BAB 11
Musim hujan mulai tiba. Dua hari ini langit Jakarta sudah mulai sering menangis. Awan kelabu membayang di kaki langit, membawa pesan bahwa semesta akan kembali menumpahkan jutaan tetes bening untuk menyapa bumi yang kering selama kemarau.
Di ruang kerjanya yang luas, Renjana mendesah. Ia menatap laporan hasil penjualan bulan ini dengan cukup puas hati. Dan sepertinya dia memang bukan tipe perempuan bodoh. Terbukti dirinya bisa membaca bagan dan tabel bahkan lumayan cakap dengan bidang ini. Hanya saja, ia kurang bergairah dengan bisnis yang digelutinya. Tak ada rasa yang meluap-luap terhadap fesyen. Bahkan saat tadi salah satu karyawan mengatakan bahwa sudah saatnya ia kembali blusukan untuk mencari tren baru dan menambah koleksi etalase, Renjana hanya bisa lebih banyak diam dan sedikit tidak paham.
Ia tahu, dirinya hanya pedagang yang mencantumkan mereknya tanpa mendesain atau menjahit sendiri pakaian-pakaian yang mereka jual. Dia hanya mengambil dari pemasok, lalu meminta produksi lebih banyak bila banyak peminat. Sedang fesyen berputar cepat, selalu ada tren baru. Sosialita atau selebritas membawa pegaruh yang besar, tergantung bintang mana yang saat ini bersinar, dialah yang akan menjadi kiblat fesyen selanjutnya untuk satu musim yang pendek.
“Banyak stok kita yang kosong Mbak, dan beberapa koleksi yang sudah ketinggalan zaman. Kalau dalam waktu dekat belum mengambil pasokan lagi, toko kita mungkin akan sepi.”
“Ya, ya, ya.” Renjana menunduk sambil memijat ujung batang hidung untuk meredakan pening yang datang tiba-tiba.
Blusukan ya. Karyawannya bilang, Renjana biasanya mencari ke pasar-pasar besar, salah satunya Tanah Abang. Jadi di sinilah ia sekarang, di pasar tujuan dan ... kebingungan.
Ratih yang diajaknya pergi sudah beberapa kali memperlihatkan berbagai bentuk pakaian yang katanya sedang digemari, tapi belum satu pun ada yang Renjana putuskan untuk borong dan meminta tambahan produksi. Tak ada yang bagus menurutnya, padahal mereka seharusnya mengitu tren, bukan kesukaan pribadi seperti yang sekarang dirinya lakukan.
Menarik napas, renjana menyentuh salah satu model pakaian dengan warna tanah. Modelnya kemeja sederhana dan berbahan lembut. Sepertinya akan nyaman dikenakan. “Kalau model yang ini, bagaimana menurut kamu”
Yang ditanya menoleh ke arah pakaian yang Renjana pegang, menatap dengan pandangan sangsi. Ia kemudian mengangkat pandangan tak yakin dan mendesah, “Mbak yakin?”
Dan dengan polosnya, Renjana mengangguk.
“Ini model kuno, Mbak. Terlalu sederhana. Pilihan warna dan bahan sih oke, tapi tidak dengan modelnya. Monoton. Kemeja yang sedang digemari saat ini biasanya yang lengan balon, atau kerah lebar, atau kantong besar di bagian dada atau bagian belakang yang lebih panjang.”
Renjana menatap kemeja yang disukainya lama. “Apa sebelumnya saya selalu mengikuti tren pakaian yang sedang banyak digemari?”
Yang ditanya tak langsung menjawab, membuat Renjana mengangkat pandangan hanya untuk menemukan Ratih sedikit gelagapan dan mengalihkan perhatian saat kemudian membuak suara sambil mengedik pelan. “Pedagang fesyen pasti akan selalu mengikuti tren.”
“Termasuk saya?” tanya Renjana ragu, entah mengapa merasa dirinya tidak demikian. Dan bukan hanya itu, sepertinya juga ia tidak terlalu suka dengan dunia bisnis yang digelutinya. Tapi kalau memang demikian, kenapa harus bidang ini yang ia ambil?
“Saya pribadi tidak terlalu tahu banyak tentang hal-hal yang Mbak senangi. Saya hanya biasa ikut dan memberi masukan setiap kali ditanya,” ujar Ratih masih tanpa membalas tatapannya dan kini mulai berjalan menjauh dan melihat model pakaian yang lain.
