BAB 14
Waktu yang Renjana janjikan kepada Joane tidak pernah dimiliki. Ia terlalu sibuk menikmati setiap momen dengan suaminya. Menikmati kasayng lelaki itu, waktu yang mereka miliki, serta kebersamaan yang terasa luar biasa menyenangkan. Setiap dua minggu mereka akan pergi ke berbagai tempat untuk liburan, belanja bersama di hari libur untuk kebutuhan keduanya, juga calon anak mereka. Dan apabila Argani pulang lebih cepat dari kantor, Argani akan selalu mengajaknya menaiki perahu yang sudah diperbarui di danau buatan halaman belakang.
Rasanya, tak ada lagi yang Renjana inginkan di dunia ini. Cukup hidup begini, dengan Argani dan anak-anak mereka kelak. Semua terasa terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan. Cinta yang semula hanya berupa detak cepat di balik dada, berubah menjadi rasa takut kehilangan yang besar.
Tak ada lagi keraguan. Takut. Atau apa pun yang dulu sempat membuatnya ragu. Kini Renjana yakin sepenuhnya pada seorang Argani.
Beruntung Argani begitu sabar menghadapinya di awal-awal pernikahan mereka. Kalau tidak, ia tidak akan sampai pada tahap ini. Tahap bahwa dunianya berada dalam genggam lelaki itu.
“Ini jenis kelaminnya sudah keihatannya ya. Lumayan jelas, bentuk W. yang itu berarti anak kalian perempuan. Anggota tubuhnya juga sudah hampir sempurna, detak jantung bagus. Semuanya normal,” ujar dokter kandungan langganan mereka sambil menunjuk ke arah layar USG. Menjelaskan dengan detail setiap gambar.
Sengaja Argani memilih dokter perempuan untuk istrinya. Dokter perempuan terbaik di Ibu Kota, juga rumah sakit terbaik di sana. Demi Renjana. Demi anak mereka.
Oh ya, ini pemeriksaan yang ke empat. Yang itu berarti kandungan Renjana kini sudah berusia empat bulan. Rasanya Renjana ingin menangis setiap kali mendengar detak jantung janinnya. Calon kehidupan baru yang sebentar lagi akan lahir dari rahimnya sendiri.
“Perempuan,” bisik wanita itu pada Argani yang setia memegang tangan sang istri erat sambil menatap layar lekat.
“Aku suka anak perempuan,” tanggap Argani dengan senyum lebar. “Dia pasti akan secantik kamu.”
Renjana menggeleng. “Aku lebih suka kalau dia menuruni wajah ayahnya.”
“Mirip siapa pun, yang penting sehat dan sempurna.” Dokter menimbrungi sambil meletakkan alat pemeriksaan ke tempat semula, diganti perawat yang kemudian mengelap perut Renjana yang diolesi gel.
“Benar kata dokter. Itu yang terpenting,” ujar Argani menanggapi, yang disambut Renjana dengan senyum kalem.
Seperti pemeriksaan sebelumnya, Renjana kemudian diberikan berbagai resep vitamin untuk ditebus di apotek. Yang selalu Renjana konsumsi dengan rajin demi sang buah hati.
Tepat saat mereka sedang antre untuk menebus obat, Renjana merasa perutnya melilit dan butuh ke kamar mandi. Semula Argani berniat menemani, tapi Renjana menolak dan meminta lelaki itu meneruskan antrean agar cepat selesai dan mereka bisa langsung pulang ke rumah.
Lokasi toilet memang agak jauh dari apotek rumah sakit, lokasinya berada di dekat tempat parkir. Dan tentu saja lumayan ramai. Sebelah kanan toilet khusus laki-laki, dan pintu sebelah kiri bagi perempuan. Renjana berjalan setengah berlari karena merasa perutnya sudah benar-benar mulas, sampai ia tak terlalu memperhatikan lalu lalang pengunjung yang bergerak dan keluar dari area parkir. Sampai kemudian--buk!
Ia tak sengaja menubruk bahu seseorang. Laki-laki. Berkaca mata. Dia memamakai tongkat kayu, yang langsung terpelenting begitu tak sengaja beradu bahu dengan Renjana. Dan laki-laki itu juga terjatuh, barangkali lantaran tak bisa menjaga keseimbangan dengan satu kaki yang sehat mengingat kaki lain cedera dan nampak terbebat perban.
“Oh, maaf!” ucap Renjana spontan. Ia mengambil dua langkah mendekat, lantas menjulurkan tangan untuk membantu lelaki itu berdiri.
