BAB 18
Sebelumnya Argani tidak pernah tertarik untuk mencari informasi tentang siapa pun siswa di sekolah ini. Sama sekali tak ada yang menarik menurutnya.
Namun, kali ini berbeda. Renjana berbeda. Dia seperti spesies langka yang baru Argani temukan di dunia. Pun tak boleh disia-siakan begitu saja. Mendadak, Argani ingin tahu tentangnya. Kesukaannya. Kegiatan yang disenanginya. Lingkaran pertemanannya. Dan semua tentangnya.
Siapa sangka, ternyata Renjana merupakan salah seorang siswa yang cukup populer di sekolah. Bukan. Bukan dia bintang utama yang sering disorot, melainkan ketua cheers yang cantik itu. Chintya. Mantan tunangan Argani. Yang ternyata memang sudah menjadi idola sejak remaja. Renjana salah satu teman baiknya, yang ikut terciprat kepopuleran lantaran sering nongkrong dengan sang bintang. Juga Joane, dayang Chintya yang lain. Yang menjadi sahabat Renjana hingga kuliah.
Renjana senang mengikuti kegiatan alam, seperti menjelajah dan mendaki gunung. Makanan kesukaannya bakso. Warna favoritnya kuning. Bunga yang paling disenanginya lili. Dia takut pada tikus. Pelajaran kesukaannya biologi dan tak sama sekali suka matematika. Minuman yang hampir selalu dipesannya setiap makan di kantin jus jeruk. Tida punya phobia. Tida punya alergi. Memiliki kulit yang sensitif dan gampang merah jika terkena sinar matahari langsung dalam waktu lama. Sering mengkonsumsi suplemen zat besi lantaran memiliki riwayat anemia. Dan banyak lagi hal lain yang Argani ketahui hingga tak akan cukup ditulis dalam satu lembar kertas HVS.
Ya, sedetail itu Argani mencari tahu tentang gadis itu.
Argani suka pada Renjana, ia sadari betul perasaannya. Hanya saja, dia tak berani mendekati secara langsung. Jangankan berusaha mendekat, mengajak bicara lebih dulu saja tidak berani. Argani sadar diri. Ia bukan siapa-siapa dibanding Renjana. Ungtungnya, Renjana yang lebih sering memulai. Bukan mulai mendekati, hanya sekadar mengajak bicara atau menanyakan tentang pelajaran.
Hanya dengan begitu saja Argani sudah cukup senang. Dan bolehkah Argani sedikit percaya diri? Ia merasa Renjana memiliki perasaan yang sama. Buktinya, gadis itu tak malu berjalan beriringan di lorong sekolah bersama Argani saat mereka tak sengaja bertemu di depan gerbang. Renjana juga dengan lantang membela setiap kali melihat Argani kena rundung. Tak jarang, Renjana juga mengajak Argani makan di meja yang sama dengan teman-temannya.
Kalau bukan suka juga, apa sebutan yang benar?
Uh. Oh.
Sejak menginjak semester kedua, muncul keinginan dalam diri Argani untuk menyatakan perasaan. Ia yakin betul Renjana akan menerima cintanya. Dan Argani dengan sungguh-sungguh menyiapkan hari untuk menembak gadis itu.
Sayang, hari yang ditunggu tak pernah datang. Selalu ada halangan. Hingga akhirnya masa ujian akhir tiba. Waktu kelulusan makin dekat, yang nanti akan memisahkan mereka.
Tepat di acara perpisahan, Argani memberanikan diri. Di depan banyak teman-teman sekolah mereka, di tengah lapangan saat acara perpisahan hampir usai, Argani meminta mic pada pembawa acara, yang langsung dikasih, menyangka Argani ingin ikut menyumbangkan hiburan.
Yang ternyata bukan.
Suara Argani bergetar begitu mengucap kata halo. Dia grogi luar biasa. Dalam pikirnya, kalau bukan sekarang, kapan lagi? Anggap saja juga ini kejutan untuk si gadis cantik yang sudah mewarnai masa akhir putih abu-abunya. Sesuatu yang mungkin nanti akan menjadi salah satu kenangan manis bagi mereka saat kelak dewasa.
Oh, lebih dari segalanya, Argani yakin perasaan ini berbalas.
Dengan membawa buket bunga di tangan, Argani maju ke tengah lapangan. Hari itu cerah sekali, hampir kelewat panas. Lapangan sekolah mereka dihias sedemikian rupa dan dibangunkan tenda hajat sehingga sengat matahari tak langsung menyapa kulit.