Merasa lelah--bukan fisik, melainkan pikiran--Renjana memilih untuk duduk di sofa terdekat. Entah memang dirinya mengalami amnesia yang parah atau apa, tapi seharusnya ia bisa familier dengan tempat-tempat semacam ini kalau memang ia sering berkunjung untuk memilih barang. Nyatanya, nihil. Semua masih terasa begitu baru, asing dan aneh.
Sadar dirinya tak bisa terus-terusan seperti ini, ia kembali bangkit, berusaha mengumpulkan semangat dan kembali mencari, lebih tepatnya membiarkan Ratih mencari dan dirinya hanya memberi sedikit pendapat. Saat Ratih menunjuk dan mengatakan bagus, Renjana hanya mengangguk dan mengatakan, “Angkut. Kita ambil saja beberapa kodi dulu, kalau ternyata laku dan banyak peminat, kita bisa meminta lebih banyak, kan.”
Dan begitulah salah satu hari melelahkan berlalu. Ia rasanya nyaris pingsan saat sampai di rumah. Dan berendam merupakan pilihan terbaik sore menjelang malam kala itu. Ia bersandar pada bagian ujung bak dengan kepala ditengadahkan dan mata terpejam. Air hangat melingkupi, dan harum rempah yang menguar dari lilin aromaterapi yang dinyalakannya cukup membuat kepala menjadi tenang.
Renjana hampir tertidur saat kemudian ia merasakan ada sepasang tangan menyentuh kepalanya dan memijat pelan. Membuka mata, ia menemukan wajah Argani yang berada tepat di atas wajahnya.
“Lelah sekali sepertinya.”
Renjana mengembuskan napas pelan dan kembali terpejam, membiarkan tangan Argani terus menekan pelan bagian tengkoraknya. Nyaman sekali. “He em.”
“Kamu lagi hamil, Re. Kurang-kurangin lah kegiatan di luar. Serahkan saja pekerjaan pada karyawan. Kamu harus banyak istirahat.”
“Aku sumpek di rumah terus.”
“Apa bekerja membuat kamu lebih senang?”
Renjana membuka kembali kelopak matanya, membalas tatapan Argani yang butuh jawaban. “Sebenarnya nggak,” dan ia memilih jujur.
Pijatan Argani terasa makin menekan di beberapa titik. “Lantas?”
“Aku hanya bosan dan butuh berkegiatan. Tapi seperti ada yang kurang pas.”
“Apa?”
“Aku merasa kurang cocok degan bidan yang aku ambil ini.” Lampu kamar mandi di langit-langit terlihat berpendar saat Renjana pandangan berlama-lama. “Kamu tahu nggak sih, alasan kenapa aku memilih fesyen untuk usaha? Kenapa bukan hal lain. Misal menjadi admin, sekretaris atau karyawan. Sepertinya aku lebih nyaman dengan menjadi pegawai biasa ketimbang menjadi bos.”
Pijatan Argani sempat terhenti, lalu lanjut lagi dengan tekanan yang berbeda, tak lagi senyaman pijatan sebelumnya. “Alasannya sederhana.”
“Apa?”
“Karena fesyen tidak pernah ada matinya dan selalu dibutuhkan oleh orang-orang.”
“Benarkah pemikiranku seklise itu?” Renjana lebih mendongak agar bisa menatap wajah sang suami sepenuhnya. Sedang yang ditanya hanya mengangguk kecil sebelum kemudian melepaskan tangannya dari kepala Renjana.
“Air rendamnya sudah mulai dingin, cepat keluar dari bak sebelum kamu masuk angin. Aku tunggu di kamar.” Lalu dia pergi. Meninggalkan Renjana yang sama sekali tidak puas dengan jawabannya.
Hari kedua blusukan, masih dengan karyawan yang sama, kali ini ke tempat yang berbeda. Kemarin mereka mencari atasan, sekarang bawahan. Dan kali ini pilihan Renjana banyak yang cocok, karena ternyata seleranya cukup pasaran untuk model bawahan yang memang tidak terlalu banyak mengalami perubahan setiap musim.
