BAB 13

Tak ada yang kurang dari sosok Argani sebagai suami. Dia nyaris terlalu sempurna. Perhatian, penuh kasih sayang dan hangat. Renjana paling suka caranya menatap. Seperti hanya dirinya yang ada di dunia ini. Begitu dicintai. Begitu dijaga.

Tak jarang Renjana mendapatkan hadiah-hadiah kecil setiap kali lelaki pulang dari kantor atau dinas keluar kota. Seperti bunga, parfum, bahkan hal remeh semacam aroma terapi baru yang katanya seperti cocok untuk Renjana.

Seperti saat ini. Argani tiiba-tiba datang entah dari mana, memeluknya dari belakang dan menyodorkan kotak berukuran sedang yang menguarkan aroma martabak manis, berhasil membuat Renjana nyaris menjatuhkan air liur.

“Selamat malam, Sayang!” sapa lelaki itu sambil mendusel-duselkan wajah ke lekukan leher sang istri, membikin Renjana mengernyit kegelian. “Maaf telat pulang, tadi meeting sama klien dari luar, dan lumayan memakan waktu. Sebagai permintaan maaf, aku bawakan ini buat kamu.” Dia memamerkan hasil buruannya tepat di depan mata Renjana seraya melepas pelukan dan membalik tubuh sang lawan bicara.

“Tida perlu minta maaf. Aku tahu kamu sibuk. Dan ... makasih buat martabaknya.” Dengan sigap, Renjana meraih kantong kresek putih tanpa label dari tangan Argani. “Boleh langsung aku makan, kan?”

“Tentu saja.”

Seperti anak kecil, Renjana melangkah riang, kegirangan menuju meja ruang tengah dan lantas membuka ikat kresek dengan tak sabaran. Tetapi seketika senyumnya hilang saat tanpa sengaja ia melirik jam dinding di belakang bufet televisi. Hampir jam delapan malam. Renjana cemberut.

Melihat perubahan ekspresi istrinya itu, tentu saja membuat Argani heran. “Kenapa, Re?”

Renjana makin ceberut, setengah merajuk. “Kalau aku makan ini sekarang, berat badanku bisa makin naik. Kamu tahu sendiri, bulan ini saja ku sudah hampir naik dua kilo, Ar!”

“Ya sudah taruh di kulkas. Makan besok.”

“Keburu dingin dong.”

Argani mrnghrla napas sabar. Ia melangkah mendekati istrinya dan duduk di samping sang wanita. “Terus kamu maunya gimana?”

“Makan sekarang.”

“Kalau begitu, makan.”

“Kalau aku gendut?”

“Bagus dong, nggak bakal ada yang lirik-lirik kamu lagi. Dan aku nggak perlu khawatir takut kamu direbut lelaki lain.”

Digombali seperti itu, hati siapa yang tidak luluh? Renjana tentu saja tak bisa menahan senyum. Ia memukul pelan dada Argani pura-pura kesal. “Dasar gombal!”

“Mau aku temani makan?”

Spontan Renjana menjauhkan kotak martabaknya dari jangkauan Argani seraya mendelik. “Enak saja. Ini punyaku.”

“Ya. Ya. Ya. Habiskan. Awas kalau ada sisa.”

Siapa yang tidak menginginkan suami seperti Argani. Karena sikap itu lah, cara dia memperlaukannya, kehangatannya, membuat Renjana mengabaikan pertemuan dengan Joane, juga serbuan pesan wanita itu. Tak munafik, terkadang Renjana merasa penasaran dengan masa lalunya. Dengan lelaki bernama Dirga. Tetapi mungkin, dia hanya sekadar masa lalu. Mantan pacar? Entah. Siapa pun dia, tak akan mungkin bisa menandingi seorang Argani. Dan Renjana mulai takut kehilangannya.

Semakin hari hidup sebagai Nyonya Argani, Renjana sudah mulai terbiasa. Ia menikmati menjadi seorang istri. Pun calon ibu dari anak lelaki itu. Meski tak bisa dipungkiri, ia masih belum terbiasa dengan pekerjaannya. Hanya saja, di rumah saja membuat ia bosan. Renjana butuh kesibukan saat suaminya sedang bekeja, juga interaksi dengan orang lain. Karena sendiri hanya membuatnya melamun dan mulai berpikir macam-macam.

