BAB 10

Gambar putih abu-abu di tangan sudah menjelaskan segalanya. Bahwa kehamilan Renjana nyata adanya. Memang masih begitu kecil. Baru berupa biji kacang. Dokter bilang usianya empat minggu dan belum ada detak jantung. Mereka diminta datang kembali untuk periksa bulan depan untuk memastikan kandungan Renjana berkembang dengan baik atau tidak.

Ah, melihat gambar kecil itu seperti menatap masa depan. Akan ada nyawa baru di antara mereka. Seolah mempertegas, setelah ini ia tak akan bisa lari lagi menuju masa lalu atau mengubah apa pun. Biji kacang ini, Renjana meraba gambar tersebut dengan tatapan penuh haru, merupakan buah hati yang ia janji akan dijaga sepenuh jiwa. Anaknya. Seseorang yang akan memanggil ia dengan sebutan Mama.

Oh. Renjana seperti dibuat jatuh cinta hanya dengan sekali pandang. Pada sosok yang belum ia tahu akan tumbuh seperti apa.

“Laki-laki atau perempuan?” tanya Renjana spontan. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan pulang dan tengah terjebak di lampu merah. Bunyi klakson terdengar saling sahut. Pedagang asongan berlalu lalang dari satu jendela mobil ke jendela yang lain. Termasuk jendela mobil Argani yang setia menutup rapat. Dia memang bukan tipe orang yang suka membeli dari pedagang asongan. Ya, memang sedikit sombong sepertinya. Tidak terlalu ramah pada sembarang orang.

“Hmm?” Yang ditanya mengalihkan pandang dari kendaraan di depan. Lampu lalu lintas sudah berwarna hijau, tapi kereta besi mereka hanya bisa sedikit bergerak.

“Menurut kamu, anak ini laki-laki atau perempuan?”

Argani mengerucut miring seraya mengetuk-ngetukkan jarinya ke roda kemudi. “Aku suka anak perempuan,” katanya.

“Bagaimana kalau ternyata laki-laki?”

Lelaki itu mengedik pelan. “Laki-laki juga bagus. Dia akan menjadi penerus yang diharapkan.”

“Kamu lebih suka yang mana?”

“Laki-laki atau perempuan, yang penting sempurna dan sehat, Re. Aku tidak terlalu obsesi dengan jenis kelamin. Mau cantik atau tampan, bahkan biasa sekali pun, dia tetap anakku.”

Betapa hangat mendengar kalimat semacam itu. Renjana menghela napas pendek dan menyandarkan punggung sepenuhnya dengan tubuh lebih santai. “Aku pikir kamu akan kekeh minta anak laki-laki,” tukasnya sambil menatap ke jendela. Anak perempuan kecil, kira-kira berusia lima tahun sedang mengamen di mobil sebelah. Si malang itu memegang kerincingan dan memukul-mukulkan pelan ke tangannya yang kotor. Keringat membasahi sebagian pakaiannya yang kotor dan tampak bolong di beberapa sisi. Andai terawat, dia pasti cantik sekali, sayang gadis cilik itu terlahir tak beruntung.

“Kenapa begitu? Apa aku terlihat seperti laki-laki yang menganut patriarki?”

“Sedikit,” jawab Renjana tanpa mengalihkan perhatiannya. Menatap ke arah lampu lalu lintas yang sudah kembali merah, ia merogoh tas selempang kecil yang digunakannya untuk mencari receh. Dan tidak ada. “Kamu punya uang kecil?”

“Untuk apa?”

“Memberikannya pada pengamen di luar, anak itu malang sekali.” Ia menunjuk gadis kecil yang sejak tadi diperhatikannya.

“Tidak usah.”

Renjana menahan diri untuk tak mendesis. “Ayolah. Lima ribu tidak akan membuat kamu miskin, Ar.”

“Ini bukan tentang nominal, Re.”

“Jangan mencari alasan!”

“Kamu belum benar-benar mengerti dunia sepertinya.”

“Apa maksud kamu?”

Argani berkedip. Ia melirik gadis kecil yang Renjana kasihani sekilas. “Anak kecil memang mudah mendapatkan simpati. Tapi, uang-uang yang didapatkannya buat apa?”

“Bisa jadi demi membantu kebutuhan orangtua, atau biaya sekolah. Atau--”

“--untuk bos besar mereka. Atau orangtua mereka yang egois, memaksa anaknya mengamen demi kepentingan pribadi.”

