BAB 15
Argani, dia tertawa. Tawa kecil yang terdengar begitu menyebalkan di telinga Renjana. Ditambah dengan sorot matahari sore yang masuk melalui jendela, membuat dia tampak lebih jahat dari biasanya, alih-alih memesona. Ingin rasanya Renjana bangkit berdiri dan menerjang lelaki tersebut lalu melayangkan pukulan membabi buta. Jika pun bisa, Renjana ingin memusnahkannya dari muka bumi. Sayang, ingatan masa lalu yang datang menyerbu, membuatnya pening luar biasa. Pun tubuhnya kau lantaran menahan geram. Selimut tebal yang menutupi separuh tubuhnya ia cengkeram erat sebagai pelampiasan, berharap bisa sedikit mengobati rasa sakit hati pada kenyataan yang telah menjebaknya dalam situasi seburuk ini.
Tujuh bulan yang ia lalui selama ini ternyata palsu. Empat bulan masa bahagia yang ia alami juga semu. Ia tertipu. Kehidupan indah yang ia jalani ini, pekerjaan yang berusaha ia nikmati ... tak lain merupakan skenario dari Argani, yang disusun begitu rapi. Pantas Renjana merasa sangat asing dengan segala kenyamanan dan kehidupan baru yang terlalu sempurna. Gadis yang lahir dari keluarga penuh kasih sayang, menikah dengan calon pewaris tunggal, memiliki bisnis yang berjalan lancar, dan pernikahan bahagia. Rasanya nyaris masuk akal kalau dipikir lagi sekarang.
Renjana bodoh. Seharusnya ia mengikuti kata hati saat dulu memilih kabur sebelum menikah. Ia pasti selamat. Tak menderita seperti sekarang.
Lebih dari itu, Renjana tak habis pikir. Bagaimana bisa orang tuanya menyerahkan ia pada lelaki modelan Argani yang tak punya hati. Apa mereka terlena dengan latar belakangnya yang luar biasa, juga koneksi yang akan didapat bila Argani menjadi menantu mereka?
Apa pun itu, apa yang lebih berharga ketimbang anak sendiri?
Anak sendiri. Renjana menelan ludah, teringat bayi dalam kandungannya. Yang sudah hampir terbentuk sempurna dan kini bersemayam nyaman dalam rahim. Renjana menyayanginya. Sangat. Tapi itu kemarin. Tadi pagi. Bahkan tadi siang pun masih. Detak jantung yang di dengarnya di ruang periksa membuat ia menangis haru. Tak sabar ingin masa sembilan bulan segera berlalu.
Namun tidak sekarang. Detik ini, mendadak ia membenci janin sialan yang tumbuh dalam dirinya. Calon bayi manusia iblis yang kini berdiri tak jauh dari Renjana. Adakah cara untuk memusnahkannya?
Renjana yakin, kalau janin ini batal lahir ke dunia, Argani tak akan tertawa selebar sekarang.
“Renjana yang malang,” ujar Argani sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia menghapus satu titik air mata di ujung kelopaknya yang keluar lantaran tawa. “Mengumpatlah sepuasnya. Karena sudah terlambat. Kamu tidak bisa kabur sekarang.”
“Siapa bilang?”
“Aku, kan. Barusan,” sahut Argani ringan.
“Aku ingin kita bercerai!” ujar Renjana dari sela gigi-giginya.
“Tidak akan.”
“Aku akan mengajukan gugatan ke kantor agama.”
Argani mendesah. Ia mundur sedikit dan menyandarkan bokongnya pada bufet pendek di dekat dinding kamar mereka seraya menyilangkan kaki dan melipat tangan di dada, sama sekali tak gentar gentar dengan gertakan sang lawan bicara. “ Seolah kamu bisa.”
“Tentu saja.”
“Masalahnya, kamu mungkin bahkan tak akan bisa keluar dari rumah ini, Renjana.”
Renjana membuka mulut lebar untuk membantah ancaman Argani, hanya untuk menutup kembali saat kemudian otaknya berhasil mencerna kalimat lelaki itu. Wajahnya mendadak pasi. “Apa maksud kamu?”
Argani mengedik. “Hanya memberi peringatan.”
“Kamu mau mengurungku di rumah ini?” tanya Renjana dengan nada penuh getar. Ada takut mengancam, juga keringat dingin yang membasahi punggungnya membuat ia menggigil.
“Tidak dikurung, Sayang,” ujar Argani dengan kelembutan yang dibuat-buat, nyaris membuat Renjana muntah lantaran mual dengan kepura-puraannya. “Kamu bebas keluar masuk dab keliling rumah. Hanya tidak bisa melewati gerbang.”
