. Pun takut dengan jawaban yang akan didengarnya.

Ayahnya tertawa kering, sama sekali tak mengandung humor. “Kamu lumayan keras kepala, Jan. Kamu tidak pernah setuju dengan pilihan kami.”

Dan jawaban itu belum bisa mengobati dahaganya. Sama sekali. Sialnya, Renjana tidak bisa membantah apa pun saat ini. Hanya bisa menerima meski berat sekali rasanya. Semua masih terlalu tiba-tiba. Terlalu mengejutkan. Terlalu baru untuknya yang tak bisa mengingat apa pun.

Ada yang salah di sini. Sangat salah.

***

Ada yang masih inget sama cerita ini?
Huhuhu, maaf lama ya. Kemarin2 lagi sibuk bantu persiapan nikahan sepupu.

Bdw, di karyakarsa udah sampe bab 5 apa bab 6 gitu ya. Yang kepo bisa langsung cus baca duluan di sana.

Semoga kalian selalu suka ya ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top