“Bagaimana kabar anak Papa hari ini?” Argani sudah berganti pakaian, siap tidur. Ia mengelus perut istrinya yang mulai buncit, entah karena hemilannya atau memang kekenyangan, atau bahkan karena keduanya.

Renjana meletakkan tangan di atas telapak lelaki itu. “Baik sekali,” jawabnya menirukan suara anak kecil.

“Jangan nakal-nakal ya. Jangan nyusahin Mama.”

“Syukurnya sejauh ini dia anteng, Pa.”

Gerak tangan Argani berhenti sejenak. Ia menoleh pada Renjana, yang kemudian membalas tatapannya. “Aku suka,” ujarnya seketika.

Renjana yang tidak mengerti, menaikkan satu alis dan menelengkan kepala. “Apa?”

“Cara kamu memanggilku tadi. Aku suka.”

Ada setitik rona di pipi Renjana, yang tampak samar, nyaris tak terlihat. Terima kasih pada lampu kamar yang sudah dimatikan, hanya menyisakan cahaya dari lampu nakas yang temaran. “Papa?” tanyanya ragu, berusaha memastikan. Yang Argani jawab dengan anggukan sekali.

“Kalau kamu segan memanggilku dengan nama, pakai saja panggilan itu.”

“Tapi aneh nggak, sih? Anak kita saja belum lahir.”

“Aggap saja latihan, Mamaaa ...” satu cubitan kecil mendarat di ujung hidung Renjana, Argani sengaja melakukannya, bahkan menambah dengan menarik ke kanan dan ke kiri secara pelan sehingga kepala sang istri sedikit bergeleng mengikuti tarikan tangan lelaki itu.

“Ih, kok aku dengernya geli sih!” Buru-buru Renjana melepaskan tangan Argani dari hidungnya dan menggosok-gosok pelan, sedikit bersungut-sungut walau sama sekali tak merasa kesakitan.

“Tapi aku suka. Lahi pula, kamu yang mulai duluan, Ma.”

“Bisa panggil aku Renjana saja? Lebih enak didengar.”

Argani menggeleng dengan pasti. “Aku suka begini.” Ia lantas mengubah posisi, menidurkan tubuh dan meletakkan kepalanya di pangkuan Renjana yang kala itu duduk bersandar di kepala ranjang. Kekenyangan. Sekotak martabak yang Argani bawa, ia habiskan sendirian--padahal katanya takut gemuk.

Rambut Argani halus. Renjana mengelusnya pelan. Hitam dan tebal. Bahkan lebih bagus dari rambut Renjana yang perempuan. Dan wangi.

“Dibandingkan Chintya, aku tidak ada apa-apanya. Baik dari segi fisik atau koneksi, tapi kenapa kamu berkeras memilihku?” Mata bertemu mata. Kulit bersentuhan. Renjana suka posisi mereka. Dan obrolan ringan sebelum tidur ini, yang mulai rutin mereka lakukan sejak Renjana hamil. Dengan topik acak.

“Itu pilihan hati, Re. Mana bisa ditawar atau dipaksakan.”

“Bisa diceritakan, sejak kapan kamu jatuh cinta sama aku? Dan siapa yang jatuh cinta duluan di antara kita?”

Argani meraih tangan renjana yang bebas, mengabsen jari jemarinya satu persatu, lalu menyatukan dengan tangannya sendiri. “Sejak lama. Jauh sebelum aku mengenal Chintya.”

“Berarti sejak SMA?”

Argani mengangguk. “Kamu gadis populer di sekolah dulu.”

“Aku?!” Renjana bertanya dengan nada tak percaya. Sama sekali. Dirnya populer? Sepertinya nyaris tidak mungkin. Ya, ia memang tidak jelek. Masuk kategori lumayan, tapi pasti banyak yang lebih kan?

Sebagai jawaban, Argani mengangguk lagi.

“Bagaimana ceritanya aku bisa populer di sekolah?”

“Karena kamu berteman dengan anak paling cantik di sekolah.”

Sialan. Renjana nyaris mengumpat. Dan sebagai pengalihan dari itu, ia memukul kesal pundak Argani. “Jadi aku kecipratan populer, gitu ceritanya?”

Bukannya tak senang mendapat pukulan, Argni justru tertawa pelan. “Memang begitu kenyataannya.”

“Terserahlah. Terus yang bikin kamu suka apa?”