Ludah yang Renjana telan terasa kelat. Ia kehilangan kata-kata. Argani benar akan mengurungnya. Ya Tuhan, apa yang bisa ia lakukan?
Rasa takut yang membelenggu makin pekat. Selimut yang digenggamnya makin erat. Renjana kehilangan kata-kata. Ia membuka dan menutup mulut tak berdaya. “Kamu jahat!” Hanya dua kata sederhana itu yang berhasil lolos dari katup bibirnya. “Jahat!”
“Bukankah kamu sudah tahu sejak awal kalau aku ... jahat?”
“Kamu tidak pantas disebut manusia!”
“Tapi aku memang manusia, Renjana. Suami kamu.” Argani sengaja memberi penekanan lebih dan setengah mengeja saat menyebut kata suami. Jelas sekali berusaha mengejek Renjana yang mulai tak berdaya. “Renjana yang malang. Andai kamu sedikit pintar. Seharusnya kamu pura-pura lupa sekalipun sudah mengingat semuanya kalau kamu memang ingin kabur. Dengan begitu, aku tetap akan bersikap baik, dan kamu bisa kabur dengan cantik.”
Saran yang terlambat. Dan ya, Renjana mengakui kebodohannya. Andai ia berpura-pura masih lupa ingatan seperti yang Argani katakan. Sehari saja, bertahan sebagai istri yang lembut tak akan membuatnya mati lebih cepat. Sayang, ia memang tak secerdas lelaki itu. Ah, lebih tepatnya tak selicik dia.
“Atau sebenarnya kamu masih ingin bertahan denganku?” Argani berkedip lambat seraya menelengkan kepala dengan tatapan sayu yang dibuat-buat.
Sebagai jawaban untuk sang suami, Renjana meludah ke samping ranjang. “Tidak sudi!”
“Padahal apa kurangku? Dibanding kekasihmu yang menyedihkan itu, tidak ada apa-apanya, Sayang.”
“Tapi dia punya satu hal yang tidak kamu punya, Sialan!”
“Sssttt ....” Argani meletakkan telunjuk di depan bibir. “Jangan berkata kasar, nanti anak kita dengar.” Lagi, dia berlagak sebagai suami baik bati dengan memberikan tatapan penuh kasih itu. Renjana sungguh muak.
“Anak kita?” Renjana mengulang penuh kebencian yang meluap-luap. Ia lantas tersenyum miring, lalu menunduk dan kemudian ... Renjana pukul perutnya sekuat tenaga, sama sekali mengabaikan sakit yang menyertai pukulan tersebut. Hatinya jauh lebih sakit.
“Renjana!” bentar Argani tak terima. Tetapi Renjana tak sama sekali mendengarkannya. Ia tetap memukul perutnya lagi dan lagi dengan kekuatan yang sama, membuat Argani terpaksa mengambil langkah cepat menghampiri perempuan tersebut.
Dengan tangkas, Argani mengkis serangan selanjutnya yang akan Renjana layangkan ke arah perut. ia kunci tangan Renjana erat dalam genggamannya, seraya mendorong bahu Renjana hingga rebah ke bantal dengan napas terengah dan air mata yang entah sejak kapan jatuh dari sudut kelopaknya.
Renjana menangis. Argani menipiskan bibir. “Kamu bilang aku iblis karena sudah tega menjebak kamu dalam pernikahan ini. Lantas apa sebutan bagi seorang ibu yang berusaha menyakiti anaknya sendiri, Renjana?”
“Aku tidak sudi mengandung anak ini! Aku tidak sudi mengandung penerus dari seorang iblis, karena dia akan menjadi iblis ju--” kalimat Renjana tak tergenapi, karena tangan Argani lebih cepat membungkamnya dengan tamparan keras yang sukses membuat wajah sang istri terlempar ke kiri, bahkan bibirnya berdarah.
Tamparan refleks, yang sukses membuat baik Argani dan Renjana terkejut. Spontan, Argani mengepalkan tangannya yang kelepasan dan bergerak menjauh. “Seharusnya kamu tidak memancingku, Renjana. Dan jangan pernah menghina atau bahkan menyakiti anakku!”
Sakit. Tetapi Renjana menahannya. Bibirnya perih dan mata berkunang-kunang. Tenggorokannya luar biasa pedih, seperti berusaha menelan ribuan duri. Ada setitik kecewa di hatinya. Argani menamparnya. Menamparnya! Kendati begitu, Renjana berusaha tak menampakkan itu. Ia tak ingin terlihat lemah. Jadilah ia tersenyum miring, meniru ekspresi licik Argani.
