BAB 16
Argani tertegun. Sepasang alisnya turun, tak lagi tampak sesangar sebelumnya.
Benar. Renjana lugu yang ia nikahi merupakan karakter palsu yang ia ciptakan dengan memanfaatkan kemalangan wanita itu yang kehilangan. Sekarang, Renjana sudah mengingat semuanya. Kisah indah yang Argani rangkai musnah hanya karena satu pertemuan singkat. Dirga. Dengan satu kali kedip lelaki itu, kehidupan pernikahan Argani yang menyenangkan musnah.
Sebesar itukah cinta Renjana untuk mantan kekasihnya. Ah, bukan mantan. Jelas hubungan mereka belum berakhir. Argani yang mengambil paksa.
Ingin Argani bertanya, sesulit itukah mencintainya? Hanya saja ... ia sudah tahu jawaban yang akan dirinya dapat. Jadi lebih baik tahan diri.
Dan Renjana tadi mengatakan dengan lantang, bahwa a bukan suami yang istrinya inginkan.
Renjana yang dulu benar-benar sudah kembali. Yang selalu menolaknya.
“Katakan semua yang ingin kamu ucapkan, Renjana. Toh, sekeras apa pun kamu menyangkal, kita memang sudah menikah. Hubungan kita sah baik di mata hukum atau agama. Dan aku tidak akan melepaskanmu semudah itu.”
Tak ingin mendengar balasan dari sang istri, Argani langsung berbalik begitu saja dan memilih untuk keluar dari kamar. Meninggalkan Renjana yang meraung-raung minta dilepaskan di belakangnya.
Lantas, setelah ini apa? Ingatan Renjana sudah kembali. Otomatis hubungan mereka tak akan semanis kemarin. Akan selalu ada kebencian dalam tatapan wanita itu, seperti yang tadi ia layangkan pada Argani. Kebencian yang dalam. Berkobar-kobar. Juga tekad untuk lepas dari hubungan mereka.
Sial!
Sial!
Sial!
Kenapa Argani bisa bertemu dengan Dirga dalam kebetulan yang sealami itu? Bagaimana bisa Dirga ada di sana? Bukankah berdasarkan informasi terakhir yang didengarnya, Dirga masih koma? Kapan dia sadar? Dan kenapa ada di rumah sakit kota ini? Bukankah seharusnya dia masih di Bandung?
Salahkan Argani yang terlalu lalai. Seharusnya ia selalu memantau perkembangan mantan kekasih istrinya. Seharusnya ia tidak boleh lengah hanya karena merasa sudah aman.
Tetapi memang dasar Dirga sialan. Bagaimana ia masih bisa selamat padahal mengalami luka begitu parah?! Bukankah dia sempat divonis tidak akan pernah sadar? Atas dasar itulah Argani kemudian merasa aman. Penghalangnya untuk memiliki Argani sudah tak ada lagi.
Nyatanya ... Argani salah. Dokter salah. Semua salah.
Kalau sudah begini, ia bisa apa?
Menggeram keras, Argani meninju dinding dekat pintu kamar mereka keras-keras hingga tangannya terluka. Tak apa. Rasa sakit di ruas-ruas jemarinya sedikit mampu mengalihkan Argani dari kekesalan luar biasa yang kini berkecamuk di balik dadanya.
Sebentar. Hanya sebentar. Karena begitu sakit di tangan mereda, kekesalannya kembali. Setiap hardikan Renjana seperti kaset rusak yang berputar-putar dalam kepala tanpa henti.
Cukup lama Argani mengurung diri di ruang kerja, memilih melampiaskan rasa tak senang pada kesibukan. Tetapi setelah semua beres, ia kembali merasa ... marah. Kesal. Geram. Juga menyesal. Andai ia tak membawa Renjana periksa kandungan hari ini. Andai ia ngotot menemani istrinya ke toilet saat pamit ingin BAB tadi pagi. Kejadian tak diinginkan macam ingin sangat bisa dihindari.
Sayang, semua sudah terlambat. Ibarat nasi sudah jadi bubur. Dan Argani tak bisa menikmatinya karena memang tidak menyukai makanan lembek semacam itu.
Menoleh ke arah jam dinding di seberang ruangan, Argani mendesah sudah lewat tengah malam. Ia pun memutuskan untuk kembali ke kamar.
Tetapi, kamar yang mana? Renjana pasti tak akan sudi tidur di sebelahnya, ditambah kini wanita itu terikat pada sisi-sisi kepala ranjang.
Namun tidak ada salahnya mencoba dulu. Siapa tahu istrinya sudah lebih tenang. Argani juga butuh melihat wanita itu.