Oh, jangan harap setelah ini semua selesai. Masih ada esok hari dan lusa. Jadwal untuk besok yakni berburu dress. Dan semua jadwal itu Ratih yang mengatur. Renjana hanya mengikuti. Dan anehnya, Renjana nyaman dengan itu. Mengikuti instruksi, membuka yang membuat intruksi itu sendiri.
Dari satu toko ke toko yang lain, dan kini mereka sudah mengantongi enam kodi dengan model berbeda. Tepat saat mereka hendak memasuki toko berbeda, sebuah suara yang tak dikenal terdengar memanggil dari arah jam dua.
Renjana spontan menoleh dan mendapati wanita muda yang kira-kira seusinya berlari kecil menghampiri.
“Ternyata benar kamu, Jan. Ya ampun, aku pikir cuma mirip!”
Renjana menyipit. Ia berusaha mengingat siapa perempuan tersebut. Entah memang karena Renjana lupa, atau dirinya memang sungguh tidak ingat. Yang pasti wajah itu asing tapi jugaterasa agk familier.
“Kamu siapa?” tanya Renjana pelan dan bernada sopan.
“Widih, mentang-mentang udah jadi istri orang, lupa sama temen sendiri.” Yang ditanya pura-pura melengos dan berlaga tersinggung, tapi Renjana mengerti dia hanya bercanda. “Gimana nikah? Seru?” tanya wanita tadi lagi, sama sekali tak menanggapi pertanyaan Renjana karena hanya mengira Renjana bercanda. “Lo lama nggak kelihatan, bahkan nggak ada ngabarin. Lo baik-baik aja kan?”
Akrab sekali sepertinya. Renjana meneliti wanita di depannya dengan seksama. Dia bertubuh mungil dengan wedges setinggi lima senti yang membuatnya terlihat lebih semampai. Wajah manis dan bersahabat. Renjana merasa nyaman di dekatnya, seperti sebuah kebiasaan lama. Apa dulu mereka akrab?
“Aku baik, cuma--”
“Gue sempet denger lo ngalamin kecelakaan. Emang bener?”
Renjana tersenyum kecil, “Begitulah jawabnya.”
“Sama laki lo katanya, ya?”
Dengan Argani? Kening Renjana berkerut pelan. “Sependek pengetahuanku, aku kecelakaan sendirian.”
“Tapi teman-teman bilang, Dirga kena luka lumayan parah katanya. Bahkan sampai koma. Tapi mungkin bentar kali ya, buktinya kalian udah nikah aja nih! By the way, selamat ya. Cuma gue rada kesel sih karena nggak diundang,” ujar perempuan berponi miring dan rambut panjang lurus mengilau seperti iklan shampo itu sambil memberengut pelan.
Orang ini bicara apa sih?!
Kerutan di kening Renjana kian dalam. Sungguh, ia tak mengerti ocehan lawan bicaranya. “Siapa Dirga? Apa dia musuh kecelakaan saya?”
Kini bukan hanya kening Renjana, tapi kening sang lawan bicara juga ikut terlipat. Dia maju selangkah hanya untuk menyentuh kening Renjana yang spontan mundur, seolah Renjana sedang sakit saja. “Becanda lo nggak lucu tau nggak sih, Jan. Garing. Pura-pura lupa sama gue. Parahnya sok lupa sama Dirga. Kalau lo lupa sama Dirga terus lo nikah sama siapa? Monyet gitu?!” sewotnya yang membuat Renjana tambah kebingungan.
Tak ingin memperpanjang urusan, Renjana menepiskan tangan ke udara. “Sepertinya kamu salah orang. Benar, saya Renjana, tapi suami saya bukan Dirga. Namanya Argani.”
Sisa senyum di bibir sang lawan bicara menghilang sepenuhnya. Kerutan di keningnya memudar. Dan dia menelan ludah pelan. “Argani?” ulangnya dengan nada ngeri. “Jan, becandaan lo beneran nggak lucu.”
Siapa sebenarnya yang sedang bercanda di sini? Renjana atau perempuan tak dikenal ini? Renjana saja tidak tahu dia siapa.
***
Nah loh, nah loh. Mulai ada nama baru yang muncul. Xixixixi … sepertinya alur cerita sudah bisa ditebak pelan-pelan yaaa ….
Kuy, ada yang udah bisa nebak?
Bdw, yang kepo bisa langsung ke karyakarsa, ya. Di sana udah bab 32 dan makin seruuuuu ...
Cuplikannya bisa lihat di profil ya ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top