Begitu Argani tampil di muka umum, ia langsung mendapat sorakan, yang sama sekali tak ia pedulikan. Toh, bukan siswa-siswa itu tujuannya.
“Selamat siang, Semuanya.” Ia memulai, yang tak cukup disambut. Tak apa. Argani menarik napas dan melanjutkan, “Maaf menginterupsi acara. Saya hanya ingin meminta waktu sebentar.”
“Langsung saja kenapa sih?” Salah seorang berceletuk, entah siapa. Nadanya jelas sekali tak senang.
“Nggak usah basa-basi. Dikira seru apa ya?” yang lain menimpali.
“Paling cuma mau mengucapkan selamat perpisahan.”
Juga banyak cuitan lain yang cukup berhasil membuat Argani berkeringat dingin.
Demi Renjana. Demi Renjana, harus berani. Ia membatin, meyakinkan diri sendiri agar tidak mundur.
Dengan tangan agak gemetar, Argani memantapkan genggaman pada gagang mic. “Di sini, di depan kalian semua,” ujar Argani dengan suara tak stabil, “saya ingin mengutarakan sesuatu. Saya ingin kalian menjadi saksi, dari ungkapan hati saya yang paling dalam untuk seseorang.”
Suara dehaman terdengar dari pojokan. “Ciyee ... kayaknya ada yang mau nembak nih? Jadi penasaran siapa yang berhasil merebut hati si culun ini.”
“Pastinya yang juga culun.”
Lalu disusul tawa penuh ejekan.
Argani menarik napas menyabarkan diri. Ia mendekatkan mic ke bibir dan berkata dengan lebih tegas. “Renjana, salah satu siswa kelas dua belas IPA empat,” begitu satu nama tersebut lolos dari bibirnya, serentak semua mata mencari Renjana yang langsung tersedak saat minum teh botol. Kebetulan, dia sedang duduk di salah satu stan, tak sabar menunggu acara selesai karena ingin cepat pulang. Siapa sangka justru mendapat kejutan semacam ini.
Terbatuk sebentar, Renjana meletakkan teh botol yang diminumnya dengan serampangan ke meja stan, lantas bangkit berdiri, menatap langsung ke tengah lapangan, pada Argani yang membidiknya dengan pandangan yang begitu dalam. Juga anak-anak lain. Dalam sekejap, gadis itu berhasil menjadi pusat perhatian. Ugh, Renjana meringis. Malu sekali.
“Oh, Renjana, toh. Ihiiwwww ....”
Sontak, satu sekolah menjadi ramai oleh cuitan, juga ejekan yang kian menjadi untuk Argani.
“Ren, lo disukai sama beruang madu. Hahaha ....”
“Renjana. Maaf kalau ini terlalu mengejutkan.” Argani melanjutkan kembali. Jauh di seberang pandangan, tubuh Renjana mendadak sekaku patung. “Aku hanya tidak ingin menyesal kalau menyimpan perasaan ini sendirian. Jadi sebelum perpisahan, aku ingin mengatakan kalau ... Renjana,” ia mengulurkan buket bunga lili yang dipegangnya ke depan, “aku suka sama kamu. Maukah kamu jadi pacarku?”
Cuitan. Godaan. Ejekan. Ramai terdengar membisingi sekolah. Argani tahu dirnya terlalu berani. Sangat berani. Tetapi ia percaya, Renjana tidak akan mengecewakannya. Renjana belum sekali pun mengecewakannya. Sekali pun.
“Terima! Terima!” lebih dari separuh siswa berseru, bukan untuk memberi dukungan. Lebih ke ... nada mereka yakin cinta Argani akan ditolak mentah-mentah. Ah, mereka hanya tidak tau saja.
“Cie, Jana ditembak!” Chintya menyenggool pelan bahu sahabatnya yang masih terbengong. “Sama beruang kutub,” lanjutnya sambil cekikikan.
Joane ruapanya juga tak bisa menahan tawa. “Maju gih, terima bunga dari pangeran lo.”
“Ya ampun!” ingin sekali Renjana meremas sesuatu. “Itu si Argani apa-apaan sih!” Ia meringis, menutup sebagian muka dengan tangan.
“Udah sih, maju aja.” Joane mendorong tubuh Renjana ke depan.
“Iya, kasihan tuh. Kalau mau diterima ya terima aja. Kalau nggak juga terserah,” imbuh Chintya. “Toh, lo juga yang udah terlanjur ngasih dia harapan. Jadi beneran lupa diri dia. Repot kan jadinya sekarang?!”