Renjana menatap suaminya dengan mata menyipit tak senang. “Tidak bisakah kamu berpikir sedikit lebih baik. Anak itu mungkin hanya salah satu bocah malang yang terlahir miskin dan berinisiatif membantu ekonomi keluarga.”

“Anak lima tahun mana yang mengerti ekonomi keluarga, Re?”

Renjana tak sabar. Beberapa detik lagi lampu akan berubah lagi ke hijau, dan bukan tak mungkin mereka bisa bebas dari kemacetan yang akan memisahkan Renjana dari gadis kecil yang masih diamatinya, yang kini sudah pindah ke mobil lain, tepat di depan mobil mereka. Seorang wanita baik hati membuka jendela dan memanggil si cantik itu untuk memberinya sedikit rezeki.

“Intinya, kamu ada uang kecil atau tidak?!” Dan untuk pertama kali, Renjana menggunakan nada sebal itu untuk Argani. Padahal sebelumnya, boro-boro mengeluarkan nada tak senang, ia hanya mengangguk atau menggeleng dan berkata dengan tutur penuh sopan santun, sebagaimana ia bicara dengan orang asing yang membuat sungkan.

Namun kini, tak begitu. Renjana merasa sedikit lebih leluasa. Mungkin karena bawaan hamil, atau apa. Ia juga tak mengerti. Nyaman, salah satu alasannya juga barangkali. Lupakan tentang ingatan yang sekilas muncul tadi pagi, Renjana tak ingin mengingat apa pun lagi.

“Tidak.”

Dan Renjana tak bisa menahan diri untuk menggeram kesal. “Kenapa tidak bilang dari tadi?!”

Argani menahan senyum, memilih tak menanggapi Renjana yang kini sibuk mencari lagi dalam tasnya. Barangkali tak menemukan uang yang lebih kecil, ia pun mengambil seratus ribuan. Dan tepat saat dirinya akan membuka pintu, lampu berubah menjadi hijau. Mobil di depannya bergerak cepat melaju, Argani mengikuti, tak memberi kesempatan pada istrinya untuk memberikan uang itu.

“Loh, loh, loh! Ar, stop!” pinta Renjana yang tak Argani turuti. “Aku bilang, stop!”

“Lain kali saja.”

“Lain kali kapan? Kita belum tentu ketemu anak kecil itu lagi.”

“Masih ada kemungkinan. Besok atau lusa.”

“Dan kalau ternyata tidak?”

“Uang kita selamat.”

Renjana meremas uang seratus ribuan di tangannya dan melemparkan ke arah sang lawan bicara yang sama sekali tak menghindar. Lembaran nominal bergambar potret presiden pertama negara ini pun tepat mengenai pipi lelaki itu, lalu jatuh ke bawah, yang tak repot-repot Argani ambil. “Andai aku tahu kalau kamu sepelit itu sebelum kita menikah!”

“Kalau tahu sejak awal, apa kamu akan membatalkan pernikahan kita.”

“Tanpa berpikir dua kali.” Renjana melipat kedua tangannya dan menolak menoleh pada Argani yang meliriknya di sela-sela kesibukan menyetir. Wanita itu lebih memilih menatap ke depan, pada langit Ibu Kota yang sudah berubah warna menjadi lebih gelap. Semburat jingga terarsir di beberapa bagian, tanda bahwa malam akan segera menggantikan tahta siang, dan kegelapan akan meraja sementara sampai pagi menjelang. Sedang Renjana masih kesal. Sangat kesal.

“Maaf, Renjana. Sekarang kamu sudah terikat. Sekali pun aku menunjukkan sikap asli sejak awal, aku tidak yakin kamu bisa lepas.”

“Kalau aku menolak, kamu tidak akan bisa memaksa!”

“Bisa saja,” ujar Argani tanpa menatapnya.

Renjana memilih untuk tidak menyahut lagi dan hanya diam di sisa perjalanan. Marah, begitu sampai di rumah, ia turun begitu saja dan buru-buru berjalan memasuki kediaman mereka tanpa menunggu Argani mematikan mesin. Argani hanya mendengus pelan melihat tingkahnya, sambil sesekali geleng-geleng kepala.

Sialnya, Renjana bukan tipe orang yang bisa ngambek dalam waktu lama. Hanya dengan melihat profil chat Argani yang sudah diganti dengan gambar hasil usg anak mereka saja, Renjana sudah luluh. Semudah itu. Ditambah satu pelukan sebelum tidur, amarah Renjana luruh sepenuhnya. Ah, memang dasar hatinya lembek.