Menarik napas luar biasa panjang, Argani bangkit dari kursi kerjanya, bergerak menuju kamar. Ia sempat sedikit ragu saat hendak menyentuh kenop pintu kamar, tetapi tetap melakukannya hanya untuk mendapati Renjana yang terbaring masih dalam posisi tadi sore. Juga dalam balutan pakaian yang sama. Dan dia ... tertidur. Keningnya mengernyit seolah tak nyenyak.
Oh, bagaimana bisa nyenyak dalam posisi terikat?
Argani memutuskan mendekat, tetapi langkahnya terhenti satu meter dari ranjang saat menemukan piring makan malam di sisi ranjang sama sekali tak tersentuh.
Tadi salah satu pelayan memang sempat melapor bahwa Renjana menolak makan. Argani bilang, biarkan saja dulu, biar ia saja yang menyuapi sang istri nanti. Hanya saja Argani kemudian lupa lantaran terlalu fokus dengan laptopnya.
Mendesah, Argani kembali melangkah. Ia duduk di sisi ranjang dan memeriksa hidangan makan malam Renjana yang sudah dingin. Terlalu dingin untuk dinikmati tengah malam menjelang pagi. Akhirnya Argani memutuskan untuk mengganti makan tersebut dan membuatkan yang baru dengan tangannya sendiri mengingat semua pelayan sudah pasti tertidur dan tak ada nampak seorang pun,
Karena tak mungkin menanak nasi baru, Argani lebih memilih menggoreng sisa nasi dalam rice cooker, lalu membaginya dalam dua piring. Satu untuk Renjana, dan satu untuk dirinya sendiri. Kebetulan ia juga belum makan malam, pun melewatkan makan siang. Terakhir dirinya makan adalah tadi pagi. Bersama Renjana, masih dalam lingkup kebahagiaan. Semoga malam ini juga.
“Re.” Argani menyentuh pelan bahu sang istri untuk membangunkan. Tali-tali yang melilit lengan wanita itu Argani lepas sementara agar Renjana bisa makan dengan nyaman. “Bangun ya, makan malam dulu.” Besar harapan Argani, Renjana kembali hilang ingatan dan kembali seperti kemarin.
Sayang. Harapan tinggal harapan.
Begitu membuka mata dan menemukan Argani yang membangunkannya, Renjana langsung beringsut menjauh. “Jangan sekali-sekali menyentuhku dengan tangan kotor itu!”
Argani mendesah berusaha menahan sabar. “Pelayan bilang kamu menolak makan malam. Aku hanya ingin mengantarkan makanan baru.” Lelaki itu mengambil salah satu piring dari baki yang diletakkan di meja nakas, menyodorkan pada Renjana baik-baik. Nada suaranya juga ia tahan agar tetap stabil. “Mau makan sendiri atau aku suapkan?”
Alih-alih menerima, Renjana justru mendorong kasar piring itu menggunakan tenaga penuh hingga terlempar ke lantai dan bulir-bulir nasinya berhamburan ke mana-mana, tak terkecuali di ranjang yang kini Renjana tempati. “Lebih baik aku kelaparan dari pada makan dari tangan kamu.”
Argani bukan manusia sabar. Sungguh. Ibarat petasan, ia memiliki sumbu yang amat pendek. Jadi hanya dengan sekali sulut, amarahnya sudah pasti meledak.
Menggeretakkan geraham, Argani berkata dari sela-sela birbirnya dengan mata yang menyipit. “Aku tidak peduli kalau kamu yang kelaparan, asal bukan anakku, Renjana.”
“Aku menolak makan malam memang agar anak kamu kelaparan.”
“Renjana!” Dan Argani tak bisa menahannya lagi. Ia mencengkeram pipi istrinya dengan penuh tekanan. “Kamu bisa marah padaku tapi tidak anak kita!”
Renjana meludah, tepat ke ujung hidung Argani. “Anak kamu. Dia anak kamu! Hanya anak kamu!”
“Terserah kamu mau bilang apa. Sekarang makan!” Lelaki itu melepas pipi Renjana dengan kasar, lantas mengambil sisa satu piring di baki dan berusaha menyuapkannya pada sang istri. Yang lagi-lagi Renjana tangkis dengan tangannya. Merasa akan percuma menyuapi wanita itu dengan kedua tangan bebas, Argani memutuskan untuk kembali mengikatnya. Dengan lebih kencang.
Renjana tentu saja memberontak, tapi tenaganya tak ada apa-apanya dibanding sang suami yang bertubuh tinggi besar.
“Aku mohon kerja samanya, Renjana. Cukup diam dan telan yang aku suapkan. Jika kamu bersikap baik, maka aku akan jauh lebih baik. Paham.”
Renjana berdecih. Argani anggap sebagai persetujuan. Ia kembali berusaha menyuapkan makanan, tetapi Renjana menutup mulut rapat-rapat. Sangat rapat sampai sudah tertembus.
“Renjana!”
Renjana menyeringai.