“Karena kamu baik.”

“Ah, klise sekali.”

“Memang karena itu. Kamu mungkin tidak ingat, tapi dulu aku tidak begini. Aku gedut, hitam dan berkacamata. Hampir tidak ada yang mau berteman denganku. Tapi kamu mau. Kamu bahkan bersedia duduk satu bangku denganku saat teman-teman yang lain meminta pindah ke wali kelas saat penentuan tempat duduk. Kamu bela aku saat ada yang merundungku di sekolah. Dan banyak hal lain yang mungkin nggak akan bisa aku ceritakan dalam semalam.”

“Benarkah?” Renjana takjub sendiri mendengar kisah mereka yang ... “mirip FTV ya?”

Argani memutar bola jengah. “FTV juga kan terinspirasi dari kisah nyata.”

Renjana mengedik. “Dan apa kita pacaran sejak SMA?”

“Tidak. Kita terpisah setelah lulus. Aku kuliah ke luar negeri, dan kamu ke Bandung.”

Renjana berkedip pelan. Ia mulai bisa mengira-ngira. Kemungkinan Dirga adalah mantan kekasihnya saat masa kuliah. “Kalau begitu, kapan kita bertemu lagi setelah itu?”

“Lama setelah aku kembali ke tanah air.”

“Lalu bagaimana bisa aku jadi sama kamu? Bukankah aku sempat punya pacar sewaktu kuliah?”

Alih-alih menjawab, Argani justru menguap lebar. “Sudah malam, Sayang. Kita tidur, ya.”

Renjana belum ingin tidur. Ia masih butuh bercerita kisah mereka. Tetapi tak tega juga melihat wajah mengantuk suaminya, terlebih tadi Argani pulang terlambat karena meeting. Besok pun dia masih harus berangkat pagi. Jadilah ia mendesah dan mengangguk mengiyakan, meski rasanya tak rela mengakhiri obrolan ini.

Tak apa. Masih banyak malam-malam lain untuk mereka nanti. Renjana langsung menurunkan bantanya begitu Argani sudah mengubah posisi.

Mereka tidur berpelukan, mulanya. Hanya sampai Argani terlelap. Setelah itu Renjana melepaskan diri karena merasa lumayan haus dan butuh minum. Beruntung ada persediaan air putih di nakas. Renjana langsung menegak rakus. Tepat saat ia hendak kembali tidur, ponselnya berbunyi singkat tanda ada notifikasi masuk dari sosial medianya. Masih dari Joane.

Re, bisa kita betemu? Kapan dan di mana terserah kamu.

Renjana: Kalau tujuan kamu untuk membahas masa lalu, maaf aku tidak bisa, Jo.

Sambil mengetik, Renjana melirik Argani yang sudah pulas. Seorang seperti Argani sudah lebih dari cukup untuk mengganti masa lalunya. Apa pun itu. Renjana yakin tak ada yang lebih indah dari masa depan yang menantinya. Ia tidak ingin mengacaukan apa pun. Maafkan dirinya yang pernah ingin sekali menggali kisah sebelum kecelakaan. Dikata plin plan pun tak masalah. Karena kini Renjana tak bisa memikirkan dirinya saja. Ada anak yang harus juga ia perhitungannya. Anak Argani.

Joane: Anggap saja hanya Reuni. Kalau kamu tidak suka, aku juga tidak mungkin memaksa menceritakan masa lalu kan? Kalau pun ada masa lalu yang akan kita bicarakan, hanya mengenang saat kuliah saja. Memangnya kamu tidak rindu masa-masa itu?

Joane pasti bercanda. Mana mungkin Renjana bisa merindukan momen-momen yang bahkan tak bisa diingatnya.

Renjana: Baiklah, akan aku usahakan nanti.

Joane: Ditunggu kabar baiknya, Jan.

Setelah membaca pesan terahir dari Jo, Renjana langsung mematikan paket data ponselnya dan kembali ke dalam pelukan Argani untuk terlelap.

***

Hohoho … sebentar lagi. Sebentar lagiiii. Siapa yang udah nggak sabar?

Saya juga nggak sabaaarrrrr…!

Semoga kalian tetep suka sama cerita ini yaaa …

Yang kepo pengen baca duluan bisa cuzz ke karyakarsa, yaa. Yang sabar boleh nunggu di sini ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top