Sang lawan yang tak berdaya, membetulkan kacamatanya yang mungkin melorot dan hampir jatuh dari batang hidungnya sebelum kemudian mendongak dan ... deg!
Dunia Renjana seakan gelap seketika. Semua cahaya padam, menyisakan kegelapan. Sesaat. Hanya sesaat yang singkat sebelum kembali benderang dan ia nyaris roboh .
Mata itu. Bibir Renjana terbuka, entah selebar apa. Kendati demikian, tak ada satu silabel pun yang lolos dari katup bibirnya. Ia seperti ikan yang dikeluarkan dari kolam. Hanya bisa megap-megap dan nyaris tak bisa bernapas.
Serbuan ingatan datang seketika, bak air bah yang melanda, menjebol pertahanan rapuh yang mulai tersusun sejak ia pertama kali membuka mata selepas kecelakaan itu.
Lalu satu kata yang terucap dari bibir lelaki itu berhasil membuatnya jatuh tak berdaya di atas paving blok yang terasa keras membentur bokongnya.
“Jana.”
Dia ... Renjana mengenalnya.
Wajah itu. Mata itu. Hidung itu. Bibir yang menyebut namanya dengan nada yang khas itu. Meski kini dia tampak jauh lebih kurus dari dulu.
Dia ... Dirga.
Dirga.
Ada yang membuncah di balik dada. Bukan hanya sebuah detak janggal, melainkan ledakan besar. Sangat besar hingga membuat dadanya seperti ingin pecah, tak bisa menambung banyaknya perasaan yang berkecamuk.
Renjana ingin bangkit, berlari dan memeluk raga manusia di depannya. Tetapi ia tak bisa melakukan apa pun. Ia bahkan mendada tak bisa bersuara. Hanya ternganga bagai manusia tolol. Setiap sendi seolah tak lagi berfungsi. Membuat wanita malang itu seperti manusia kena kutukan lantaran telah melakukan dosa besar karena telah ... mengkhianati lelaki ini.
Dirga.
Kekasihnya.
Renjana ingat sekarang. Segalanya. Hanya dengan menatap mata yang membola di balik sepasang kaca bening yang membingkai di wajah kotak itu. Mata berwarna cokelat terang yang dulu menjadi favoritnya. Mata yang paling suka ia pandangi dari banyaknya keindahan di dunia.
Mata yang kini menatap Renjana dengan keterkejutan yang tak ditutup-tutupi.
“Jana, ini benar kamu?” Dirga bertanya dengan nada bergetar. Tangannya yang jauh lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu, meraba-raba berusaha mengambil tongkatnya yang jatuh. Lalu ia bergerak cepat mendekati Renjana dengan tatapan khawatir penuh kerinduan.
Rindu. Sudah berapa lama mereka tidak bertemu? Sepertinya sudah lama sekali. Mungkin satu kehidupan atau lebih.
Bibir Renjana terkatup, lalu membuka lagi. Tetapi tetap tak ada apa pun yang keluar dari bibirnya. Ia justru mengernyit dan menyipit tajam lantaran serangan ingatan yang datang membabi buta membuat kepalanya luar biasa sakit. Sangat sakit.
Oh, ini terlalu tiba-tiba. Sangat tiba-tiba. Semesta memberi kejutan tanpa aba-aba. Dan Renjana ... ia belum cukup siap menghadapi ini.
Dirga makin mendekat. Tangan lelaki itu hampir menyentuh bahu Renjana, tetapi tertahan lantaran suara menggelegar yang datang dan menginterupsi mereka secara tiba-tiba.
“Jangan sentuh istri saya!”
Itu suara Argani. Berat dan rendah. Renjana menoleh ke belakang, dan menemukan ekspresi yang cukup lekat dalam ingatan. Wajah penuh amarah dan bengis. Wajah yang paling ia benci. Sangat benci.
Sayang saat itu Renjana tak bisa melakukan apa pun karena kesadarannya direnggut paksa oleh kegelapan. Ia merasa makin pusing dan kemudian jatuh pingsan.
Saat tersadar, Renjana sudah mendapati dirinya berada di kamar. Kamar yang amat familier. Kamar yang akhir-akhir ini ia tempati. Kamarnya dan Argani.
Kamar dengan Argani. Tiga kata itu terngiang di telinga seperti kaset rusak. Berhasil membuatnya mual.
Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi? Renjana memegangi kepala yang masih cukup berat. Mengangkat kepala, ia mendapati potret dirinya dengan Argani di dinding seberang ranjang yang terpampang dengan ukuran besar, memperlihatkan ia dalam pelukan lelaki itu dengan wajah tersenyum.
Renjana menggigil. Ia meremas kedua lengannya, mendadak merasa jijik pada diri sendiri. Lebih dari itu, kini ia bahkan mengandung darah Argani. Calon penerus setan itu.
Tak bisa menahan tangis, Renjana menjerit kencang sebagai ungkapan perasaan yang tak terbendung.
Apa salahnya? Apa dosanya? Apa kesalahan yang sudah ia lakukan sampai dirinya bisa sampai berada dalam pelukan lelaki itu?! berada di tempat ini sebagai nyonya Argani. Kengerian macam apa ini?!
Barangkali mendengar jeritan Renjana, pintu kamar seketika terbuka. Angselnya menabrak dinding dan menimbulkan bunyi benturan lantaran terlalu keras didorong dari luar. Sosok Argani muncul dari balik lembar kayu itu.
“Sayang. Re, kamu sudah bangun?”
Sayang? Rasanya jijik sekali mendengar panggilan itu keluar dari bibir Argani untuknya.
“Kamu kenapa? Apa yang terjadi? Kenapa berteriak? Mimpi burukkah?”
Dan dia masih bisa berpura-pura? Dasar iblis. Renjana mencengkeram erat selimut yang menutupi tubuhnya hingga batas perut. “Jangan mendekat!” pekiknya pada Argani yang melangkah cepat dari arah pintu ke arah ranjang tempat sang istri berada. Dan berhenti lima langkah dari tempat tidur seperti yang Renjana katakan.
“Re!” Argani berseru dengan wajah bingung.
Oh, akting yang bagus. Dia lebih pantas menjadi aktor ketimbang pengusaha.
“Jangan sebut namaku, Sialan!”
“Kenapa? Apa yang terjadi sama kamu? Kamu mimpi buruk?”
“Bukan bermimpi buruk, tapi sudah kembali ke kenyataan.”
“Apa maksud kamu, Re? Jangan bikin aku khawatir.”
Renjana mengacungkan tangan ke depan, menuding lelaki itu. “Jangan berpura-pura lagi, Argani. Aku sudah ingat semuanya. Semuanya! Dasar iblis dari neraka! Enyahlah!”
Lalu seketika ... ekspresi Argani berubah. Raut khawatirnya menghilang. Tatapan penuh kasihnya lenyap. Berganti wajah datar. Muka asli dari lelaki sialan itu. “Oh, kalau begitu drama kita sudah berakhir, ya.” Dan itu bukan pertanyaan. Nadanya sedatar wajah yang ia tampilkan. Datar dan dingin. “Ah, sayang sekali. Padahal aku sangat menikmati ini. Menjalani peran sebagai suami penyayang.”
“Semuanya palsu!” Renjana mulai terisak. Rasanya sakit sekali. Air mata yang berusaha ia tahan, tak mampu dibanding dan akhirnya luruh membasahi pipi. Perasaannya hancur. Sangat. Ia merasa ditipu. Dan memang tertipu. Argani berhasil memperdayanya sejauh ini. Terlalu jauh.
Sialnya, setelah ingat segalanya Renjana merasa seperti kehilangan. Entah apa.
Oh, ia memang kehilangan. Ingatan. Dunianya. Dirinya. Dan Dirga.
“Sebenarnya ini semua bisa menjadi asli asal ingatan kamu tidak pernah kembali, Renjana.”
Renjana, bukan Re.
“Kamu jahat!" Renjana menjerit. "Apa salahku sampai kamu tega menipuku seperti ini?! memanfaatkan hilang ingatanku dan ...” suaranya tercekat. Ia ingat juga. Yang membuatnya kecelakaan juga ... orang ini. Suaminya.
Dia benar-benar iblis sesungguhnya. Bahkan mungkin lebih buruk dari iblis itu sendiri.
***
Siapa yang dari kemarin nggak sabar baca part Renjana kembali ingat masa lalu?
Ini yang kalian tunggu, ya. Gimana gimana???
Karakter Argani sudah mulai kelihatan. Hmmm ….
Makin suka atau makin bosenin?
Wkwkwk … semoga selalu suka, yaa ^^
Bdw, di karyakarsa sudah bab 38 loh!
Kuy ke kk buat yang mau fast update.
Maaf banget karena lama update. Lagi nggak enak badan ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top