“Aku suka sikap kamu yang sekarang,” kata Argani sambil mencium tengkuknya sebelum tidur. Renjana pura-pura jual mahal dan tetap membelakangi, membiarkan Argani mendekap dari belakang dan sesekali mengelus perut sang istri dari balik pakaian tidur mereka yang seragam. Entah siapa yang mencarikan pakaian tidur ini. Renjana tidak tahu. Yang pasti, ada dua belas setel yang bahan dan motifnya sama persis dengan milik Argani, baju tidur pasangan. Lucu sekaligus agak kekanakan. “Sikap kamu mulai lepas, tidak kaku seperti sebelum-sebelumnya. Terus seperti ini ya, Re.”

Renjana tetap tidak menjawab, dan Argani tidak memaksa. Ia berhenti bicara, mengeratkan pelukan, lalu tak lama kemudian suara dengkur halusnya terdengar pelan.

Ya, laki-laki tersebut tidur, semudah itu. Sedang Renjana belum mengantuk sama sekali.

Meraih ponsel di nakas tanpa banyak bergerak lantaran tak ingin pelukan Argani lepas, Renjana membuka akun sosial media baru yang dibuatnya belum lama ini. Ah, amnesia membuatnya lupa dengan email dan sandi akun lama. Jadilah ia harus membuat lain. Dan jangan tanya, dirinya belum memiliki pengikut sama sekali. Masih nol. Membuatnya malas membuka sosial media apa pun. Karena semua sama. Tak ada yang menarik.

Hendak meletakkan kembali ponselnya, satu notifikasi masuk. Pemberitahuana bahwa ada pengguna lain yang mengikuti akunnya, disusul pesan yang datang kemudian di akun yang sama.

Renjana kan?

Yang langsung Renjana balas secepat mungkin. Ya.

Kenapa membuat akun baru? Yang lama ke mana? Sayang loh, sudah banyak pengikut padahal.

Renjana tidak mungkin menjawab jujur dengan mengatakan ia kecelakaan dan mengalami hilang ingatan. Jadilah ia hanya menjawab dengan dalih umum, ponselnya hilang dna lupa kata sandi untuk login ulang. “Omong-omong, kamu siapa ya?” Ketik Renjana sebagai balasan pesan.

Kamu bercanda kan, Jan?!

Nggak lucu banget! Kamu tiba-tiba ngilang, terus tiba-tiba muncul dengan aku baru pake profil pakaian pengantin.

Jangan bilang kalau kamu udah nikah tapi nggak ngundang-ngundang ya!

Sepertinya mereka akrab. Andai orang ini menyapa lebih awal sebelum Renjana berkomitmen, sudah pasti ia dengan antusias bertanya banyak hal. Sayang, saat ini Renjana sudah tak lagi tertarik mencari tahu masa lalu. Jadi ia abaikan saja pesan tersebut. Ditambah saat ini dirinya sudah mulai mengantuk. Pelukan Argani terasa makin hangat dan membuatnya terbuai untuk ikut juga menuju alam mimpi yang menjanjikan keindahan.

Satu notifikasi terdengar lagi. Renjana melihat sekilas dari headphone dan membacanya sambil menguap.

Beneran udah nikah atau baru tunangan or prewed sih, Jan?

Tapi memang sudah kuduga kalian pasti bakal ke pelaminan sih. Keliatan bucin banget dari dulu!

Omong-omong, salam ya, buat Mas tersayangnya.

Kelopak mata Renjana mulai terasa berat, membuatnya tak fokus pada pesan itu. Ia lalu jatuh tertidur dengan ponsel di tangan dan tanpa sadar menggeser pesan tersebut hingga terhapus dari notifikasi depan, pulas hingga pagi dalam pelukan suami yang tidak suka dipanggil dengan sebutan kesayangan ‘Mas’.

Ah, seseorang yang mengaku temannya ini mungkin hanya tidak tahu tentang hal kecil itu.

***

Maaf ya, tadi salah.

Udah mulai kelihatan kan mau dibawa ke mana cerita ini. Wkwkwk …

Yang kepo dan mau baca duluan bisa langsung cus ke karyakarsa, ya. Di kk udah bab 29 loh, dan makin seru pastinya^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top