“Tidakkah kamu merasa sedikit saja, rasa iba pada anak kita? Kamu belum makan apa pun sejak siang!”
“Kenapa aku harus merasa kasihan pada janin sialan ini?”
“Berhenti mengumpati anakku, Renjana!”
“Kalau tidak, apa?” Renjana menantang dengan berani. Ia bahkan mendongak, balas menatap Argani tanpa gentar.
Argani meletakkan setengah membanting piring di tangannya kembali ke atas meja seraya mengusap wajah dengan kasar. “Jangan uji kesabaranku, Renjana!”
“Kamu yang memulai segalanya. Segalanya! Kamu telah menghacurkan impian besarku!”
“Apa yang salah?! Aku justru mewujudkan mimpi yang lebih besar untuk kamu!”
Renjana menggeleng keras. Rambutnya yang awut-awutan sedikit bergoyang-goyang. Beberapa helai lengket ke wajahnya akibat keringat dan air mata. “Tapi bukan ini impian yang aku inginkan. Sama sekali bukan!”
“Menjadi istri Dirga kamu bilang impian besar? Kamu sungguh konyol! Dengannya kamu tidak akan menjadi siapa-siapa, Renjana. Dia tidak akan bisa memberikan semua yang kamu inginkan.”
Jawaban Renjana setelahnya membuat Argani tertohok. “Aku tidak butuh. Karena semua yang aku inginkan ada pada dirinya.”
Ia punya segalanya. Uang. Nama besar. Koneksi. Pun fisik yang nyaris sempurna. Tetapi yang Renjana inginkan hanya seorang Dirga yang yatim piatu dan cuma sekadar pemilik bengkel. Bukankah ini lucu?
Sebesar itukah cintanya untuk lelaki itu, sampai Argani tidak memiliki tempat sedikit pun? Sedikit pun.
Argani bisa mendapatkan hampir semua apa pun yang diinginkan. Hanya Renjana yang tak pernah bisa. Banyak cara yang sudah ia lakukan, sangat banyak. Tetapi akhirnya selalu sama. Bahkan setelah kini mereka menikah.
Apa yang salah darinya? Apa yang Dirga miliki dan tidak dirinya punya?
Ah, lupakan tentang Dirga, karena kini ada yang jauh lebih penting. Anaknya. Dalam kandungan wanita keras kepala ini.
Andai Renjana sedang tidak mengandung, Argani akan membiarkan wanita itu memilih kelaparan. Renjana memang harus tahu betapa menyakitkan kelaparan, sampai nanti ia memilih menyerah sendiri. Sayang, ada nyawa lain yang bergantung padanya.. dan Argani tidak bisa membiarkan itu.
Renjana harus makan. Banyak makan. Harus.
“Katakan, Renjana, apa yang yang harus aku lakukan agar kamu mau makan?”
“Lepaskan aku. Lepaskan aku dari rumah ini. Dar hubungan ini. Lepas, Argani. Hanya itu.”
“Dan kalau tidak?”
“Kamu akan melihatku dan anakmu mati di sini.”
Sialan! Argani menipiskan bibir. “Jangan macam-macam, Renjana!”
“Aku hanya mengikuti skenario.”
“Apa yang bisa aku lakukan agar kamu mau bertahan?”
“Tidak ada. Karena setiap kali melihat kamu, aku seperti melihat kematian. Kejadian malam itu ... andai kamu tidak nekat mengejar kami--” suara Renjana tercekat. Ia memalingkan pandangan dengan mata yang kembali basah. Dan saat memejam, tetes-tetes bening jatuh berderai membasahi pipinya.
“Tetapi sekarang kamu mengandung anakku, Renjana!”
“Aku masih bisa menggugurkannya.”
“Jangan pernah ucapkan kalimat itu, Sialan!” Raung Argani tak senang. “Lagi pula, apa kamu pikir Dirga mau menerima kamu kembali ke hidupnya? Kamu sudah terjamah, Renjana. Terjamah oleh tangan-tangan ini!” Argani mengangkat tangannya ke udara memperlihatkan pada sang lawan bicara yang tambah terisak. “Percuma merasa menyesal sekarang. Akan lebih mudah kalau kamu memilih diam dan menyerah. Menerima takdir sebagai nyonya Argani.”
“Asal tidak denganmu. Sendiri pun aku tak masalah!”
Argani tertawa ironi. “Tiga belas tahun, Renjana. Tiga belas tahun aku berusaha. Apa itu tidak ada artinya sama sekali di mata kamu?”
“Karena aku tahu itu bukan cinta. Bukan!”
***
Makin keliatan kan karakter Argani. Agak kejam sih, tapi kok saya suka, ya🤭
Bdw, yang mau baca maraton dan dapet update lebih cepet bisa ke karyakarsa, ya. Di sana udah bab 40an loh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top