“Betul!” Joane ikut buka suara. “Kalau lo mau tolak sekali pun, nggak masalah. Cukup terima bunganya aja. Biar dia nggak malu banget.”
Andai bisa, sebenarnya Renjana ingin kabur saja rasanya. Menghilang dari bumi seperti uap yang mengepul dan tak tampak lagi oleh mata. Oh, bisakah bumi membelah jika tubuhnya tak dapat menguap? Mau ditaruh di mana mukanya setelah ini?
Mendunduk dalam, Renjana makin melebarkan tangannya yang menutupi sebagian muka. Ia kemudian melangkah cepat-cepat menuju tengah lapangan, berusaha mengabaikan sorak-sorai para siswa pun cuitan-cuitan menjengkelkan.
Dua langkah di depan Argani ia berhenti. Ingin rasanya ia tendang tulang kering pria jangkung dan tambun itu. Berani-beraninya! Diberi hati minta jantung.
Berbeda dengan Renjana yang kesal, Argani justru semringah. Senyum di bibirnya merekah. Ia makin menaikkan buket bunga di tangannya, menjulurkan ke arah Renjana penuh harap. Sangat berharap Renjana akan menerima bunga tersebut.
Dan jantung Argani nyaris meledak saat Renjana sungguh menerima buket itu. Yang Artinya ... “Kamu menerima perasaanku?” tanyanya dengan nada tercekat, menggema ke seluruh penjuru melalui mic yang masih ia pegang kendati mic tersebut kini tak lagi ia letakkan di dekat bibir.
Renjana tak pandai berpura-pura. Walaupun ada setitik kenginan untuk menyelamatkan harga diri pemuda itu, tapi ia tak bisa berbohong dengan mengatakan menerima perasaannya di depan umum, lalu menolak nanti saat sudah berdua. Tidak bisa. “Maaf, Argani. Maaf kalau mungkin aku tanpa sadar sudah memberi kamu harapan. Tapi, perlakuan baik aku selama ini murni hanya sebagai teman. Aku hanya ingin menjadi salah satu teman, untuk kamu yang selalu sendirian. Dan tidak lebih dari itu.”
Senyum Argani menghilang secepat datangnya bersamaan dengan gema tawa hampir seluruh penghuni sekolah yang siang itu menghadiri acara perpisahan dan menyaksikan adegan dramatis di lapangan. Tatapan penuh binar yang tadi berpendar di sepasang telaga bening cokelat gelap itu mendadak suram. Argani membuka mulut, hanya untuk menutup kembali. Tanpa perlu diperjelas, Argani tahu dirinya ditolak. Perasaannya ditolak. Di depan umum.
Merasa tak lagi punya tenaga, tangan kanannya yang masih memegang mic, jatuh kembali ke sisi tubuh. Argani tertunduk. Malu dan ... hancur.
Ini bukan salah Renjana. Dirnya yang terlalu menggebu-gebu. Kendati demikian, Argani tetap merasa marah. Marah pada dirnya. Marah pada Renjana. Marah pada ... entahlah.
Renjana hanya ingin menjadi temannya. Teman. Tak lebih dari itu. Selama ini gadis itu hanya merasa kasihan pada Argani yang selalu sendirian.
“Maaf, Argani,” ujar Renjana sekali lagi.
Sial. Kenapa dia harus meminta maaf berulang kali? Hati Argani yang terluka, menjadi mudah kesal. Ia mengedik seraya mengalihkan perhatian ke sembarang arah, tanpa benar-benar fokus pada satu apa pun.
Ini cukup ... memalukan. Tidak, bukan cukup, tapi sangat. Sangat.
“Tak masalah,” sahut Argani dengan nada tenang yang dibuat-buat. “Dan tidak perlu meminta maaf. Seharusnya aku yang melakukan itu. Maaf karena sudah salah kira. Maaf, Renjana.” Lalu pemuda itu pun berbalik dan pergi ke sisi lapangan dengan langkah lunglai, menyeret harga dirinya yang nyaris tak bersisa. Mic yang semula ia pinjam, dikembalikan pada pemandu acara yang juga tampak menahan tawa. Di belakangnya, teriakan ‘Huuuu’ panjang mengiringi.
***
Hmmm … hmm … hmm …
Nggak tau mau komen apa saya. Yang pasti, bukan salah Renjana nolak Argani. Argani juga, kenapa sepercaya diri itu. Ini bukan tentang fisik, sih. Tapi, baik sama seseorang belum tentu suka, kan.
Runyam jadinya.
Bdw, di karyakarsa udah bab 46, loh. Kuy mampir!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top