“Semakin kamu menginginkan anak ini, semakin ingin aku melenyapkannya, Argani.”
“Renjana!”
Renjana mengusap darah di sudut bibirnya masih sambil menyeringai. “Apa?” Ia membalas tatapan Argani dengan selengean.
“Berani kamu mengulangi perbuatan tadi--”
“Apa yang akan kamu lakukan?” tantang Renjana berani.
“Keluarga kamu yang akan menanggungnya!”
“Seolah aku peduli. Mereka saja tega menyerahkanku pada iblis seperti kamu!”
“Dia juga anak kamu, Renjana.” Argani berusaha lebih lembut, barangkali berpikir istrinya akan luluh. Oh, tidak akan. Sama sekali.
“Seolah aku peduli!”
Raut Argani seketika kembali keji. Gurat-gurat di wajahnya mengendur. Ia menarik napas pendek sembari menegakkan punggung. “Kalau begitu hanya ada satu cara.”
“Aku tidak akan berubah pikiran.”
“Kita lihat saja.” Lelaki itu berbalik pergi, keluar dari kamar tanpa menutup pintu kembali.
Sepeninggal Argani, Renjana celingukan. Berusaha mencari-cari. Apa saja yang bisa digunakannya untuk menyakiti diri sendiri agar janin dalam kandungannya juga tersakiti. Ugh, andai ada pisau.
Ia sudah akan turun dari ranjang saat kemudian beberapa pelayan masuk. Ada empat orang. Pelayan senior yang selama ini paling Argani percaya. Mereka membawa--Renjana menelan ludah--tali. Di belakang keempatnya, Argani mengikuti dengan tangan dimasukkan ke dalam saku. “Ikat dia!” perintahnya dalam satu tarikan napas, yang langsung dituruti oleh mereka.
Renjana berusaha lari dan melompat dari ranjang, sayang gagal karena dengan tangkas dua pelayan yang lebih muda langsung memegangi tubuhnya dengan kuat.
Tubuh Renjana yang masih lemah tentu tak bisa diajak bekerja sama. Bahkan untuk memberontak pun rasanya sulit sekali, jadi ia hanya bisa berteriak, berharap suaranya mampu meruntuhkan gedung rumah ini, tapi sia-sia.
Dua pelayan lain mulai mengikat tangan Renjana ke sisi-sisi Ranjang. Membuatnya dalam posisi tidur telentang dan dua tangan terentang. Argani hanya memperhatikan tanpa iba sedikit pun.
Oh, apa yang Renjana harapkan darinya? Argani sama sekali tidak punya nurani, bagaimana bisa merasa iba?
Usai melaksanakan perintah, Argani memberi kode pada keempat pelayannya untuk pergi dengan isyarat, yang langsung mereka ikuti. Sedang dirinya masih di sana, menikmati pemandangan Renjana yang tersiksa.
Bergerak serampangan, Renjana berharap ikatannya lepas. Alih-alih lepas, kulit tangannya yang terikat kencang bergesekan dengan tali dan terasa pedih. Pasti sebentar lagi akan mulai mengelupas. Tepi ia tak peduli, selama dirinya bisa pergi dari sini.
“Sudah tahu dalam posisi lemah. Seharusnya kamu menurut saja, Renjana.”
“Aku lebih baik mati daripada menurut padamu!”
“Aku masih suami kamu.”
“Suami yang tidak kuinginkan!”
Rahang Argani mengetat, jelas tak senang dengan hardikan istrinya. “Kamu pernah menginginkanku. Kemarin kamu masih menginginkan aku!”
“Saat masih lupa ingatan, Argani. Dan itu bukan aku yang sesungguhnya! Renjana lugu yang kamu nikahi tak lain adalah karakter yang kamu hidupkan sendiri. Sekarang, skenario kamu berakhir. Begitu pula dengan karakter itu. Kamu tidak bisa melakukan apa pun lagi untuk menipuku!”
***
Makin panas kayaknya, macam cuaca akhir2 ini yang butuh kipasss ….
Udah mulai kebaca kan karakter2 tokoh di cerita ini? Wkwkwk … sini saya kasih bocoran; Argani antagonis pokoknya. Jangan berharap sebaliknya.
Hahahahaha ….
Yang kepo pengen baca duluan bisa langsung cus ke karyakarsa, ya. Di sana udah bab 40 loh.
Tapi nunggu di sini aja boleh kok ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top